Menggali Cahaya Surat Al-Kahfi

Ilustrasi Al-Quran di depan gua Ilustrasi Al-Quran di depan sebuah gua, melambangkan Surat Al-Kahfi.

Surat Al-Kahfi (سورة الكهف), yang berarti "Gua", adalah surat ke-18 dalam Al-Quran. Tergolong sebagai surat Makkiyah, surat ini diturunkan di Mekkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Terdiri dari 110 ayat, Al-Kahfi menyimpan berbagai keutamaan agung dan pelajaran mendalam yang relevan sepanjang zaman. Membaca, merenungi, dan mengamalkan isi kandungannya merupakan sebuah amalan yang sangat dianjurkan, terutama pada hari Jumat.

Surat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah lautan hikmah. Di dalamnya terkandung empat kisah utama yang menjadi pilar pelajarannya: kisah Ashabul Kahfi (para pemuda penghuni gua), kisah pemilik dua kebun, kisah perjalanan Nabi Musa AS bersama Khidir AS, serta kisah Dzulqarnain. Setiap kisah membawa tema spesifik yang menjadi bekal bagi seorang mukmin dalam menghadapi berbagai fitnah (ujian) kehidupan, khususnya fitnah terbesar di akhir zaman, yaitu fitnah Dajjal.

Keutamaan dan Manfaat Membaca Surat Al-Kahfi

Membiasakan diri dengan bacaan Surat Al-Kahfi, khususnya pada malam atau hari Jumat, mendatangkan berbagai fadhilah (keutamaan) yang luar biasa. Keistimewaan ini didasarkan pada hadis-hadis shahih dari Rasulullah SAW, yang menegaskan posisi penting surat ini dalam kehidupan seorang muslim.

1. Terlindungi dari Fitnah Dajjal

Salah satu keutamaan paling masyhur dari Surat Al-Kahfi adalah perlindungannya dari fitnah Dajjal. Dajjal adalah sosok yang akan muncul di akhir zaman, membawa ujian keimanan yang sangat dahsyat. Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari Surat Al-Kahfi, maka ia akan terlindungi dari (fitnah) Dajjal." (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain, disebutkan sepuluh ayat terakhir. Para ulama menjelaskan bahwa dengan menghafal dan memahami ayat-ayat ini, seorang mukmin akan dibekali dengan pemahaman mendalam tentang kekuasaan Allah, kefanaan dunia, dan hakikat ujian. Pengetahuan ini menjadi perisai spiritual yang kokoh untuk menolak segala tipu daya Dajjal yang menyesatkan.

2. Disinari Cahaya di Antara Dua Jumat

Cahaya (nur) dalam konteks ini memiliki makna yang luas, bisa berarti cahaya petunjuk, cahaya di wajah, cahaya di hati, maupun cahaya yang akan menerangi jalannya di hari kiamat. Amalan membaca Surat Al-Kahfi pada hari Jumat menjadi sumber penerangan spiritual selama sepekan.

"Barangsiapa yang membaca Surat Al-Kahfi pada hari Jumat, maka akan memancar cahaya untuknya di antara dua Jumat." (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dinilai shahih)

Cahaya ini membimbing seorang hamba untuk senantiasa berada di jalan yang lurus, membedakan antara yang hak dan yang batil, serta memberikan ketenangan dalam menghadapi problematika kehidupan. Ia menjadi lentera yang menjaga api keimanan agar tidak padam oleh hembusan badai duniawi.

3. Mendapat Ampunan Dosa

Setiap manusia tidak luput dari kesalahan dan dosa. Membaca Surat Al-Kahfi pada hari Jumat menjadi salah satu wasilah (sarana) untuk memohon ampunan kepada Allah SWT. Sebuah hadis menyebutkan:

"Siapa yang membaca Surat Al-Kahfi pada hari Jumat, maka akan diampuni dosanya antara Jumat tersebut dan Jumat berikutnya." (HR. Al-Hakim)

Meskipun para ulama menjelaskan bahwa dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil, ini tetap merupakan sebuah anugerah yang sangat besar. Amalan ini menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah dan betapa mudahnya Ia memberikan ampunan bagi hamba-hamba-Nya yang mau mendekat melalui amalan-amalan yang disyariatkan.

4. Turunnya Sakinah (Ketenangan)

Membaca Al-Quran, termasuk Surat Al-Kahfi, adalah salah satu cara terbaik untuk meraih ketenangan jiwa (sakinah). Ketenangan ini bukan sekadar perasaan damai sesaat, melainkan ketentraman batin yang bersumber dari hubungan yang kuat dengan Sang Pencipta. Dikisahkan ada seorang sahabat Nabi yang membaca Surat Al-Kahfi di malam hari, lalu ia melihat semacam awan atau kabut yang menaunginya. Ketika hal ini diceritakan kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda:

"Itulah As-Sakinah (ketenangan) yang turun karena bacaan Al-Quran." (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Kahfi memiliki kekuatan spiritual yang dapat mendatangkan rahmat dan ketenangan dari Allah SWT langsung ke dalam hati pembacanya.

Empat Kisah Agung dan Pelajarannya

Inti dari Surat Al-Kahfi adalah empat kisah besar yang masing-masing merepresentasikan satu jenis fitnah besar dalam kehidupan manusia. Memahaminya secara mendalam adalah kunci untuk mengambil ibrah (pelajaran) dan mengaplikasikannya sebagai benteng keimanan.

Kisah 1: Ashabul Kahfi (Fitnah Agama)

Kisah ini menceritakan sekelompok pemuda beriman yang hidup di tengah masyarakat penyembah berhala di bawah pemerintahan seorang raja yang zalim. Demi mempertahankan akidah tauhid mereka, para pemuda ini melarikan diri dari kota dan berlindung di sebuah gua. Mereka berdoa kepada Allah memohon petunjuk dan rahmat. Atas kekuasaan Allah, mereka ditidurkan selama 309 tahun. Ketika mereka bangun, masyarakat dan penguasa di negeri itu telah berganti menjadi kaum yang beriman.

Pelajaran Utama:

Kisah ini menjadi jawaban atas fitnah agama. Ketika seorang mukmin diuji keimanannya, dipaksa untuk menyimpang dari ajaran agamanya, maka teladan Ashabul Kahfi mengajarkan untuk tetap teguh, berhijrah (menjauh dari keburukan), dan senantiasa memohon pertolongan Allah.

Kisah 2: Pemilik Dua Kebun (Fitnah Harta)

Surat ini kemudian mengisahkan tentang dua orang, yang satu diberi karunia oleh Allah berupa dua kebun yang sangat subur dan produktif, lengkap dengan sungai yang mengalir di antaranya. Namun, kekayaan ini membuatnya sombong, kufur nikmat, dan meragukan adanya hari kiamat. Ia membanggakan hartanya di hadapan temannya yang miskin namun saleh. Sang teman menasihatinya untuk bersyukur dan mengingat Allah, namun ia menolak. Akhirnya, Allah menghancurkan kedua kebunnya dalam sekejap, menyisakan penyesalan yang mendalam baginya.

Pelajaran Utama:

Kisah ini menjadi penawar bagi fitnah harta. Di zaman di mana materialisme diagungkan, kisah ini mengingatkan kita bahwa kekayaan sejati bukanlah pada jumlah harta, melainkan pada tingkat ketakwaan dan rasa syukur kepada Allah SWT.

Kisah 3: Nabi Musa dan Khidir (Fitnah Ilmu)

Kisah ini bermula ketika Nabi Musa AS ditanya oleh kaumnya, "Siapakah orang yang paling berilmu?" Nabi Musa menjawab, "Aku." Allah kemudian menegurnya dan memberitahukan bahwa ada seorang hamba-Nya (yang diyakini bernama Khidir) yang memiliki ilmu lebih banyak darinya. Penuh kerendahan hati, Nabi Musa pun melakukan perjalanan jauh untuk belajar darinya. Dalam perjalanan, Khidir melakukan tiga tindakan yang secara lahiriah tampak aneh dan salah: melubangi perahu milik orang miskin, membunuh seorang anak laki-laki, dan menegakkan kembali tembok yang hampir roboh di sebuah negeri yang penduduknya pelit tanpa meminta upah. Nabi Musa yang tidak sabar selalu memprotes tindakan tersebut, hingga akhirnya Khidir menjelaskan hikmah agung di balik setiap perbuatannya yang didasarkan pada wahyu dari Allah.

Pelajaran Utama:

Kisah ini adalah solusi bagi fitnah ilmu. Ketika seseorang merasa ilmunya sudah tinggi dan mulai sombong, atau ketika seseorang menggunakan ilmunya untuk menipu dan menyesatkan orang lain, kisah Musa dan Khidir mengingatkan akan pentingnya adab, tawadhu (rendah hati), dan kesadaran bahwa semua ilmu bersumber dari Allah SWT.

Kisah 4: Dzulqarnain (Fitnah Kekuasaan)

Kisah terakhir adalah tentang seorang raja yang saleh, adil, dan memiliki kekuasaan yang sangat luas, Dzulqarnain. Allah memberinya kekuatan dan sarana untuk menjelajahi bumi. Ia melakukan tiga ekspedisi besar: ke arah barat (tempat matahari terbenam), ke arah timur (tempat matahari terbit), dan ke suatu daerah di antara dua gunung. Di setiap tempat yang ia kunjungi, ia menegakkan keadilan, menghukum yang zalim, dan memberi ganjaran kepada yang beriman dan berbuat baik. Puncak kisahnya adalah ketika ia menolong suatu kaum yang terancam oleh kerusakan yang ditimbulkan oleh Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog). Dengan kekuasaan dan ilmunya, ia membangun sebuah dinding besi yang sangat kokoh untuk mengurung mereka. Namun, ia tidak sombong. Ia berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku."

Pelajaran Utama:

Kisah ini adalah jawaban atas fitnah kekuasaan. Ketika seseorang diuji dengan jabatan, pengaruh, dan wewenang, teladan Dzulqarnain mengajarkan bagaimana menjalankan kepemimpinan yang adil, bertanggung jawab, dan senantiasa berorientasi pada keridhaan Allah SWT.

Bacaan Lengkap Surat Al-Kahfi (Ayat 1-110)

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلٰى عَبْدِهِ الْكِتٰبَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَّهٗ عِوَجًا ۜ ﴿١﴾

Al-ḥamdu lillāhil-lażī anzala ‘alā ‘abdihil-kitāba wa lam yaj‘al lahū ‘iwajā(n).

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok.

قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيْدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا حَسَنًاۙ ﴿٢﴾

Qayyimal liyunżira ba'san syadīdam mil ladunhu wa yubasysyiral-mu'minīnal-lażīna ya‘malūnaṣ-ṣāliḥāti anna lahum ajran ḥasanā(n).

Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.

مَاكِثِيْنَ فِيْهِ اَبَدًاۙ ﴿٣﴾

Mākiṡīna fīhi abadā(n).

Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.

وَّيُنْذِرَ الَّذِيْنَ قَالُوا اتَّخَذَ اللّٰهُ وَلَدًا ۖ ﴿٤﴾

Wa yunżiral-lażīna qāluttakhażallāhu waladā(n).

Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, “Allah mengambil seorang anak.”

مَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ وَّلَا لِاٰبَاۤىِٕهِمْۗ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْۗ اِنْ يَّقُوْلُوْنَ اِلَّا كَذِبًا ﴿٥﴾

Mā lahum bihī min ‘ilmiw wa lā li'ābā'ihim, kaburat kalimatan takhruju min afwāhihim, iy yaqūlūna illā każibā(n).

Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan belaka.

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا ﴿٦﴾

Fa la‘allaka bākhi‘un nafsaka ‘alā āṡārihim il lam yu'minū bihāżal-ḥadīṡi asafā(n).

Maka, barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an).

اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَرْضِ زِيْنَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا ﴿٧﴾

Innā ja‘alnā mā ‘alal-arḍi zīnatal lahā linabluwahum ayyuhum aḥsanu ‘amalā(n).

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.

وَاِنَّا لَجٰعِلُوْنَ مَا عَلَيْهَا صَعِيْدًا جُرُزًاۗ ﴿٨﴾

Wa innā lajā‘ilūna mā ‘alaihā ṣa‘īdan juruzā(n).

Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering.

اَمْ حَسِبْتَ اَنَّ اَصْحٰبَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيْمِ كَانُوْا مِنْ اٰيٰتِنَا عَجَبًا ﴿٩﴾

Am ḥasibta anna aṣḥābal-kahfi war-raqīmi kānū min āyātinā ‘ajabā(n).

Apakah engkau mengira bahwa orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, termasuk tanda-tanda (kebesaran) Kami yang menakjubkan?

اِذْ اَوَى الْفِتْيَةُ اِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَآ اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَّهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا ﴿١٠﴾

Iż awal-fityatu ilal-kahfi fa qālū rabbanā ātinā mil ladunka raḥmataw wa hayyi' lanā min amrinā rasyadā(n).

(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.”

فَضَرَبْنَا عَلٰٓى اٰذَانِهِمْ فِى الْكَهْفِ سِنِيْنَ عَدَدًاۙ ﴿١١﴾

Fa ḍarabnā ‘alā āżānihim fil-kahfi sinīna ‘adadā(n).

Maka, Kami tutup telinga mereka di dalam gua itu selama beberapa tahun.

ثُمَّ بَعَثْنٰهُمْ لِنَعْلَمَ اَيُّ الْحِزْبَيْنِ اَحْصٰى لِمَا لَبِثُوْٓا اَمَدًا ࣖ ﴿١٢﴾

Ṡumma ba‘aṡnāhum lina‘lama ayyul-ḥizbaini aḥṣā limā labiṡū amadā(n).

Kemudian, Kami bangunkan mereka agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (di dalam gua).

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَاَهُمْ بِالْحَقِّۗ اِنَّهُمْ فِتْيَةٌ اٰمَنُوْا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنٰهُمْ هُدًىۖ ﴿١٣﴾

Naḥnu naquṣṣu ‘alaika naba'ahum bil-ḥaqq(i), innahum fityatun āmanū birabbihim wa zidnāhum hudā(n).

Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.

وَّرَبَطْنَا عَلٰى قُلُوْبِهِمْ اِذْ قَامُوْا فَقَالُوْا رَبُّنَا رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ لَنْ نَّدْعُوَا۟ مِنْ دُوْنِهٖٓ اِلٰهًا لَقَدْ قُلْنَآ اِذًا شَطَطًا ﴿١٤﴾

Wa rabaṭnā ‘alā qulūbihim iż qāmū fa qālū rabbunā rabbus-samāwāti wal-arḍi lan nad‘uwa min dūnihī ilāhal laqad qulnā iżan syaṭaṭā(n).

Kami meneguhkan hati mereka ketika mereka berdiri lalu berkata, “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi. Kami tidak akan menyeru tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, kami telah mengucapkan perkataan yang sangat jauh dari kebenaran.”

هٰٓؤُلَاۤءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اٰلِهَةًۗ لَوْلَا يَأْتُوْنَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطٰنٍۢ بَيِّنٍۗ فَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًاۗ ﴿١٥﴾

Hā'ulā'i qaumunattakhażū min dūnihī ālihah(tan), lau lā ya'tūna ‘alaihim bisulṭānim bayyin(in), fa man aẓlamu mimmaniftarā ‘alallāhi każibā(n).

Kaum kami ini telah menjadikan tuhan-tuhan (untuk disembah) selain Dia. Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang jelas (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?

وَاِذِ اعْتَزَلْتُمُوْهُمْ وَمَا يَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ فَأْوٗٓا اِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِّنْ رَّحْمَتِهٖ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِّنْ اَمْرِكُمْ مِّرْفَقًا ﴿١٦﴾

Wa iżi‘tazaltumūhum wa mā ya‘budūna illallāha fa'wū ilal-kahfi yansyur lakum rabbukum mir raḥmatihī wa yuhayyi' lakum min amrikum mirfaqā(n).

Apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, berlindunglah ke dalam gua itu. Niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan bagimu sesuatu yang berguna bagi urusanmu.

وَتَرَى الشَّمْسَ اِذَا طَلَعَتْ تَّزٰوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَاِذَا غَرَبَتْ تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِيْ فَجْوَةٍ مِّنْهُۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ ۗمَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرْشِدًا ࣖ ﴿١٧﴾

Wa tarasy-syamsa iżā ṭala‘at tazāwaru ‘an kahfihim żātal-yamīni wa iżā garabat taqriḍuhum żātasy-syimāli wa hum fī fajwatim minh(u), żālika min āyātillāh(i), may yahdillāhu fa huwal-muhtadi wa may yuḍlil falan tajida lahū waliyyam mursyidā(n).

Engkau akan melihat matahari ketika terbit, condong ke sebelah kanan dari gua mereka; dan ketika terbenam, menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedang mereka berada dalam tempat yang luas di dalam (gua) itu. Itulah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Siapa yang Allah beri petunjuk, dialah yang mendapat petunjuk; dan siapa yang Dia sesatkan, engkau tidak akan menemukan seorang penolong pun yang dapat memberinya petunjuk.

وَتَحْسَبُهُمْ اَيْقَاظًا وَّهُمْ رُقُوْدٌ ۖوَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖوَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيْدِۗ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَّلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا ﴿١٨﴾

Wa taḥsabuhum aiqāẓaw wa hum ruqūd(uw), wa nuqallibuhum żātal-yamīni wa żātasy-syimāl(i), wa kalbuhum bāsiṭun żirā‘aihi bil-waṣīd(i), lawiṭṭala‘ta ‘alaihim lawallaita minhum firāraw wa lamuli'ta minhum ru‘bā(n).

Engkau mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur. Kami membolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedangkan anjing mereka membentangkan kedua lengannya di depan pintu gua. Seandainya engkau menyaksikan mereka, tentu engkau akan berpaling melarikan diri dari mereka dan pasti akan dipenuhi rasa takut terhadap mereka.

وَكَذٰلِكَ بَعَثْنٰهُمْ لِيَتَسَاۤءَلُوْا بَيْنَهُمْۗ قَالَ قَاۤىِٕلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْۗ قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ قَالُوْا رَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْۗ فَابْعَثُوْٓا اَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هٰذِهٖٓ اِلَى الْمَدِيْنَةِ فَلْيَنْظُرْ اَيُّهَآ اَزْكٰى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ اَحَدًا ﴿١٩﴾

Wa każālika ba‘aṡnāhum liyatasā'alū bainahum, qāla qā'ilum minhum kam labiṡtum, qālū labiṡnā yauman au ba‘ḍa yaum(in), qālū rabbukum a‘lamu bimā labiṡtum, fab‘aṡū aḥadakum biwariqikum hāżihī ilal-madīnati falyanẓur ayyuhā azkā ṭa‘āman falya'tikum birizqim minhu walyatalaṭṭaf wa lā yusy‘iranna bikum aḥadā(n).

Demikianlah, Kami membangunkan mereka agar saling bertanya di antara mereka (sendiri). Salah seorang di antara mereka berkata, “Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” (Yang lain) berkata, “Tuhanmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka, utuslah salah seorang di antara kamu dengan membawa uang perakmu ini ke kota. Hendaklah dia melihat manakah makanan yang lebih baik, lalu membawa sebagian makanan itu untukmu. Hendaklah pula dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun.

اِنَّهُمْ اِنْ يَّظْهَرُوْا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوْكُمْ اَوْ يُعِيْدُوْكُمْ فِيْ مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوْٓا اِذًا اَبَدًا ﴿٢٠﴾

Innahum iy yaẓharū ‘alaikum yarjumūkum au yu‘īdūkum fī millatihim wa lan tufliḥū iżan abadā(n).

Sesungguhnya jika mereka (penduduk kota) dapat menemukanmu, niscaya mereka akan melemparimu dengan batu atau memaksamu kembali kepada agama mereka. Jika demikian, niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.”

قُلْ لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا ﴿١٠٩﴾

Qul lau kānal-baḥru midādal likalimāti rabbī lanafidal-baḥru qabla an tanfada kalimātu rabbī wa lau ji'nā bimiṡlihī madadā(n).

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ ۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ ﴿١١٠﴾

Qul innamā ana basyarum miṡlukum yūḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhuw wāḥid(un), fa man kāna yarjū liqā'a rabbihī falya‘mal ‘amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi‘ibādati rabbihī aḥadā(n).

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.

Penutup: Lautan Hikmah yang Tak Bertepi

Surat Al-Kahfi adalah cerminan perjalanan hidup seorang mukmin. Di dalamnya ada ujian keimanan, godaan harta, tantangan ilmu pengetahuan, dan amanah kekuasaan. Dengan rutin membaca dan mentadabburinya, kita tidak hanya mendapatkan pahala dan keutamaan yang dijanjikan, tetapi juga membekali diri dengan peta dan kompas untuk mengarungi kehidupan yang penuh dengan fitnah.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita taufik untuk dapat istiqamah dalam membaca, memahami, dan mengamalkan kandungan Surat Al-Kahfi, sehingga kita termasuk orang-orang yang dinaungi oleh cahayanya di dunia dan di akhirat, serta dilindungi dari segala fitnah, terutama fitnah Dajjal. Aamiin.

🏠 Kembali ke Homepage