Menggali Samudra Makna Bacaan Hamdalah
Dalam lautan dzikir yang tak bertepi, ada satu kalimat yang menjadi permata. Ia singkat, ringan di lisan, namun berat timbangannya di sisi Tuhan. Kalimat itu adalah "Alhamdulillah". Sebuah ungkapan yang melintasi batas suka dan duka, menjadi napas bagi jiwa yang beriman, dan merupakan kunci pembuka gerbang keridhaan Ilahi. Bacaan hamdalah, demikian kita mengenalnya, bukanlah sekadar ucapan terima kasih biasa. Ia adalah sebuah deklarasi tauhid, sebuah pengakuan mutlak atas keagungan, kesempurnaan, dan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Artikel ini akan mengajak kita untuk menyelami lebih dalam samudra makna yang terkandung dalam kalimat agung ini, menelusuri keutamaannya, dan memahami kapan serta bagaimana ia seharusnya menjadi denyut dalam setiap episode kehidupan kita.
Ketika seorang hamba melafazkan "Alhamdulillah", ia tidak sedang memuji Allah karena sebuah nikmat spesifik yang baru saja ia terima. Lebih dari itu, ia sedang menyatakan bahwa segala bentuk pujian, dari yang paling awal hingga yang paling akhir, dari yang terucap hingga yang tersembunyi, dari makhluk manapun di langit dan di bumi, pada hakikatnya hanya layak dan tertuju kepada Allah. Ini adalah sebuah pengakuan bahwa Allah terpuji karena Dzat-Nya, karena nama-nama-Nya yang indah (Asmaul Husna), karena sifat-sifat-Nya yang sempurna, dan karena perbuatan-perbuatan-Nya yang penuh hikmah dan keadilan. Baik saat kita menerima anugerah maupun saat kita diuji dengan kesulitan, pujian itu tetap mutlak milik-Nya, karena di balik segala sesuatu, ada kesempurnaan dan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas.
Analisis Mendalam di Balik Setiap Kata Hamdalah
Untuk memahami kedalaman sebuah samudra, kita harus menyelami partikel-partikel airnya. Demikian pula dengan kalimat "Alhamdulillah" (اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ). Setiap komponen katanya mengandung makna filosofis dan teologis yang sangat kaya. Mari kita bedah satu per satu.
1. Partikel "Al-" (ال)
Kata ini diawali dengan "Al-", sebuah kata sandang dalam bahasa Arab yang berfungsi sebagai artikel definit (seperti "the" dalam bahasa Inggris). Namun, dalam konteks "Al-Hamdu", para ulama tafsir menjelaskan bahwa "Al-" di sini memiliki fungsi istighraq, yang berarti mencakup keseluruhan atau totalitas. Artinya, bukan hanya "sebuah pujian" atau "beberapa pujian", melainkan "SEGALA puji" tanpa terkecuali. Ini mencakup pujian yang diucapkan oleh para malaikat, para nabi, seluruh manusia, jin, hewan, tumbuhan, bahkan benda mati yang bertasbih dengan cara mereka sendiri. Pujian dari masa lalu, masa kini, dan masa depan, semuanya terangkum dan terarah hanya kepada Allah. Ini adalah sebuah penegasan yang luar biasa tentang eksklusivitas pujian bagi Sang Pencipta.
2. Kata "Hamd" (حَمْد)
Inilah inti dari kalimat ini. Seringkali "Hamd" diterjemahkan sebagai "pujian". Namun, maknanya jauh lebih spesifik dan mulia dibandingkan kata-kata serupa dalam bahasa Arab seperti "Madḥ" (مَدْح) atau "Syukr" (شُكْر).
- Perbedaan dengan Madḥ (Pujian Biasa): Madḥ adalah pujian yang bisa diberikan kepada siapa saja, baik yang layak maupun tidak. Seseorang bisa memuji penguasa karena mengharap imbalan, meskipun penguasa itu zalim. Madḥ bisa didasari oleh ketidaktulusan atau bahkan kebohongan. Sebaliknya, Hamd adalah pujian yang didasarkan pada cinta (mahabbah) dan pengagungan (ta'zhim). Ia hanya diberikan kepada Dzat yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan yang melekat pada diri-Nya dan atas perbuatan-perbuatan baik-Nya yang dilakukan secara sukarela. Oleh karena itu, Hamd hanya layak untuk Allah.
- Perbedaan dengan Syukr (Syukur/Terima Kasih): Syukr adalah ungkapan terima kasih yang muncul sebagai respons atas sebuah kebaikan atau nikmat yang diterima. Misalnya, Anda berterima kasih kepada seseorang yang memberi Anda hadiah. Rasa syukur Anda terikat pada perbuatan baik orang tersebut kepada Anda. Di sisi lain, Hamd lebih umum dan lebih luas. Kita memuji Allah (mengucapkan Hamd) bukan hanya karena nikmat yang kita terima, tetapi juga karena Dzat-Nya yang Maha Sempurna, bahkan jika kita sedang tidak merasakan nikmat secara langsung. Kita memuji-Nya karena Dia adalah Al-Ghafur (Maha Pengampun), Ar-Rahman (Maha Pengasih), Al-'Alim (Maha Mengetahui), meskipun kita sedang tidak secara spesifik merasakan manifestasi sifat itu pada diri kita saat itu. Jadi, setiap Syukr adalah Hamd, tetapi tidak setiap Hamd adalah Syukr. Hamd adalah pengakuan kesempurnaan absolut, sedangkan Syukr adalah respons terhadap kebaikan yang diterima.
3. Partikel "Li-" (لِ)
Huruf "Li-" dalam "Lillah" adalah preposisi yang menunjukkan kepemilikan dan kekhususan (al-milik wal ikhtishas). Artinya, segala pujian yang telah didefinisikan dengan "Al-Hamdu" itu, secara mutlak "milik" dan "khusus untuk" Allah. Tidak ada satu partikel pujian pun yang layak diserahkan kepada selain-Nya. Ini adalah inti dari tauhid. Ketika kita memuji keindahan alam, kecerdasan seorang ilmuwan, atau kebaikan seseorang, pada hakikatnya kita sedang memuji manifestasi dari sifat-sifat Allah yang terpancar melalui ciptaan-Nya. Pujian itu pada akhirnya harus dikembalikan kepada Sumber segala keindahan, kecerdasan, dan kebaikan, yaitu Allah.
4. Nama "Allah" (الله)
Kata terakhir adalah "Allah", nama yang paling agung dan komprehensif untuk Dzat Tuhan Yang Maha Esa. Nama ini merangkum seluruh Asmaul Husna dan sifat-sifat-Nya yang luhur. Penyebutan nama "Allah" secara langsung menegaskan bahwa Dzat yang berhak atas segala pujian ini bukanlah entitas abstrak atau kekuatan alam, melainkan Tuhan yang personal, yang memiliki nama, sifat, dan perbuatan, Sang Pencipta, Pemelihara, dan Penguasa alam semesta.
Jadi, ketika kita menggabungkan semuanya, kalimat "Alhamdulillah" bukanlah sekadar "Terima kasih, Tuhan". Ia adalah sebuah proklamasi iman yang dahsyat: "Segala bentuk pujian yang sempurna, yang didasari oleh cinta dan pengagungan, secara mutlak hanya menjadi milik dan hak khusus bagi Dzat yang bernama Allah."
Keutamaan Agung dan Fadhilah Bacaan Hamdalah
Nilai sebuah amalan ditentukan oleh dalil yang menyertainya. Bacaan hamdalah adalah salah satu dzikir yang paling sering disebutkan keutamaannya, baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Keutamaannya tidak hanya bersifat duniawi, tetapi juga ukhrawi, menjadikannya amalan yang sangat berharga.
Hamdalah dalam Cahaya Al-Qur'an
Al-Qur'an, firman Allah, menempatkan kalimat hamdalah pada posisi yang sangat istimewa.
-
Kalimat Pembuka Kitab Suci: Surah pertama dalam Al-Qur'an, Al-Fatihah, yang disebut sebagai Ummul Qur'an (Induk Al-Qur'an), dibuka dengan kalimat ini.
Ini bukanlah kebetulan. Allah mengajarkan hamba-Nya cara yang paling tepat untuk memulai segala sesuatu, yaitu dengan pengakuan dan pujian kepada-Nya. Ini mengindikasikan bahwa seluruh isi Al-Qur'an adalah penjelasan dan perincian dari kalimat pembuka ini.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَۙ
"Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam." (QS. Al-Fatihah: 2) -
Pujian Para Nabi: Al-Qur'an merekam bagaimana para nabi dan orang-orang saleh menjadikan hamdalah sebagai ungkapan mereka. Nabi Nuh 'alaihissalam setelah diselamatkan dari banjir besar diperintahkan untuk berkata:
Nabi Ibrahim 'alaihissalam ketika dikaruniai anak di usia senja berkata:
...الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي نَجَّانَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
"...Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari kaum yang zalim." (QS. Al-Mu'minun: 28)الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ...
"Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq..." (QS. Ibrahim: 39) -
Dzikir Ahli Surga: Puncak dari kenikmatan adalah ketika hamdalah menjadi dzikir abadi para penduduk surga. Ini menunjukkan bahwa pujian kepada Allah adalah sebuah kenikmatan itu sendiri.
Ketika mereka memasuki surga, mereka berkata:
وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
"Dan penutup doa mereka ialah, ‘Alḥamdulillāhi rabbil-’ālamīn’ (segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam)." (QS. Yunus: 10)...الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَنَا وَعْدَهُ وَأَوْرَثَنَا الْأَرْضَ...
"...Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah memberikan tempat ini kepada kami..." (QS. Az-Zumar: 74)
Hamdalah dalam Timbangan Hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam banyak sabdanya menjelaskan betapa besarnya pahala dan keutamaan dari ucapan yang ringan ini.
Dari Abu Malik Al-Asy'ari, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kesucian adalah separuh dari iman, dan (ucapan) Alhamdulillah memenuhi timbangan (kebaikan), dan (ucapan) Subhanallah walhamdulillah keduanya memenuhi apa yang ada di antara langit dan bumi." (HR. Muslim)
Hadits ini secara gamblang menjelaskan "berat"-nya kalimat Alhamdulillah di Mizan (timbangan amal) pada hari kiamat. Ia bukan sekadar kata, melainkan sebuah amal saleh yang bobotnya sangat besar. "Memenuhi timbangan" adalah kiasan untuk pahala yang tak terhingga. Bayangkan, sebuah ucapan tulus yang diucapkan dalam beberapa detik memiliki nilai pahala yang begitu melimpah.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Dzikir yang paling utama adalah La ilaha illallah, dan doa yang paling utama adalah Alhamdulillah.'" (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Mengapa hamdalah disebut sebagai doa yang paling utama? Para ulama menjelaskan, karena ketika seorang hamba memuji Allah dengan setulus-tulusnya, ia sedang mengakui bahwa hanya Allah-lah sumber segala kebaikan dan pemberi segala nikmat. Pengakuan ini secara implisit mengandung permohonan agar Allah terus melimpahkan karunia-Nya. Ini adalah adab tertinggi dalam berdoa; memulai dengan pujian sebelum meminta. Bahkan, memuji Allah itu sendiri adalah sebuah tujuan, bukan sekadar sarana untuk meminta. Ini adalah doa dalam bentuknya yang paling murni: pengakuan dan pengagungan.
Kapan dan Bagaimana Mengucapkan Hamdalah dalam Kehidupan?
Hamdalah bukanlah kalimat yang terikat pada momen-momen tertentu saja. Ia adalah dzikir yang seharusnya mewarnai setiap helaan napas seorang mukmin. Namun, ada beberapa waktu dan keadaan di mana pengucapannya sangat ditekankan.
Dalam Rutinitas Ibadah
- Dalam Shalat: Hamdalah adalah rukun shalat yang wajib dibaca dalam setiap rakaat melalui Surah Al-Fatihah. Tanpanya, shalat tidak sah. Selain itu, saat bangkit dari ruku' (i'tidal), kita mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah" (Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya), lalu kita menjawab dengan "Rabbana wa lakal hamd" (Wahai Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji). Ini adalah dialog pujian antara hamba dan Rabb-nya di tengah ibadah shalat.
- Dzikir Setelah Shalat: Rasulullah mencontohkan untuk berdzikir setelah shalat fardhu dengan membaca tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allahu Akbar) masing-masing sebanyak 33 kali. Ini adalah cara untuk menyempurnakan ibadah shalat kita dengan pujian dan pengagungan kepada-Nya.
Dalam Aktivitas Sehari-hari
Di sinilah hamdalah menjelma menjadi gaya hidup, bukan sekadar ritual.
-
Saat Bangun Tidur: Doa pertama yang diajarkan untuk diucapkan saat membuka mata adalah:
Ini adalah pengakuan bahwa bangun tidur adalah sebuah kehidupan baru, sebuah nikmat besar yang patut dipuji.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرُ
"Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami kembali setelah mematikan kami, dan kepada-Nya lah kami akan dibangkitkan." - Setelah Makan dan Minum: Mengucapkan "Alhamdulillah" setelah makan dan minum adalah sebab turunnya keridhaan Allah. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah ridha terhadap seorang hamba yang bila makan suatu makanan ia memuji Allah atasnya, dan bila minum suatu minuman ia memuji Allah atasnya." (HR. Muslim). Ini mengajarkan kita untuk tidak pernah meremehkan nikmat sekecil apapun.
- Setelah Bersin: Adab yang diajarkan Nabi adalah ketika seseorang bersin, ia mengucapkan "Alhamdulillah". Orang yang mendengarnya menjawab "Yarhamukallah" (Semoga Allah merahmatimu). Lalu orang yang bersin menjawab kembali "Yahdikumullah wa yuslih balakum" (Semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki keadaanmu). Rangkaian doa ini dimulai dengan pujian kepada Allah. Secara medis, bersin adalah mekanisme tubuh untuk mengeluarkan benda asing dan merupakan tanda kesehatan. Mengucap hamdalah adalah wujud syukur atas nikmat sehat tersebut.
- Ketika Mendapat Nikmat atau Kabar Gembira: Secara spontan, lisan seorang mukmin akan berucap "Alhamdulillah" saat mendapat rezeki, lulus ujian, sembuh dari sakit, atau mendengar berita baik. Ini adalah refleks iman yang tertanam dalam jiwa.
- Ketika Melihat Orang Lain Tertimpa Musibah: Dianjurkan untuk mengucapkan hamdalah (dengan suara pelan agar tidak menyakiti perasaan orang lain), sebagai rasa syukur karena kita diselamatkan dari musibah serupa. Doanya berbunyi, "Alhamdulillahilladzi 'afani mimmabtalaka bihi wa faddhalani 'ala katsirin mimman khalaqa tafdhila" (Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari musibah yang menimpamu dan melebihkanku dari banyak makhluk-Nya).
- Saat Memulai dan Mengakhiri Majelis: Adalah sunnah untuk memulai pidato, ceramah, atau tulisan dengan hamdalah (khutbatul hajah). Begitu pula saat mengakhiri suatu pertemuan, pujian kepada Allah menjadi penutup yang paling baik.
Hamdalah di Saat Sulit: Puncak Keimanan
Mengucapkan "Alhamdulillah" di saat lapang mungkin terasa mudah. Namun, tantangan sesungguhnya adalah mengucapkannya di saat sempit, saat ditimpa musibah, kehilangan, atau kekecewaan. Inilah yang membedakan kualitas iman seseorang. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika mendapati sesuatu yang beliau sukai, beliau mengucapkan "Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmus shalihat" (Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan). Dan jika beliau mendapati sesuatu yang tidak beliau sukai, beliau mengucapkan:
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
"Segala puji bagi Allah atas setiap keadaan."Ucapan "Alhamdulillah 'ala kulli hal" adalah sebuah pernyataan iman yang kokoh. Hamba tersebut seakan berkata, "Ya Allah, meskipun secara lahiriah ini adalah musibah yang menyakitkan, aku tahu Engkau adalah Al-Hakim (Maha Bijaksana) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang). Aku yakin ada hikmah dan kebaikan di balik ini. Oleh karena itu, Engkau tetap Maha Terpuji dalam setiap ketetapan-Mu." Ini adalah bentuk tawakal dan ridha tingkat tinggi terhadap takdir Allah. Ia mengubah keluh kesah menjadi pujian, mengubah keputusasaan menjadi harapan, dan mengubah penderitaan menjadi ladang pahala.
Ragam Lafaz Hamdalah dan Konteksnya
Selain lafaz dasar "Alhamdulillah", terdapat beberapa variasi bacaan hamdalah yang diajarkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Masing-masing memiliki penekanan makna yang sedikit berbeda dan cocok untuk konteks tertentu, memperkaya khazanah dzikir seorang Muslim.
-
Alhamdulillāhi rabbil-'ālamīn (اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ)
"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam." Ini adalah bentuk hamdalah yang paling dikenal, sebagaimana terdapat dalam pembukaan Surah Al-Fatihah. Penambahan frasa "Rabbil-'ālamīn" memperluas cakupan pujian. Kita tidak hanya memuji-Nya sebagai Tuhan kita, tetapi sebagai Tuhan, Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur seluruh alam semesta (alam manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, galaksi, dan semua yang ada). Ini adalah pengakuan atas rububiyah-Nya yang universal. -
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmus shalihat (اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ)
"Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan." Sebagaimana telah disebutkan, ini adalah ucapan yang dianjurkan ketika seseorang mendapatkan hal yang ia sukai dan menggembirakan. Lafaz ini mengandung pengakuan mendalam bahwa setiap keberhasilan, setiap pencapaian, dan setiap kebaikan yang terwujud bukanlah semata-mata karena usaha kita, melainkan karena taufik dan nikmat dari Allah. Ini adalah penangkal sifat 'ujub (bangga diri) dan sombong. -
Alhamdulillah 'ala kulli hal (اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ)
"Segala puji bagi Allah atas setiap keadaan." Ini adalah benteng kesabaran dan keridhaan saat menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan. Dengan mengucapkannya, seorang hamba menyerahkan perkaranya kepada Allah dan meyakini bahwa di balik setiap takdir, bahkan yang pahit sekalipun, Allah tetaplah Dzat yang paling berhak untuk dipuji atas kebijaksanaan dan keadilan-Nya. -
Rabbana wa lakal hamd (رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ)
"Wahai Tuhan kami, dan hanya bagi-Mu lah segala puji." Ini adalah jawaban yang kita ucapkan dalam shalat setelah imam mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah". Ada variasi yang lebih panjang dan indah, seperti: "Rabbana wa lakal hamd, hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih" (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji, pujian yang banyak, yang baik, dan yang diberkahi di dalamnya). Ini adalah momen intim dalam shalat di mana kita mempersembahkan pujian terbaik kita kepada Allah.
Menjadikan Hamdalah Sebagai Gaya Hidup dan Cerminan Iman
Pada akhirnya, hamdalah harus bertransformasi dari sekadar ucapan lisan menjadi sebuah kondisi hati dan pandangan hidup (worldview). Seseorang yang jiwanya dipenuhi dengan hamdalah akan melihat dunia dengan kacamata yang berbeda.
Dari Lisan Menuju Hati
Tahap pertama adalah membiasakan lisan. Semakin sering diucapkan, semakin ia akan meresap ke dalam alam bawah sadar. Namun, tujuannya adalah agar setiap ucapan "Alhamdulillah" di lisan diiringi dengan kehadiran hati. Hati yang benar-benar merasakan dan meyakini makna agung yang terkandung di dalamnya. Ketika melihat hujan, hati ikut bergetar memuji Allah yang menurunkannya. Ketika merasakan sehat, hati merasakan betapa berharganya nikmat itu. Inilah yang disebut dengan dzikr bil lisan wal qalb (dzikir dengan lisan dan hati).
Implikasi Psikologis dan Mental
Gaya hidup hamdalah memiliki dampak positif yang luar biasa bagi kesehatan mental. Dalam psikologi modern, praktik bersyukur (gratitude) terbukti secara ilmiah dapat mengurangi stres, kecemasan, dan depresi. Orang yang bersyukur cenderung lebih optimis, lebih bahagia, dan lebih tangguh dalam menghadapi kesulitan. Hamdalah dalam Islam adalah bentuk bersyukur yang paling tinggi karena objeknya adalah Allah, sumber segala kebaikan. Ini menumbuhkan pola pikir kelimpahan (abundance mindset), di mana kita lebih fokus pada apa yang kita miliki daripada apa yang tidak kita miliki. Ia juga melatih kita untuk melakukan reframing kognitif, yaitu membingkai ulang situasi negatif menjadi sebuah kesempatan untuk belajar, bersabar, dan meraih pahala.
Manifestasi Tauhid yang Paling Murni
Inti dari ajaran Islam adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah. Hamdalah adalah salah satu manifestasi tauhid yang paling praktis dan murni. Dengan mengatakan "Segala puji HANYA milik Allah", kita secara otomatis menafikan adanya entitas lain yang layak dipuji secara hakiki. Kita menyingkirkan berhala-berhala modern seperti pujian terhadap diri sendiri (narsisme), pujian berlebihan terhadap materi (materialisme), atau pujian kepada makhluk yang melampaui batas. Seluruh pujian dikembalikan kepada Pemiliknya yang sejati. Inilah esensi dari "La ilaha illallah".
Kalimat "Alhamdulillah" adalah lafaz yang ringan namun maknanya seluas langit dan bumi. Ia adalah kunci pembuka Al-Qur'an, dzikir para nabi, nyanyian para penghuni surga, dan ucapan yang paling dicintai oleh Allah. Ia adalah obat bagi hati yang gundah, penawar bagi jiwa yang sombong, dan pupuk bagi iman yang kering. Menjadikannya sebagai detak jantung dalam kehidupan kita berarti mengubah setiap peristiwa, baik maupun buruk, menjadi sebuah tangga untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Terpuji. Maka, marilah kita basahi lisan dan hati kita dengannya, di setiap waktu dan di setiap keadaan.
فَلِلَّهِ الْحَمْدُ رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَرَبِّ الْأَرْضِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
"Maka bagi Allah-lah segala puji, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Tuhan seluruh alam." (QS. Al-Jatsiyah: 36)