Menyelami Kedalaman Ayat-Ayat Suci Mengenai Ikatan Kekerabatan
Silaturahmi merupakan salah satu konsep etika sosial dan spiritual yang paling fundamental dalam ajaran Islam. Secara bahasa, kata ini terdiri dari dua komponen utama: 'Silah' yang berarti hubungan, ikatan, atau sambungan; dan 'Ar-Rahim' (atau Arham) yang berarti rahim atau kekerabatan. Dengan demikian, silaturahmi secara harfiah berarti menyambung tali kekerabatan yang berasal dari satu rahim.
Namun, makna silaturahmi dalam konteks syariat meluas mencakup tidak hanya ikatan darah langsung (seperti orang tua, anak, saudara kandung), tetapi juga kerabat jauh (paman, bibi, sepupu, dan seterusnya). Kewajiban ini adalah refleksi nyata dari tauhid dan keimanan seseorang, karena ia berakar pada perintah Allah SWT untuk berbuat baik dan menjaga keharmonisan.
Kewajiban ini menduduki posisi yang sangat tinggi, seringkali disandingkan dengan perintah untuk bertakwa kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa kesalehan individual (vertikal) tidak akan sempurna tanpa adanya kesalehan sosial (horizontal). Mengabaikan ikatan kekerabatan tidak hanya dianggap sebagai dosa sosial, tetapi juga sebagai tindakan merusak tatanan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta, sebagaimana yang akan kita telaah dalam ayat-ayat berikut.
Pembahasan ini akan mengupas tuntas ayat-ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit maupun implisit berbicara mengenai silaturahmi, meliputi aspek perintah, keutamaan, konsekuensi bagi yang memutuskannya, serta panduan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks. Pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat ini diharapkan dapat menguatkan komitmen kita untuk senantiasa menjaga dan mempererat ikatan suci ini.
Ayat pertama yang menjadi pilar utama pembahasan silaturahmi diletakkan di awal surat yang secara khusus membahas hukum dan hak-hak wanita dan keluarga, yaitu Surah An-Nisa.
Ayat ini adalah salah satu ayat terpenting yang menetapkan fondasi etika sosial dalam Islam. Perhatikanlah susunan kalimatnya yang menggabungkan dua perintah takwa:
Penyandingan takwa kepada Allah dengan pemeliharaan rahim menunjukkan bahwa silaturahmi bukanlah sekadar etika sosial belaka, melainkan ibadah yang setara dengan menjaga janji dan sumpah kepada Allah. Imam Qatadah menjelaskan bahwa ayat ini melarang memutuskan silaturahmi yang dapat menyebabkan keretakan pada janji-janji yang kita buat atas nama Allah.
Ayat ini mengajarkan bahwa seluruh umat manusia, terlepas dari suku dan bangsa, berasal dari sumber yang sama. Prinsip ini menghilangkan dasar-dasar kesombongan rasial dan menanamkan rasa tanggung jawab kolektif. Ketika Allah memerintahkan pemeliharaan al-arham, itu adalah pengakuan ilahi terhadap pentingnya institusi keluarga sebagai unit dasar masyarakat yang adil dan stabil.
Para ulama tafsir menegaskan bahwa makna dari ‘bertakwalah kepada Allah dan rahim’ adalah menjauhkan diri dari perbuatan yang merusak hubungan kekerabatan dan melaksanakan hak-hak mereka. Hak-hak ini meliputi kunjungan, bantuan finansial jika mereka membutuhkan, serta doa. Kegagalan dalam hal ini dianggap sebagai kegagalan dalam takwa.
Walaupun ‘Arham’ secara khusus merujuk pada kerabat yang memiliki hubungan darah, implikasi moralnya sering kali diperluas oleh para ahli fiqh dan akhlak untuk mencakup hubungan yang lebih luas, terutama persaudaraan seiman. Namun, harus ditekankan bahwa kewajiban paling mendesak tetap ada pada kerabat sedarah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ar-Rahim tergantung di 'Arsy. Ia berkata: Barang siapa menyambungku, Allah akan menyambungnya; dan barang siapa memutuskanku, Allah akan memutuskannya.” Hadis Qudsi ini memperkuat posisi 'rahim' (kekerabatan) sebagai sesuatu yang memiliki status spiritual yang independen dan agung di sisi Allah.
Dengan menempatkan silaturahmi sebagai bagian integral dari takwa, QS. An-Nisa ayat 1 menggarisbawahi bahwa hubungan kemanusiaan yang sehat adalah prasyarat untuk mendapatkan keridhaan Ilahi. Jika seseorang lalai terhadap ikatan yang paling dekat dengannya, bagaimana mungkin ia bisa memenuhi hak-hak Allah yang Maha Luas?
Lebih jauh, ayat ini menjadi peringatan bahwa "Innallaha kana 'alaikum raqiba" (Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu). Pengawasan Allah ini tidak hanya berlaku untuk ibadah ritual, tetapi juga untuk interaksi sosial kita, memastikan bahwa setiap pelanggaran terhadap hak-hak kerabat tercatat dan akan dipertanggungjawabkan.
Jika QS. An-Nisa: 1 memberikan perintah fundamental, maka ayat-ayat dalam Surah Muhammad memberikan peringatan yang sangat keras mengenai konsekuensi bagi mereka yang lalai atau bahkan sengaja memutus tali kekerabatan.
Ayat ini menghubungkan dua dosa besar: membuat kerusakan di muka bumi (ifsad fil ardh) dan memutus tali kekerabatan (taqatti’u arhamakum). Penempatan kedua dosa ini secara berdampingan dalam satu kalimat menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran terhadap silaturahmi.
Mengapa memutus tali kekerabatan dianggap sebagai kerusakan di bumi? Karena keluarga adalah batu bata pertama dari masyarakat. Ketika keluarga retak, seluruh tatanan sosial akan melemah. Keretakan ini menghasilkan konflik, permusuhan, penelantaran hak, dan ketidakadilan. Dalam pandangan Islam, masyarakat yang adil dan damai tidak dapat dibangun di atas fondasi keluarga yang rusak.
Frasa ‘fahala ‘asaitum in tawallaitum’ (apakah kiranya jika kamu berkuasa/berpaling) merupakan pertanyaan retoris yang mengandung celaan. Ayat ini memperingatkan orang-orang yang, setelah mendapatkan kekuasaan atau pengaruh (baik kekuasaan politik, kekayaan, atau kekuatan sosial), cenderung melupakan kewajiban moral mereka, termasuk hak-hak kerabat. Kekuasaan seringkali menjadi ujian terberat bagi hati, yang dapat menyebabkan seseorang sombong dan memutuskan hubungan yang dianggap ‘tidak menguntungkan’.
Konsekuensi bagi pelaku dosa ini sangat mengerikan: laknat dari Allah (la'anahumullahu), ketulian spiritual (fa asammahum), dan kebutaan mata hati (wa a’ma absharahum).
Dalam konteks tafsir, Imam Al-Qurtubi dan para mufassir lainnya menekankan bahwa ayat ini memberikan ilustrasi yang jelas bahwa dosa-dosa sosial, terutama yang berkaitan dengan kekerabatan, memiliki dampak langsung pada kemampuan seseorang untuk memahami dan menerima kebenaran ilahi. Ini adalah hukuman di dunia sebelum hukuman di akhirat tiba.
Memutus silaturahmi tidak selalu berupa permusuhan terbuka. Ia bisa bermanifestasi dalam bentuk:
Ayat QS. Muhammad ini berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa harta, kekuasaan, dan status tidak boleh menjadi penghalang antara seseorang dengan darah dagingnya. Kewajiban silaturahmi tetap mutlak, baik kerabat itu miskin, kaya, saleh, atau bahkan fasik, selama mereka masih berada dalam ikatan kekerabatan yang sah.
Surah Ar-Ra’d menyajikan perbandingan yang sangat kontras antara sifat-sifat Ulul Albab (orang-orang yang berakal dan memiliki pemahaman mendalam) dan karakteristik orang-orang fasik. Di antara sifat utama Ulul Albab adalah menjaga ikatan yang diperintahkan Allah untuk disambung, dan ikatan itu terutama adalah silaturahmi.
Poin sentral dari ayat 21 adalah "Wa alladhina yasilūna mā amarallahu bihi an yūsala" (Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan). Para mufassir sepakat bahwa kewajiban utama yang harus dihubungkan adalah silaturahmi, diikuti oleh kewajiban terhadap sesama Muslim, dan hubungan spiritual dengan Allah.
Ayat ini mengajarkan bahwa menjaga silaturahmi memerlukan tiga pilar spiritual utama:
Pahala yang dijanjikan bagi mereka yang memiliki sifat-sifat ini, termasuk menjaga silaturahmi, adalah ‘Uqbad Dar’ (tempat kesudahan yang baik), yaitu Surga Adn (surga keabadian).
Sebagai kontras, Allah SWT kemudian menjelaskan karakteristik orang-orang yang diharamkan dari Surga Adn:
Ayat ini adalah cerminan negatif dari ayat 21. Tiga tindakan buruk yang disorot adalah:
Perhatikan bahwa hukuman bagi mereka yang memutus silaturahmi adalah laknat (kutukan) dan ‘su’ud dar’ (tempat kediaman yang buruk), yaitu neraka. Pengulangan ancaman laknat—seperti yang telah disebutkan dalam QS. Muhammad—menegaskan bahwa Allah sangat membenci perbuatan ini. Ini bukan sekadar kesalahan, melainkan dosa yang menempatkan pelakunya dalam kategori perusak tatanan Ilahi di bumi.
Konsekuensi dari memutus silaturahmi tidak hanya bersifat eskatologis (di akhirat), tetapi juga sosial dan psikologis di dunia. Seseorang yang memutus kekerabatan cenderung hidup dalam kecemasan, kurang berkah, dan jauh dari kedamaian hati. Ikatan kekeluargaan seharusnya menjadi sumber kekuatan dan pertolongan, namun ketika ikatan itu diputus, individu tersebut kehilangan dukungan moral dan material yang sangat dibutuhkan.
Para ulama juga menafsirkan ‘su’ud dar’ sebagai rumah atau keadaan yang buruk di dunia. Orang yang memutuskan tali kekeluargaan cenderung menghadapi kesulitan yang tidak terduga, hilangnya berkah dalam rezeki, dan kesulitan dalam urusan pribadi mereka, seolah-olah pintu kebaikan ditutup dari sisi manapun mereka mencoba memasukinya.
Perbedaan antara Ulul Albab dan Pelanggar Janji terletak pada kesadaran mereka terhadap hubungan kekerabatan sebagai ibadah. Bagi Ulul Albab, silaturahmi adalah jembatan menuju Surga; bagi yang lain, ia adalah jurang yang menjerumuskan ke dalam Neraka.
Meskipun ayat ini tidak secara eksplisit menggunakan kata ‘silaturahmi’, ia memberikan landasan etika komprehensif yang di dalamnya termasuk kewajiban terhadap kerabat. Ayat ini dikenal sebagai ayat yang merangkum semua prinsip kebaikan dan keadilan.
Ayat ini menggariskan tiga perintah positif yang menjadi tulang punggung masyarakat Muslim:
Penyebutan "Ita'i Dzil Qurba" (memberi kepada kaum kerabat) secara terpisah, setelah perintah umum keadilan dan kebajikan, menunjukkan bahwa kerabat memiliki hak yang melebihi orang lain. Dalam konteks sedekah dan bantuan finansial, sedekah kepada kerabat yang membutuhkan (terutama yang bukan tanggungan wajib) dihitung sebagai dua pahala: pahala sedekah dan pahala silaturahmi.
Ayat ini mengajarkan bahwa silaturahmi tidak hanya diwujudkan melalui kunjungan fisik, tetapi juga melalui dukungan material dan non-material. Memberi pertolongan kepada kerabat yang kesulitan ekonomi, memberikan nasehat yang baik, atau sekadar meringankan beban mental mereka adalah bagian integral dari kewajiban ini.
Di sisi lain, ayat ini melarang tiga keburukan utama:
Jika kita meninjau ulang, sebagian besar pelanggaran silaturahmi terjadi karena adanya salah satu dari tiga larangan ini, terutama Al-Baghyi. Konflik warisan, perselisihan karena status sosial, dan fitnah seringkali berakar pada kezaliman dan permusuhan. Dengan memerintahkan silaturahmi dan melarang Al-Baghyi, Allah menutup celah bagi setan untuk merusak unit keluarga.
Maka, implementasi silaturahmi berdasarkan QS. An-Nahl: 90 adalah bersifat proaktif dan preventif: proaktif dalam memberikan kebaikan dan bantuan (Ihsan dan Ita’i Dzil Qurba), serta preventif dalam menghindari konflik dan kezaliman (Al-Baghyi).
Meskipun banyak ayat yang berfokus pada ancaman spiritual bagi pemutus tali, terdapat pula ayat yang secara spiritual memberikan janji kebaikan dan kelapangan rezeki bagi pelaksana silaturahmi. Janji ini seringkali diperkuat melalui Hadis Nabi SAW yang berfungsi sebagai tafsir praktis ayat-ayat tersebut.
Salah satu janji yang paling terkenal adalah mengenai perpanjangan umur dan kelapangan rezeki. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ayat-ayat Al-Qur'an tentang rezeki seringkali mengaitkan rezeki dengan ketakwaan, dan karena silaturahmi adalah bagian integral dari takwa, maka janji rezeki dan keberkahan secara otomatis tersemat di dalamnya. Contohnya adalah QS. Ath-Thalaq (65): 2-3:
Mengapa silaturahmi memiliki korelasi yang kuat dengan rezeki? Karena silaturahmi adalah tindakan iman yang menuntut pengorbanan, baik waktu, tenaga, maupun harta. Ketika seorang hamba dengan tulus meluangkan waktu dan mengeluarkan biaya untuk mengunjungi atau membantu kerabatnya, ia menunjukkan kebergantungan total kepada Allah.
Allah membalas pengorbanan ini dengan berkah (barakah). Berkah dalam umur tidak selalu berarti hidup lebih lama secara kuantitatif, tetapi kualitatif; umurnya dipenuhi dengan amal saleh yang bermanfaat. Berkah dalam rezeki tidak selalu berarti menjadi sangat kaya, tetapi rezeki yang ada terasa cukup, mudah didapat, dan memberikan kedamaian (qana’ah).
Dalam konteks modern, menjaga silaturahmi seringkali terasa membebani karena kesibukan dan jarak. Namun, keyakinan terhadap janji Allah untuk melipatgandakan rezeki bagi yang menjaga ikatan ini adalah motivator spiritual tertinggi. Ini adalah ujian keimanan: apakah kita lebih memprioritaskan kesibukan duniawi atau janji abadi dari Sang Pencipta.
Setelah memahami dasar-dasar teologisnya, penting untuk membahas aspek hukum (fiqh) dari silaturahmi dan bagaimana ia diterapkan dalam kehidupan yang serba cepat. Secara umum, silaturahmi adalah wajib (fardhu). Memutuskannya adalah dosa besar, kecuali dalam kondisi yang sangat spesifik dan ekstrem (seperti kerabat yang terus-menerus memaksakan kesyirikan atau kemaksiatan, dan bahkan dalam kasus tersebut, hubungan tidak boleh diputus total tetapi dibatasi pada komunikasi yang diperlukan).
Meskipun secara umum semua kerabat termasuk ‘arham’, kewajiban untuk menyambung hubungan memiliki gradasi prioritas:
Kewajiban paling intensif adalah pada derajat pertama dan kedua. Semakin jauh hubungan kekerabatannya, semakin ringan bentuk silaturahmi yang diwajibkan (misalnya, cukup dengan sapaan atau ucapan selamat di hari raya).
Silaturahmi tidak selalu harus berupa kunjungan fisik yang memakan waktu dan biaya, terutama bagi mereka yang tinggal jauh. Bentuk-bentuk silaturahmi yang diterima syariat meliputi:
Pilar tertinggi dari silaturahmi adalah menyambung hubungan meskipun kerabat tersebut yang memutusnya atau bersikap buruk. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Bukanlah orang yang menyambung (silaturahmi) itu orang yang membalas kebaikan yang sama. Akan tetapi, orang yang menyambung (silaturahmi) itu adalah orang yang apabila hubungan kekerabatannya diputuskan, ia menyambungnya." (HR. Bukhari).
Ini adalah ujian terbesar dari silaturahmi. Ketika seseorang dicaci, diabaikan, atau bahkan dikhianati oleh kerabat, ia wajib menahan amarah dan tetap berusaha menyambung hubungan karena Allah, bukan karena berharap balasan. Hal ini juga didukung oleh QS. Fussilat (41): 34:
Ayat ini memberikan panduan strategis dalam menghadapi permusuhan, yang sangat relevan dalam konteks silaturahmi. Mendorong kebaikan yang lebih besar untuk melawan keburukan adalah kunci untuk menyembuhkan luka kekerabatan yang telah terjadi.
Al-Qur'an seringkali menyandingkan silaturahmi dengan perlakuan baik terhadap kelompok rentan, seperti anak yatim dan orang miskin. Hal ini menyoroti bahwa kewajiban kekerabatan harus meluas menjadi kewajiban kasih sayang universal, dimulai dari lingkaran terdekat.
Ayat ini, meskipun ditujukan kepada Bani Israil, memuat prinsip universal dalam Islam, yaitu hierarki hak-hak (Haqqul Adam):
Penyebutan Dzil Qurba (kaum kerabat) langsung setelah orang tua menekankan bahwa kasih sayang dan tanggung jawab harus mengalir dari unit inti ke unit keluarga besar. Jika terdapat anak yatim di antara kaum kerabat, kewajiban untuk merawat dan membantu mereka menjadi berlipat ganda. Ini bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga bagian dari janji agung (Mīthāq) yang diambil oleh Allah dari manusia.
Kegagalan dalam menunaikan hak-hak kaum kerabat, seperti yang dilakukan oleh sebagian Bani Israil yang dikritik dalam ayat ini, adalah bentuk pengingkaran janji yang sama besarnya dengan melalaikan shalat atau zakat. Hal ini kembali menegaskan bahwa Ibadah horizontal (muamalah) dan ibadah vertikal (mahdhah) tidak dapat dipisahkan.
Ayat ini juga menyisipkan perintah "Wa qūlū lin-nāsi ḥusnā" (ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia). Dalam konteks silaturahmi, hal ini menjadi sangat krusial. Seringkali, hubungan kekerabatan rusak bukan karena masalah materi, melainkan karena kata-kata yang tajam, kritikan yang tidak pada tempatnya, atau ghibah (gosip) yang merusak.
Silaturahmi yang sejati harus disertai dengan husnā (ucapan yang baik). Kita harus memilih kata-kata yang menenangkan, memotivasi, dan menghormati kerabat, bahkan ketika kita menasihati mereka atau menghadapi perbedaan pendapat. Lisensi untuk berkata-kata keras pada kerabat yang lebih dekat tidak pernah ada dalam ajaran Islam; kebaikan lisan adalah prasyarat untuk keharmonisan.
Dengan demikian, silaturahmi yang diajarkan Al-Qur'an adalah sebuah paket lengkap: ia mencakup dukungan emosional, material, spiritual, dan etika lisan.
Jika kita menelaah lebih jauh ayat-ayat yang telah disajikan, kita dapat menarik benang merah tentang peran silaturahmi yang melampaui sekadar kunjungan. Silaturahmi adalah mekanisme pertahanan sosial yang disyariatkan Allah untuk melawan penyakit-penyakit masyarakat modern: individualisme, keterasingan, dan egoisme.
Islam sangat menghargai ikatan komunal. Ayat-ayat tentang silaturahmi secara sistematis memerangi individualisme. Ketika seseorang dilarang keras memutuskan tali kekerabatan dan bahkan dikutuk (laknat) jika melakukannya, itu adalah pesan bahwa nasib kita terikat pada nasib keluarga kita.
Syeikh Abdurrahman as-Sa'di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kewajiban untuk menjaga ‘arham’ adalah pengakuan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kerabatnya hidup dalam kondisi minimal yang bermartabat. Ini meminimalkan beban negara dan memastikan bahwa setiap kesulitan dapat diredakan dari dalam unit keluarga sendiri. Kewajiban ini adalah bentuk jaminan sosial yang didorong oleh iman.
Dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi, silaturahmi adalah benteng yang menjaga identitas dan dukungan emosional. Kegagalan dalam menjaga silaturahmi akan meninggalkan kerabat dalam kesendirian, yang bertentangan dengan semangat ta'awun (tolong menolong) yang dianjurkan dalam Al-Qur'an (QS. Al-Ma’idah: 2).
Istilah Qarabah (kedekatan) dalam Al-Qur'an tidak hanya merujuk pada darah, tetapi juga pada kedekatan spiritual. Oleh karena itu, para ulama menekankan bahwa silaturahmi berfungsi sebagai pelatihan sebelum seorang Muslim memperluas kebaikannya kepada seluruh umat. Jika seseorang tidak mampu berbuat baik kepada orang-orang yang berbagi darah dengannya, bagaimana mungkin ia akan tulus dalam berbuat baik kepada orang asing?
Kesadaran akan hubungan ini merupakan bagian dari manifestasi tauhid. Dalam QS. An-Nisa (4:1), janji untuk menjaga rahim disandingkan dengan janji tauhid. Ini mengajarkan kita bahwa menjaga kesatuan keluarga adalah cerminan dari menjaga kesatuan (keesaan) Allah. Perpecahan dalam keluarga adalah simbol perpecahan dalam ketaatan.
Silaturahmi juga memainkan peran penting dalam transmisi nilai dan sejarah. Kunjungan dan komunikasi antargenerasi memastikan bahwa anak-anak muda memahami akar keluarga mereka, menghargai pengorbanan leluhur, dan meneruskan ajaran agama. Tanpa silaturahmi, sejarah keluarga (dan seringkali sejarah agama) akan terputus, menghasilkan generasi yang terasing dari masa lalunya.
Kewajiban menjaga orang tua (birrul walidain) yang selalu diletakkan berdampingan dengan silaturahmi dalam Al-Qur'an (seperti dalam QS. An-Nisa: 36 dan QS. Al-Baqarah: 83) menekankan bahwa perhatian harus mengalir ke atas dan ke bawah, memastikan bahwa baik generasi tua maupun generasi muda terikat dalam jaringan kasih sayang dan tanggung jawab.
Tantangan terbesar dalam menjaga silaturahmi di masa kini adalah jarak geografis dan kesibukan. Namun, Al-Qur'an mengajarkan bahwa inti dari silaturahmi adalah ihsan (kebajikan) dan washl (penyambungan), bukan semata-mata kehadiran fisik. Prinsip ini memungkinkan kita menerapkan ayat-ayat suci dalam konteks modern.
Di era globalisasi, teknologi—telepon, pesan instan, video call—dapat menjadi sarana yang sah dan berpahala untuk menunaikan kewajiban silaturahmi, terutama jika kunjungan fisik sulit dilakukan. Kewajiban ini dapat terpenuhi melalui:
Yang terpenting adalah niat untuk "yasilūna mā amarallahu bihi an yūsala" (menghubungkan apa yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan), tanpa memandang medianya.
Ayat-ayat Al-Qur'an tentang perselisihan (seperti QS. Al-Hujurat 49:10, yang memerintahkan mendamaikan dua kelompok Muslim yang berselisih) harus diterapkan secara lebih ketat dalam perselisihan keluarga. Konflik internal keluarga memerlukan intervensi yang sabar dan bijaksana. Silaturahmi harus menjadi jalan untuk islah (perbaikan atau rekonsiliasi).
Ketika terjadi konflik warisan atau perselisihan karena perkataan yang menyakitkan, kewajiban untuk memaafkan dan berinisiatif damai menjadi prioritas. Seseorang yang tetap menjaga silaturahmi meskipun dicaci maki adalah pribadi yang mencontoh kesabaran yang dideskripsikan dalam QS. Ar-Ra'd (13:22).
Bentuk silaturahmi di saat konflik adalah: tidak memperbesar masalah, menahan lisan dari celaan, dan mendoakan kerabat yang sedang berselisih agar kembali pada kebaikan. Inilah yang dimaksud dengan menolak kejahatan dengan kebaikan (QS. Fussilat: 34).
Kewajiban silaturahmi, yang disebutkan berulang kali dan disandingkan dengan perintah takwa, zakat, dan ibadah fundamental lainnya, menunjukkan betapa pentingnya ia dalam pandangan Ilahi. Dari QS. An-Nisa yang menetapkan fondasi kekeluargaan hingga QS. Muhammad yang memberikan ancaman laknat, pesan Al-Qur'an sangat jelas: kesejahteraan spiritual kita terikat pada seberapa baik kita memperlakukan ikatan kekerabatan kita.
Silaturahmi adalah investasi terbaik di dunia dan akhirat. Ia mendatangkan berkah rezeki, memperpanjang umur dalam kualitas amal, dan menjamin tempat kembali yang baik (Surga Adn).
Marilah kita kembali merenungkan janji dan ancaman dari ayat-ayat suci ini, dan menjadikan pemeliharaan ikatan kekerabatan sebagai prioritas tertinggi dalam daftar amal saleh kita. Karena sesungguhnya, Allah SWT adalah pengawas yang Maha Teliti atas segala perbuatan, termasuk interaksi kita dengan al-arham.
Semoga kita termasuk golongan Ulul Albab, yaitu mereka yang menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan, dan mendapatkan tempat kesudahan yang baik.