Memahami Bacaan Sholat Setelah Ruku' (I'tidal)

Kaligrafi Arab Sami'allahu Liman Hamidah سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Ilustrasi kaligrafi yang melambangkan ucapan tasmi', inti dari gerakan i'tidal.

Sholat adalah tiang agama, sebuah jembatan komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Setiap gerakan dan ucapan di dalamnya bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan mengandung makna, filosofi, dan hikmah yang sangat mendalam. Salah satu momen krusial dalam sholat yang seringkali terlewatkan kekhusyukannya adalah saat bangkit dari ruku', sebuah gerakan yang dikenal dengan nama i'tidal. Gerakan ini merupakan transisi dari posisi membungkuk penuh ketundukan (ruku') menuju posisi merendahkan diri yang paling puncak (sujud). Di sinilah, pada posisi i'tidal, terucap kalimat-kalimat pujian agung yang menjadi fokus pembahasan kita.

Memahami bacaan setelah ruku' bukan hanya tentang menghafal lafalnya, tetapi menyelami samudera makna yang terkandung di dalamnya. I'tidal adalah momen pengakuan, di mana seorang hamba menegaskan kembali keyakinannya bahwa Allah Maha Mendengar setiap pujian. Ini adalah dialog batin yang indah, di mana Allah seolah-olah merespons ketundukan hamba-Nya di dalam ruku' dengan mengangkatnya kembali, dan sang hamba membalasnya dengan pujian yang tiada tara. Artikel ini akan mengupas tuntas segala aspek yang berkaitan dengan bacaan sholat setelah ruku', mulai dari lafalnya, maknanya, hukumnya dalam fiqih, hingga hikmah spiritual yang bisa kita petik untuk meningkatkan kualitas sholat kita.

Inti Bacaan Saat Bangkit dari Ruku' (Tasmi')

Ketika seorang Muslim mengangkat punggungnya dari posisi ruku', seraya mengangkat kedua tangan (menurut sebagian pendapat ulama), ia mengucapkan sebuah kalimat agung yang disebut Tasmi'. Kalimat ini menjadi penanda bahwa Allah senantiasa mendengar dan memperhatikan hamba-Nya yang memuji.

Bacaan ini diucapkan oleh imam dalam sholat berjamaah dan oleh orang yang sholat sendirian (munfarid). Sedangkan bagi makmum, mereka tidak mengucapkan bacaan ini, melainkan langsung menyambutnya dengan bacaan tahmid saat berdiri tegak.

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Sami'allāhu liman hamidah.

Artinya: "Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya."

Kalimat ini sederhana namun sarat makna. Ia bukan sekadar informasi, melainkan sebuah proklamasi iman. "Sami'a" dalam bahasa Arab tidak hanya berarti mendengar secara fisik, tetapi juga mengandung makna memperhatikan, mengabulkan, dan menerima. Ketika kita mengucapkan "Sami'allāhu liman hamidah," kita sedang meyakini dengan sepenuh hati bahwa pujian kita tidak sia-sia. Pujian kita didengar, diperhatikan, dan akan dibalas oleh Allah dengan anugerah dan pahala yang berlipat ganda. Ini adalah sumber ketenangan yang luar biasa, mengetahui bahwa setiap untaian zikir dan puji-pujian kita sampai kepada Ar-Rahman.

Ragam Bacaan Saat Berdiri Tegak Setelah Ruku' (Tahmid)

Setelah badan berdiri tegak lurus dengan sempurna dalam posisi i'tidal, inilah saatnya mengucapkan Tahmid, yaitu kalimat pujian sebagai respons atas Tasmi' yang telah diucapkan. Inilah jawaban seorang hamba atas pernyataan bahwa Allah mendengar pujian. Hamba tersebut kemudian menegaskan, "Ya Allah, bagi-Mu lah segala puji."

Bacaan tahmid ini diucapkan oleh semua orang yang sholat, baik imam, makmum, maupun yang sholat sendirian. Terdapat beberapa versi bacaan tahmid yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan semuanya baik untuk diamalkan. Mengamalkannya secara bergantian dapat membantu meningkatkan kekhusyukan dan menghidupkan sunnah Nabi.

1. Bacaan Tahmid yang Paling Umum dan Ringkas

Ini adalah bacaan yang paling sering kita dengar dan amalkan. Ringkas, padat, dan mencakup esensi pujian yang paling dasar.

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ

Rabbanā lakal-hamd.

Artinya: "Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji."

Dalam riwayat lain, terdapat tambahan huruf 'waw' di awalnya, yang juga shahih dan boleh diamalkan.

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Rabbanā wa lakal-hamd.

Artinya: "Wahai Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji."

2. Bacaan Tahmid dengan Tambahan Pujian yang Melimpah

Versi ini menambahkan deskripsi keluasan pujian yang kita panjatkan kepada Allah. Pujian tersebut tidak terbatas, melainkan seluas langit, bumi, dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya.

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Rabbanā lakal-hamdu mil’as-samāwāti wa mil’al-ardhi wa mil’a mā syi’ta min syai’in ba‘du.

Artinya: "Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji, sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu."

Kalimat "wa mil’a mā syi’ta min syai’in ba‘du" (dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu) menunjukkan pengakuan total atas kebesaran Allah. Kita mengakui keterbatasan kita dalam memuji-Nya. Kita memuji-Nya sepenuh langit dan bumi, namun kita sadar bahwa keagungan-Nya jauh melampaui itu. Maka kita serahkan sisanya kepada kehendak Allah, mengakui bahwa pujian kita tidak akan pernah sepadan dengan kebesaran-Nya.

3. Bacaan Tahmid dengan Pujian Penuh Keberkahan

Ini adalah versi lain yang juga diriwayatkan dalam hadits shahih. Di dalamnya terdapat tambahan pujian yang baik, banyak, dan penuh berkah.

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Rabbanā wa lakal-hamdu, hamdan katsīran thayyiban mubārakan fīh.

Artinya: "Wahai Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji, pujian yang banyak, yang baik, dan yang diberkahi di dalamnya."

Hadits yang melatari bacaan ini sangat indah. Diriwayatkan dari Rifa'ah bin Rafi', ia berkata: "Suatu hari kami sholat di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau mengangkat kepala dari ruku', beliau mengucapkan ‘Sami'allahu liman hamidah’. Lalu seorang laki-laki di belakang beliau mengucapkan ‘Rabbana wa lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih’. Setelah selesai sholat, beliau bertanya, ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?’ Orang itu menjawab, ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebut, siapa di antara mereka yang lebih dulu mencatatnya.’” (HR. Bukhari). Ini menunjukkan betapa agungnya kalimat pujian ini di sisi Allah.

4. Bacaan Tahmid yang Menggabungkan Keagungan dan Pujian

Ada pula versi yang lebih panjang, menggabungkan pengakuan atas keagungan Allah sebagai Pemilik pujian dan kemuliaan.

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Rabbanā lakal-hamdu mil’as-samāwāti wa mil’al-ardhi wa mā bainahumā, wa mil’a mā syi’ta min syai’in ba‘du. Ahlats-tsanā’i wal-majdi, ahaqqu mā qālal-‘abdu, wa kullunā laka ‘abdun. Allāhumma lā māni‘a limā a‘thaita, wa lā mu‘thiya limā mana‘ta, wa lā yanfa‘u dzal-jaddi minkal-jaddu.

Artinya: "Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang ada di antara keduanya, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu. Wahai Dzat yang berhak atas sanjungan dan kemuliaan, inilah ucapan yang paling berhak diucapkan oleh seorang hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau halangi, dan tidaklah bermanfaat kekayaan dan kemuliaan seseorang bagi dirinya dari (siksa)-Mu."

Bacaan ini sangat komprehensif. Ia tidak hanya memuji, tetapi juga mengandung deklarasi tauhid yang kuat. Pengakuan bahwa segala pemberian dan penolakan mutlak berada di tangan Allah, serta kekayaan atau status duniawi tidak akan berguna di hadapan-Nya, adalah inti dari ketundukan seorang hamba.

Makna dan Kedudukan I'tidal dalam Struktur Sholat

I'tidal bukanlah sekadar jeda antara ruku' dan sujud. Ia memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu rukun fi'li (rukun perbuatan) dalam sholat. Meninggalkannya dengan sengaja dapat membatalkan sholat. Kepentingannya setara dengan rukun-rukun lainnya seperti berdiri, ruku', dan sujud.

Pentingnya Thuma'ninah dalam I'tidal

Salah satu unsur terpenting dalam i'tidal, dan juga dalam semua rukun fi'li lainnya, adalah thuma'ninah. Thuma'ninah secara bahasa berarti ketenangan. Dalam konteks sholat, artinya adalah berhenti sejenak dalam sebuah gerakan hingga seluruh anggota badan dan tulang-belulang kembali ke posisinya dengan tenang sebelum beralih ke gerakan berikutnya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menekankan thuma'ninah. Dalam sebuah hadits yang terkenal sebagai "hadits al-musi'u shalatah" (hadits tentang orang yang buruk sholatnya), Nabi memerintahkan seorang sahabat untuk mengulang sholatnya berkali-kali karena melakukannya dengan tergesa-gesa. Beliau kemudian mengajarkan cara sholat yang benar, di antaranya beliau bersabda, "...kemudian angkatlah kepalamu hingga engkau berdiri tegak lurus (i'tidal)." (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah untuk berdiri tegak lurus ini adalah esensi dari thuma'ninah dalam i'tidal.

Banyak orang yang meremehkan i'tidal. Mereka bangkit dari ruku' hanya sekejap, punggung belum lurus sempurna, lalu langsung turun untuk sujud. Gerakan seperti ini sering diibaratkan seperti "patukan ayam," terburu-buru dan tanpa ketenangan. Sholat yang dilakukan tanpa thuma'ninah dianggap tidak sah oleh mayoritas ulama. I'tidal yang sempurna adalah saat punggung benar-benar lurus, tubuh rileks, dan ada jeda waktu yang cukup untuk membaca setidaknya bacaan tahmid yang paling singkat dengan tartil (jelas dan tidak tergesa-gesa).

I'tidal Sebagai Jembatan Filosofis

Secara filosofis, i'tidal adalah jembatan antara dua bentuk ketundukan. Ruku' adalah ketundukan dengan membungkukkan badan, sebuah gestur penghormatan yang universal. Sementara sujud adalah puncak ketundukan, di mana bagian tubuh yang paling mulia (wajah dan kening) diletakkan di tempat yang paling rendah (lantai), sejajar dengan telapak kaki.

I'tidal yang berada di antara keduanya adalah momen "istirahat" yang penuh makna. Setelah merendah dalam ruku', Allah mengangkat kita kembali. Respon kita adalah pujian (tahmid). Kita berdiri tegak, memuji-Nya, seolah-olah mengumpulkan energi spiritual dari pujian tersebut, untuk kemudian menjatuhkan diri dalam kerendahan yang lebih dalam lagi saat sujud. Ini adalah ritme ibadah yang indah: tunduk, diangkat, memuji, lalu tunduk lebih dalam. Siklus ini mengajarkan bahwa setiap kali Allah mengangkat derajat kita, respon terbaik adalah dengan meningkatkan pujian dan kesyukuran, yang pada akhirnya akan membawa kita pada kerendahan hati yang lebih besar di hadapan-Nya.

Konteks Gerakan: Sebelum dan Sesudah I'tidal

Untuk memahami i'tidal secara utuh, kita perlu melihatnya sebagai bagian dari sebuah rangkaian yang tak terpisahkan. Maknanya menjadi lebih hidup ketika kita merenungkan gerakan sebelum dan sesudahnya.

Sebelum I'tidal: Ruku', Gerakan Penuh Ketundukan

Ruku' adalah posisi di mana kita menundukkan seluruh tubuh bagian atas, meletakkan tangan di lutut, dan meluruskan punggung sejajar dengan lantai. Ini adalah simbol ketundukan fisik yang total. Dalam posisi ini, kita mengucapkan:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ

Subhāna rabbiyal-'azhīmi wa bihamdih.

Artinya: "Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung, dan dengan memuji-Nya."

Dalam ruku', kita menyucikan (tasbih) Allah dari segala kekurangan dan mengagungkan (ta'zhim) kebesaran-Nya. Ini adalah pengakuan atas keagungan mutlak Allah. Ketika kita berada dalam posisi yang rendah ini, kita mengakui bahwa hanya Dia-lah Yang Maha Agung. Dari posisi inilah kita kemudian bangkit menuju i'tidal. Bangkitnya kita bukan karena kekuatan kita sendiri, melainkan karena "diangkat" oleh Allah, yang kemudian kita sambut dengan "Sami'allāhu liman hamidah" (Allah mendengar orang yang memuji-Nya).

Setelah I'tidal: Sujud, Puncak Kerendahan Hati

Setelah berdiri tegak dalam i'tidal dan memuji Allah, kita bergerak ke posisi yang paling menunjukkan kehambaan: sujud. Sujud adalah manifestasi tertinggi dari kerendahan diri. Rasulullah bersabda, "Saat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia sedang sujud, maka perbanyaklah doa (di dalamnya)." (HR. Muslim).

Dalam sujud, kita mengucapkan:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ

Subhāna rabbiyal-a'lā wa bihamdih.

Artinya: "Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi, dan dengan memuji-Nya."

Perhatikan perbedaannya. Di ruku' kita mengakui keagungan-Nya (Al-'Azhim), sementara di sujud, posisi terendah kita, kita mengakui ketinggian-Nya (Al-A'la). I'tidal menjadi titik balik yang krusial. Ia adalah momen di mana kita mengafirmasi bahwa pujian kita didengar, sebelum kita membuktikannya dengan merendahkan diri ke level paling puncak, yaitu sujud. Tanpa i'tidal, transisi dari pengagungan di ruku' ke pengakuan ketinggian di sujud akan terasa janggal dan terputus.

Perspektif Fiqih: Siapa Mengucapkan Apa?

Dalam sholat, terutama sholat berjamaah, ada pembagian peran dalam mengucapkan zikir-zikir i'tidal. Memahaminya penting agar sholat kita sesuai dengan tuntunan sunnah.

Pembagian ini menunjukkan harmoni dan keteraturan dalam sholat berjamaah. Ada aksi (ucapan imam) dan ada respons (ucapan makmum). Ini menciptakan sebuah dialog yang terstruktur, di mana imam memimpin dan makmum mengikuti dengan serempak, menguatkan ikatan jamaah.

Menyelami Hikmah di Balik Gerakan dan Bacaan I'tidal

Setiap detail dalam syariat Islam pasti mengandung hikmah yang agung. Demikian pula dengan i'tidal. Merenungkan hikmah di baliknya dapat mengubah sholat kita dari sekadar gerakan fisik menjadi sebuah perjalanan spiritual yang mendalam.

1. Dialog Interaktif Antara Hamba dan Pencipta

Seperti yang telah disinggung, i'tidal adalah panggung dialog. Saat ruku', kita menunduk dalam diam sembari memuji keagungan-Nya. Saat bangkit, seolah ada "panggilan" dari Allah melalui lisan imam atau lisan kita sendiri (jika sholat sendirian): "Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya." Ini adalah sebuah kabar gembira, sebuah kepastian. Lalu kita, sebagai hamba, segera merespons dengan penuh suka cita dan pengakuan: "Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji." Ini adalah interaksi dua arah. Kita tidak sedang berbicara pada ruang hampa. Kita sedang berdialog dengan Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

2. Dari Ketundukan Menuju Kesyukuran

Posisi ruku' adalah simbol ketundukan. Posisi berdiri tegak (i'tidal) adalah posisi normal kita sebagai manusia. Transisi dari ruku' ke i'tidal mengajarkan sebuah pelajaran penting: setelah menunjukkan ketundukan dan kepasrahan, Allah akan mengangkat kita. Kehidupan ini pun demikian. Ketika kita tunduk pada aturan-Nya dan pasrah pada takdir-Nya, Allah akan mengangkat derajat kita. Respon yang paling pantas atas "pengangkatan" ini bukanlah kesombongan, melainkan kesyukuran dan pujian, yaitu "Rabbanā lakal-hamd". Semakin kita bersyukur, semakin Allah akan menambah nikmat-Nya. I'tidal adalah latihan harian untuk menanamkan sikap syukur ini dalam jiwa.

3. Pengakuan atas Keterbatasan Hamba

Dalam bacaan i'tidal yang lebih panjang, kita memuji Allah sepenuh langit dan bumi. Ini adalah upaya maksimal kita. Namun, kita segera menyambungnya dengan "...dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu." Ini adalah pengakuan tulus akan keterbatasan kita. Akal, ilmu, dan bahasa kita tidak akan pernah mampu mencakup dan menguraikan seluruh keagungan Allah. Pujian kita, sebanyak apa pun, tetaplah kurang jika dibandingkan dengan hak Allah untuk dipuji. Pengakuan ini melahirkan kerendahan hati dan menghindarkan kita dari perasaan ujub (bangga diri) dalam beribadah.

4. Manifestasi Keseimbangan

Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan (tawazun). I'tidal, yang secara harfiah berarti 'lurus' atau 'seimbang', secara fisik merepresentasikan hal ini. Kita tidak selamanya membungkuk (ruku'), tidak selamanya bersujud, dan tidak selamanya berdiri. Ada ritme yang seimbang. Keseimbangan antara ketundukan (ruku', sujud) dan kesyukuran dalam posisi tegak (i'tidal). Ini mengajarkan kita untuk menjalani hidup dengan seimbang: antara bekerja (ikhtiar) dan berdoa (tawakal), antara urusan dunia dan akhirat, antara rasa takut (khauf) dan harap (raja').

Kesalahan Umum yang Sering Terjadi Saat I'tidal

Untuk menyempurnakan sholat, kita juga perlu mengetahui dan menghindari kesalahan-kesalahan yang umum terjadi pada gerakan i'tidal. Di antaranya adalah:

  1. Tidak Thuma'ninah: Ini adalah kesalahan yang paling fatal. Bangkit dari ruku' hanya sekejap, punggung belum lurus, lalu langsung turun sujud. Ini dapat membatalkan sholat.
  2. Punggung Tidak Lurus Sempurna: I'tidal menuntut posisi berdiri yang tegak dan lurus. Beberapa orang hanya mengangkat sedikit kepalanya dari ruku' tanpa meluruskan punggungnya.
  3. Membaca Bacaan yang Tidak Tepat: Misalnya, seorang makmum ikut membaca "Sami'allāhu liman hamidah" atau seorang imam lupa membaca tahmid untuk dirinya sendiri.
  4. Menggerakkan Anggota Tubuh Secara Berlebihan: Setelah berdiri tegak, sebagian orang menggaruk, membetulkan pakaian, atau melakukan gerakan lain yang tidak perlu dan dapat mengganggu kekhusyukan.
  5. Membaca Terlalu Cepat: Membaca zikir i'tidal dengan sangat cepat hingga tidak jelas huruf dan makhrajnya, menghilangkan esensi dari perenungan makna bacaan tersebut.

Menghindari kesalahan-kesalahan ini adalah bagian dari usaha kita untuk mempersembahkan ibadah terbaik kepada Allah. Sholat yang dilakukan dengan benar, tenang, dan penuh penghayatan akan memberikan dampak yang luar biasa bagi ketenangan jiwa dan kehidupan kita sehari-hari.

Kesimpulan: I'tidal Sebagai Momen Emas dalam Sholat

I'tidal, momen bangkit dari ruku', bukanlah sekadar gerakan transisi. Ia adalah rukun sholat yang agung, sebuah pemberhentian penuh makna yang diisi dengan dialog pujian antara hamba dan Rabb-nya. Di dalamnya terkandung proklamasi iman bahwa Allah Maha Mendengar, yang disambut dengan luapan pujian dan syukur yang seluas langit dan bumi.

Dengan memahami ragam bacaannya, kedudukannya dalam fiqih, serta hikmah spiritual yang terkandung di dalamnya, kita dapat mengubah cara kita memandang i'tidal. Ia bukan lagi jeda yang terburu-buru, melainkan sebuah "momen emas" untuk berhenti sejenak, menegakkan punggung, dan membiarkan hati kita melantunkan pujian termurni kepada Sang Pencipta. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk dapat mendirikan sholat dengan sebaik-baiknya, menyempurnakan setiap gerakan dan bacaannya, sehingga sholat kita benar-benar menjadi penyejuk hati dan pencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Amin.

🏠 Kembali ke Homepage