Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, berdiri sebagai fondasi utama ajaran Islam. Ia dimulai dengan penjelasan tentang sifat orang-orang bertakwa, ciri-ciri orang kafir, dan hipokrit, lalu berlanjut membahas hukum-hukum syariat, perintah ibadah, dan kisah-kisah umat terdahulu. Namun, klimaks dari surah agung ini terdapat pada dua ayat penutupnya, yaitu Ayat 285 dan 286, yang dikenal luas sebagai Amanar Rasulu.
Dua ayat ini bukan sekadar penutup formal, melainkan ringkasan teologis yang komprehensif, mencakup akidah, ketaatan, dan permohonan yang paling mendasar bagi umat Muhammad ﷺ. Kekuatan, makna, dan keistimewaan (fadhilah) dari dua ayat ini menjadikannya salah satu bagian Al-Qur'an yang paling sering dibaca dan dihafalkan oleh umat Muslim di seluruh dunia. Kajian mendalam mengenai dua ayat terakhir Al-Baqarah ini membuka pintu pemahaman terhadap prinsip inti dari ajaran tauhid dan konsep Ilahi tentang kapasitas manusia.
Dua ayat yang dimaksud adalah Ayat 285 dan Ayat 286 dari Surah Al-Baqarah. Keduanya diriwayatkan memiliki kedudukan istimewa karena diturunkan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ pada malam Mi'raj atau memiliki keterkaitan erat dengan peristiwa tersebut, menandai hadiah spesial dari Allah SWT kepada umatnya.
Kalimat pembuka, "Āmanar Rasūlu bimā unzila ilaihi mir Rabbihi," menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling pertama dan paling sempurna dalam mengimani wahyu yang diturunkan kepadanya. Ini adalah pengakuan akan kebenaran mutlak Al-Qur'an dan sunnah. Penggunaan kata Rasul di sini menekankan peran kenabiannya sebagai penyampai, bukan hanya sebagai individu.
Kemudian diikuti dengan “wal-mu’minūn,” menunjukkan bahwa umat yang beriman mengikuti jejak Rasulullah ﷺ. Ketaatan ini bersifat total dan menyeluruh. Ini adalah pernyataan solidaritas teologis, membedakan umat Islam dari umat-umat sebelumnya yang seringkali berselisih dengan nabi mereka.
Ayat ini menyebutkan secara berurutan Rukun Iman: kepada Allah (Tauhid), kepada Malaikat-Nya, kepada Kitab-kitab-Nya, dan kepada Rasul-rasul-Nya. Keimanan ini harus bersifat holistik dan tidak terpisahkan.
Pentingnya keimanan kepada kitab-kitab dan rasul-rasul sebelumnya (Taurat, Injil, Ibrahim, Musa, Isa, dsb.) menegaskan bahwa Islam adalah kelanjutan dan penyempurna dari agama tauhid yang sama. Tidak ada dualisme atau pemisahan dalam akidah kenabian.
Inilah yang membedakan akidah Muslim dari beberapa keyakinan lain. Seorang Muslim harus mengimani semua nabi dan rasul yang diutus oleh Allah SWT. Walaupun syariat mereka mungkin berbeda, sumber risalah mereka adalah satu, yaitu Allah SWT.
Penolakan terhadap pembedaan ini adalah pengakuan atas keadilan dan keesaan Allah dalam memilih utusan-Nya sepanjang sejarah manusia.
Frasa ini—"Kami dengar dan kami taat"—adalah inti dari penyerahan diri (Islam). Berbeda dengan Bani Israil yang dikisahkan pada awal Al-Baqarah yang mengatakan "Sami'na wa 'asaina" (Kami dengar, namun kami durhaka), umat Muhammad ﷺ menyatakan ketaatan penuh. Ini menunjukkan kesiapan umat ini untuk melaksanakan perintah Allah, meskipun perintah itu terasa berat atau bertentangan dengan hawa nafsu.
Frasa Sami’na wa Atha’na adalah janji suci seorang mukmin. Janji ini menjadi penyeimbang terhadap pengakuan akidah sebelumnya, memastikan bahwa iman diterjemahkan menjadi amal.
Setelah menyatakan ketaatan mutlak, seorang Muslim menyadari kelemahan dan keterbatasan dirinya. Oleh karena itu, ketaatan diiringi dengan permohonan ampunan (ghufranak). Ini mengajarkan bahwa sekecil apa pun ketaatan, ia tidak pernah cukup tanpa rahmat dan ampunan Ilahi. Penutup ayat ini mengingatkan akan tujuan akhir: “wa ilaikal-maṣīr”—hanya kepada Engkaulah tempat kembali. Kesadaran akan hari akhir adalah motivasi terbesar dalam ketaatan.
Ini adalah inti dari ajaran kemudahan dalam Islam. Allah SWT tidak akan membebani suatu jiwa melainkan dengan apa yang ia sanggup pikul (wus’ahā). Kata wus’ahā (kesanggupan) merujuk pada batas maksimal dari kemampuan fisik, mental, dan spiritual seseorang. Prinsip ini menghilangkan rasa takut akan tuntutan yang mustahil dalam agama.
Prinsip ini termanifestasi dalam banyak hukum syariat, seperti:
Paruh kedua dari ayat pertama 286 ini menetapkan prinsip pertanggungjawaban personal. Setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya. ‘Laha ma kasabat’ (untuknya apa yang ia usahakan/kebaikan) dan ‘alaiha maktasabat’ (atasnya apa yang ia kerjakan/keburukan).
Para ulama tafsir membedakan antara kata ‘kasabat’ (untuk kebaikan) dan ‘iktasabat’ (untuk keburukan). Meskipun maknanya mirip, penggunaan bentuk ifti'al (iktasabat) untuk keburukan terkadang diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan usaha keras dan kesengajaan yang lebih besar, menegaskan bahwa keburukan yang disengaja akan menjadi beban berat.
Bagian akhir ayat 286 adalah rangkaian doa yang menjadi puncak permohonan umat Muslim. Doa ini terbagi menjadi tiga permintaan utama mengenai penghapusan beban dan satu permohonan penutup.
Permintaan pertama: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa (nasīnā) atau kami tersalah (akhṭa’nā)." Ini adalah permintaan yang sangat penting karena mengakui bahwa manusia rentan terhadap kelalaian. Allah SWT telah menjawab doa ini, sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih, bahwa Allah telah mengangkat dosa yang dilakukan karena lupa atau tanpa disengaja dari umat ini.
Nisyān (lupa) berarti tidak mengingat kewajiban, sementara khata’ (salah/kekeliruan) adalah melakukan sesuatu tanpa sengaja melanggar batas (misalnya, salah qiblat atau salah mengucapkan sumpah). Permohonan ini menegaskan rahmat Allah bahwa manusia tidak dihukum atas kekurangan bawaan manusiawi ini.
Permintaan kedua: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat (iṣran) sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami." Iṣran diartikan sebagai beban yang sangat berat dan memberatkan, seringkali merujuk pada syariat keras yang dikenakan pada Bani Israil sebagai hukuman atas pemberontakan mereka, seperti keharusan membunuh diri sendiri untuk tobat, atau larangan-larangan yang sangat kaku.
Umat Muhammad ﷺ memohon agar Syariat Islam tetap mudah dan tidak menjadi hukuman. Jawaban atas doa ini adalah Syariat Islam yang adaptif, fleksibel, dan penuh keringanan (rukhas).
Permintaan ketiga: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya." Ini adalah penegasan kembali dan penguatan dari prinsip ‘illa wus’ahā’. Meskipun syariat itu sendiri sesuai kapasitas, manusia mungkin diuji dengan musibah, cobaan, atau penyakit yang melebihi batas kesabaran. Doa ini memohon perlindungan dari cobaan yang dapat meruntuhkan iman seseorang.
Para ulama juga menafsirkan ‘mā lā ṭāqata lanā bihi’ sebagai godaan besar yang dapat menyesatkan seluruh umat, seperti munculnya fitnah Dajjal atau azab yang membinasakan. Ini adalah permohonan akan keteguhan di tengah ujian terberat.
Ayat ditutup dengan tiga permohonan utama yang saling terkait:
Penutup ayat ini adalah deklarasi tawakkal dan permohonan pertolongan: "Anta Mawlānā fa-nṣurnā ‘alal-qawmil-kāfirīn" (Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir). Ini adalah permohonan kemenangan, baik kemenangan fisik atas musuh, maupun kemenangan spiritual atas godaan setan dan hawa nafsu.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa beliau diberikan tiga hal pada malam Mi’raj: Shalat lima waktu, penutup Surah Al-Baqarah, dan pengampunan bagi dosa-dosa besar umatnya kecuali syirik.
Hadis lain, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, menguatkan bahwa ayat-ayat ini diturunkan bersama sebuah Malaikat. Ketika malaikat itu turun, ia berkata: "Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, yang belum pernah diberikan kepada Nabi sebelummu: Fatihatul Kitab dan penutup Surah Al-Baqarah. Kamu tidak akan membaca satu huruf pun darinya melainkan akan diberikan kepadamu."
Ini menunjukkan bahwa ayat-ayat ini adalah Nur (Cahaya) yang istimewa, sebuah karunia yang melampaui apa yang diterima oleh para nabi terdahulu.
Hadis dari Abu Mas’ud Al-Badri, Rasulullah ﷺ bersabda:
Para ulama menafsirkan "mencukupinya" (kifayah) dalam beberapa makna:
Diriwayatkan oleh Muslim, Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang membaca penutup Surah Al-Baqarah, dan sampai pada doa ‘Rabbanā lā tu’ākhidznā in nasīnā aw akhṭa’nā’, maka Allah menjawab: ‘Ya, Aku telah mengabulkannya.’ Dan seterusnya, Allah menjawab 'Ya' untuk setiap permohonan dalam ayat 286.”
Persetujuan Ilahi yang eksplisit ini menjadikan ayat 286 sebagai salah satu doa yang paling dijanjikan pengabulannya dalam Al-Qur'an. Ini memberikan ketenangan luar biasa bagi seorang Muslim bahwa doa yang diucapkan saat menutup surah ini adalah doa yang pasti dijawab oleh Sang Pencipta.
Ayat 286 menggunakan dua istilah yang berkaitan dengan kapasitas:
Perbedaan ini menunjukkan bahwa Syariat Islam berada dalam batas wus’a, namun cobaan hidup (ujian) bisa saja mengancam batas ṭāqah. Oleh karena itu, kita memohon perlindungan dari keduanya.
Kata ‘iṣran’ memiliki konotasi beban yang mengikat, memberatkan, dan sulit dilepaskan. Dalam konteks ayat ini, ini merujuk pada beban syariat yang ditimpakan kepada umat terdahulu (terutama Bani Israil) sebagai konsekuensi dari pengingkaran mereka terhadap nabi-nabi mereka. Beberapa contoh isr yang harus mereka tanggung:
Permintaan umat Muslim agar tidak dibebani isr adalah pengakuan akan nikmat kemudahan dalam syariat Muhammad ﷺ, yang dibangun di atas prinsip penghapusan kesulitan (raf'ul haraj).
Secara teologis, kedua ayat ini berinteraksi secara harmonis. Ayat 285 adalah deklarasi totalitas ketaatan (Sami’na wa Atha’na). Jika ketaatan bersifat total, bukankah ini akan terasa memberatkan?
Ayat 286 memberikan jaminan Ilahi: Ketaatan total tersebut tidak akan pernah melampaui batas kemampuan fisik dan mental hamba-Nya. Dengan kata lain, Allah meminta ketaatan penuh, tetapi Dia berjanji bahwa tuntutan ketaatan itu selalu adil dan manusiawi. Ini adalah keseimbangan sempurna antara tuntutan Ilahi dan kapasitas manusiawi.
Terjemahan: "Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu mengenainya. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Ketika Ayat 284 ini turun, para sahabat sangat terkejut dan ketakutan. Mereka mengira bahwa mereka akan dihisab atas bisikan-bisikan jahat dan lintasan pikiran negatif yang tidak dapat mereka kendalikan.
Meskipun mereka khawatir, para sahabat memilih ketaatan (Sami’na wa Atha’na, Ayat 285). Karena ketaatan dan penyerahan diri mereka ini, Allah SWT kemudian menurunkan Ayat 286 sebagai penghibur dan keringanan, menafsirkan dan membatasi makna hisab pada Ayat 284.
Ayat 286 dengan tegas menyatakan bahwa: Meskipun Allah Maha Mengetahui segala yang tersembunyi, Dia tidak akan membebankan syariat atau menghisab perbuatan kecuali sesuai kesanggupan (kecuali niat buruk yang diwujudkan menjadi perbuatan). Ayat 286 adalah rahmat yang menghapus kekhawatiran yang ditimbulkan oleh Ayat 284, menunjukkan bahwa janji ampunan Ilahi mendahului ancaman hisab.
Ketika seorang Muslim menghadapi kesulitan yang tampak mustahil diatasi—baik itu penyakit kronis, masalah keuangan yang berat, atau konflik keluarga—ayat 286 menjadi pengingat utama. Keyakinan pada ‘Lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā’ menanamkan optimisme bahwa Allah tidak akan memberi cobaan yang benar-benar di luar kemampuan dasar spiritualnya untuk bertahan dan bersabar.
Jika cobaan itu datang, maka ia adalah bagian dari ‘mā lā ṭāqata lanā bihi’, dan doa di akhir ayat adalah jalan keluarnya. Pembacaan ayat ini dengan penghayatan yang mendalam berfungsi sebagai terapi spiritual.
Pengucapan ‘Sami’na wa Atha’na’ bukan hanya slogan. Ia harus diwujudkan dalam konsistensi beribadah. Setiap perintah yang datang dari Al-Qur'an dan Sunnah, mulai dari menutup aurat hingga berinteraksi sosial, harus dihadapi dengan penyerahan diri total, karena kita telah dijamin bahwa perintah tersebut tidaklah melebihi batas wus’a kita.
Ayat 285, dengan penekanan pada ‘Lā nufarriqu baina aḥadim mir rusulihī’, mengajarkan prinsip toleransi beragama yang sejati. Ini bukan toleransi yang mengkompromikan akidah, melainkan pengakuan bahwa semua nabi membawa risalah tauhid yang sama. Hal ini memberikan dasar yang kuat bagi Muslim untuk menghormati dan mengakui nabi-nabi terdahulu seperti Musa dan Isa, sambil tetap memegang teguh penyempurnaan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Permintaan akan pengampunan atas kelalaian yang tidak disengaja. Ini berkaitan dengan kelemahan memori dan kecerobohan alami manusia.
Permintaan pengampunan atas kesalahan yang muncul dari kekeliruan interpretasi atau tindakan yang tidak dimaksudkan untuk melanggar hukum. Ini melindungi kita dari hasil yang tidak diinginkan dari ijtihad yang keliru.
Permintaan untuk menjaga Syariat Islam tetap mudah dan terbebas dari hukuman yang memberatkan, yang merupakan cerminan dari kemuliaan umat Muhammad.
Permintaan perlindungan dari ujian yang melebihi daya tahan, yang bisa mengarah pada putus asa, kekafiran, atau kehancuran total.
Permintaan yang lebih tinggi dari pengampunan. ‘Afu berarti menghapus jejak dosa sepenuhnya, seolah-olah dosa itu tidak pernah ada, termasuk penghapusan catatan amal yang buruk.
Permintaan untuk menutupi dosa-dosa dan melindunginya dari kehinaan di hari kiamat.
Permintaan rahmat yang universal, meliputi pengampunan masa lalu, perlindungan masa kini, dan kebaikan di masa depan (Surga). Rahmat adalah kunci segala karunia Ilahi.
Ketujuh permohonan ini didahului dengan penegasan posisi Allah sebagai Pelindung (Anta Mawlānā), yang diikuti dengan permohonan terakhir untuk pertolongan (Fa-nṣurnā). Urutan ini mengajarkan bahwa sebelum meminta pertolongan, seorang hamba harus terlebih dahulu memohon pembersihan diri (melalui ampunan dan rahmat) dan penyerahan total (melalui Mawlānā).
Al-Baqarah dimulai dengan: "Żālikal-Kitābu lā rayba fīhi, hudal lil-muttaqīn" (Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa). Ayat ini mendefinisikan Qur'an sebagai petunjuk bagi yang bertakwa.
Ayat 285 menutupnya dengan: "Āmanar Rasūlu bimā unzila ilaihi mir Rabbihi wal-mu'minūn" (Rasul beriman kepada apa yang diturunkan, demikian juga orang-orang beriman). Ini adalah respons praktis terhadap petunjuk yang ditawarkan di awal surah—yaitu, respons ketaatan dan keimanan total.
Jika awal surah menetapkan standar (takwa), penutup surah memberikan fondasi akidah dan doa yang memungkinkan hamba untuk mencapai standar tersebut, sambil menjamin bahwa Allah tidak akan pernah meminta lebih dari kemampuan hamba-Nya.
Sepanjang Al-Baqarah, banyak hukum dan kewajiban disajikan (Puasa, Haji, Warisan, Perkawinan, Riba). Setelah menetapkan semua hukum ini, Allah SWT menyegel surah dengan jaminan teologis bahwa semua hukum tersebut telah dirancang sesuai dengan kapasitas manusia.
Jaminan 'Lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā' adalah kunci yang membuka pintu kemudahan bagi semua syariat yang telah dijelaskan di sepanjang surah. Tanpa jaminan ini, hukum-hukum tersebut mungkin terasa memberatkan dan menakutkan.
Ath-Thabari fokus pada aspek historis dan bahasa. Ia menekankan bahwa ‘Sami’na wa Atho’na’ adalah pujian dari Allah terhadap umat Muhammad ﷺ yang telah berhasil mencapai tingkat ketaatan yang tidak dicapai oleh umat sebelumnya. Beliau menjelaskan bahwa dua ayat ini adalah hadiah atas ketaatan tersebut, terutama setelah kekhawatiran yang muncul akibat Ayat 284. Thabari melihat ayat ini sebagai bukti Rahmat Ilahi yang terwujud dalam pengakuan iman.
Al-Baghawi, dengan fokus pada hadis dan riwayat, lebih menyoroti fadhilah (keutamaan) dan asbabun nuzul. Beliau mengumpulkan riwayat tentang Mi’raj dan turunnya malaikat pembawa cahaya (ayat-ayat ini). Bagi Al-Baghawi, keistimewaan ayat ini terletak pada janji perlindungan (kifayah) bagi mereka yang membacanya di malam hari, menekankan aspek praktis perlindungan spiritual.
Ar-Razi, dengan pendekatan teologis dan filosofis, menganalisis hubungan antara Ayat 285 dan Ayat 286. Beliau berpendapat bahwa 285 adalah penetapan hak Allah (Tauhid dan Rukun Iman), sementara 286 adalah penetapan hak hamba (kemudahan dan keringanan). Ar-Razi menjelaskan secara rinci perbedaan antara wus’a dan ṭāqah dalam konteks filsafat teologi (kalam), menegaskan bahwa Allah tidak mungkin menetapkan taklif yang mustahil secara rasional.
Ketiga perspektif ini menyimpulkan bahwa ayat terakhir Al-Baqarah adalah puncak dari Surah: (1) Pernyataan ketaatan penuh, (2) Pengakuan prinsip tauhid universal, dan (3) Jaminan Rahmat Ilahi yang membebaskan manusia dari beban yang tak tertahankan.
Dengan mengamalkan dan merenungkan ayat-ayat ini, seorang Muslim diperkuat di hadapan cobaan hidup, dijamin dalam perlindungan Ilahi, dan diingatkan bahwa meskipun jalan ketaatan mungkin menantang, ia tidak pernah mustahil. Amanar Rasulu adalah cahaya yang menerangi jalan menuju ketaatan dan penyerahan diri, menegaskan bahwa pada akhirnya, keselamatan, ampunan, dan pertolongan hanyalah milik Allah, Pelindung sejati kita.