Memahami Bacaan Qomat: Seruan Menegakkan Shalat
Dalam syariat Islam, shalat merupakan tiang agama. Ia adalah ibadah agung yang menjadi pembeda antara seorang muslim dengan selainnya. Untuk menjaga keagungan dan kekhusyukan ibadah ini, Islam telah menetapkan serangkaian adab dan syiar yang mendahuluinya. Di antara syiar terpenting tersebut adalah adzan dan qomat (atau yang sering disebut iqamah). Jika adzan adalah panggilan untuk memberitahu masuknya waktu shalat, maka qomat adalah seruan terakhir, sebuah proklamasi bahwa shalat fardhu akan segera ditegakkan. Qomat adalah penanda transisi, jembatan antara penantian dan pelaksanaan, antara dunia luar dan kekhusyukan menghadap Sang Pencipta.
Memahami bacaan qomat bukan sekadar menghafal lafadznya. Lebih dari itu, ia adalah upaya untuk meresapi setiap kata yang diucapkan, menyadari urgensinya, dan mempersiapkan jiwa raga untuk berdiri di hadapan Allah SWT. Artikel ini akan mengupas secara mendalam segala sesuatu yang berkaitan dengan bacaan qomat, mulai dari lafadz dan maknanya, landasan hukumnya, tata cara pelaksanaannya, hingga hikmah agung di balik syariat yang mulia ini.
Lafadz Bacaan Qomat dan Terjemahannya
Lafadz qomat yang paling umum diamalkan oleh mayoritas umat Islam, khususnya yang mengikuti mazhab Syafi'i dan Hanbali, didasarkan pada hadits Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu. Bacaannya diucapkan dengan cepat dan setiap kalimatnya diucapkan sekali, kecuali pada bagian tertentu. Berikut adalah lafadznya secara lengkap:
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Asyhadu an laa ilaaha illallaah
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah
Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
Hayya 'alash shalaah
Marilah mendirikan shalat
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
Hayya 'alal falaah
Marilah menuju kemenangan
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
Qad qaamatish shalaah, Qad qaamatish shalaah
Sungguh, shalat akan segera ditegakkan, Sungguh, shalat akan segera ditegakkan
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Laa ilaaha illallaah
Tiada Tuhan selain Allah
Membedah Makna Setiap Kalimat dalam Qomat
Setiap kalimat dalam qomat membawa makna yang sangat dalam dan berfungsi sebagai pengingat terakhir sebelum memulai dialog dengan Allah SWT.
- Allahu Akbar (Allah Maha Besar): Kalimat ini mengawali dan mengakhiri qomat. Ia adalah penegasan fundamental dalam akidah Islam. Dengan mengucapkannya, kita mengakui kebesaran Allah di atas segala-galanya. Semua urusan dunia, kesibukan, pikiran, dan kekhawatiran menjadi kecil dan tidak berarti di hadapan keagungan-Nya. Ini adalah persiapan mental untuk meninggalkan dunia sejenak dan fokus sepenuhnya kepada Sang Khaliq.
- Syahadatain (Dua Kalimat Syahadat): Pengucapan "Asyhadu an laa ilaaha illallaah" dan "Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah" adalah pengingat akan fondasi iman. Ini adalah re-afirmasi atau penegasan kembali ikrar kita sebagai seorang muslim sesaat sebelum shalat. Kita diingatkan bahwa ibadah yang akan kita lakukan ini semata-mata hanya untuk Allah, dan tata caranya mengikuti tuntunan Rasulullah SAW.
- Hayya 'alash shalaah & Hayya 'alal falaah (Marilah Shalat, Marilah Menuju Kemenangan): Dua seruan ini identik dengan adzan. Namun, dalam konteks qomat, maknanya lebih mendesak. Jika dalam adzan ia adalah panggilan untuk datang, dalam qomat ia adalah instruksi untuk segera berdiri. Kemenangan (falaah) yang dijanjikan—baik di dunia maupun di akhirat—dimulai dengan langkah pertama: mendirikan shalat.
- Qad qaamatish shalaah (Sungguh, shalat akan segera ditegakkan): Inilah kalimat pembeda utama antara adzan dan qomat. Diucapkan dua kali untuk penekanan, kalimat ini adalah pernyataan definitif. Tidak ada lagi penundaan. Momen yang ditunggu telah tiba. Ia berfungsi sebagai "alarm" terakhir yang menggetarkan hati, memerintahkan jamaah untuk meluruskan dan merapatkan shaf, serta memfokuskan niat. Ini adalah proklamasi bahwa pintu komunikasi dengan Allah akan segera dibuka.
- Laa ilaaha illallaah (Tiada Tuhan selain Allah): Kalimat tauhid ini menjadi penutup pamungkas. Setelah melalui serangkaian penegasan dan seruan, semuanya kembali kepada esensi paling dasar: pengesaan Allah. Ibadah shalat yang akan dilakukan adalah manifestasi tertinggi dari kalimat ini, di mana seorang hamba menafikan segala sesuatu selain Allah dan menetapkan hanya Dia sebagai satu-satunya tujuan.
Perbedaan Lafadz Qomat di Kalangan Mazhab Fikih
Meskipun lafadz di atas adalah yang paling populer, penting untuk diketahui bahwa terdapat sedikit perbedaan (khilafiyah) dalam jumlah pengucapan kalimat qomat di antara para ulama mazhab. Perbedaan ini lahir dari interpretasi terhadap dalil-dalil hadits yang berbeda, namun semuanya memiliki dasar yang kuat dan sah untuk diamalkan.
1. Menurut Mazhab Syafi'i dan Hanbali
Kedua mazhab ini berpegang pada hadits Abdullah bin Zaid, di mana kalimat-kalimat qomat diucapkan sekali, kecuali takbir di awal (dua kali) dan kalimat "Qad qaamatish shalaah" (dua kali). Ini adalah format yang telah disajikan di atas dan menjadi praktik yang paling banyak diikuti di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Dalil mereka adalah riwayat yang masyhur tentang mimpi Abdullah bin Zaid yang diajarkan lafadz adzan dan iqamah, kemudian disetujui oleh Rasulullah SAW. Dalam riwayat tersebut, disebutkan bahwa lafadz iqamah diucapkan dengan ganjil (satu kali), sementara adzan diucapkan dengan genap (dua kali).
2. Menurut Mazhab Hanafi
Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa lafadz qomat sama persis dengan lafadz adzan dalam hal jumlah pengulangannya. Artinya, setiap kalimat diucapkan dua kali, sama seperti adzan. Satu-satunya perbedaan adalah penambahan kalimat "Qad qaamatish shalaah" sebanyak dua kali setelah "Hayya 'alal falaah".
Jadi, menurut versi Hanafi, lafadznya menjadi: "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Asyhadu an laa ilaaha illallaah, Asyhadu an laa ilaaha illallaah..." dan seterusnya, hingga akhir.
Landasan mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Mahdzurah radhiyallahu ‘anhu, di mana Rasulullah SAW mengajarkannya adzan dengan 19 kalimat dan iqamah dengan 17 kalimat, yang menunjukkan adanya pengulangan pada lafadz iqamah.
3. Menurut Mazhab Maliki
Mazhab Maliki memiliki pandangan yang paling ringkas. Mereka berpendapat bahwa seluruh kalimat qomat diucapkan hanya satu kali, termasuk takbir di awal ("Allahu Akbar" sekali saja) dan kalimat "Qad qaamatish shalaah" (juga sekali saja). Ini menjadikan lafadz qomat menurut mereka sangat singkat dan padat.
Pendapat ini juga didasarkan pada riwayat-riwayat hadits, termasuk amalan penduduk Madinah pada masa itu, yang dianggap oleh Imam Malik sebagai sunnah yang kuat karena merupakan praktik yang diwariskan dari generasi sahabat. Mereka juga berargumen dari beberapa riwayat hadits Abdullah bin Zaid dan Abu Mahdzurah yang menunjukkan lafadz iqamah diucapkan secara tunggal.
Perbedaan-perbedaan ini adalah rahmat dalam Islam. Semuanya adalah bagian dari ijtihad para ulama yang mulia dan patut dihormati. Seorang muslim dapat mengikuti mazhab yang dianut di lingkungannya atau yang ia yakini dalilnya lebih kuat, tanpa perlu menyalahkan praktik yang berbeda.
Hukum dan Kedudukan Qomat dalam Shalat
Para ulama sepakat bahwa qomat adalah syariat yang agung dalam Islam. Namun, mereka sedikit berbeda pendapat mengenai status hukumnya secara spesifik.
Pendapat Mayoritas Ulama: Sunnah Mu'akkadah
Jumhur (mayoritas) ulama dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum qomat adalah Sunnah Mu'akkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Artinya, ia sangat dianjurkan untuk dilakukan, dan meninggalkannya secara sengaja tanpa uzur dianggap makruh (dibenci), meskipun shalatnya tetap sah.
Argumentasi mereka antara lain:
- Qomat selalu menyertai shalat fardhu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Beliau tidak pernah meninggalkannya, yang menunjukkan betapa pentingnya amalan ini.
- Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila shalat telah tiba (waktunya), maka hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan dan yang paling tua di antara kalian hendaklah menjadi imam." (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah ini dipahami sebagai anjuran yang sangat kuat, bukan kewajiban mutlak.
- Fungsi qomat sebagai pemberitahuan akan dimulainya shalat berjamaah merupakan sebuah maslahat (kebaikan) yang besar, namun esensi sahnya shalat tidak bergantung padanya.
Pendapat Sebagian Ulama: Fardhu Kifayah
Sebagian ulama, termasuk beberapa dari kalangan mazhab Hanbali dan mazhab Zhahiri, berpendapat bahwa hukum adzan dan qomat adalah Fardhu Kifayah. Artinya, ia adalah kewajiban kolektif bagi suatu komunitas muslim di suatu wilayah. Jika sudah ada satu orang yang melakukannya, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, jika tidak ada seorang pun yang mengumandangkan adzan dan qomat di wilayah tersebut, maka seluruh penduduknya berdosa.
Dalil mereka adalah penekanan yang sangat kuat dalam hadits-hadits yang memerintahkan adzan dan qomat. Mereka memandang perintah tersebut sebagai sebuah kewajiban, bukan sekadar anjuran. Qomat, sama seperti adzan, dianggap sebagai syiar Islam yang harus ditegakkan di setiap pemukiman muslim.
Untuk Siapa Qomat Disyariatkan?
Qomat secara khusus disyariatkan untuk shalat fardhu lima waktu, baik yang dilaksanakan tepat waktu (ada') maupun yang diqadha (diulang karena terlewat). Ini berlaku untuk:
- Shalat Berjamaah: Ini adalah kondisi utama disyariatkannya qomat. Satu orang (biasanya muadzin) mengumandangkan qomat untuk seluruh jamaah.
- Shalat Sendirian (Munfarid): Seseorang yang shalat fardhu sendirian juga sangat dianjurkan untuk mengumandangkan qomat untuk dirinya sendiri, meskipun dengan suara yang lebih pelan. Hal ini didasarkan pada keumuman hadits dan untuk mendapatkan keutamaan syiar shalat.
- Kaum Wanita: Jika wanita shalat berjamaah sesama wanita atau shalat sendirian, para ulama berbeda pendapat. Sebagian besar menganjurkan mereka untuk melakukan qomat dengan suara pelan yang hanya terdengar oleh mereka sendiri, namun tidak wajib.
Adapun untuk shalat-shalat sunnah, seperti shalat rawatib, dhuha, tahajud, tarawih, maupun shalat hari raya ('Idul Fitri dan 'Idul Adha), shalat gerhana (kusuf), dan shalat istisqa (minta hujan), tidak disyariatkan adzan maupun qomat. Sebagai gantinya, untuk shalat-shalat sunnah yang dilakukan berjamaah ini biasanya digunakan seruan seperti "Ash-Shalatu Jami'ah" (mari kita shalat berjamaah).
Adab dan Tata Cara Pelaksanaan Qomat
Pelaksanaan qomat memiliki beberapa adab yang perlu diperhatikan agar sesuai dengan tuntunan sunnah dan menambah kesempurnaan ibadah.
1. Waktu Pelaksanaan
Qomat dikumandangkan persis sebelum imam memulai shalat dengan takbiratul ihram. Harus ada jeda waktu yang cukup antara adzan dan qomat untuk memberi kesempatan kepada jamaah untuk melaksanakan shalat sunnah (seperti qabliyah) dan mempersiapkan diri. Namun, jeda ini tidak boleh terlalu lama sehingga menunda shalat fardhu dari awal waktunya tanpa alasan yang syar'i. Waktu dimulainya qomat biasanya atas isyarat atau izin dari imam.
2. Orang yang Mengumandangkan Qomat (Muqim)
Yang paling utama (afdhal) untuk mengumandangkan qomat adalah orang yang telah mengumandangkan adzan (muadzin). Hal ini didasarkan pada hadits, "Barangsiapa yang mengumandangkan adzan, maka dialah yang berhak mengumandangkan qomat." (Meskipun sanad hadits ini diperdebatkan, maknanya didukung oleh praktik umum para sahabat). Namun, jika orang lain yang melakukannya, hal tersebut tetap diperbolehkan dan sah.
3. Kecepatan Bacaan
Berbeda dengan adzan yang dianjurkan untuk dilantunkan dengan tartil (perlahan dan jelas), qomat dianjurkan untuk diucapkan dengan tempo yang lebih cepat (hadr). Hikmahnya adalah karena qomat merupakan pemberitahuan akan segera dimulainya sesuatu, sehingga sifatnya lebih mendesak. Kecepatan ini tidak boleh sampai merusak makhraj (artikulasi huruf) dan tajwidnya.
4. Kondisi Fisik dan Spiritual
Orang yang melakukan qomat disunnahkan untuk:
- Dalam Keadaan Suci: Memiliki wudhu. Makruh hukumnya melakukan qomat dalam keadaan hadats (tidak punya wudhu).
- Menghadap Kiblat: Sama seperti adzan, qomat dilakukan sambil berdiri dan menghadap kiblat.
- Tidak Berbicara: Sebaiknya tidak menyela bacaan qomat dengan pembicaraan lain yang tidak berhubungan dengan shalat.
5. Apa yang Dilakukan Jamaah Saat Mendengar Qomat?
Ketika qomat mulai dikumandangkan, ini adalah isyarat bagi seluruh jamaah untuk bangkit berdiri dan mulai merapikan shaf. Para ulama menganjurkan agar jamaah mulai berdiri ketika muqim (orang yang qomat) mengucapkan "Qad qaamatish shalaah". Pada saat itu, imam dan makmum meluruskan dan merapatkan barisan, mengisi celah-celah yang kosong, karena lurus dan rapatnya shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat berjamaah.
Disunnahkan pula bagi yang mendengar qomat untuk menjawab atau mengulangi bacaan qomat sebagaimana yang dilakukan saat mendengar adzan. Namun, ketika muqim mengucapkan "Qad qaamatish shalaah", yang mendengar dianjurkan menjawab dengan:
أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا
Aqaamahallahu wa adaamahaa
Semoga Allah menegakkannya dan mengekalkannya.
Meskipun hadits yang secara spesifik menyebutkan jawaban ini memiliki kelemahan dari sisi sanad, banyak ulama yang tetap membolehkan dan menganjurkannya sebagai sebuah doa kebaikan.
Hikmah dan Filosofi di Balik Syariat Qomat
Qomat bukan sekadar ritual tanpa makna. Di baliknya terkandung hikmah dan filosofi yang mendalam, yang berfungsi sebagai persiapan mental, spiritual, dan sosial bagi umat Islam.
1. Penegasan Ulang Misi Ibadah
Rangkaian kalimat qomat, mulai dari takbir hingga tahlil, adalah ringkasan dari seluruh akidah Islam. Mengucapkannya sesaat sebelum shalat berfungsi sebagai "reset" atau penegasan ulang niat. Kita diingatkan kembali bahwa kita akan menghadap Zat Yang Maha Besar, atas dasar kesaksian akan keesaan-Nya dan kerasulan Muhammad SAW. Ini membantu membersihkan pikiran dari urusan duniawi yang mungkin masih melekat.
2. Disiplin dan Keteraturan Sosial
Qomat adalah komando. Ketika dikumandangkan, semua aktivitas lain terhenti. Jamaah serentak berdiri, meluruskan barisan bahu-membahu, kaki-berkaki, tanpa memandang status sosial, kekayaan, atau jabatan. Semua sama di hadapan Allah. Ini adalah latihan disiplin kolektif yang luar biasa, mengajarkan keteraturan, kepatuhan pada pemimpin (imam), dan kesatuan umat. Shaf yang lurus dan rapat adalah cerminan fisik dari hati yang bersatu.
3. Transisi dari Alam Dunia ke Alam Munajat
Qomat berfungsi sebagai gerbang atau portal. Ia menandai akhir dari masa penantian dan awal dari "mi'raj"-nya orang beriman. Tempo bacaannya yang cepat seolah-olah mendorong kita untuk segera meninggalkan hiruk pikuk dunia dan memasuki dimensi spiritual yang khusyuk. Ia adalah penanda yang jelas: urusan dunia selesai, sekarang adalah waktu untuk Allah semata.
4. Motivasi dan Pengingat akan Kemenangan
Seruan "Hayya 'alal falaah" (marilah menuju kemenangan) dalam qomat memiliki efek psikologis yang kuat. Ia mengingatkan bahwa shalat bukanlah beban, melainkan jalan menuju keberhasilan sejati. Kemenangan atas hawa nafsu, kemenangan atas godaan setan, kemenangan dalam menghadapi problematika hidup, dan puncaknya adalah kemenangan meraih surga Allah. Pengingat ini memompa semangat dan membuat kita melaksanakan shalat dengan optimisme dan harapan.
Kesimpulan
Bacaan qomat adalah syiar Islam yang agung, sebuah seruan terakhir yang penuh makna sebelum seorang hamba menghadap Rabb-nya. Ia bukan sekadar penanda dimulainya shalat, melainkan sebuah prosesi singkat yang merangkum seluruh fondasi akidah, menanamkan disiplin, dan mempersiapkan jiwa untuk pengalaman spiritual termulia. Dari lafadznya yang sarat makna, perbedaan ijtihad para ulama yang menunjukkan kekayaan khazanah Islam, hingga adab pelaksanaannya yang mengajarkan keteraturan, qomat adalah bagian tak terpisahkan dari kesempurnaan shalat fardhu.
Dengan memahami dan meresapi setiap kalimatnya, kita tidak lagi mendengar qomat sebagai rutinitas belaka. Sebaliknya, kita akan mendengarnya sebagai panggilan agung yang menggetarkan hati, yang mengingatkan kita akan tujuan hidup, dan yang mempersiapkan kita untuk berdiri dengan penuh kekhusyukan di hadapan Allah, Zat Yang Maha Besar, demi meraih kemenangan yang hakiki.