Visualisasi Inti Eksistensi: Pengarahan Diri menuju Ibadah.
Surah Az-Zariyat, yang terletak dalam juzuk ke-27 Al-Qur'an, menyuguhkan rentetan ayat-ayat yang menegaskan kekuasaan Allah SWT, mulai dari fenomena alam yang mengagumkan hingga hari pembalasan yang pasti akan tiba. Namun, di tengah rangkaian penegasan ini, terdapat satu ayat krusial yang berfungsi sebagai poros, sebagai jawaban mutlak atas pertanyaan filosofis paling mendasar yang pernah terlintas dalam benak setiap makhluk berakal: Mengapa kita ada?
Ayat ke-56 dari surah ini, Az-Zariyat, adalah jawaban eksplisit tersebut. Ia bukan hanya sebuah pernyataan teologis, melainkan sebuah deklarasi tujuan kosmis yang mengikat seluruh makhluk yang dibebani akal dan kehendak bebas, yaitu manusia dan jin. Pemahaman yang mendalam dan menyeluruh terhadap kalimat sakral ini merupakan kunci untuk menata seluruh aspek kehidupan, menentukan prioritas, dan mengarahkan setiap langkah menuju makna hakiki keberadaan.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Terjemahannya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku."
Kalimat pendek ini, dengan segala kedalaman maknanya, menyingkap tabir rahasia penciptaan. Ia menafikan anggapan bahwa keberadaan manusia dan jin hanyalah sebuah kebetulan kosmis, atau bahwa kehidupan adalah permainan tanpa arti yang berakhir dalam kehampaan. Sebaliknya, ayat ini menanamkan sebuah tujuan yang agung, mulia, dan tak terhindarkan: Ibadah, atau pengabdian total kepada Sang Pencipta. Untuk memahami betapa luasnya implikasi ayat ini, kita harus menyelam lebih dalam dari sekadar makna ritualistik, merangkul definisi ibadah yang mencakup setiap detik, setiap niat, dan setiap tindakan dalam perjalanan hidup.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting bagi kita untuk mengurai struktur linguistik dan teologis dari Az Zariyat ayat 58. Frasa kunci dalam ayat ini adalah إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (illa liya'buduun), yang berarti "kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku." Struktur negasi (wamaa - tidak) diikuti dengan pengecualian (illa - kecuali) dalam bahasa Arab memberikan penekanan yang mutlak. Ini menegaskan bahwa tidak ada tujuan lain yang setara atau melebihi tujuan ibadah tersebut.
Secara bahasa, ‘ibadah’ berasal dari kata ‘abd’ yang berarti hamba atau budak. Ibadah adalah manifestasi penghambaan dan ketundukan. Namun, dalam terminologi syariat, ibadah memiliki cakupan yang jauh lebih luas daripada sekadar melaksanakan rukun Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mendefinisikan ibadah sebagai:
“Nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir).”
Definisi ini memberikan dimensi yang tak terbatas pada konsep ibadah. Ini berarti bahwa tidur seseorang, mencari nafkah, mendidik anak, bahkan cara seseorang berinteraksi dengan lingkungan, dapat bertransformasi menjadi ibadah asalkan memenuhi dua syarat mendasar: Pertama, dilakukan dengan niat yang tulus (ikhlas) semata-mata karena Allah; dan Kedua, dilakukan sesuai dengan tuntunan (ittiba’) yang telah ditetapkan oleh syariat. Tanpa pemahaman yang luas ini, seseorang mungkin keliru membatasi tujuan hidupnya hanya pada shalat lima waktu atau puasa tahunan, padahal seluruh episode kehidupannya adalah arena pengabdian yang tak terpisahkan.
Ayat ini sering menimbulkan pertanyaan: Apakah Allah SWT membutuhkan ibadah kita? Jawaban tegasnya adalah Tidak. Ayat ke-57, yang mendahului ayat ini, memberikan klarifikasi yang fundamental:
مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ
Terjemahan: “Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku.”
Konteks ini menunjukkan bahwa ibadah yang diperintahkan dalam Az Zariyat ayat 58 adalah demi kebaikan makhluk itu sendiri. Ibadah adalah sarana bagi manusia dan jin untuk mencapai ketenangan jiwa, kepenuhan spiritual, dan jaminan kebahagiaan abadi. Allah Maha Kaya (Al-Ghaniyy) dan mutlak tidak bergantung pada ciptaan-Nya. Kepatuhan seluruh jin dan manusia tidak akan menambah sedikitpun kekuasaan atau kemuliaan-Nya, sebagaimana kedurhakaan seluruh jin dan manusia tidak akan mengurangi sedikitpun kerajaan-Nya. Tujuan ibadah adalah untuk mengarahkan makhluk kepada kesempurnaan dan keselamatan yang telah ditetapkan dalam fitrah mereka.
Pengabdian (ibadah) adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan sumber kedamaiannya. Ketika seorang hamba menyadari bahwa setiap tarikan napas adalah kesempatan untuk beribadah, maka seluruh aktivitasnya menjadi bernilai di sisi Ilahi. Kekosongan eksistensial, kegelisahan, dan rasa terasing yang dialami banyak individu modern seringkali berakar pada pengabaian tujuan agung ini—mereka hidup, tetapi tidak tahu mengapa mereka hidup, sehingga mereka mencari pengabdian kepada hal-hal fana (harta, kekuasaan, kesenangan sesaat) yang pada akhirnya hanya menyisakan kekecewaan.
Tujuan penciptaan, yaitu ibadah, tidak dapat dipisahkan dari konsep Tauhid (Keesaan Allah). Az Zariyat ayat 58 adalah penegasan tertinggi dari Tauhid Uluhiyyah (Tauhid Ibadah), yaitu pengesaan Allah dalam segala bentuk peribadatan. Jika Allah adalah satu-satunya Pencipta (Tauhid Rububiyyah) dan Pengatur alam semesta, maka logis dan wajib bagi makhluk-Nya untuk mengesakan-Nya dalam pengabdian.
Konsep ibadah yang digariskan dalam ayat ini terbagi menjadi dua dimensi interaksi utama yang mencerminkan ketundukan total:
Ini adalah ibadah yang berbentuk ritual spesifik (ibadah mahdhah) seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Ibadah ritual ini berfungsi sebagai penguat baterai spiritual dan pengingat reguler akan perjanjian dasar eksistensi. Shalat, misalnya, adalah manifestasi ketundukan fisik dan mental. Ia bukan sekadar gerakan fisik; ia adalah pengakuan rutin bahwa Allah adalah pusat orientasi kehidupan. Tanpa penguatan ritual ini, mudah bagi manusia untuk melupakan tujuan hakikinya, dan ibadah non-ritual cenderung kehilangan fondasi spiritualnya.
Ritual adalah penjangkaran bagi kapal kehidupan. Jika jangkar ini dicabut, kapal tersebut akan terombang-ambing oleh gelombang duniawi. Dalam konteks Az Zariyat ayat 58, ritual adalah pengisian daya yang memastikan bahwa energi yang digunakan dalam urusan duniawi (horizontal) tetap termotivasi oleh niat Ilahi (vertikal).
Ini mencakup interaksi sosial, ekonomi, politik, dan bahkan lingkungan. Setiap perilaku etis yang dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah adalah ibadah. Memberikan keadilan, berkata jujur, menahan amarah, berbuat baik kepada tetangga, menjaga kebersihan, bekerja keras mencari rezeki halal—semuanya adalah bagian tak terpisahkan dari pengabdian yang dituntut dalam ayat 58.
Jika seseorang memisahkan pekerjaan profesionalnya dari ibadah, ia mungkin bekerja keras hanya demi gaji atau pengakuan semata. Namun, ketika pekerjaan itu diniatkan sebagai sarana menjaga kehormatan diri dari meminta-minta, memenuhi hak keluarga, dan berkontribusi positif bagi masyarakat, maka ia telah mengaplikasikan tujuan penciptaan dalam ranah horizontal. Pekerjaan seorang insinyur, seorang guru, seorang dokter, atau seorang pedagang, ketika dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan integritas karena Allah, adalah pengejawantahan langsung dari Az Zariyat ayat 58.
Perintah dalam ayat 58 bukanlah perintah periodik, melainkan perintah yang berlanjut. Hidup manusia sejak baligh hingga akhir hayat adalah masa pengabdian yang tak terputus. Hal ini menuntut kesadaran (muraqabah) yang konstan bahwa kita selalu berada di bawah pengawasan Ilahi. Kesadaran ini menciptakan kualitas hidup yang disebut ihsan—melakukan segala sesuatu seolah-olah kita melihat Allah, dan jika tidak, yakinlah bahwa Dia melihat kita.
Kehidupan adalah ujian berkelanjutan. Setiap pilihan kecil, setiap godaan, setiap kesempatan untuk berbuat baik atau buruk, adalah ujian sejauh mana kita memegang teguh perjanjian yang termaktub dalam Az Zariyat 58. Kegagalan untuk melihat kehidupan secara holistik sebagai ibadah akan menyebabkan fragmentasi jiwa, di mana individu menjalani kehidupan yang terbagi: ada waktu untuk agama (ibadah ritual) dan waktu untuk dunia (hiburan/pekerjaan), tanpa adanya integrasi niat yang mengikat keduanya menjadi satu kesatuan pengabdian yang utuh.
Ayat ini secara eksplisit menyebut dua jenis makhluk: al-jinna wal-insa (jin dan manusia). Ini menimbulkan pertanyaan penting: Mengapa makhluk lain, seperti malaikat atau hewan, tidak disebutkan?
Malaikat diciptakan dengan ketaatan yang sempurna (fitriyah). Mereka tidak memiliki kehendak bebas (ikhtiyar) untuk tidak patuh. Tugas mereka adalah melaksanakan perintah Allah tanpa cela dan tanpa henti. Mereka sudah sepenuhnya beribadah. Oleh karena itu, menyebutkan mereka dalam konteks tujuan penciptaan yang bersifat tugas dan ujian adalah redundant. Tujuan mereka sudah sepenuhnya terwujud sejak penciptaan mereka. Mereka adalah makhluk cahaya yang selalu bertasbih, rukuk, dan sujud, tanpa sedikit pun terlintas keinginan untuk melanggar batas.
Hewan dan makhluk non-rasional lainnya juga bertasbih (QS Al-Isra: 44), namun tasbih mereka bersifat naluriah, bukan hasil dari pilihan moral yang berjuang melawan hawa nafsu. Mereka tidak dibebani dengan tanggung jawab moral (taklif). Mereka beribadah dalam cara mereka sendiri, melalui kepatuhan terhadap hukum alam yang ditetapkan Pencipta, tetapi mereka tidak akan dihisab atas pilihan etis.
Jin dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberikan keistimewaan dan beban berupa kehendak bebas, akal, dan hawa nafsu yang saling bertentangan. Pilihan untuk beribadah bagi mereka adalah pilihan yang sulit, yang memerlukan pengorbanan, perjuangan, dan penolakan terhadap godaan. Inilah yang membuat ibadah mereka unik dan bernilai. Tujuan penciptaan (Az Zariyat 58) secara khusus ditujukan kepada mereka karena mereka adalah subjek yang memiliki potensi untuk mencapai kesempurnaan tertinggi melalui ketaatan, atau jatuh ke lembah terendah melalui penolakan. Jin dan manusia adalah aktor moral dalam drama kosmis ini, dan ibadah adalah naskah drama yang harus mereka mainkan dengan sadar.
Oleh karena itu, ketika Az Zariyat ayat 58 menyatakan, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku," ayat ini menetapkan arena ujian yang sesungguhnya. Eksistensi kita adalah proses seleksi abadi: Siapa di antara kita yang paling baik amalnya, yang paling tulus pengabdiannya, meskipun memiliki ribuan potensi distraksi dan godaan.
Jika tujuan fundamental eksistensi adalah ibadah (pengabdian), maka kegagalan untuk menyadari dan melaksanakan tujuan ini akan menciptakan krisis eksistensial yang parah. Dalam terminologi spiritual, kondisi lupa atau abai terhadap tujuan ini disebut Ghaflah.
Ghaflah bukan sekadar lupa biasa; ia adalah kelupaan sistematis terhadap identitas dan tujuan hakiki. Individu yang berada dalam kondisi Ghaflah hidup seolah-olah tujuan hidupnya adalah akumulasi materi, pencapaian popularitas, atau pemuasan hasrat inderawi semata. Mereka menukar keabadian dengan kefanaan, substansi dengan ilusi. Ironisnya, semakin keras mereka berjuang mencapai tujuan duniawi yang mereka reka sendiri, semakin besar pula kegelisahan dan kekosongan yang mereka rasakan, karena hati mereka, yang diciptakan untuk menerima dan tunduk kepada Pencipta, diisi dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan fitrahnya.
Az Zariyat ayat 58 berfungsi sebagai obat penawar bagi Ghaflah. Ayat ini memaksa manusia untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk kehidupan dunia dan bertanya: Apakah yang sedang saya lakukan saat ini sejalan dengan alasan mengapa saya diciptakan? Apakah pekerjaan, waktu luang, dan interaksi saya adalah manifestasi dari ibadah, ataukah hanya sekadar pemenuhan kebutuhan temporer yang tidak memiliki bobot di timbangan keabadian?
Pengabaian terhadap Az Zariyat ayat 58 dapat mengambil banyak bentuk, seringkali terselubung dalam bentuk kesuksesan duniawi:
Setiap kegagalan di atas adalah penolakan implisit terhadap janji fundamental Az Zariyat 58. Ia adalah usaha untuk hidup mandiri dari Sang Pencipta, suatu usaha yang, berdasarkan ayat ini, pasti akan berakhir dengan kegagalan makna, bahkan jika secara lahiriah tampak berhasil dan mewah.
Bagaimana praktisnya mengaplikasikan perintah pengabdian total ini dalam kompleksitas kehidupan abad ini? Ibadah yang dituntut oleh Az Zariyat ayat 58 adalah sebuah transformasi cara pandang (paradigma), bukan sekadar penambahan daftar kegiatan. Ini adalah tentang mengubah 'mengapa' di balik setiap tindakan.
Berpikir, merenung (tafakkur), dan mencari ilmu pengetahuan adalah ibadah yang sangat ditekankan. Ketika manusia menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya untuk memahami hukum-hukum alam (ayat-ayat kauniyyah) atau hukum-hukum syariat (ayat-ayat qauliyyah), ia sedang mengoptimalkan fungsi penciptaannya. Mencari solusi bagi masalah kemanusiaan, menciptakan teknologi yang bermanfaat, atau bahkan hanya merenungkan kekuasaan Allah dalam penciptaan langit dan bumi, semuanya adalah bentuk pengabdian yang mendalam. Kebodohan atau penolakan terhadap ilmu yang bermanfaat adalah pengabaian terhadap salah satu alat utama yang diberikan kepada manusia untuk menyempurnakan pengabdiannya.
Pasar, kantor, pabrik, dan ladang adalah masjid-masjid luas tempat ibadah non-ritual dilaksanakan. Az Zariyat ayat 58 menuntut profesionalisme, etika, dan kejujuran tertinggi dalam transaksi. Seorang pebisnis yang jujur, yang tidak menipu timbangan, yang memenuhi janji kontrak, sedang beribadah. Keuntungan materi yang diperolehnya adalah hasil sampingan yang halal, namun tujuan utamanya adalah melaksanakan pengabdian kepada Allah melalui muamalah yang benar. Korupsi, kecurangan, dan eksploitasi adalah anti-tesis dari tujuan penciptaan, karena ia menempatkan keinginan diri di atas perintah Allah.
Keluarga adalah unit ibadah terkecil namun paling vital. Mendidik anak agar mereka memahami tujuan penciptaan (Az Zariyat 58), memperlakukan pasangan dengan kasih sayang dan hormat, serta berbakti kepada orang tua, adalah ibadah yang memiliki pahala besar. Ibadah dalam konteks sosial melibatkan pengorbanan ego demi kemaslahatan bersama. Menjadi warga negara yang baik, yang menjauhi kerusakan (fasad) dan menyebarkan kebaikan (ishlah), adalah pengaplikasian nyata dari tuntutan pengabdian total.
Ibadah holistik ini menuntut konsistensi. Konsistensi dalam niat (mengaitkan setiap tindakan dengan Allah), konsistensi dalam pelaksanaan (melakukan yang terbaik), dan konsistensi dalam evaluasi diri (muhasabah) adalah prasyarat untuk hidup di bawah payung tujuan penciptaan yang digariskan dalam Az Zariyat ayat 58.
Az Zariyat ayat 58, "Wa ma khalaqtul jinna wal-insa illa liya'buduun," bukanlah sekadar sebuah ayat yang dihafal; ia adalah piagam eksistensi, sebuah cetak biru kosmis yang mendefinisikan mengapa kita bernapas. Ayat ini memberikan martabat yang luar biasa pada keberadaan manusia dan jin, menegaskan bahwa hidup mereka memiliki nilai yang melampaui batas-batas materi.
Jika manusia mampu menginternalisasi tujuan tunggal ini, segala konflik internal dan eksternal akan menemukan jalan keluarnya. Kecemasan akan masa depan, kesedihan atas masa lalu, dan keputusasaan dalam menjalani kehidupan seringkali mereda ketika seseorang menyadari bahwa ia adalah seorang hamba yang memiliki tugas yang jelas dan mulia. Tugas ini adalah ibadah, pengabdian yang meliputi seluruh aspek kehidupan, dari ritual terkecil hingga keputusan global yang paling besar.
Pengabdian yang tulus, sebagaimana dituntut oleh ayat ini, membebaskan manusia dari perbudakan kepada hawa nafsu, kekayaan, popularitas, dan kekuasaan duniawi. Ketika seseorang beribadah kepada Allah semata, ia menjadi bebas dari ketergantungan kepada selain-Nya. Ini adalah kebebasan yang sesungguhnya, yang hanya dapat dicapai melalui ketundukan total yang diinstruksikan dalam Az Zariyat ayat 58.
Kesimpulannya, setiap jiwa, baik dari kalangan manusia maupun jin, memiliki kewajiban untuk terus menerus merenungkan dan mengimplementasikan makna 'Liya'buduun'. Hidup adalah perjalanan pulang menuju Pencipta, dan ibadah adalah peta jalannya. Kegagalan untuk mengikuti peta tersebut berarti tersesat dalam labirin dunia yang fana, sedangkan ketaatan pada tujuan penciptaan menjamin keselamatan dan kepuasan di dunia ini, serta kebahagiaan abadi di Akhirat kelak.
Maka, biarkan setiap niat, setiap ucapan, setiap perbuatan, dan setiap hembusan napas menjadi saksi atas pemenuhan perjanjian suci yang termaktub dalam Surah Az-Zariyat, ayat ke-58: pengabdian yang total dan tak terbagi kepada Allah Yang Maha Esa.
Penting untuk menggarisbawahi lagi bahwa pemahaman tentang Az Zariyat 58 menuntut konsistensi yang absolut. Konsep ibadah bukan hanya sekadar waktu yang dialokasikan, melainkan sebuah filter yang harus dilekatkan pada setiap persepsi realitas. Ketika seorang hamba memahami bahwa seluruh jagat raya dan segala isinya diciptakan untuk memfasilitasi tugas pengabdiannya, maka ia akan melihat sumber daya alam, pengetahuan, dan bahkan ujian hidup sebagai sarana ibadah. Air yang diminum, pakaian yang dikenakan, dan interaksi dengan sesama adalah ujian dan kesempatan pengabdian. Jika air diminum dengan kesyukuran (ibadah lisan dan batin), jika pakaian dikenakan dengan menutup aurat dan niat menjaga kehormatan (ibadah lahiriah), dan jika interaksi dilakukan dengan adil dan santun (ibadah sosial), maka seluruh waktu yang dihabiskan itu terhitung sebagai pemenuhan tujuan penciptaan.
Perjuangan terbesar manusia modern adalah melawan fragmentasi. Kita didorong untuk membagi hidup menjadi kotak-kotak yang terpisah: kotak agama, kotak kerja, kotak hiburan. Az Zariyat 58 merobohkan sekat-sekat ini. Ia mengajarkan bahwa kotak-kotak tersebut harus dilebur menjadi satu wadah besar yang bernama Pengabdian. Waktu di kantor adalah ibadah melalui kejujuran dan produktivitas; waktu bersama keluarga adalah ibadah melalui kasih sayang dan pendidikan; waktu tidur adalah ibadah melalui istirahat yang diniatkan untuk memulihkan energi agar dapat melanjutkan pengabdian esok hari. Kualitas ibadah seorang hamba ditentukan oleh sejauh mana ia mampu mengintegrasikan seluruh kotak kehidupannya ini ke dalam niat tunggal: 'illa liya'buduun'.
Lebih jauh lagi, kegelisahan sosial dan kekacauan moral yang kita saksikan di dunia seringkali merupakan hasil kolektif dari pengabaian tujuan ini. Ketika masyarakat secara kolektif melupakan mengapa mereka diciptakan, standar moral akan runtuh. Keadilan digantikan oleh kepentingan pribadi, kejujuran digantikan oleh taktik licik, dan empati digantikan oleh individualisme ekstrem. Masyarakat yang lupa akan Az Zariyat 58 akan mencari kebahagiaan melalui eksploitasi dan persaingan tak sehat, padahal kebahagiaan sejati hanya terletak pada kepatuhan terhadap tujuan Ilahi. Oleh karena itu, dakwah dan seruan untuk kembali kepada Tauhid dan pengabdian adalah tugas vital, karena ia adalah upaya untuk menyelamatkan bukan hanya individu, tetapi juga struktur sosial dari kehancuran makna.
Aspek ruhaniyah dalam ibadah sangat krusial. Pengabdian (ibadah) bukan hanya tentang melakukan gerakan, tetapi tentang kondisi hati (qalb). Az Zariyat 58 menuntut penyerahan hati (taslim) secara total. Bentuk-bentuk ibadah batiniah, seperti tawakkal (berserah diri), sabar (ketabahan), syukr (bersyukur), khauf (rasa takut), dan raja' (harapan), adalah fondasi yang menopang ibadah lahiriah. Tanpa tawakkal, seorang pekerja keras akan jatuh ke dalam kecemasan atas hasil yang di luar kendalinya; tanpa sabar, seorang hamba akan memberontak terhadap ujian dan musibah. Ujian hidup adalah sarana untuk menguji dan memperkuat ibadah batiniah ini. Ketika seorang hamba menghadapi kesulitan dengan ketabahan karena menyadari bahwa kesulitan tersebut adalah bagian dari ujian untuk menyempurnakan pengabdiannya, maka kesulitan itu sendiri telah bertransformasi menjadi ibadah yang mendalam.
Demikian pula, syukur adalah pengakuan batin yang terus menerus atas segala nikmat. Syukur bukanlah sekadar ucapan lisan; ia adalah penggunaan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Sang Pemberi Nikmat. Harta digunakan untuk kebaikan, kesehatan digunakan untuk ketaatan, dan waktu luang digunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Inilah cara hidup yang merefleksikan pemahaman yang matang terhadap Az Zariyat 58, di mana setiap aspek kehidupan diwarnai oleh pengakuan akan kebesaran Allah dan kewajiban untuk mengabdi.
Tidak mungkin melaksanakan Az Zariyat 58 secara benar tanpa ilmu. Ibadah tanpa ilmu dapat berubah menjadi bid'ah (inovasi yang tidak sesuai tuntunan) atau sia-sia (karena niatnya salah). Ilmu adalah kompas yang memastikan bahwa kapal pengabdian berlayar di jalur yang benar. Ilmu tentang syariat mengajarkan bagaimana cara beribadah yang diridhai Allah. Ilmu tentang dunia mengajarkan bagaimana menggunakan sumber daya alam secara bertanggung jawab dan adil, yang juga merupakan bagian dari pengabdian sosial. Oleh karena itu, menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu dunia yang bermanfaat, adalah salah satu bentuk ibadah tertinggi yang dituntut oleh Az Zariyat 58. Seseorang tidak bisa mengabdi dengan benar jika ia tidak mengetahui apa yang dicintai dan diridhai oleh Dzat yang ia abdi.
Perintah 'Liya'buduun' menempatkan tanggung jawab besar di pundak setiap individu untuk terus belajar dan memperbaiki kualitas pengabdiannya. Ibadah tidak statis; ia harus berkembang seiring dengan pertumbuhan pengetahuan dan kedewasaan spiritual seseorang. Semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang Allah, semakin sempurna pula kualitas ketundukan dan pengabdian yang ia berikan. Kesadaran ini menciptakan motivasi yang tak pernah padam untuk selalu mencari kebenaran dan kebaikan, menjadikan proses belajar seumur hidup sebagai ibadah itu sendiri.
Jin dan manusia, sebagai subjek utama Az Zariyat 58, diciptakan dengan potensi untuk memilih antara ketaatan dan pembangkangan. Godaan utama yang menghalangi terwujudnya tujuan penciptaan ini adalah syahwat (nafsu), syubhat (keraguan dan kebingungan intelektual), dan setan (musuh nyata yang bersumpah untuk menyesatkan). Pengabdian sejati (ibadah) adalah perjuangan (jihad) melawan ketiga elemen ini.
Melawan syahwat berarti menundukkan keinginan diri yang melampaui batas yang diizinkan Allah. Melawan syubhat berarti memperkuat keyakinan melalui ilmu dan merujuk kepada sumber otoritas yang benar (Al-Qur'an dan Sunnah). Melawan setan berarti menjaga benteng hati dan lisan dari bisikan yang mengajak pada kelupaan atau kemaksiatan. Az Zariyat 58 adalah seruan perang spiritual; perang untuk memastikan bahwa seluruh energi dan potensi yang diberikan kepada kita diarahkan pada ketaatan, bukan pada pemuasan diri yang temporer dan merusak.
Ayat ini juga memberikan penghiburan yang mendalam bagi mereka yang berjuang di jalan pengabdian. Ketika seorang hamba merasa lelah atau putus asa dalam perjuangan moral, ia harus kembali kepada Az Zariyat 58. Mengapa saya lelah? Karena saya berjuang memenuhi tujuan penciptaan saya. Mengapa saya diuji? Karena ujian adalah bagian dari proses penyempurnaan pengabdian. Kesulitan, pengorbanan, dan penolakan dari lingkungan yang abai adalah tanda-tanda bahwa seseorang berada di jalur yang benar, di mana ia sedang memenuhi amanah terberat yang pernah ditawarkan kepada makhluk berakal.
Puncak tertinggi dari pengabdian yang dituntut dalam Az Zariyat 58 bukanlah sekadar ketaatan mekanis, melainkan ibadah yang didorong oleh cinta yang mendalam (mahabbah) kepada Sang Pencipta. Beribadah karena takut (khauf) akan azab adalah tingkat dasar; beribadah karena mengharapkan pahala (raja') adalah tingkat menengah; tetapi beribadah karena cinta dan kerinduan untuk bertemu dan diridhai oleh Allah adalah tingkat yang paling tinggi dan paling murni.
Ketika ibadah didasarkan pada cinta, ia menjadi ringan dan menyenangkan, bukan beban yang memberatkan. Shalat menjadi waktu temu yang dinantikan, membaca Al-Qur'an menjadi santapan jiwa, dan berkorban di jalan kebaikan menjadi kebahagiaan sejati. Cinta inilah yang menyatukan semua aspek pengabdian—ritual, etika, dan sosial—menjadi satu harmoni yang indah. Hamba yang mencapai tingkat ini telah sepenuhnya menyadari dan mewujudkan makna dari 'illa liya'buduun' dalam setiap serat kehidupannya.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan Az Zariyat ayat 58 sebagai mantra hidup, sebagai navigasi abadi yang mengingatkan kita, di tengah segala kesibukan dunia, bahwa tujuan kita adalah pengabdian, dan pengabdian itu adalah jalan menuju pemenuhan diri yang hakiki dan kekal. Segala sesuatu selain pengabdian hanyalah hiasan fana, pengalih perhatian dari inti keberadaan yang sejati.
Pengabdian ini menuntut pembaruan niat setiap hari. Ia menuntut muhasabah diri setiap malam. Ia menuntut pengorbanan kenyamanan demi kebaikan yang lebih besar. Ia menuntut kejujuran total, baik di hadapan manusia maupun ketika sendirian. Inilah makna hidup, yang disimpulkan secara singkat, namun mendalam, dalam firman-Nya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Pengabdian ini harus menjadi poros utama dalam menentukan arah karir, pemilihan pasangan hidup, cara mendidik generasi penerus, dan pengelolaan harta benda. Jika porosnya adalah Az Zariyat 58, maka semua keputusan yang diambil akan memiliki fondasi spiritual yang kokoh, menghasilkan keberkahan, kedamaian, dan dampak positif yang berkelanjutan. Dunia yang kita tinggali ini adalah ladang untuk menanam benih-benih ibadah, yang buahnya akan dipetik di kehidupan yang akan datang. Betapa rugi bagi mereka yang menghabiskan seluruh hidupnya membajak tanah fana tanpa pernah menyadari bahwa tugas sejatinya adalah menanam benih keabadian.
Penghayatan Az Zariyat 58 juga mendorong umat manusia untuk bersatu dalam kebaikan. Jika tujuan kita semua sama—mengabdi kepada Tuhan Yang Satu—maka perbedaan-perbedaan kecil seharusnya tidak menjadi alasan perpecahan. Sebaliknya, tujuan bersama ini harus mendorong persaudaraan universal, di mana setiap individu saling membantu untuk mencapai tujuan pengabdian kolektif. Menasehati dalam kebenaran dan kesabaran (tawa sau bil haq wa tawa sau bis shabr) adalah wujud tertinggi dari ibadah sosial yang didasarkan pada kesadaran akan tujuan penciptaan. Kita adalah tim yang diciptakan untuk tujuan tunggal, dan kesuksesan seorang individu bergantung pada kesuksesan komunitasnya dalam melaksanakan pengabdian ini.
Oleh karena itu, setiap pagi yang menyingsing adalah panggilan baru untuk memperbaharui janji pengabdian. Setiap tantangan adalah peluang untuk menguatkan ibadah batin. Dan setiap nikmat adalah alasan untuk memperbanyak syukur, yang merupakan esensi dari ibadah. Dengan kesadaran penuh ini, kita dapat memastikan bahwa kita menjalani kehidupan yang benar-benar bermakna, kehidupan yang sepenuhnya selaras dengan tujuan luhur yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta alam semesta.