Ilustrasi Al-Quran Gambar sebuah kitab suci Al-Quran yang terbuka di atas penyangga, melambangkan sumber ilmu dan petunjuk ilahi.

Memulai Perjalanan Spiritual: Bacaan Al Quran Juz 1

Memahami dan merenungi ayat-ayat suci Al-Quran adalah sebuah perjalanan spiritual yang mencerahkan. Juz 1 merupakan gerbang pembuka yang memperkenalkan kita pada pesan-pesan universal, hukum, dan kisah-kisah penuh hikmah.

Juz 1 dari Al-Quran adalah fondasi bagi seluruh ajaran yang terkandung di dalamnya. Ia dimulai dengan surah paling agung, Al-Fatihah, yang disebut sebagai Ummul Kitab (Ibu dari Kitab), dan dilanjutkan dengan bagian awal dari surah terpanjang, Al-Baqarah. Membaca, memahami, dan menghayati Juz 1 berarti meletakkan dasar yang kokoh untuk interaksi kita dengan firman Allah SWT.

Bagian ini tidak hanya berisi doa dan pujian, tetapi juga memperkenalkan tiga golongan manusia dalam merespons petunjuk Ilahi, kisah penciptaan manusia pertama, serta narasi panjang tentang Bani Israil yang sarat dengan pelajaran tentang ketaatan, pembangkangan, nikmat, dan konsekuensi. Mari kita selami makna yang terkandung di dalamnya, ayat demi ayat, tema demi tema.

Surat Al-Fatihah (Pembukaan)

Surat Al-Fatihah adalah esensi dari seluruh Al-Quran. Ia adalah dialog langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya, sebuah doa yang paling sering diulang oleh umat Islam di seluruh dunia. Terdiri dari tujuh ayat, surah ini merangkum pilar-pilar utama akidah: tauhid (keesaan Allah), kenabian (jalan yang lurus), dan keimanan akan hari akhir.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).

"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."

Setiap perbuatan baik seorang Muslim dimulai dengan basmalah. Ini adalah pengingat bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, dilakukan untuk-Nya, dan hanya bisa berhasil dengan pertolongan-Nya. Lafaz ini menanamkan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan. Ar-Rahman (Maha Pengasih) merujuk pada kasih sayang Allah yang melimpah dan meliputi seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali, baik yang beriman maupun yang tidak. Sementara itu, Ar-Rahim (Maha Penyayang) merujuk pada kasih sayang-Nya yang khusus, yang dicurahkan kepada hamba-hamba-Nya yang taat di dunia dan akhirat.

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Al-ḥamdu lillāhi rabbil-‘ālamīn(a).

"Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam."

Ayat ini adalah deklarasi pujian dan syukur yang mutlak. "Al-Hamdu" bukan sekadar "pujian", tetapi pujian yang sempurna yang hanya pantas ditujukan kepada Allah. Dia adalah "Rabb al-'Alamin," Tuhan yang bukan hanya menciptakan, tetapi juga memelihara, mengatur, menumbuhkan, dan mencukupi kebutuhan seluruh alam—alam manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, dan seluruh jagat raya yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Ini adalah pengakuan akan kedaulatan-Nya yang absolut atas segala sesuatu.

الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ

Ar-raḥmānir-raḥīm(i).

"Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."

Pengulangan sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim setelah menyebutkan keagungan-Nya sebagai "Rabb al-'Alamin" memberikan pesan penting. Meskipun Allah adalah Penguasa yang Mahakuasa, landasan hubungan-Nya dengan ciptaan-Nya adalah kasih sayang. Kekuasaan-Nya tidak dijalankan dengan kesewenang-wenangan, melainkan dengan rahmat yang tak terbatas. Ini memberikan ketenangan dan harapan bagi setiap hamba.

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ

Māliki yaumid-dīn(i).

"Pemilik hari Pembalasan."

Setelah mengakui kekuasaan dan kasih sayang-Nya di alam dunia, kita diingatkan akan sebuah realitas mutlak: Hari Pembalasan (Yaum ad-Din). Pada hari itu, semua kekuasaan semu di dunia akan lenyap, dan hanya Allah yang menjadi satu-satunya Raja dan Hakim. Ini menanamkan rasa tanggung jawab dan akuntabilitas. Setiap perbuatan akan diperhitungkan, dan keadilan sejati akan ditegakkan. Keimanan pada ayat ini meluruskan perilaku manusia, mencegahnya dari kezaliman, dan mendorongnya untuk berbuat kebaikan.

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ

Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn(u).

"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan."

Inilah inti dari Al-Fatihah dan inti dari seluruh ajaran Islam. Ayat ini adalah ikrar pemurnian ibadah dan permohonan. Dengan mendahulukan "Iyyaka" (Hanya kepada-Mu), ayat ini menegaskan bahwa tidak ada entitas lain yang layak disembah ('ibadah) dan tidak ada sumber pertolongan sejati ('isti'anah) selain Allah. Ibadah mencakup segala bentuk ketaatan, baik ritual seperti shalat dan puasa, maupun tindakan sehari-hari yang diniatkan untuk mencari ridha-Nya. Memohon pertolongan hanya kepada-Nya membebaskan manusia dari ketergantungan pada makhluk dan menumbuhkan kemandirian spiritual yang kuat.

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ

Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm(a).

"Tunjukilah kami jalan yang lurus."

Setelah mengakui keesaan Allah dalam penyembahan dan permohonan, doa terpenting yang dipanjatkan seorang hamba adalah permintaan petunjuk. "Ash-Shirath al-Mustaqim" adalah jalan yang lurus, jelas, dan tanpa kebengkokan, yang mengantarkan langsung kepada keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi. Ini adalah jalan para nabi, jalan Islam itu sendiri. Permintaan ini bukan hanya untuk mereka yang belum menemukan jalan, tetapi juga bagi mereka yang sudah berada di atasnya, agar senantiasa diteguhkan dan tidak menyimpang.

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

Ṣirāṭal-lażīna an‘amta ‘alaihim, gairil-magḍūbi ‘alaihim wa laḍ-ḍāllīn(a).

"(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."

Ayat terakhir ini memberikan definisi yang lebih jelas tentang jalan yang lurus. Ia bukanlah sebuah konsep abstrak, melainkan jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang yang Allah anugerahi nikmat: para nabi, orang-orang yang jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Di sisi lain, kita berlindung dari dua jalan yang menyimpang. Pertama, jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhubi 'alaihim), yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran tetapi dengan sengaja menolaknya dan menyimpang darinya karena kesombongan atau hawa nafsu. Kedua, jalan mereka yang sesat (adh-dhallin), yaitu orang-orang yang menyimpang dari kebenaran karena kebodohan atau kelalaian mereka dalam mencari petunjuk. Doa ini adalah permohonan untuk dibimbing dengan ilmu yang benar dan amal yang lurus.


Surat Al-Baqarah (Sapi Betina): Permulaan Petunjuk Rinci

Setelah pembukaan yang agung dalam Al-Fatihah, Al-Quran langsung beralih ke Surat Al-Baqarah, surah terpanjang yang berisi petunjuk komprehensif untuk kehidupan. Awal surat ini secara tegas membagi manusia menjadi tiga kelompok berdasarkan respons mereka terhadap petunjuk Al-Quran.

Tema 1: Karakteristik Golongan Manusia (Ayat 1-20)

Bagian awal Al-Baqarah mengkategorikan manusia ke dalam tiga golongan utama: orang-orang bertakwa (muttaqin), orang-orang kafir (kafirin), dan orang-orang munafik (munafiqin). Penggambaran ini menjadi kerangka untuk memahami interaksi manusia dengan wahyu ilahi.

Golongan Pertama: Orang-Orang Bertakwa (Al-Muttaqin)

الۤمّۤ ۚ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ

Alif lām mīm. Żālikal-kitābu lā raiba fīh(i), hudal lil-muttaqīn(a).

"Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa."

Surat ini dibuka dengan huruf-huruf misterius (huruf muqatta'at) yang hikmahnya hanya diketahui oleh Allah, sebagai penegas kemukjizatan Al-Quran. Ayat kedua menegaskan dua hal fundamental: Al-Quran adalah kitab yang absolut kebenarannya ("tidak ada keraguan padanya") dan ia berfungsi sebagai petunjuk ("hudan"). Namun, petunjuk ini tidak bisa diakses oleh semua orang secara efektif. Ia hanya akan bermanfaat bagi "al-muttaqin," yaitu orang-orang yang memiliki potensi takwa. Takwa adalah kesadaran akan Allah yang mendorong seseorang untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, didasari oleh rasa cinta, takut, dan harapan.

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَۙ وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ

Allażīna yu'minūna bil-gaibi wa yuqīmūnaṣ-ṣalāta wa mimmā razaqnāhum yunfiqūn(a). Wal-lażīna yu'minūna bimā unzila ilaika wa mā unzila min qablik(a), wabil-ākhirati hum yūqinūn(a).

"(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat."

Ayat-ayat ini merinci karakteristik utama orang bertakwa. Pertama, iman kepada yang gaib (al-ghaib), yaitu meyakini realitas yang tidak terjangkau oleh panca indera, seperti Allah, malaikat, surga, neraka, dan takdir. Ini adalah fondasi keimanan. Kedua, mendirikan shalat (yuqimunash-shalah), bukan sekadar mengerjakan, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, khusyuk, dan konsisten sebagai wujud hubungan vertikal dengan Allah. Ketiga, berinfak (yunfiqun) dari rezeki yang Allah berikan, sebagai wujud kepedulian sosial dan kesadaran bahwa harta adalah titipan. Keempat, iman kepada semua kitab suci yang diturunkan, baik Al-Quran maupun kitab-kitab sebelumnya, menunjukkan keyakinan akan kesinambungan risalah ilahi. Kelima, keyakinan yang kokoh (yaqin) terhadap hari akhirat, yang menjadi motor penggerak amal saleh dan pencegah dari perbuatan dosa.

Golongan Kedua: Orang-Orang Kafir (Al-Kafirin)

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Innal-lażīna kafarū sawā'un ‘alaihim a'anżartahum am lam tunżirhum lā yu'minūn(a).

"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman."

Berbeda dengan orang bertakwa yang hatinya terbuka pada petunjuk, orang kafir digambarkan sebagai mereka yang hatinya telah tertutup. "Kafir" secara harfiah berarti "menutupi". Mereka menutupi kebenaran yang fitrahnya mereka akui. Penolakan mereka begitu mengakar sehingga peringatan apapun tidak lagi berpengaruh. Ini bukan berarti Allah zalim, tetapi ini adalah konsekuensi dari pilihan mereka sendiri yang terus-menerus menolak kebenaran hingga hati mereka terkunci. Allah telah menutup pendengaran, penglihatan, dan hati mereka, sehingga mereka tidak lagi mampu menerima hidayah. Bagi mereka disiapkan azab yang pedih.

Golongan Ketiga: Orang-Orang Munafik (Al-Munafiqin)

Al-Quran memberikan perhatian yang sangat besar pada golongan ketiga ini, bahkan lebih panjang daripada deskripsi tentang orang kafir. Ini karena bahaya yang mereka timbulkan lebih besar, karena mereka merusak dari dalam. Mereka adalah musuh dalam selimut.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَۘ

Wa minan-nāsi may yaqūlu āmannā billāhi wa bil-yaumil-ākhiri wa mā hum bi mu'minīn(a).

"Dan di antara manusia ada yang berkata, 'Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,' padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman."

Ciri utama kemunafikan adalah perbedaan antara ucapan lisan dan keyakinan hati. Mereka berusaha menipu Allah dan orang-orang beriman, tetapi pada hakikatnya mereka hanya menipu diri sendiri. Di dalam hati mereka ada penyakit (keraguan, iri, dan kebencian), dan Allah menambah penyakit itu. Mereka mengaku sebagai pembawa perbaikan, padahal merekalah perusak sejati. Ketika diajak beriman, mereka justru menganggap orang-orang beriman sebagai orang bodoh. Sifat mereka adalah bermuka dua: di hadapan orang beriman mereka mengaku beriman, tetapi saat kembali ke kelompoknya, mereka mengejek dan menegaskan kesetiaan pada kekafiran.

Allah memberikan dua perumpamaan indah untuk menggambarkan kondisi mereka. Pertama, seperti orang yang menyalakan api. Ketika api itu menerangi sekelilingnya, Allah memadamkannya dan meninggalkan mereka dalam kegelapan, tidak bisa melihat. Ini menggambarkan bagaimana mereka sempat melihat cahaya iman, tetapi kemudian memilih kembali ke dalam kegelapan kekafiran. Kedua, seperti orang yang ditimpa hujan lebat dari langit, disertai kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga karena takut mati, dan hanya bisa berjalan ketika kilat menyambar. Ini menggambarkan keadaan mereka yang selalu berada dalam ketakutan, kebingungan, dan hanya mengambil manfaat dari Islam saat menguntungkan, namun segera kembali ke dalam kekafiran saat menghadapi kesulitan.

Tema 2: Panggilan Universal dan Tantangan Pembuktian (Ayat 21-29)

Setelah menjelaskan tiga golongan manusia, Allah menyampaikan seruan universal kepada seluruh umat manusia untuk menyembah-Nya. Seruan ini didasarkan pada argumen rasional tentang penciptaan dan pemeliharaan-Nya.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Yā ayyuhan-nāsu‘budū rabbakumul-lażī khalaqakum wal-lażīna min qablikum la‘allakum tattaqūn(a).

"Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa."

Seruan ini dialamatkan kepada "An-Nas" (seluruh manusia), bukan hanya kepada orang beriman. Logikanya sederhana: Dzat yang menciptakan kalian dan generasi sebelum kalian, yang menjadikan bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, yang menurunkan hujan untuk menumbuhkan buah-buahan sebagai rezeki, Dialah satu-satunya yang berhak disembah. Menyekutukan-Nya dengan ciptaan lain adalah sebuah kebodohan dan kezaliman yang nyata.

Selanjutnya, Allah menantang siapa pun yang meragukan kebenaran Al-Quran. Jika mereka ragu bahwa Al-Quran adalah firman Allah, maka mereka ditantang untuk membuat satu surah saja yang sebanding dengannya. Tantangan ini tidak akan pernah bisa dijawab, karena Al-Quran adalah mukjizat dari segi bahasa, sastra, isi, dan kebenarannya yang abadi. Kegagalan menjawab tantangan ini adalah bukti nyata bahwa Al-Quran berasal dari Allah, dan konsekuensi bagi yang menolaknya adalah api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.

Tema 3: Kisah Penciptaan Adam dan Awal Mula Manusia (Ayat 30-39)

Al-Quran kemudian membawa kita ke awal mula penciptaan manusia untuk memberikan pelajaran fundamental tentang tujuan hidup, sifat manusia, dan musuh abadinya.

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ

Wa iż qāla rabbuka lil-malā'ikati innī jā‘ilun fil-arḍi khalīfah(tan).

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.'"

Allah mengumumkan rencana-Nya untuk menciptakan seorang "khalifah" di bumi. Khalifah berarti pengganti, wakil, atau pemimpin yang diberi amanah untuk memakmurkan bumi sesuai dengan aturan Sang Pencipta. Para malaikat, dalam ketaatan mereka, bertanya dengan tujuan mencari hikmah, "Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan menyucikan-Mu?" Ini bukan protes, melainkan pertanyaan tentang kebijaksanaan di balik penciptaan makhluk yang memiliki potensi baik dan buruk. Jawaban Allah sangat singkat namun padat: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Untuk menunjukkan keunggulan Adam, Allah mengajarkannya "nama-nama (benda) seluruhnya." Ini adalah simbol pengetahuan dan kapasitas intelektual manusia untuk belajar, mengkategorikan, dan memahami lingkungannya. Ketika malaikat diminta menyebutkan nama-nama itu, mereka mengakui keterbatasan mereka. Namun, Adam mampu menyebutkannya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa manusia dianugerahi potensi ilmu yang menjadikannya layak sebagai khalifah.

Momen selanjutnya adalah perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan, bukan penyembahan. Semua malaikat patuh, kecuali Iblis. Ia menolak karena kesombongan dan merasa lebih superior karena diciptakan dari api, sedangkan Adam dari tanah. Kesombongan inilah yang menjadi dosa pertama dan menyebabkan Iblis terusir dari surga. Sejak saat itu, Iblis bersumpah untuk menyesatkan Adam dan keturunannya.

Adam dan Hawa ditempatkan di surga dengan satu larangan: jangan mendekati pohon tertentu. Iblis pun melancarkan tipu dayanya, membisikkan bahwa pohon itu adalah pohon keabadian. Adam dan Hawa pun tergelincir, melanggar larangan Allah. Namun, perbedaan krusial antara dosa Adam dan dosa Iblis adalah respons setelahnya. Adam segera menyesal, mengakui kesalahan, dan bertaubat. Allah pun mengajarkan kalimat-kalimat taubat kepadanya dan menerima taubatnya. Ini menunjukkan sifat dasar manusia yang bisa berbuat salah, tetapi juga memiliki kemampuan untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Kisah ini berakhir dengan diturunkannya Adam dan Hawa ke bumi sebagai awal mula kehidupan manusia, dengan janji bahwa petunjuk akan selalu datang dari Allah. Siapa yang mengikutinya akan selamat, dan siapa yang menolaknya akan celaka.

Tema 4: Pelajaran dari Kisah Panjang Bani Israil (Ayat 40-123)

Bagian terbesar dari Juz 1 didedikasikan untuk kisah Bani Israil. Ini bukan sekadar penceritaan sejarah, melainkan cermin bagi umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama. Kisahnya penuh dengan pelajaran tentang nikmat yang melimpah, pembangkangan yang berulang, dan konsekuensi dari pengkhianatan terhadap janji.

Peringatan dan Tuntutan

Allah memulai dengan memanggil Bani Israil, "Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu." Janji mereka adalah untuk menyembah Allah semata dan mengikuti para nabi-Nya, termasuk nabi terakhir, Muhammad SAW. Allah memerintahkan mereka untuk beriman kepada Al-Quran yang membenarkan kitab yang ada pada mereka (Taurat), jangan menjadi orang pertama yang kafir kepadanya, jangan menukar ayat-ayat-Nya dengan harga murah, dan jangan mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Mereka juga diperintahkan untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan rukuk bersama orang-orang yang rukuk.

Allah menegur mereka dengan keras, "Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab?" Ini adalah kritik pedas terhadap inkonsistensi antara ilmu dan amal, sebuah penyakit yang bisa menimpa siapa saja.

Rangkaian Nikmat dan Pembangkangan

Al-Quran kemudian mengingatkan mereka pada serangkaian nikmat luar biasa yang mereka terima:

  1. Keselamatan dari Fir'aun: Mereka diselamatkan dari kekejaman Fir'aun yang menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Laut pun dibelah untuk mereka lewati, sementara Fir'aun dan tentaranya ditenggelamkan di depan mata mereka.
  2. Perjanjian di Gunung Sinai: Saat Nabi Musa menerima wahyu selama 40 malam, mereka justru menyembah patung anak sapi yang dibuat oleh Samiri. Ini adalah pengkhianatan besar setelah baru saja diselamatkan. Taubat mereka diterima, tetapi dengan syarat yang sangat berat.
  3. Pemberian Manna dan Salwa: Di padang gurun, Allah menurunkan makanan dari langit, Manna (sejenis embun manis) dan Salwa (burung puyuh), sebagai rezeki yang mudah. Namun, mereka bosan dan meminta makanan yang lebih rendah nilainya seperti sayuran, mentimun, dan bawang.
  4. Air dari Batu: Ketika mereka kehausan, Allah memerintahkan Musa untuk memukulkan tongkatnya ke batu, lalu memancarlah 12 mata air untuk setiap suku dari mereka.

Namun, setiap nikmat ini seringkali dibalas dengan pembangkangan, keluhan, dan hati yang keras. Hati mereka digambarkan menjadi sekeras batu, bahkan lebih keras lagi, karena ada batu yang bisa memancarkan air, terbelah, atau luruh karena takut kepada Allah, tetapi hati mereka tidak.

Kisah Sapi Betina (Al-Baqarah)

Kisah yang menjadi nama surah ini adalah contoh sempurna dari sifat mereka yang suka mempersulit diri dan banyak bertanya tanpa tujuan. Ketika terjadi pembunuhan dan pelakunya tidak diketahui, Allah memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi betina dan memukulkan sebagian tubuhnya ke mayat itu, agar mayat itu hidup kembali dan memberitahu siapa pembunuhnya. Perintahnya sederhana: "sembelihlah seekor sapi betina."

Namun, mereka tidak langsung taat. Mereka mulai bertanya tentang detail yang tidak perlu: "Jelaskan kepada kami bagaimana (sapi) itu?" Musa menjawab, "Sapi yang tidak tua dan tidak muda." Mereka bertanya lagi, "Apa warnanya?" Musa menjawab, "Kuning tua yang menyenangkan orang yang memandang." Mereka masih belum puas dan bertanya lagi, "Jelaskan bagaimana hakikatnya." Akhirnya, setelah mempersulit diri, mereka menemukannya dan menyembelihnya, "dan hampir saja mereka tidak melaksanakannya." Kisah ini menjadi pelajaran tentang pentingnya ketaatan tanpa banyak berdalih.

Tema 5: Warisan Ibrahim dan Penegasan Agama yang Lurus (Ayat 124-141)

Setelah menguraikan penyimpangan Bani Israil, Al-Quran mengalihkan fokus ke akar dari agama tauhid, yaitu Nabi Ibrahim AS, bapak para nabi. Ini adalah cara untuk menyatakan bahwa risalah Nabi Muhammad SAW adalah kelanjutan dari ajaran Ibrahim yang murni (hanif), bukan inovasi baru, sekaligus membantah klaim eksklusif kaum Yahudi dan Nasrani atas Ibrahim.

وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ

Wa iżibtalā ibrāhīma rabbuhū bikalimātin fa atammahunn(a), qāla innī jā‘iluka lin-nāsi imāmā(n).

"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, 'Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.'"

Ibrahim AS adalah teladan dalam ketaatan. Ia lulus dari setiap ujian yang Allah berikan, termasuk perintah meninggalkan istri dan anaknya di lembah yang tandus hingga perintah untuk menyembelih putranya sendiri. Karena kesempurnaan kepatuhannya, Allah mengangkatnya menjadi "imam" atau pemimpin bagi seluruh umat manusia. Doa Ibrahim pun dipanjatkan, "Dan (saya mohon juga) dari keturunanku." Allah menjawab bahwa janji kepemimpinan ini tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim.

Selanjutnya, dikisahkan bagaimana Ibrahim bersama putranya, Ismail, meninggikan fondasi Ka'bah. Saat membangun rumah suci itu, mereka berdua berdoa dengan penuh kerendahan hati. Doa mereka mencakup permohonan agar amal mereka diterima, agar negeri Mekah menjadi aman dan sejahtera, agar mereka dijadikan orang-orang yang berserah diri (muslim), dan yang terpenting, agar diutus di tengah-tengah keturunan mereka seorang rasul yang akan membacakan ayat-ayat Allah, mengajarkan kitab dan hikmah, serta menyucikan mereka. Doa inilah yang dijawab Allah dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW.

Juz 1 diakhiri dengan penegasan bahwa agama Ibrahim adalah agama yang lurus (hanif), agama penyerahan diri (Islam). Allah menolak klaim bahwa Ibrahim adalah seorang Yahudi atau Nasrani, karena agama-agama tersebut datang jauh setelahnya. Wasiat Ibrahim dan Ya'qub kepada anak-anak mereka adalah sama: "Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim (berserah diri kepada Allah)."

Akhir dari Juz ini adalah sebuah deklarasi akidah yang universal: "Katakanlah (Muhammad), 'Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami berserah diri kepada-Nya.'" Inilah esensi dari Islam, yaitu menerima seluruh rangkaian wahyu ilahi dan berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan Semesta Alam.

🏠 Kembali ke Homepage