Keutamaan Bacaan Menjawab Adzan

Panduan Lengkap Sesuai Sunnah Nabi

Simbol Minaret dan Gelombang Suara Sebuah ilustrasi sederhana minaret masjid dengan gelombang suara melingkari puncaknya, melambangkan panggilan adzan.

Alt Text: Ilustrasi menara masjid dengan gelombang suara Adzan.

I. Pendahuluan: Mengapa Penting Menjawab Adzan?

Adzan merupakan seruan agung yang menandai masuknya waktu shalat wajib bagi kaum Muslimin. Panggilan ini, yang dikumandangkan oleh seorang muadzin, bukan sekadar pemberitahuan waktu, melainkan sebuah undangan spiritual yang memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam. Setiap Muslim yang mendengar adzan disunnahkan, bahkan dalam beberapa pendapat ulama diwajibkan, untuk memberikan respons atau jawaban yang khusus.

Tindakan menjawab adzan ini disebut sebagai ijabah (respon) atau mutaba’ah (mengikuti). Keutamaan dan pahala yang dijanjikan bagi mereka yang menanggapi seruan ini sangat besar, termasuk janji mendapatkan syafaat Nabi Muhammad ﷺ dan pengampunan dosa. Oleh karena itu, memahami lafadz dan tata cara yang benar dalam menjawab adzan adalah bagian penting dari ibadah harian seorang Muslim.

Menjawab adzan adalah praktik sunnah yang ditekankan (Sunnah Muakkadah), yang menunjukkan penghormatan seorang hamba terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Respon ini memastikan bahwa hati dan pikiran kita selaras dengan seruan suci tersebut, menyiapkan diri menuju kekhusyukan dalam shalat yang akan didirikan. Proses ini melibatkan pengulangan hampir seluruh lafadz adzan yang diucapkan muadzin, dengan sedikit pengecualian pada dua kalimat spesifik.

Landasan Hukum dan Keutamaan

Dasar utama bagi praktik menjawab adzan bersumber dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muadzin. Kemudian bershalawatlah kepadaku, karena barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mintalah kepada Allah Al-Wasilah untukku, karena Al-Wasilah adalah suatu kedudukan di surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah. Aku berharap bahwa aku adalah hamba itu. Barangsiapa yang memintakan Al-Wasilah untukku, maka ia berhak mendapatkan syafaatku.”

Hadits ini secara jelas menetapkan dua tahapan penting setelah mendengar adzan: (1) Mengikuti lafadz adzan, dan (2) Membaca shalawat dan doa Al-Wasilah. Ini menunjukkan bahwa ibadah menjawab adzan terstruktur, dimulai dari respons verbal langsung hingga permohonan spiritual yang mendalam.

II. Bacaan Lafadz Demi Lafadz Menjawab Adzan

Secara umum, kaidah utama dalam menjawab adzan adalah mengulangi persis apa yang diucapkan oleh muadzin. Namun, terdapat dua pengecualian utama, yaitu pada lafadz yang mengandung seruan untuk shalat dan seruan untuk kemenangan.

A. Lafadz yang Diulangi Sama Persis (Mutaba’ah)

Lafadz-lafadz berikut ini dijawab dengan mengulanginya kembali, sebagai bentuk afirmasi dan pengakuan terhadap keesaan Allah dan kenabian Muhammad ﷺ.

1. Lafadz Takbir (Pembukaan dan Penutup)

Saat Muadzin Mengucapkan:

ٱللَّٰهُ أَكْبَرُ، ٱللَّٰهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar, Allahu Akbar)

Jawaban yang Diucapkan Pendengar:

ٱللَّٰهُ أَكْبَرُ، ٱللَّٰهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar, Allahu Akbar)

Lafadz ini diucapkan sebanyak empat kali pada permulaan adzan (dalam madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali) atau dua kali (dalam madzhab Syafi’i), dan dua kali pada bagian penutup adzan. Dengan mengulanginya, kita menegaskan bahwa Allah Maha Besar, melebihi segala urusan duniawi yang mungkin menghalangi kita dari shalat.

2. Lafadz Syahadat Tauhid

Saat Muadzin Mengucapkan:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ (Asyhadu an laa ilaaha illallah)

Jawaban yang Diucapkan Pendengar:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ (Asyhadu an laa ilaaha illallah)

Ini adalah pengakuan terhadap keesaan Allah, tiada Tuhan selain Dia. Pengulangan ini memperkuat ikrar tauhid dalam diri. Lafadz ini diucapkan dua kali oleh muadzin dan diikuti dua kali oleh pendengar.

3. Lafadz Syahadat Rasul

Saat Muadzin Mengucapkan:

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ ٱللَّٰهِ (Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah)

Jawaban yang Diucapkan Pendengar:

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ ٱللَّٰهِ (Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah)

Ini adalah pengakuan terhadap kenabian Muhammad ﷺ. Mengulanginya adalah bentuk ketaatan dan keyakinan akan risalah beliau. Lafadz ini juga diucapkan dua kali oleh muadzin dan diikuti dua kali oleh pendengar.

Khusus pada saat menjawab dua kalimat syahadat, disunnahkan bagi pendengar untuk menambahkan bacaan di dalamnya, sebagai bentuk memohon ampunan.

Setelah menjawab syahadat Rasul, sebagian ulama menganjurkan (khususnya madzhab Syafi’i) untuk menambahkan:

رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا (Radhiitu billahi Rabbaa, wabil Islaami diinaa, wa bi Muhammadin Nabiyyaa)

Artinya: "Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabiku." Menurut riwayat Imam Muslim, orang yang mengucapkan ini diampuni dosanya.

B. Lafadz Pengecualian (Seruan Ha’lalah)

Lafadz ini merupakan seruan langsung kepada umat untuk datang melaksanakan shalat dan meraih kemenangan. Sebagai bentuk pengakuan atas kelemahan diri dan hanya mengandalkan daya serta kekuatan Allah, kita tidak mengulangi seruan tersebut, melainkan mengucapkan dzikir spesifik.

1. Seruan untuk Shalat

Saat Muadzin Mengucapkan:

حَيَّ عَلَى ٱلصَّلَاةِ (Hayya ‘alas-Sholah)

Jawaban yang Diucapkan Pendengar:

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّٰهِ (Laa hawla wa laa quwwata illa billah)

Artinya: "Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah." Dengan mengucapkan ini, kita mengakui bahwa kemampuan untuk melaksanakan shalat (berpindah dari aktivitas dunia ke ibadah) semata-mata berasal dari kekuatan yang diberikan oleh Allah SWT. Ini adalah bentuk penyerahan diri total.

2. Seruan untuk Kemenangan

Saat Muadzin Mengucapkan:

حَيَّ عَلَى ٱلْفَلَاحِ (Hayya ‘alal-Falah)

Jawaban yang Diucapkan Pendengar:

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّٰهِ (Laa hawla wa laa quwwata illa billah)

Pengucapan ini menegaskan kembali bahwa keberhasilan dan kemenangan (falah) sejati, baik di dunia maupun akhirat, tidak dapat dicapai tanpa izin dan bantuan dari Allah. Ini dibaca dua kali, mengikuti dua kali seruan muadzin.

C. Pengecualian Tambahan (Adzan Subuh)

Khusus pada adzan shalat Subuh, muadzin menambahkan lafadz khusus setelah seruan *Hayya ‘alal-Falah*.

Saat Muadzin Mengucapkan (Adzan Subuh):

ٱلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ ٱلنَّوْمِ (Ash-sholatu khairum minan-naum)

Artinya: "Shalat itu lebih baik daripada tidur."

Jawaban yang Diucapkan Pendengar:

Dalam hal ini, pendengar kembali disunnahkan untuk mengulangi lafadz yang sama persis sebagai bentuk pembenaran dan pengakuan.

ٱلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ ٱلنَّوْمِ (Ash-sholatu khairum minan-naum)

Terkait adzan Subuh ini, beberapa ulama lain juga membolehkan jawaban dengan tambahan: "Engkau telah benar dan berbuat baik." Namun, yang paling sahih dan paling umum diajarkan adalah mengulanginya persis seperti yang diucapkan muadzin, sebagaimana kaidah umum dalam menjawab seluruh lafadz adzan kecuali Ha'lalah.

III. Doa Setelah Adzan (Duaa'ul Wasilah)

Setelah muadzin selesai mengumandangkan adzan secara keseluruhan, dan setelah pendengar juga selesai merespons seluruh lafadz adzan tersebut, maka disunnahkan untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan kemudian dilanjutkan dengan membaca doa khusus yang dikenal sebagai doa Al-Wasilah. Ini adalah puncak spiritual dari proses menjawab adzan, yang mana janji syafaat Nabi ﷺ bergantung pada pelaksanaan doa ini.

Tahap 1: Shalawat Nabi

Sesuai hadits, sebelum membaca doa Al-Wasilah, kita diperintahkan untuk bershalawat. Shalawat yang dibaca adalah shalawat Ibrahimiyah, atau shalawat ringkas lainnya, seperti:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ (Allahumma shalli ‘alaa Muhammad)

Tahap 2: Membaca Doa Al-Wasilah

Doa ini adalah doa yang paling masyhur dan paling utama dibaca setelah adzan. Lafadznya adalah:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ (Allaahumma Rabba haadzihid da’watit taammah, was sholaatil qoo-imah, aati Muhammadanil wasiilata wal fadhiilah, wab’atshu maqaamam mahmuudal ladzii wa’adtah)

Terjemahannya:

"Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini, dan shalat yang akan didirikan (shalat yang tegak). Berikanlah kepada Muhammad Al-Wasilah (kedudukan yang tinggi) dan Al-Fadhilah (keutamaan). Dan bangkitkanlah beliau pada kedudukan yang terpuji (Maqam Mahmud) yang telah Engkau janjikan kepada beliau."

Analisis Mendalam Doa Al-Wasilah

Doa ini terdiri dari beberapa fragmen yang sangat kaya makna, yang jika dipahami mendalam akan menambah kekhusyukan saat membacanya, serta memperkuat keyakinan akan syafaat Nabi ﷺ.

1. Pengakuan Kepada Pemilik Panggilan Sempurna

(Allaahumma Rabba haadzihid da’watit taammah)

Kita memulai dengan memanggil Allah sebagai Rabb (Pemilik dan Pengatur) dari "panggilan yang sempurna" (Ad-Da'watit Tammah). Adzan disebut panggilan yang sempurna karena ia mencakup pengakuan tauhid, kenabian, dan seruan kepada amal shalih (shalat dan falah). Ia sempurna karena tidak memiliki kekurangan dan sesuai dengan fitrah manusia.

2. Pengakuan Terhadap Shalat yang Akan Didirikan

(was sholaatil qoo-imah)

Frasa ini merujuk kepada shalat yang segera akan dilaksanakan setelah adzan. Kata *Qaa'imah* (yang didirikan/tegak) menegaskan bahwa panggilan adzan memiliki tujuan praktis, yaitu mendirikan shalat yang merupakan tiang agama. Ini menghubungkan panggilan lisan (adzan) dengan pelaksanaan fisik (shalat).

3. Permintaan Kedudukan Al-Wasilah

(aati Muhammadanil wasiilata)

Al-Wasilah, seperti dijelaskan dalam hadits, bukanlah sekadar perantara, melainkan sebuah kedudukan yang sangat tinggi di surga, yang hanya diberikan kepada satu orang hamba Allah. Dengan memohonkan kedudukan ini bagi Nabi Muhammad ﷺ, kita berharap menjadi bagian dari umat yang dicintai beliau dan berhak mendapatkan syafaatnya. Ini adalah bentuk tertinggi dari kecintaan umat kepada nabinya.

4. Permintaan Keutamaan Al-Fadhilah

(wal fadhiilah)

Al-Fadhilah berarti keutamaan atau kelebihan di atas makhluk lainnya. Selain memohonkan kedudukan spesifik (Wasilah), kita juga memohonkan keutamaan secara umum bagi beliau, mengakui bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah makhluk yang paling mulia dan paling unggul di sisi Allah.

5. Permintaan Maqam Mahmud

(wabas’thu maqaamam mahmuudal ladzii wa’adtah)

Maqam Mahmud (Kedudukan yang Terpuji) adalah kedudukan yang akan diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ pada hari kiamat, yang memungkinkan beliau untuk memberikan syafaat al-Uzma (syafaat terbesar) bagi seluruh umat manusia agar segera diputuskan perkaranya dari padang mahsyar. Semua umat manusia, termasuk nabi-nabi sebelumnya, akan memuji beliau atas kedudukan ini. Permintaan ini adalah titik fokus spiritual dari seluruh doa setelah adzan.

IV. Hukum dan Fiqh Menjawab Adzan

Apakah menjawab adzan itu wajib atau sunnah? Para ulama dari empat madzhab besar memiliki pandangan yang berbeda mengenai status hukum *ijabah* ini, meskipun mereka sepakat mengenai keutamaannya.

Madzhab Hanafi

Ulama Hanafi berpendapat bahwa menjawab adzan adalah Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Meninggalkannya tanpa alasan yang sah (uzur syar’i) dianggap makruh (dibenci), namun tidak sampai berdosa. Mereka menganggap bahwa perintah dalam hadits ("ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muadzin") adalah perintah sunnah yang membawa keutamaan besar, bukan kewajiban mutlak.

Madzhab Maliki

Madzhab Maliki juga cenderung menyatakan bahwa menjawab adzan adalah Sunnah Muakkadah. Mereka menekankan bahwa respon harus segera dilakukan setelah muadzin mengucapkan lafadz, tanpa diselingi dengan pembicaraan atau aktivitas duniawi lainnya. Keterlambatan atau pengabaian tanpa alasan yang jelas menghilangkan pahala besar yang menyertainya.

Madzhab Syafi'i

Bagi Madzhab Syafi'i, hukum menjawab adzan adalah Sunnah Mustahabbah (dianjurkan) bagi setiap orang yang tidak sedang berada dalam shalat atau kondisi uzur. Namun, mereka memberikan penekanan yang sangat kuat pada keutamaan spiritualnya. Bagi mereka, meskipun tidak wajib, kerugian meninggalkan sunnah ini sangat besar, terutama karena kaitannya dengan syafaat Nabi ﷺ.

Madzhab Hanbali

Beberapa ulama Hanbali memiliki pandangan yang lebih tegas, cenderung kepada Wajib Kifayah atau bahkan Wajib 'Ain dalam kondisi tertentu. Pendapat yang lebih masyhur di kalangan Hanbali adalah bahwa ini adalah Sunnah Muakkadah yang mendekati kewajiban. Mereka menggunakan hadits "Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah..." sebagai landasan perintah yang mengikat, kecuali ada dalil yang mengalihkan perintah tersebut dari wajib menjadi sunnah.

Kesimpulan Hukum

Meskipun terjadi perbedaan dalam penetapan hukum fiqh (Wajib vs Sunnah Muakkadah), seluruh ulama sepakat bahwa keutamaan dan pahala yang diperoleh dari menjawab adzan adalah sangat besar. Dengan demikian, seorang Muslim yang berhati-hati dalam menjalankan agama seyogianya menjaganya sebagai amalan rutin yang tak boleh dilewatkan.

V. Kondisi Khusus dan Uzur Syar'i

Apakah ada kondisi di mana seseorang tidak perlu atau tidak boleh menjawab adzan? Ya, syariat memberikan keringanan (uzur) bagi beberapa kondisi tertentu.

1. Saat Sedang Shalat

Jika seseorang sedang melaksanakan shalat, baik shalat wajib maupun sunnah, dia tidak boleh menjawab adzan secara lisan (mengucapkan kembali lafadznya) karena hal itu akan membatalkan shalatnya. Shalat didahulukan di atas menjawab adzan. Jika shalat selesai sebelum adzan selesai, maka disunnahkan segera menyusul (ijabah) sisa lafadz adzan yang masih terdengar, dan kemudian membaca doa Al-Wasilah.

2. Saat Sedang Buang Hajat

Seseorang yang sedang buang air besar atau kecil (di kamar mandi) tidak boleh menjawab adzan secara lisan, karena dzikir dalam keadaan tersebut hukumnya makruh atau haram (tergantung kondisi). Dia harus menunggu hingga selesai bersuci, dan setelah itu baru membaca doa setelah adzan, jika waktu masih memungkinkan.

3. Saat Sedang Membaca Al-Qur'an

Jika adzan berkumandang saat seseorang sedang membaca Al-Qur'an, ulama Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa disunnahkan untuk menghentikan sementara bacaan Qur'an tersebut, kemudian menjawab adzan hingga selesai, baru kemudian melanjutkan bacaan Qur'annya. Alasannya, menjawab adzan memiliki waktu yang terbatas dan fadhilah yang sangat spesifik yang tidak bisa diundur.

4. Saat Sedang Berbicara atau Belajar

Jika adzan berkumandang saat seseorang sedang berbicara, mendengarkan ceramah, atau memberikan pelajaran, disunnahkan untuk menghentikan pembicaraan dan memberikan respon kepada muadzin. Ini menunjukkan prioritas panggilan Allah di atas urusan dunia atau bahkan ilmu (selain yang wajib diselesaikan saat itu juga).

VI. Tafsir dan Hikmah Lafadz "Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah"

Pengecualian dalam menjawab seruan *Hayya ‘alas-Sholah* dan *Hayya ‘alal-Falah* dengan dzikir *Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah* (LHQLB) adalah inti dari penghambaan saat adzan. Dzikir ini bukan hanya sekadar pengganti verbal, tetapi merupakan pengakuan teologis yang mendalam.

Makna Linguistik dan Teologis

Secara bahasa, *Hawl* (حَوْلَ) berarti daya atau kemampuan untuk berpindah, bertransformasi, atau bermanuver. *Quwwah* (قُوَّةَ) berarti kekuatan atau energi. Frasa ini secara keseluruhan berarti: "Tidak ada kemampuan (untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain, misalnya dari maksiat ke taat, atau dari dunia ke shalat) dan tidak ada kekuatan (untuk melaksanakan perintah) kecuali dengan pertolongan Allah."

Saat muadzin menyeru, "Mari shalat! Mari menuju kemenangan!", kita menjawab dengan pengakuan bahwa kita secara fitrah lemah dan tidak berdaya. Tanpa bantuan dan taufik dari Allah, tubuh kita tidak akan mampu bergerak menuju masjid atau hati kita tidak akan mampu khusyuk dalam shalat.

Penggantian ini mengajarkan bahwa:

  1. Penghapusan Keegoan: Manusia cenderung menganggap diri mampu melakukan ibadah karena kekuatannya sendiri. LHQLB mengingatkan bahwa setiap kebaikan adalah murni karunia ilahi.
  2. Permintaan Bantuan: Dzikir ini adalah doa permohonan agar Allah memberikan kemampuan spiritual dan fisik untuk menanggapi seruan tersebut.
  3. Penyembuhan Spiritual: Kalimat ini adalah obat mujarab bagi penyakit hati, seperti kesombongan dan ketergantungan pada sebab-sebab duniawi semata.

LHQLB disebut juga sebagai Kanzun min Kunuzil Jannah (harta simpanan dari perbendaharaan surga). Pengucapannya pada saat adzan adalah momen emas yang mengaitkan panggilan dunia menuju ibadah dengan janji ganjaran akhirat.

VII. Keutamaan dan Ganjaran Menjawab Adzan Secara Rutin

Para ulama salafush shalih sangat menjaga amalan menjawab adzan karena besarnya janji pahala yang menyertainya. Keutamaan-keutamaan ini mencakup aspek spiritual, sosial, dan ganjaran di Hari Akhir.

1. Mendapatkan Syafaat Nabi Muhammad ﷺ

Ini adalah keutamaan tertinggi. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari, siapa pun yang membaca doa Al-Wasilah setelah menjawab adzan, maka ia berhak mendapatkan syafaat dari Rasulullah ﷺ di hari kiamat. Syafaat ini sangat krusial, terutama saat umat manusia sangat membutuhkan pertolongan.

2. Dosa Diampuni

Bagi mereka yang menjawab adzan dengan penuh keyakinan (khususnya saat mengucapkan kalimat syahadat dan menambahkan *Radhiitu billahi Rabbaa...*), maka janji pengampunan dosa telah ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa adzan bukan hanya panggilan shalat, tetapi juga kesempatan untuk bertaubat dan menyucikan diri sebelum berdiri di hadapan Allah.

3. Masuk Surga

Diriwayatkan dalam sebuah hadits Tirmidzi, bahwa siapa pun yang mendengar adzan dan mengucapkan lafadz seperti muadzin, dan di akhir syahadat ia mengucapkan ikrar keridhaan, maka ia dijamin masuk surga. Janji ini adalah motivasi terbesar bagi setiap Muslim untuk menjaga amalan ini.

4. Mendapatkan Pahala Setara Shalat Berjamaah

Meskipun bukan pengganti shalat, ijarah (pahala) dari menjawab adzan yang benar mendekatkan hamba pada pahala yang sangat besar, seolah-olah dia telah langsung bergegas menuju shalat. Respon spiritual yang cepat dianggap sebagai langkah awal ketaatan.

VIII. Analisis Lanjutan Mengenai Mutaba’ah (Mengikuti)

Bagaimana seharusnya kecepatan dan nada dalam menjawab adzan? Pertanyaan ini sering muncul dalam diskusi fiqih terkait *mutaba'ah* yang sempurna.

Aspek Waktu (Timing)

Menjawab adzan harus dilakukan segera setelah muadzin menyelesaikan satu segmen lafadz. Idealnya, ada jeda waktu yang sangat singkat bagi pendengar untuk mengucapkan jawabannya sebelum muadzin melanjutkan ke lafadz berikutnya. Jika muadzin mengucapkan lafadz secara cepat, pendengar tetap berusaha menyempurnakan jawaban spiritualnya, meskipun harus sedikit tumpang tindih dengan lafadz muadzin berikutnya.

Aspek Suara

Menjawab adzan disunnahkan dengan suara yang lirih (pelan), cukup didengar oleh diri sendiri. Hal ini berbeda dengan muadzin yang wajib mengeraskan suaranya. Tujuan dari *ijabah* adalah dzikir pribadi dan komunikasi internal dengan Allah, bukan pengumuman publik. Jika terlalu banyak orang menjawab dengan keras di suatu tempat, hal itu justru bisa mengganggu kekhusyukan pendengar lain.

Perbedaan Adzan dan Iqamah

Penting untuk dicatat bahwa tata cara menjawab adzan berbeda dengan tata cara menjawab iqamah (komat).

Saat iqamah dikumandangkan, lafadz *Qad Qamatis Sholah* (Sungguh telah didirikan shalat) muncul. Jawaban yang disunnahkan untuk lafadz ini adalah:

أَقَامَهَا ٱللَّٰهُ وَأَدَامَهَا (Aqaamahallahu wa adaa mahaa)

Artinya: "Semoga Allah mendirikannya dan mengekalkannya."

Selain lafadz khusus tersebut, ulama umumnya menyimpulkan bahwa lafadz iqamah lainnya (seperti Takbir dan Syahadat) dijawab sama persis seperti iqamah, atau cukup diam dan segera bersiap untuk shalat, karena tujuan iqamah adalah memulai shalat, bukan sekadar seruan.

IX. Pendalaman Kontemplatif: Adzan Sebagai Peringatan

Setiap adzan yang berkumandang lima kali sehari berfungsi sebagai mekanisme pengingat (dzikrullah) yang konstan bagi seorang Muslim, menariknya kembali dari hiruk pikuk dunia menuju poros kehidupan sejati: ibadah.

Adzan dan Pembaharuan Niat

Proses menjawab adzan adalah proses pembaharuan niat. Ketika kita mengulang, *Allahu Akbar*, kita menegaskan kembali bahwa segala kekayaan, kesibukan, atau masalah yang kita hadapi adalah kecil di hadapan kebesaran-Nya. Respon ini melatih hati untuk melepaskan ketergantungan pada hal-hal fana.

Adzan dan Jihad Kecil

Seruan *Hayya ‘alas-Sholah* adalah seruan untuk meninggalkan kenyamanan (tidur, istirahat, makan, bekerja) menuju kesulitan shalat. Jawaban *Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah* adalah senjata spiritual yang kita gunakan untuk melawan godaan syaitan dan hawa nafsu yang mengajak kita untuk menunda atau mengabaikan panggilan tersebut. Ini adalah jihad kecil harian melawan kemalasan.

Adzan sebagai Jembatan menuju Syafaat

Fokus utama pada doa Al-Wasilah adalah pengakuan bahwa kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ adalah kunci keselamatan umat. Dengan aktif memohonkan Wasilah dan Maqam Mahmud bagi beliau, seorang Muslim secara sadar menempatkan dirinya di bawah naungan syafaat Rasulullah ﷺ. Ini adalah ibadah yang unik, di mana kita mendoakan kemuliaan Nabi, dan imbalannya adalah janji pertolongan beliau di hari yang paling sulit.

X. Panduan Praktis Merutinkan Amalan Menjawab Adzan

Untuk memastikan amalan menjawab adzan menjadi kebiasaan yang kokoh, diperlukan beberapa langkah praktis:

  1. Mengingat Makna: Jangan hanya mengucapkan lafadz tanpa hati. Setiap lafadz (terutama LHQLB dan doa Al-Wasilah) harus diucapkan sambil merenungkan artinya.
  2. Disiplin Waktu: Berlatih menjawab sesegera mungkin setelah muadzin selesai mengucapkan segmennya. Jangan menunda, karena jeda yang terlalu lama mengurangi fadhilahnya.
  3. Mengajarkan Keluarga: Edukasi anggota keluarga, terutama anak-anak, tentang pentingnya berhenti sejenak dari aktivitas saat adzan berkumandang dan mengajarkan mereka lafadz jawaban yang benar.
  4. Tidak Mengganti dengan Dzikir Lain: Selama adzan berlangsung, fokus utama haruslah menjawab lafadz adzan dan segera membaca doa Al-Wasilah setelahnya. Menunda atau mengganti momen ini dengan dzikir lain tidak dianjurkan.

Menjaga adab terhadap adzan, yaitu dengan berhenti dan mendengarkannya, adalah tanda penghormatan terhadap syiar Islam. Bahkan jika seseorang tidak dapat melaksanakan shalat pada waktunya karena uzur, ia tetap disunnahkan untuk menjawab adzan sebagai bentuk ketaatan verbal.

Penegasan Ulang Mengenai LHQLB

Untuk memperkuat praktik ini, mari kita ulangi fokus pada seruan yang paling sering menjadi pengecualian dalam menjawab adzan, yaitu: *Hayya 'alas-Sholah* dan *Hayya 'alal-Falah*. Pengucapan dzikir *Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah* pada saat ini adalah kunci emas.

Pengucapan ini menegaskan:
"Ya Allah, aku mengakui bahwa seruan shalat ini adalah hak-Mu. Aku tahu bahwa falah (kemenangan) adalah tujuan, tetapi aku tidak memiliki kekuatan untuk mencapainya kecuali Engkau yang memberiku Taufik. Aku berlindung dari kemalasanku kepada Kekuatan-Mu."

Ketahuilah, bahwa setiap kali Anda menjawab adzan dengan kesadaran penuh, Anda sedang membangun jembatan spiritual menuju keridhaan Allah dan syafaat Rasulullah ﷺ. Ini adalah investasi akhirat yang terjamin pahalanya, yang hanya membutuhkan beberapa menit dari waktu harian Anda.

XI. Studi Kasus Fiqh Lanjutan

Terdapat beberapa situasi yang seringkali menjadi pertanyaan dalam fiqh terkait menjawab adzan:

1. Mendengar Beberapa Adzan Sekaligus

Di kota-kota besar, seringkali terdengar beberapa adzan dari masjid yang berbeda secara bersamaan atau berurutan. Dalam kondisi ini, ulama menganjurkan untuk menjawab adzan yang pertama kali didengar secara penuh. Jika masih ada waktu setelah adzan pertama selesai, disunnahkan pula menjawab adzan-adzan berikutnya (atau paling tidak, membaca doa Al-Wasilah setelahnya). Jika adzan berlangsung hampir serempak, cukup pilih salah satu yang paling jelas didengar untuk dijawab secara keseluruhan.

2. Menjawab Adzan di Perjalanan

Apabila seseorang sedang dalam perjalanan (musafir) dan mendengar adzan di suatu tempat, ia tetap disunnahkan untuk menjawab adzan tersebut, asalkan hal itu tidak membahayakan atau menunda perjalanan secara signifikan. Bahkan, menjawab adzan di perjalanan dapat menjadi dzikir yang memberkahi perjalanan tersebut.

3. Wanita Haid dan Nifas

Wanita yang sedang mengalami haid atau nifas tetap disunnahkan untuk menjawab adzan, termasuk membaca shalawat dan doa Al-Wasilah, karena amalan ini termasuk dzikir dan doa, bukan shalat atau membaca Al-Qur'an (yang haram disentuh saat berhadas besar). Tidak ada uzur syar’i yang melarang wanita dalam kondisi ini untuk berdzikir dan berdoa.

4. Adzan yang Tidak Sah (Keliru)

Jika adzan dikumandangkan oleh muadzin yang diketahui tidak sah (misalnya, berteriak tanpa niat ibadah, atau menggunakan lafadz yang salah total), maka tidak ada kewajiban atau sunnah untuk menjawabnya. Namun, jika adzannya benar namun muadzinnya fasik (berbuat dosa besar), ulama tetap menganjurkan untuk menjawabnya, karena yang dihormati adalah lafadz syiar Islam, bukan pribadi muadzin semata.

XII. Rincian Tambahan dan Pengulangan Penguatan

Sebagai penutup dari panduan ini, mari kita tegaskan kembali urutan sempurna menjawab adzan, mengulang lafadz inti agar tertanam kuat dalam ingatan, mengingat ini adalah praktik harian yang amat ditekankan.

Urutan Tepat Menjawab Adzan (Fokus pada Mutaba’ah):

  1. Awal (Allahu Akbar): Jawab dengan *Allahu Akbar*. (Dua atau Empat kali)
  2. Syahadat Tauhid (Asyhadu an laa ilaaha illallah): Jawab dengan *Asyhadu an laa ilaaha illallah*.
  3. Syahadat Rasul (Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah): Jawab dengan *Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah*.
  4. *Hayya ‘alas-Sholah:* Jawab dengan *Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah*.
  5. *Hayya ‘alal-Falah:* Jawab dengan *Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah*.
  6. Adzan Subuh Khusus (*Ash-sholatu Khairum minan Naum*): Jawab dengan mengulangi lafadz yang sama.
  7. Penutup (Allahu Akbar): Jawab dengan *Allahu Akbar*.
  8. Terakhir (Laa ilaaha illallah): Jawab dengan *Laa ilaaha illallah*.

Setelah seluruh lafadz adzan dijawab, disusul dengan membaca Shalawat Nabi, dan diakhiri dengan Doa Al-Wasilah:

Doa Al-Wasilah (Wajib diingat dan diamalkan):

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ

Menjaga amalan menjawab adzan adalah cerminan dari keseriusan kita dalam menyambut perintah ilahi. Ia adalah bekal ringan dengan pahala yang berat, yang menjamin kedekatan kita dengan Rasulullah ﷺ di hari perhitungan. Oleh karena itu, jadikanlah respons terhadap adzan bukan hanya sebagai rutinitas, tetapi sebagai momen refleksi dan pengakuan akan keesaan Allah dan kelemahan diri.

Mari kita tingkatkan perhatian terhadap setiap kumandang adzan, agar kita termasuk dalam golongan yang berhak mendapatkan syafaat Agung Nabi Muhammad ﷺ. Pemahaman mendalam tentang setiap lafadz, dari takbir pembuka hingga permohonan Maqam Mahmud di penutup, akan meningkatkan kualitas penghambaan kita sehari-hari.

Sesungguhnya, adzan adalah panggilan menuju kejayaan, dan respons kita adalah tiket menuju janji kemenangan abadi.

***

XIII. Telaah Historis dan Linguistik Adzan

Adzan, sebagai ritual seruan, memiliki sejarah yang kaya, dimulai sejak masa awal Islam di Madinah. Sebelum ditetapkan lafadz adzan yang kita kenal sekarang, Rasulullah ﷺ dan para sahabat sempat bingung mencari cara terbaik untuk mengumpulkan umat Islam untuk shalat. Mereka sempat mempertimbangkan menggunakan lonceng (seperti Nasrani) atau terompet (seperti Yahudi). Namun, mimpi yang dialami oleh Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khattab menjadi landasan penetapan lafadz adzan saat ini. Struktur lafadz adzan sendiri merupakan ringkasan teologi Islam, mencakup Tauhid (Allahu Akbar, Laa Ilaha Illallah), Risalah (Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah), dan Seruan Amalan (Hayya ‘alas-Sholah, Hayya ‘alal-Falah).

Setiap lafadz dalam adzan memiliki bobot spiritual dan linguistik yang luar biasa. Kata "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar) berfungsi sebagai pembuka yang langsung memotong urusan dunia. Pengulangan frasa ini empat kali (menurut mayoritas madzhab, atau dua kali menurut sebagian lain) pada awal adzan menegaskan kebesaran Allah dari berbagai dimensi, memastikan bahwa shalat yang akan didirikan adalah prioritas mutlak.

Kemudian, pengucapan dua kalimat syahadat adalah pengukuhan identitas. Ketika muadzin bersaksi, pendengar yang menjawab juga turut bersaksi. Proses ini adalah pengulangan sumpah keimanan lima kali sehari. Ini melatih konsistensi keimanan dan menjamin bahwa syahadat tidak hanya diucapkan saat awal masuk Islam, tetapi dihidupkan kembali secara rutin.

Kaitannya dengan Al-Falah

Frasa "Hayya ‘alal-Falah" (Mari menuju kemenangan) mengandung janji yang sangat besar. Kemenangan (Al-Falah) dalam konteks Islam tidak hanya diartikan sebagai sukses di dunia, tetapi lebih kepada sukses di akhirat. Shalat adalah satu-satunya jalan menuju kemenangan sejati. Ketika kita menjawab dengan *Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah*, kita mengakui bahwa mencapai kemenangan tersebut adalah proyek ilahi, bukan usaha manusia semata. Kita memohon kekuatan untuk mencapai *falah* melalui shalat.

Pengulangan dzikir LHQLB pada dua seruan ha’lalah menunjukkan betapa sentralnya pengakuan atas kelemahan diri. Dzikir ini adalah fondasi Tawakkal (penyerahan diri). Dalam kondisi apapun, baik ketika kita merasa kuat atau lemah, kita selalu kembali kepada pengakuan bahwa daya dan upaya adalah milik Allah. Tanpa dzikir ini, seseorang mungkin salah sangka bahwa kekuatan untuk shalat berasal dari kehendaknya sendiri, padahal itu adalah taufik.

Perbedaan Hukum Respon (Ijabah) Berdasarkan Situasi

Mari kita perdalam lagi mengenai uzur syar'i. Dalam mazhab Syafi’i, ulama membagi uzur yang membolehkan seseorang tidak menjawab adzan menjadi dua kategori:

  1. Uzur yang Menggugurkan Sunnah Ijabah dan Memakruhkan: Contohnya adalah saat buang hajat, sedang makan, atau saat jimak (berhubungan suami istri). Dalam kondisi ini, menjawab adzan adalah makruh atau bahkan terlarang (seperti buang hajat).
  2. Uzur yang Menggugurkan Sunnah Ijabah tapi Tidak Memakruhkan: Contohnya adalah saat sedang khutbah Jumat, saat sedang mengajar ilmu syar'i yang penting, atau saat sedang sakit parah yang tidak memungkinkan lisan bergerak.

Seseorang yang sedang berada di tengah kerumunan yang bising dan tidak dapat mendengar adzan dengan jelas juga termasuk memiliki uzur. Namun, jika ia mampu mendengarnya, meskipun samar, disunnahkan baginya untuk tetap menjawab dengan suara lirih, mengikuti lafadz yang dapat ia tangkap. Prinsipnya adalah, selama tidak ada penghalang syar’i, keutamaan menjawab adzan harus dikejar.

XII. Penguatan Terhadap Doa Syahadat (Tambahan Ridha)

Penting untuk mengulang dan menekankan kembali keutamaan menambahkan kalimat ridha setelah syahadat. Setelah muadzin selesai mengucapkan:

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ ٱللَّٰهِ

Pendengar menjawab dengan lafadz yang sama, dan kemudian segera menambahkan doa ridha:

رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا

Riwayat hadits dari Sa'd bin Abi Waqqash RA, yang terdapat dalam Sahih Muslim, secara eksplisit menyatakan janji pengampunan dosa bagi yang mengucapkan doa ridha ini di saat menjawab adzan. Ini menunjukkan bahwa adzan adalah momen istijabah (dikabulkannya doa) yang luar biasa, di mana ikrar keimanan secara verbal dipadukan dengan permohonan spiritual, menjamin pengampunan dari Dzat Yang Maha Pengampun.

XIII. Memahami Konteks "At-Taammah"

Dalam doa Al-Wasilah, kita memohon kepada Allah sebagai Tuhan dari *Ad-Da’watit Taammah*. Kata *Taammah* (sempurna) seringkali dihubungkan dengan sifat syariah Islam yang sempurna, atau adzan itu sendiri yang sempurna karena tidak memiliki cela atau kekurangan dalam isinya.

Ulama tafsir menjelaskan bahwa adzan disebut "panggilan yang sempurna" karena:

Dengan mengakui adzan sebagai "panggilan yang sempurna," kita memohon kepada Dzat yang menetapkan kesempurnaan tersebut, sehingga doa kita pun diharapkan menjadi sempurna dan diterima.

Pengulangan dan pendalaman ini bertujuan untuk memastikan setiap Muslim tidak sekadar menghafal lafadz, tetapi memahami bahwa setiap kata dalam respons terhadap adzan adalah sebuah ibadah mandiri yang memiliki nilai yang sangat besar di sisi Allah SWT. Menjaga amalan ini lima kali sehari adalah indikator kesungguhan iman dan keinginan kuat untuk meraih kedekatan dengan Rasulullah ﷺ di hari akhir.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita taufik dan kekuatan untuk istiqamah dalam menjawab seruan agung ini.

🏠 Kembali ke Homepage