Membedah Makna dan Bacaan I'tidal dalam Sholat

Kaligrafi Arab untuk bacaan I'tidal 'Sami'allahu liman hamidah' سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Sholat adalah tiang agama, sebuah dialog suci antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Setiap gerakan dan ucapan di dalamnya bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan rangkaian simbol yang sarat akan makna dan hikmah. Salah satu bagian penting dari sholat yang seringkali kurang mendapatkan perhatian mendalam adalah I'tidal. Gerakan bangkit dari rukuk dan berdiri tegak lurus ini merupakan sebuah rukun sholat yang tanpanya, ibadah tersebut menjadi tidak sah. Namun, apa sebenarnya bacaan I'tidal? Mengapa gerakan ini begitu fundamental? Artikel ini akan mengupas tuntas segala hal yang berkaitan dengan I'tidal, mulai dari definisi, ragam bacaannya yang sesuai sunnah, hingga perenungan makna filosofis di baliknya.

Memahami Hakikat I'tidal: Lebih dari Sekadar Berdiri

Sebelum menyelami bacaan-bacaannya, penting bagi kita untuk memahami esensi dari I'tidal itu sendiri. Memahaminya akan membuka pintu menuju kekhusyukan yang lebih dalam saat melaksanakannya.

Definisi I'tidal Secara Bahasa dan Istilah

Secara etimologi (bahasa), kata I'tidal (اعتدال) berasal dari akar kata Arab 'adala' (عدل) yang berarti lurus, tegak, seimbang, atau moderat. Dari akar kata ini, kita bisa memahami bahwa I'tidal adalah kondisi kembali kepada posisi yang seimbang dan tegak lurus.

Dalam terminologi fikih (istilah syar'i), I'tidal adalah gerakan bangkit dari posisi rukuk untuk kembali ke posisi berdiri tegak seperti semula sebelum rukuk, dengan niat untuk melaksanakan rukun sholat. Gerakan ini bukan sekadar jeda atau transisi, melainkan sebuah rukun fi'li (rukun berupa perbuatan) yang berdiri sendiri. Para ulama sepakat bahwa I'tidal adalah salah satu pilar utama dalam sholat yang wajib dilaksanakan.

Pilar Utama: Kedudukan I'tidal dalam Sholat

Menegaskan kembali, I'tidal bukanlah gerakan sunnah atau tambahan, melainkan sebuah rukun sholat. Meninggalkannya dengan sengaja akan membatalkan sholat. Dalil yang menjadi landasan utamanya adalah hadits yang sangat terkenal, yaitu "hadits orang yang sholatnya buruk" (hadits al-musi' shalatahu). Dalam riwayat tersebut, seorang sahabat melakukan sholat dengan tergesa-gesa. Setelah selesai, Rasulullah SAW memintanya untuk mengulang sholatnya berkali-kali seraya bersabda, "Kembalilah dan sholatlah, karena sesungguhnya engkau belum sholat."

Kemudian, Rasulullah SAW mengajarkan tata cara sholat yang benar, dan di antara petunjuknya adalah: "Kemudian rukuklah hingga engkau benar-benar thuma'ninah dalam rukukmu, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga engkau berdiri lurus (tegak)." (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah "hingga engkau berdiri lurus" inilah yang menjadi dalil qath'i (pasti) akan wajibnya I'tidal.

Kunci Kesempurnaan: Thuma'ninah dalam I'tidal

Satu elemen krusial yang tidak terpisahkan dari I'tidal adalah thuma'ninah. Thuma'ninah berarti tenang, diam, dan berhenti sejenak dalam sebuah gerakan hingga seluruh tulang dan persendian kembali ke posisinya yang wajar. Dalam konteks I'tidal, thuma'ninah terjadi ketika seseorang telah berdiri tegak lurus setelah bangkit dari rukuk, dan ia diam sejenak dalam posisi tersebut sebelum bergerak turun untuk sujud.

Banyak orang yang meremehkan thuma'ninah ini. Mereka bangkit dari rukuk tidak sampai lurus, atau langsung 'menukik' untuk sujud seperti ayam mematuk makanan. Inilah yang dicela oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Tanpa thuma'ninah, I'tidal (dan rukun lainnya) dianggap tidak sempurna, bahkan tidak sah menurut mayoritas ulama. Durasi minimal thuma'ninah adalah sekadar cukup untuk mengucapkan "Subhanallah". Namun, yang lebih utama adalah melaksanakannya dengan tenang seraya menyempurnakan bacaannya.

Ragam Bacaan I'tidal yang Diajarkan Rasulullah SAW

Inilah inti dari pembahasan kita. Bacaan saat I'tidal terbagi menjadi dua bagian utama: bacaan saat bangkit dari rukuk, dan bacaan setelah berdiri tegak sempurna. Terdapat beberapa variasi bacaan yang semuanya bersumber dari hadits-hadits shahih, memberikan kita keluasan dalam mengamalkannya.

1. Bacaan Saat Bangkit dari Rukuk

Bacaan ini diucapkan saat proses transisi dari posisi membungkuk (rukuk) menuju posisi berdiri tegak. Bacaan ini disunnahkan untuk dibaca oleh Imam dan orang yang sholat sendirian (munfarid).

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Sami'allaahu liman hamidah.

"Allah Maha Mendengar pujian orang yang memuji-Nya."

Kalimat ini adalah sebuah pernyataan agung. Ia bukan sekadar doa, melainkan sebuah proklamasi keimanan. Ketika seorang hamba memuji Allah dalam rukuknya, ia kemudian bangkit dengan keyakinan penuh bahwa Allah mendengar pujian tersebut. Kata 'sami'a' di sini bukan hanya berarti mendengar secara harfiah, tetapi juga bermakna mengabulkan, merespons, dan menerima. Ini adalah janji bahwa setiap pujian tulus yang terucap tidak akan pernah sia-sia di hadapan Allah.

2. Bacaan Setelah Berdiri Tegak Sempurna (Setelah I'tidal)

Setelah tubuh dalam posisi I'tidal yang sempurna dan thuma'ninah, maka diucapkanlah bacaan pujian. Bacaan ini diucapkan oleh semua orang yang sholat, baik Imam, makmum, maupun yang sholat sendirian. Inilah jawaban dari hamba atas "panggilan" Allah dalam kalimat "Sami'allahu liman hamidah".

Variasi Pertama (Paling Umum dan Ringkas)

Ini adalah bacaan yang paling dikenal dan sering diamalkan oleh kaum muslimin.

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Rabbanaa wa lakal hamd.

"Wahai Tuhan kami, dan hanya bagi-Mu lah segala puji."

Ada juga riwayat lain dengan sedikit perbedaan lafadz, seperti "Rabbanaa lakal hamd" (tanpa 'wa') atau "Allahumma Rabbanaa lakal hamd". Semua variasi ini shahih dan boleh diamalkan secara bergantian untuk menghidupkan sunnah. Penambahan 'wa' (dan) menurut sebagian ulama berfungsi untuk menyambungkan pengakuan pujian ini dengan pujian-pujian sebelumnya, menunjukkan kesinambungan dalam memuji Allah.

Variasi Kedua (Dengan Tambahan Pujian)

Ini adalah bacaan yang lebih panjang, mengandung pujian yang lebih kaya dan mendalam. Sangat dianjurkan untuk membacanya, terutama saat sholat sendirian di mana kita memiliki lebih banyak waktu untuk meresapinya.

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Rabbanaa wa lakal hamd, hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiih.

"Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji, pujian yang banyak, yang baik, dan yang diberkahi di dalamnya."

Bacaan ini memiliki kisah yang indah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, suatu ketika Rasulullah SAW sholat dan setelah I'tidal, beliau mendengar seorang sahabat membaca doa ini. Seusai sholat, beliau bertanya siapa yang mengucapkannya. Sahabat tersebut mengaku. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebut untuk mencatatnya pertama kali." Ini menunjukkan betapa agungnya kalimat pujian ini di sisi Allah.

Variasi Ketiga (Pujian Sepenuh Langit dan Bumi)

Ini adalah versi lain yang juga sangat dianjurkan, menggambarkan betapa luas dan tak terhingganya pujian yang kita persembahkan kepada Allah.

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Rabbanaa lakal hamd, mil-as samaawaati wa mil-al ardhi wa mil-a maa syi'ta min syai-in ba'du.

"Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji, (pujian) sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu."

Bayangkanlah kedalaman makna ini. Seorang hamba yang fana dan kecil, mengakui bahwa pujian yang layak bagi Tuhannya adalah pujian yang tak terbatas, seluas jagat raya ciptaan-Nya. Ini adalah bentuk pengakuan akan keagungan Allah yang melampaui segala pemahaman manusia, sekaligus bentuk kerendahan hati kita yang menyadari bahwa pujian kita tidak akan pernah sepadan dengan nikmat-Nya.

Variasi Keempat (Bacaan Panjang, Terutama dalam Sholat Malam)

Terdapat bacaan yang lebih panjang lagi yang biasa dibaca oleh Rasulullah SAW, terutama dalam sholat malam (tahajjud). Bacaan ini menggabungkan variasi sebelumnya dengan tambahan doa yang luar biasa.

... مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ. أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ. اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

... mil-as samaawaati wa mil-al ardhi wa mil-a maa syi'ta min syai-in ba'du. Ahlats tsanaa-i wal majd, ahaqqu maa qaalal 'abdu, wa kullunaa laka 'abdun. Allaahumma laa maani'a limaa a'thaita, wa laa mu'thiya limaa mana'ta, wa laa yanfa'u dzal jaddi minkal jadd.

"...(pujian) sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu. Wahai Dzat yang berhak atas segala sanjungan dan kemuliaan, (inilah) ucapan yang paling berhak diucapkan oleh seorang hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan, dan tidaklah bermanfaat kemuliaan (atau kekayaan) seseorang dari (siksa)-Mu."

Doa ini adalah puncak dari tauhid dan kepasrahan. Setelah memuji Allah dengan pujian seluas semesta, kita melanjutkan dengan pengakuan bahwa hanya Allah yang layak dipuji dan dimuliakan. Kita menegaskan status kita sebagai hamba-Nya, lalu kita memasrahkan segala urusan kepada-Nya. Pengakuan bahwa tidak ada yang bisa memberi atau menahan kecuali Allah adalah inti dari tawakal. Ditutup dengan pernyataan bahwa kemegahan dunia (kekayaan, pangkat, keturunan) sama sekali tidak berguna di hadapan kekuasaan Allah, menjadi pengingat yang kuat akan kefanaan dunia dan keabadian akhirat.

Perenungan dan Hikmah di Balik Gerakan dan Bacaan I'tidal

Setiap detail dalam sholat memiliki hikmah yang mendalam jika kita mau merenungkannya. I'tidal, dengan gerakannya yang tegak dan bacaannya yang penuh puji, menyimpan pelajaran berharga bagi kehidupan seorang mukmin.

Dialog Interaktif dengan Sang Pencipta

Perhatikan alur bacaannya. Dimulai dengan "Sami'allahu liman hamidah" (Allah mendengar orang yang memuji-Nya), yang seolah-olah merupakan firman atau pengumuman dari sisi Ilahi. Lalu, sang hamba segera merespons dengan "Rabbana wa lakal hamd" (Ya Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji). Ini menciptakan sebuah suasana dialog yang intim. Kita tidak sedang berbicara pada ruang hampa; kita sedang berinteraksi dengan Dzat Yang Maha Mendengar. Ini mengajarkan kita bahwa setiap doa dan pujian kita selalu didengar dan direspons oleh Allah.

Dari Ketundukan Menuju Ketinggian Syukur

Posisi sebelum I'tidal adalah rukuk, sebuah simbol ketundukan dan pengagungan (ta'zhim). Dalam rukuk, kita menundukkan diri serendah-rendahnya seraya mengagungkan Allah. Kemudian, Allah seakan "mengangkat" kita dari ketundukan itu ke posisi I'tidal yang tegak lurus. Momen berdiri tegak ini adalah momen untuk bersyukur dan memuji (tahmid). Ini adalah simbolisasi dari kehidupan: setelah kita tunduk patuh pada perintah-Nya, Allah akan mengangkat derajat kita. I'tidal adalah manifestasi fisik dari rasa syukur setelah berhasil melewati ujian ketundukan.

Keseimbangan Fisik dan Spiritual

Secara harfiah, I'tidal berarti 'seimbang'. Gerakan berdiri tegak lurus menuntut keseimbangan fisik. Secara spiritual, ini adalah pengingat bagi kita untuk senantiasa menjaga keseimbangan (tawazun) dalam hidup. Seimbang antara urusan dunia dan akhirat, antara hak dan kewajiban, antara harapan (raja') dan takut (khauf). Posisi berdiri tegak lurus juga melambangkan istiqamah—keteguhan di atas jalan yang lurus. Setelah tunduk dalam rukuk, kita memohon untuk ditegakkan kembali di atas jalan kebenaran sebelum kita bersujud, puncak dari kerendahan diri.

Hukum dan Kesalahan Umum Seputar I'tidal

Untuk menyempurnakan pemahaman, kita juga perlu mengetahui aspek hukum yang lebih teknis serta kesalahan-kesalahan yang sering terjadi agar dapat kita hindari.

Hukum Terkait Bacaan I'tidal

Para ulama memiliki beberapa pandangan mengenai hukum bacaan-bacaan dalam I'tidal:

Meskipun terdapat perbedaan pendapat, sikap yang paling hati-hati dan paling sesuai dengan sunnah adalah dengan tidak pernah meninggalkan kedua bacaan ini dalam sholat. Mengingat kuatnya dalil-dalil yang mendasarinya, membiasakan diri untuk membacanya adalah jalan menuju sholat yang lebih sempurna.

Kesalahan-Kesalahan yang Harus Dihindari

Berikut adalah beberapa kesalahan umum yang sering terjadi saat I'tidal dan harus kita perbaiki:

  1. Tidak Thuma'ninah: Ini adalah kesalahan fatal yang paling sering terjadi. Bangkit dari rukuk lalu langsung turun untuk sujud tanpa jeda dan tanpa punggung benar-benar lurus. Gerakan seperti ini dapat membatalkan sholat.
  2. Punggung Tidak Lurus Sempurna: Sebagian orang bangkit dari rukuk namun posisi tubuhnya masih sedikit condong ke depan. I'tidal yang sempurna menuntut tubuh kembali ke posisi berdiri tegak seperti saat sebelum rukuk.
  3. Mengangkat Tangan Secara Tidak Tepat: Mengangkat tangan saat bangkit dari rukuk (takbir intiqal) adalah sunnah. Namun, sebagian orang menurunkannya dengan tergesa-gesa atau menggerakkannya secara berlebihan. Setelah mengangkat tangan, biarkan tangan kembali ke posisi semula (di samping tubuh) dengan tenang. Ada juga pandangan ulama yang membolehkan untuk bersedekap kembali saat I'tidal, meskipun pendapat yang lebih kuat adalah melepaskannya di samping tubuh.
  4. Makmum Mendahului Imam: Makmum seharusnya baru mengucapkan "Rabbana wa lakal hamd" setelah Imam selesai mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah" dan berada dalam posisi I'tidal.

Kesimpulan: Menghidupkan Jiwa dalam Setiap Gerakan

I'tidal bukanlah sekadar jeda antara rukuk dan sujud. Ia adalah rukun agung yang menjadi panggung bagi seorang hamba untuk memproklamasikan keyakinannya bahwa Allah Maha Mendengar, sekaligus sebagai momen untuk melantunkan pujian dan syukur yang setinggi-tingginya. Bacaan I'tidal, dengan berbagai variasinya, memberikan kita kesempatan untuk menyelami lautan makna tauhid, syukur, dan kepasrahan total.

Dengan memahami definisi, hukum, ragam bacaan, serta hikmah di baliknya, semoga kita dapat melaksanakan I'tidal dengan lebih khusyuk dan sempurna. Marilah kita berusaha untuk berdiri tegak dengan thuma'ninah, melantunkan setiap kata pujian dengan penuh penghayatan, dan merasakan dialog indah yang terjalin dengan Rabb semesta alam. Karena sesungguhnya, kualitas sholat kita tidak diukur dari seberapa cepat kita menyelesaikannya, melainkan dari seberapa dalam kita meresapi setiap gerak dan maknanya.

🏠 Kembali ke Homepage