Kajian Mendalam Ayat 284, 285, dan 286: Cahaya Petunjuk dan Rahmat Ilahi
Tiga ayat penutup Surah Al-Baqarah, yaitu ayat 284, 285, dan 286, dikenal sebagai permata agung dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat ini tidak hanya merangkum intisari keimanan yang telah dijelaskan dalam surah terpanjang ini, tetapi juga menawarkan jaminan rahmat, keringanan (takhfif), dan pengampunan yang tak tertandingi dari sisi Allah SWT. Kedalaman makna, konteks penurunan (Asbabun Nuzul), serta janji-janji spiritual yang terkandung di dalamnya menjadikannya bacaan fundamental bagi setiap Muslim.
Kajian ini akan mengupas tuntas setiap ayat, mulai dari tantangan yang diungkapkan pada ayat 284, deklarasi keimanan pada ayat 285, hingga puncak kemurahan Ilahi dalam ayat 286. Ayat-ayat ini merupakan hadiah istimewa yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad SAW, menawarkan perlindungan dari beban yang tidak mampu dipikul serta memastikan bahwa setiap hamba dinilai sesuai dengan kapasitasnya.
Terjemah Makna: Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka, Dia mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat 284 turun setelah Allah SWT menjelaskan hukum-hukum muamalah (interaksi sosial), terutama hutang piutang, dan sebelum penegasan akidah. Ayat ini menegaskan kembali kedaulatan mutlak Allah (Tauhid Rububiyyah) atas seluruh alam semesta. Namun, bagian tengah ayat inilah yang menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan Sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu firman: "Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu."
Berdasarkan riwayat dari Imam Muslim dan lainnya, ketika ayat ini turun, para Sahabat merasa sangat terbebani. Mereka datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, kami dibebani dengan amal perbuatan (zahir) yang kami mampu, seperti salat, puasa, dan zakat. Tetapi kini, diturunkan ayat ini yang berkaitan dengan apa yang ada di dalam hati kami, dan itu adalah hal yang tidak bisa kami kendalikan sepenuhnya." Mereka khawatir bahwa bahkan bisikan hati (waswas) dan pikiran buruk yang terlintas akan dihisab, meskipun tidak diwujudkan dalam perbuatan nyata.
Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai status hukum Ayat 284 ini setelah turunnya Ayat 286. Sebagian ulama, seperti Imam Asy-Syafi'i, berpendapat bahwa Ayat 284 telah di-mansukh (dihapuskan) secara hukum oleh Ayat 286, khususnya pada bagian hisab atas niat yang belum diwujudkan. Alasan utama adalah janji Allah pada Ayat 286: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
Namun, mayoritas ulama, termasuk Ibn Jarir At-Tabari dan Ibn Kathir, lebih cenderung pada pandangan Takhfif (keringanan) atau Tafsir (penjelasan). Mereka berpendapat bahwa Ayat 284 tetap berlaku, tetapi hanya untuk jenis niat atau pikiran tertentu:
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang mereka bisikkan dalam hati mereka, selama mereka tidak melakukannya atau mengucapkannya." Dengan demikian, Ayat 284 berfungsi sebagai peringatan bahwa Allah Maha Mengetahui segala rahasia hati, sementara Ayat 286 memberikan jaminan rahmat bahwa Dia hanya menghisab niat yang telah ditetapkan atau diwujudkan dalam perbuatan.
Analisis linguistik terhadap frasa "yuhasibkum bihi Allah" (Allah akan membuat perhitungan dengan kamu) juga menunjukkan kekuasaan mutlak Allah untuk memilih siapa yang diampuni (يَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ) dan siapa yang diazab (وَيُعَذِّبُ مَن يَشَآءُ). Ayat ini ditutup dengan penegasan kekuasaan mutlak: "wallahu 'ala kulli syai'in Qadiir" (dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu), yang mempersiapkan mental hamba untuk menerima segala ketentuan-Nya dengan penuh kepasrahan.
Terjemah Makna: Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata): "Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun dari rasul-rasul-Nya," dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."
Ayat 285 adalah respons langsung dari kaum Mukminin terhadap beban yang terasa berat pada Ayat 284. Ayat ini merupakan deklarasi iman (Iqrar) yang paling ringkas namun komprehensif, mencakup seluruh pilar keimanan yang harus dimiliki seorang Muslim. Dimulai dengan pernyataan bahwa Rasulullah SAW telah beriman kepada wahyu yang diturunkan kepadanya, diikuti oleh kaum Mukminin.
Pilar-pilar keimanan yang disebutkan adalah enam dasar utama, meskipun dalam konteks ayat ini disebutkan empat pilar utama:
Keunikan dari keyakinan ini ditekankan pada frasa: "Lā nufarriqu baina ahadim mir rusulih" (Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun dari rasul-rasul-Nya). Ini adalah pembeda fundamental antara Islam dan keyakinan lain. Seorang Muslim wajib meyakini semua nabi dan rasul yang diutus Allah, dari Adam hingga Muhammad SAW, tanpa menolak atau mendiskreditkan salah satunya.
Ketika Ayat 284 turun dan terasa membebani, para Sahabat tidak mengatakan, "Kami dengar tetapi kami keberatan," seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian Bani Israil di masa lalu. Sebaliknya, respons mereka adalah penyerahan total: "Sami’na wa Atha’na" (Kami dengar dan kami taat).
Respons ini menunjukkan kedewasaan iman dan kepasrahan total (Islam) yang mereka miliki. Kepatuhan mereka yang tanpa syarat ini menjadi alasan utama Allah memberikan keringanan yang dijelaskan dalam Ayat 286. Ibn Kathir menjelaskan bahwa ketaatan dan penyerahan diri yang tulus ini mendatangkan janji rahmat dan pengampunan.
Bagian akhir dari Ayat 285 adalah doa: "Ghufraanaka Rabbana wa ilaikal masiir" (Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali). Setelah menyatakan keimanan dan ketaatan, mereka segera mengakui kelemahan diri dan kebutuhan mutlak mereka akan ampunan Allah, serta kesadaran penuh bahwa tujuan akhir dari kehidupan adalah kembali kepada-Nya.
Ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang kuat; ia mengesahkan keimanan sejati sebelum memberikan keringanan hukum, memastikan bahwa keringanan tersebut diberikan kepada hamba yang telah membuktikan kepasrahan dirinya.
Ayat 285 sering dibaca bersama Ayat 286 karena keutamaannya. Hadis sahih menunjukkan bahwa kedua ayat ini adalah dua cahaya (Nur) yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW dari perbendaharaan di bawah Arsy, yang tidak pernah diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya.
Disebutkan dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah RA, bahwa siapa pun yang membaca dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah pada suatu malam, maka cukuplah baginya (yakni, cukup melindungi dan memenuhinya dari segala keburukan dan kebutuhan spiritual malam itu).
Terjemah Makna: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Ayat 286 dibuka dengan salah satu prinsip fundamental Syariah Islam yang paling penting: "Lā yukallifullahu nafsan illā wus’ahā" (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya). Frasa ini secara efektif memberikan keringanan yang dibutuhkan setelah kekhawatiran yang timbul dari Ayat 284.
Makna dari Wus’ahā adalah kapasitas, kemampuan, atau batas maksimal yang bisa ditanggung oleh jiwa tanpa menimbulkan kesulitan yang ekstrem (Masyaqqah). Prinsip ini menjadi dasar bagi banyak hukum Fiqh, seperti keringanan dalam salat (qasar), puasa (rukhsah bagi musafir/sakit), dan bersuci (tayamum).
Ayat ini juga menegaskan konsep pertanggungjawaban individu: "Lahā mā kasabat wa ‘alayhā maktasabat" (Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya). Kebajikan (kasabat) dan keburukan (iktasabat) adalah hasil dari usaha sadar manusia, yang menunjukkan bahwa hisab adil hanya diterapkan pada perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran dan kemampuan.
Bagian kedua dari Ayat 286 adalah serangkaian doa yang diajarkan oleh Allah kepada umat Muslim, sebagai manifestasi dari kepasrahan mereka setelah mengatakan "Kami dengar dan kami taat." Doa ini terdiri dari tujuh permohonan yang meliputi permohonan ampunan, keringanan, maaf, rahmat, dan pertolongan.
Ini adalah permohonan spesifik terkait dengan waswas hati pada Ayat 284. Allah telah berjanji melalui lisan Nabi SAW bahwa Dia telah mengabulkan permohonan ini bagi umat ini. Kelupaan (Nisyān) dan ketidaksengajaan (Khata’) tidak akan dicatat sebagai dosa, selama itu bukan kelalaian yang disengaja. Ini adalah keringanan hukum yang luar biasa.
Kata Isr (beban berat/belenggu) merujuk kepada ketentuan-ketentuan Syariat yang sulit yang diberlakukan kepada umat terdahulu (seperti Bani Israil) akibat pembangkangan mereka. Contoh beban tersebut adalah kewajiban membunuh diri sebagai tobat, atau keharusan memotong bagian najis pada pakaian. Umat Muhammad SAW diberikan keringanan besar; Syariat Islam dibangun di atas kemudahan, sesuai dengan sabda Nabi: "Aku diutus membawa Syariat yang hanif (lurus) dan mudah."
Permohonan ini meluas dari beban Syariat menuju beban takdir, ujian, dan bencana. Ini adalah doa untuk memohon perlindungan agar tidak diuji melampaui batas kemampuan fisik, mental, atau spiritual. Ini adalah manifestasi dari pemahaman mendalam tentang prinsip Wus’ahā yang disebutkan di awal ayat.
Permintaan ‘Afw (Maaf) adalah permohonan untuk dihapuskannya bekas-bekas dosa, seolah-olah dosa itu tidak pernah ada. Ini lebih tinggi daripada ampunan biasa (Ghufran).
Permintaan Ghufrān (Ampunan) adalah permohonan agar Allah menutupi dosa-dosa kita di dunia dan akhirat, sehingga kita tidak dihukum karenanya.
Rahmat adalah inti dari segala kebaikan. Permintaan Rahmat adalah memohon segala kebaikan di dunia dan akhirat, yang meliputi bimbingan, perlindungan, dan tempat kembali yang mulia di Jannah.
Penutup doa ini merupakan penegasan kembali tauhid dan ketergantungan total kepada Allah sebagai Pelindung (Maulana). Doa ini memohon pertolongan dalam menghadapi segala bentuk permusuhan, baik dalam peperangan fisik, maupun dalam perjuangan melawan hawa nafsu dan kesesatan ideologi. Ini adalah kesimpulan yang sempurna, menutup Surah Al-Baqarah yang banyak membahas konflik dengan orang-orang yang ingkar.
Ketiga ayat ini saling terkait dalam sebuah alur naratif teologis yang mengajarkan tentang hubungan antara hamba dan Khalik:
Korelasi ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang realistis; ia menetapkan standar kesempurnaan (Ayat 284) tetapi juga menyediakan mekanisme ampunan dan keringanan (Ayat 286) ketika standar tersebut sulit dicapai, selama ada dasar ketaatan yang tulus (Ayat 285).
Untuk memahami kedalaman ayat terakhir Al-Baqarah, perlu diuraikan beberapa aspek linguistik dan implikasi hukumnya secara lebih detail.
Prinsip "Lā yukallifullahu nafsan illā wus’ahā" adalah kaidah hukum yang sangat penting. Dalam Usul al-Fiqh, ini dikenal sebagai prinsip Takhfif (pengurangan beban) dan Raf’ul Haraj (penghilangan kesulitan). Ini adalah fondasi dari seluruh konsep Rukhshah (dispensasi).
Meskipun ketiga kata ini sering diterjemahkan sebagai 'ampunan', ulama tafsir membedakan nuansa maknanya:
Urutan doa dalam ayat ini – Maafkan kami, Ampunilah kami, Rahmatilah kami – menunjukkan proses spiritual dari penghapusan dosa hingga penerimaan karunia Ilahi tertinggi.
Penting untuk mengulang dan memperjelas konsep Isr (beban) yang dipikul oleh umat sebelum Islam, yang mana umat Muhammad SAW dibebaskan darinya. Para mufassir menyebutkan beberapa contoh historis yang menunjukkan keagungan keringanan ini:
Permohonan untuk tidak memikul Isr adalah pengakuan akan kelemahan manusia dan penghargaan yang mendalam atas kemudahan yang diberikan Syariat Muhammad SAW.
Tiga ayat penutup Al-Baqarah ini bukan sekadar rangkaian teks, melainkan peta jalan spiritual bagi Mukmin. Pembacaan dan perenungan (Tadabbur) terhadap ayat-ayat ini memberikan pelajaran yang abadi.
Ayat 284 mengajarkan bahwa kesadaran akan pengawasan Allah harus meresap hingga ke dalam hati. Meskipun bisikan hati diampuni, Ayat 284 adalah pengingat konstan untuk memelihara hati dari niat buruk yang menetap, sebab niat adalah fondasi dari seluruh amal. Memperbaiki hati adalah jihad terbesar.
Ayat 285 menekankan universalitas pesan Ilahi. Keimanan yang benar adalah keimanan yang menyatukan semua nabi di bawah bendera Tauhid. Menolak satu rasul berarti menolak semua rasul. Ini adalah seruan persatuan akidah yang sangat kuat.
Ayat 286 menanamkan rasa aman dan damai. Islam bukanlah beban yang menghancurkan, tetapi sistem yang dirancang untuk manusia dengan segala keterbatasan mereka. Ini menghilangkan alasan bagi siapa pun untuk berputus asa atau meninggalkan kewajiban karena merasa tidak mampu.
Seluruh serangkaian doa dalam Ayat 286 adalah pengajaran praktis. Kita diajarkan untuk mengakui kelemahan, meminta maaf atas kekhilafan, memohon keringanan dari ujian masa lalu dan masa kini, serta memohon pertolongan dalam pertempuran spiritual dan duniawi. Mengakhiri surah dengan doa ini adalah penekanan bahwa doa adalah puncak ibadah dan pelengkap segala amal.
Doa penutup, "Anta Maulānā fānsurnā ‘alal qaumil kāfirīn", menegaskan konsep bahwa loyalitas tertinggi adalah kepada Allah (Maulana). Ini adalah pertolongan yang dicari dalam menghadapi musuh-musuh agama. Ini bukan hanya pertolongan militer, tetapi juga pertolongan ideologis dan spiritual agar Mukmin teguh di atas kebenaran.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman, mari kita telaah lebih lanjut pandangan ulama klasik mengenai aplikasi Ayat 286, terutama dalam konteks janji Allah yang terkandung dalam Hadits Qudsi.
At-Tabari menekankan bahwa setelah kaum Mukminin menyatakan ketaatan mutlak (Ayat 285), Allah memberikan penghargaan tertinggi dengan mengajarkan mereka doa yang dijamin terkabul (Ayat 286). At-Tabari secara khusus menafsirkan frasa 'Mā lā thāqata lanā bih' sebagai beban hukuman dan azab, memohon agar mereka tidak ditimpa azab yang tak tertahankan di dunia maupun di akhirat.
Ibn Kathir secara konsisten menyajikan riwayat dari Sahih Muslim yang menjelaskan respons Ilahi terhadap setiap bagian doa dalam Ayat 286. Dalam riwayat tersebut, disebutkan bahwa setiap kali Mukmin mengucapkan salah satu permintaan dalam doa tersebut, Allah menjawab: "Qad fa'altu" (Telah Aku lakukan) atau "Qad ajabtu" (Telah Aku kabulkan).
Detail janji ini menegaskan bahwa keringanan dan ampunan pada umat ini bukanlah sekadar harapan, melainkan jaminan Ilahi yang tersemat dalam ayat ini:
Jaminan pengabulan ini meningkatkan status dua ayat terakhir ini menjadi bacaan yang sarat kekuatan dan perlindungan (Hifdh).
Ayat ini juga menjelaskan dengan jelas konsep keadilan teologis dalam Islam. Manusia bertanggung jawab atas amalnya sendiri, baik positif maupun negatif. Tidak ada konsep dosa warisan. Frasa ini membedakan antara perbuatan baik (Kasabat, yang sering menyiratkan kemudahan dalam mendapatkan pahala) dan perbuatan buruk (Iktasabat, yang sering menyiratkan adanya usaha atau beban dalam mendapatkan dosa).
Ulama seperti Al-Qurtubi menekankan bahwa meskipun manusia tidak dapat menanggung dosa orang lain, ia bisa mendapatkan pahala dari amal yang diwariskan atau diajarkan kepada orang lain (sedekah jariyah), yang merupakan pengecualian dari prinsip individualitas amal, namun tetap sesuai dengan prinsip keadilan bahwa pahala kembali kepada yang mengusahakannya.
Tidak ada bagian lain dalam Al-Qur'an yang keutamaannya dijamin secara eksplisit dalam hadis sejelas dua ayat terakhir Surah Al-Baqarah. Pengamalannya memiliki dimensi perlindungan, kecukupan, dan spiritualitas yang luar biasa.
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Mas’ud Al-Badri, Nabi SAW bersabda: "Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah pada malam hari, maka cukuplah baginya."
Ulama berbeda pendapat mengenai makna "cukuplah baginya" (kāfatāh):
Dalam riwayat Mi’raj yang panjang, Ibnu Mas’ud RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW diberikan tiga hal pada malam Isra Mi’raj: Shalat lima waktu, penutup Surah Al-Baqarah, dan janji pengampunan bagi umatnya yang tidak menyekutukan Allah sedikit pun.
Ini menunjukkan bahwa dua ayat ini memiliki status yang sangat tinggi, yang diturunkan langsung di hadapan Allah tanpa melalui Jibril pada malam agung tersebut.
Membaca kedua ayat ini sebelum berdoa adalah sunnah yang kuat, karena ia mengingatkan hamba akan kelemahan mereka dan kekuasaan Allah, dan diakhiri dengan serangkaian permohonan yang dijanjikan pengabulannya. Ia memfasilitasi kerendahan hati yang esensial dalam berdoa.
Secara ringkas, Ayat 284, 285, dan 286 adalah kesimpulan yang sempurna bagi Surah Al-Baqarah. Surah ini dimulai dengan petunjuk bagi orang bertakwa, membahas prinsip tauhid, hukum-hukum muamalah, kisah para nabi, dan jihad. Ia ditutup dengan menegaskan kembali bahwa inti dari semuanya adalah keimanan yang kokoh, ketaatan yang tulus, dan kesadaran bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya melebihi batas kesanggupan mereka. Inilah rahmat terbesar bagi Umat Islam.
Penghayatan mendalam terhadap ayat-ayat ini harus menjadi bagian integral dari ibadah harian seorang Mukmin. Ketiga ayat ini adalah pelindung spiritual, penguat akidah, dan sumber ketenangan di tengah badai kehidupan. Ia menggarisbawahi keindahan dan kemudahan Syariat Islam yang dibangun atas dasar kasih sayang Ilahi.
Ketegasan Ayat 284 mengenai hisab niat adalah pengingat akan pentingnya pembersihan jiwa (Tazkiyatun Nafs). Kepasrahan total pada Ayat 285 menjadi contoh ideal bagi setiap Mukmin dalam menerima taklif (beban). Dan Ayat 286 adalah janji rahmat yang menghapus segala ketakutan dan keraguan, menjadikan ketaatan sebagai perjalanan yang penuh harap, bukan penuh beban. Itulah mengapa penutup Surah Al-Baqarah ini dijuluki sebagai Harta Karun di bawah Arsy, cahaya yang menerangi jalan umat ini hingga hari Kiamat.
Tentu, kajian tentang keutamaan dan makna ayat-ayat ini tidak akan pernah usai. Setiap kata di dalamnya menyimpan lautan hikmah. Frasa 'Anta Maulānā' bukan sekadar panggilan, melainkan pengakuan bahwa dalam setiap kesulitan, ujian, dan pertarungan melawan kefanaan, hanya Dia-lah satu-satunya Penolong, Pelindung, dan sandaran yang hakiki.
Kajian mendalam mengenai ayat-ayat ini mengarah pada pemahaman bahwa tuntutan agama selalu selaras dengan fitrah manusia. Keadilan ilahi ditegakkan melalui pertanggungjawaban individu, namun kasih sayang-Nya mengatasi kemurkaan. Ketiga ayat ini adalah representasi sempurna dari harmoni antara keadilan dan rahmat dalam ajaran Islam.
Setiap huruf dan harakat dalam ayat-ayat ini mengandung janji yang besar. Kesimpulan Surah Al-Baqarah, yang merupakan surah terpanjang dan paling detail dalam membahas pondasi hukum dan aqidah, diakhiri dengan penyelesaian konflik internal yang dialami oleh para Sahabat, yaitu antara pengetahuan Allah yang mutlak (Ayat 284) dan keterbatasan manusia (Ayat 286).
Inilah yang membedakan Syariat Nabi Muhammad SAW; ia memanusiakan manusia. Ia tidak menuntut kesempurnaan malaikat, melainkan kesungguhan hamba yang lemah. Doa yang panjang di akhir ayat 286 adalah bukti bahwa Allah tidak hanya ingin kita taat, tetapi juga ingin kita meminta, merengek, dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya.
Menutup Surah Al-Baqarah dengan doa pertolongan melawan kaum kafir juga menjadi isyarat simbolis. Setelah pondasi keimanan dan syariat telah kokoh di hati Mukmin (Ayat 285), langkah selanjutnya adalah perjuangan menegakkan kebenaran. Dan dalam perjuangan tersebut, senjata terkuat bukanlah kekuatan fisik semata, melainkan sandaran total kepada Allah sebagai Al-Maula, Pelindung yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu, ayat 284 hingga 286 merupakan penutup yang monumental, memberikan ketenangan batin, perlindungan dari beban Syariat yang berat, dan jaminan pengabulan doa, menjadikan Surah Al-Baqarah sebagai benteng iman yang tidak tertembus. Ketiga ayat ini mencakup dimensi Tauhid, Nubuwwah (Kenabian), Qadha wa Qadar (Takdir), dan kehidupan Akhirat, sekaligus menjadi ikrar ketaatan dan permohonan ampunan yang paripurna.