Pendahuluan: Urgensi Larangan Riba dalam Syariat
Riba, dalam konteks syariat Islam, bukanlah sekadar praktik penambahan bunga atas pinjaman. Ia adalah sistem ekonomi yang berpotensi merusak keadilan distributif, menumpuk kekayaan pada segelintir orang, dan memiskinkan mereka yang lemah. Larangan terhadap riba merupakan salah satu pilar fundamental dalam membangun sistem ekonomi yang berlandaskan moralitas, kepedulian sosial, dan pertanggungjawaban. Dalam Al-Qur'an, tidak ada topik yang dibahas dengan penekanan dan ancaman sekeras pembahasan mengenai riba, menandakan betapa berbahayanya praktik ini bagi umat manusia secara keseluruhan.
Teks-teks suci telah secara eksplisit memberikan batas yang jelas antara transaksi yang sah (jual beli, atau bai') dan transaksi yang diharamkan (riba). Pemahaman yang komprehensif terhadap ayat-ayat kunci mengenai riba menjadi sangat penting, tidak hanya bagi para ahli fikih dan ekonomi, tetapi juga bagi setiap individu Muslim dalam menjalani muamalah sehari-hari. Artikel ini akan menyelami tafsir mendalam terhadap ayat-ayat primer, mengklasifikasikan jenis-jenis riba, dan menganalisis dampaknya.
Ayat-Ayat Kunci tentang Riba: Surat Al-Baqarah (275-281)
Inti dari larangan riba dalam Al-Qur'an dapat ditemukan dalam serangkaian ayat penutup surat Al-Baqarah. Ayat-ayat ini tidak hanya mengharamkan, tetapi juga menjelaskan perbedaan mendasar antara riba dan perdagangan yang halal, serta memberikan peringatan yang sangat keras.
Pembedaan Hakiki: Riba dan Jual Beli
Terjemah: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa sesungguhnya jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi (lagi), maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Analisis Mendalam Ayat 275
Ayat ini membuka dengan penggambaran yang sangat dramatis mengenai kondisi pemakan riba di hari Kiamat. Mereka digambarkan berdiri sempoyongan seperti orang yang kerasukan. Para mufasir menjelaskan bahwa gambaran ini merefleksikan ketidakseimbangan mental dan spiritual mereka di dunia, akibat keyakinan sesat bahwa riba dan jual beli adalah sama. Penolakan mereka terhadap perbedaan antara kedua praktik ini adalah akar masalahnya.
- Perbedaan Fundamental: Allah secara tegas memisahkan Bai' (jual beli/perdagangan) dan Riba. Jual beli melibatkan pertukaran nilai yang adil, melibatkan risiko (ghurm), dan menghasilkan keuntungan (ribh) yang halal. Sementara Riba adalah pengambilan surplus tanpa melibatkan risiko nyata atau nilai tambah, melainkan hanya karena faktor waktu pinjaman.
- Sebab Pengharaman: Pengharaman ini muncul karena adanya klaim bahwa 'jual beli sama dengan riba'. Dengan mengharamkan riba setelah klaim tersebut, Allah membuktikan bahwa perbedaan keduanya sangat mendasar. Riba mengeksploitasi kebutuhan, sedangkan jual beli memenuhi kebutuhan melalui pertukaran yang saling menguntungkan.
- Pintu Taubat: Ayat ini menawarkan pintu taubat. Bagi mereka yang bertaubat dan menghentikan praktik riba, harta riba yang telah diambil sebelum pengharaman diampuni, dan urusannya diserahkan kepada Allah. Namun, ancaman kekal di neraka menanti bagi mereka yang tahu hukumnya namun kembali melakukannya.
Pemusnahan Harta Riba dan Keberkahan Sedekah
Pemusnahan Riba dan Pertumbuhan Sedekah (Grafik Keseimbangan)
Terjemah: Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Ayat 276 menjelaskan dampak nyata dari praktik riba di dunia dan akhirat. Secara kasat mata, harta riba mungkin terlihat bertambah. Namun, menurut ketetapan Ilahi, harta tersebut akan kehilangan keberkahannya (maḥq), yang dapat berarti kehancuran total di akhirat atau hilangnya manfaat dan kebaikan dalam hidup di dunia.
Sebaliknya, sedekah (termasuk praktik Qardhul Hasan atau pinjaman kebajikan) akan disuburkan (yurbī). Meskipun sedekah secara fisik mengurangi harta, Allah menjanjikan pertumbuhan spiritual, moral, dan bahkan material yang berlipat ganda sebagai balasan.
Ancaman Perang dari Allah dan Rasul-Nya
Terjemah: Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Terjemah: Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu; kamu tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi.
Ancaman Paling Keras dalam Al-Qur'an
Ayat 279 memuat ancaman yang luar biasa serius: umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya (fa'zanu biḥarbin minallāhi wa rasūlih). Ini adalah satu-satunya dosa dalam Al-Qur'an (selain menolak iman secara total) yang diancam dengan pernyataan perang secara langsung oleh Tuhan dan Utusan-Nya. Ancaman ini menunjukkan bahwa praktik riba dianggap sebagai agresi terhadap prinsip keadilan Ilahi dan tatanan sosial yang diinginkan agama.
Tafsir mengenai ancaman perang ini terbagi menjadi dua dimensi:
- Dimensi Duniawi (Hukum Fiqih): Para ulama seperti Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menafsirkan bahwa ayat ini memberikan hak kepada penguasa Muslim untuk memerangi dan menghukum para pelaku riba yang menolak bertaubat, seolah-olah mereka adalah pemberontak yang merusak keamanan publik.
- Dimensi Ukhrawi (Spiritual): Sebagian besar mufasir menekankan bahwa ini adalah peringatan spiritual tentang azab yang pedih dan permusuhan langsung dari Allah di Hari Akhir.
Ayat 279 juga memberikan solusi yang adil: ketika bertaubat, seseorang hanya berhak mengambil kembali pokok hartanya (ru'ūsu amwālikum). Prinsipnya adalah "kamu tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi" (lā taẓlimūna wa lā tuẓlamūn). Riba adalah kezaliman (kezaliman terhadap yang berutang), sedangkan kehilangan pokok harta adalah dizalimi (kezaliman terhadap yang berpiutang). Dengan mengambil pokok harta saja, keadilan tercapai.
Prinsip Keringanan Utang dan Taqwa
Terjemah: Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Ayat 280 adalah penutup moral dari serangkaian ayat tentang riba. Ayat ini mengajarkan belas kasihan dan etika dalam penagihan utang. Ketika peminjam berada dalam kesulitan finansial (‘usrah), pemberi pinjaman wajib memberikan tenggang waktu (moratorium) tanpa dikenakan tambahan bunga (yang jika dikenakan akan menjadi riba Nasii’ah). Bahkan, Allah menyarankan bahwa membebaskan utang tersebut secara sukarela (menyedekahkan) adalah tindakan yang jauh lebih baik dan lebih mulia di sisi-Nya.
Klasifikasi Fikih: Jenis-Jenis Riba
Untuk menghindari riba secara total, umat Islam harus memahami bahwa riba tidak hanya terbatas pada bunga pinjaman (riba utang), tetapi juga mencakup praktik tertentu dalam pertukaran barang (riba jual beli). Para ulama membagi riba menjadi dua kategori utama berdasarkan hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ.
1. Riba Nasii'ah (Riba Penundaan)
Riba Nasii'ah adalah jenis riba yang paling umum dikenal dan secara langsung dilarang oleh QS Al-Baqarah 275. Ia terjadi karena penundaan waktu pembayaran. Ini adalah tambahan yang dipungut atas pokok pinjaman sebagai imbalan dari perpanjangan waktu pelunasan atau karena penyerahan barang yang tidak serentak.
- Riba Utang (Qardh): Tambahan yang disyaratkan di awal akad pinjaman. Misalnya, meminjam 100 rupiah dengan janji mengembalikan 110 rupiah, tanpa adanya nilai tambah (sewa atau jasa). Inilah praktik bunga bank modern yang diharamkan oleh mayoritas ulama.
- Riba Jahiliyah: Praktik yang populer di Mekah saat penurunan ayat. Jika peminjam tidak mampu membayar utang pada waktunya, pemberi utang akan berkata, "Bayar sekarang, atau kamu tambahkan (jumlah utangnya) dan waktu (pelunasannya) akan saya perpanjang." Penambahan ini murni karena penundaan, dan inilah riba Nasii'ah yang menjadi target utama larangan Al-Qur'an.
Larangan terhadap Riba Nasii'ah bertujuan untuk memastikan bahwa uang tidak menghasilkan uang secara pasif, tetapi harus menjadi alat tukar atau modal yang digunakan dalam aktivitas produktif yang menanggung risiko (seperti perdagangan atau investasi).
2. Riba Fadhl (Riba Kelebihan)
Riba Fadhl adalah kelebihan yang terjadi dalam pertukaran barang sejenis yang memiliki nilai sama (seperti emas dengan emas, atau gandum dengan gandum), yang dilakukan tanpa adanya kelebihan yang setara dalam kualitas, kuantitas, atau manfaat. Riba ini diatur oleh hadis Nabi ﷺ:
"Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama timbangannya, perak dengan perak kecuali sama timbangannya, kurma dengan kurma kecuali sama takarannya, gandum dengan gandum kecuali sama takarannya, garam dengan garam kecuali sama takarannya. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba." (HR. Muslim)
Tafsir Riba Fadhl: Ilat (Alasan Hukum)
Para fukaha menetapkan bahwa Riba Fadhl berlaku pada enam jenis komoditas yang disebutkan dalam hadis, dan kemudian ditarik ilat (alasan hukum) untuk diterapkan pada barang lain. Terdapat dua pandangan utama mengenai ilat-nya:
- Mazhab Syafi'i dan Hanbali: Ilatnya adalah sifat makanan pokok (qūt) dan alat tukar (tsamanīyah). Jadi, Riba Fadhl berlaku pada semua mata uang (emas, perak, kertas) dan semua bahan makanan pokok.
- Mazhab Hanafi: Ilatnya adalah timbangan (wazn) dan takaran (kayl) yang digunakan untuk mengukur barang. Riba Fadhl berlaku pada semua yang dijual berdasarkan timbangan atau takaran, termasuk tembaga, besi, dll.
Prinsip umum dalam Riba Fadhl adalah mencegah orang mencari keuntungan dari perbedaan waktu atau kualitas saat menukar barang sejenis, yang dapat membuka pintu menuju riba Nasii'ah. Tujuannya adalah memastikan bahwa pertukaran komoditas homogen harus terjadi secara tunai (yad bi yad) dan seimbang (mitslan bi mitslin).
Peran Riba dalam Ekonomi Kontemporer
Penerapan riba dalam sistem keuangan modern sangat luas, mencakup: bunga tabungan, bunga pinjaman perumahan (KPR konvensional), bunga kartu kredit, dan denda keterlambatan pembayaran yang diakumulasikan secara persentase dari pokok hutang. Mayoritas ulama kontemporer sepakat bahwa semua bentuk bunga perbankan yang merupakan tambahan wajib atas pokok pinjaman adalah termasuk Riba Nasii'ah yang diharamkan oleh QS Al-Baqarah 275.
Tafsir Tematik Ayat Riba: Dimensi Spiritual dan Sosial
Konsekuensi Kezaliman dan Hilangnya Rasa Kemanusiaan
Riba adalah kezaliman ekonomi karena ia memindahkan kekayaan dari yang miskin kepada yang kaya. Orang yang meminjam uang karena terdesak kebutuhan (misalnya, untuk pengobatan atau kebutuhan dasar) dipaksa membayar biaya tambahan yang justru memperparah kesulitan finansialnya. Sistem riba melanggengkan siklus kemiskinan dan utang. Inilah yang dimaksud dalam QS Al-Baqarah 279: "kamu tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi." Riba adalah bentuk penindasan finansial yang bertentangan dengan semangat ta'awun (tolong-menolong) dalam Islam.
Ketika seseorang hanya mengejar keuntungan tanpa risiko, hanya berfokus pada pertambahan nominal tanpa memedulikan penderitaan orang lain, ia telah kehilangan dimensi kemanusiaan yang mendasar. Para mufasir menekankan bahwa gambaran orang yang 'kerasukan setan' (QS 2:275) tidak hanya tentang kondisi di akhirat, tetapi juga tentang cara pandang mereka di dunia yang telah dirusak oleh keserakahan. Mereka tidak lagi mampu membedakan antara hak dan batil, halal dan haram.
Riba dan Ketakwaan (Taqwa)
Ayat 278 secara langsung menghubungkan larangan riba dengan iman dan takwa: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba…” Ini menunjukkan bahwa meninggalkan riba adalah bukti konkret dari keimanan sejati dan ketundukan kepada perintah Allah. Seseorang tidak dapat mengklaim beriman sepenuhnya jika ia masih bergelut dengan praktik yang secara eksplisit diancam dengan perang oleh Allah SWT.
Taqwa menuntut kehati-hatian dalam segala jenis muamalah. Dalam kasus riba, kehati-hatian tidak hanya berarti menghindari bunga yang jelas, tetapi juga menjauhi transaksi syubhat (yang meragukan), demi memastikan bahwa seluruh sumber pendapatan bersih dari unsur haram.
Fondasi Keadilan Ekonomi
Pentingnya Menerima Pokok Modal (Rū'ūsu Amwālikum)
Penekanan pada pengambilan pokok modal (QS 2:279) adalah kunci dalam memahami keadilan Islam. Islam tidak melarang keuntungan; ia melarang keuntungan yang didapat tanpa kerja, risiko, atau tanggung jawab. Ketika seseorang meminjamkan uang, ia berhak mendapatkan kembali uangnya. Namun, ia tidak berhak mendapatkan tambahan kecuali ia menggunakan uang tersebut dalam kemitraan bagi hasil (seperti mudarabah atau musyarakah) di mana ia ikut menanggung potensi kerugian.
Prinsip ru'ūsu amwālikum mengajarkan bahwa modal adalah sarana, bukan tujuan akhir. Tujuan akhir adalah pertumbuhan ekonomi riil dan keadilan sosial, yang tidak bisa dicapai jika modal itu sendiri terus bertambah secara eksponensial tanpa menciptakan nilai tambah yang sesungguhnya di pasar.
Peran Surat Ali Imran dalam Peringatan Riba Berlipat Ganda
Selain Al-Baqarah, Surat Ali Imran juga memberikan peringatan keras, terutama menargetkan praktik Riba Jahiliyah yang mengambil keuntungan berlipat ganda.
Terjemah: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Meskipun ayat ini menyebutkan "berlipat ganda," para ulama sepakat bahwa ini tidak berarti riba yang sedikit itu halal. Penyebutan ini adalah deskripsi dari praktik yang paling zalim dan kejam yang dilakukan pada masa itu—yakni penambahan bunga yang dilakukan secara berkali-kali setiap utang jatuh tempo. Namun, hukum asalnya, berdasarkan QS Al-Baqarah, adalah semua riba (baik sedikit maupun banyak) tetap haram. Tujuan ayat Ali Imran ini adalah menyoroti kekejaman praktik penggandaan yang membuat utang menjadi beban yang mustahil dibayar oleh orang miskin.
Alternatif Syariah untuk Menghindari Riba
Islam bukan hanya melarang, tetapi juga menyediakan solusi praktis untuk memenuhi kebutuhan finansial tanpa melanggar prinsip keadilan. Solusi-solusi ini berpusat pada tiga pilar: risiko bersama, kerja sama, dan pinjaman kebajikan.
1. Qardhul Hasan (Pinjaman Kebajikan)
Sesuai dengan semangat QS Al-Baqarah 280, Qardhul Hasan adalah pinjaman tanpa imbalan (tanpa bunga). Peminjam hanya diwajibkan mengembalikan pokok utang. Qardhul Hasan adalah instrumen sosial yang sangat dianjurkan, berfungsi sebagai jaring pengaman bagi mereka yang membutuhkan dana darurat tanpa harus dibebani bunga. Memberikan Qardhul Hasan dipandang sebagai sedekah yang mendatangkan pahala berlipat ganda.
2. Prinsip Berbagi Risiko (Risk-Sharing)
Sebagai pengganti bunga, sistem ekonomi Islam mendorong model berbagi risiko melalui kontrak-kontrak yang sah:
- Mudarabah (Kemitraan Modal dan Keahlian): Satu pihak menyediakan modal (shahibul mal) dan pihak lain menyediakan keahlian (mudarib). Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sementara kerugian ditanggung oleh pemilik modal (kecuali jika kerugian disebabkan kelalaian mudarib).
- Musyarakah (Kemitraan Penuh): Semua mitra menyumbangkan modal dan dapat menyumbangkan keahlian. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, dan kerugian dibagi sesuai proporsi modal.
- Murabahah (Jual Beli dengan Keuntungan Ditentukan): Digunakan dalam pembiayaan aset. Bank membeli aset yang diminta nasabah, kemudian menjualnya kembali kepada nasabah dengan harga yang lebih tinggi (harga pokok + margin keuntungan yang disepakati di awal). Ini halal karena melibatkan jual beli aset riil dan menanggung risiko kepemilikan.
Melalui model-model ini, modal berfungsi sebagai mitra dalam kegiatan ekonomi yang produktif, bukan sebagai alat penindasan pasif yang mengeksploitasi kesulitan orang lain.
Implementasi dan Sisi Praktis Menghindari Riba dalam Kehidupan Modern
Tantangan terbesar bagi umat Islam saat ini adalah bagaimana menerapkan larangan riba dalam sistem ekonomi global yang didominasi oleh institusi berbasis bunga. Menghindari riba membutuhkan kesadaran dan komitmen yang mendalam, dimulai dari transaksi rumah tangga hingga keputusan investasi besar.
Riba dan Kredit Konsumsi
Penggunaan kartu kredit konvensional, pinjaman pribadi, atau kredit kendaraan bermotor yang membebankan bunga adalah praktik riba yang harus dihindari. Seseorang harus mencari alternatif syariah (jika tersedia) atau menerapkan disiplin finansial untuk hanya membeli apa yang mampu dibeli secara tunai atau melalui pembiayaan berbasis jual beli (seperti Murabahah atau Ijarah).
Riba dalam Investasi
Berinvestasi dalam saham bank konvensional, obligasi (surat utang berbunga), atau instrumen keuangan lain yang secara primer bergantung pada mekanisme bunga adalah haram. Alternatifnya adalah berinvestasi dalam saham perusahaan yang mematuhi prinsip syariah (yang tidak memiliki rasio utang berbasis bunga yang terlalu tinggi) atau berinvestasi dalam instrumen sukuk (obligasi syariah) yang berbasis aset dan kemitraan.
Pentingnya Likuidasi Riba Sisa (Mā Baqiya min ar-Riba)
Bagi mereka yang telah terlibat dalam riba sebelum bertaubat, QS Al-Baqarah 278 dan 279 memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Ini berarti semua bunga yang belum dipungut harus dihapuskan. Apabila bunga sudah terlanjur diterima, ulama kontemporer menyarankan bahwa harta tersebut tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi, melainkan harus disalurkan untuk kepentingan umum atau fakir miskin, dengan niat membersihkan harta dan bukan sebagai sedekah yang mendatangkan pahala (karena harta haram tidak dapat disedekahkan dalam arti mencari pahala, tetapi dibuang untuk membersihkan diri).
Proses pembersihan ini, yang disebut tathhīr al-māl (pembersihan harta), adalah langkah vital untuk memenuhi syarat taubat yang diterima oleh Allah, sebagaimana disiratkan oleh ayat-ayat yang membedakan antara harta yang telah berlalu (yang diampuni jika bertaubat) dan harta riba yang masih ada (yang harus ditinggalkan).
Dimensi Sosial Pencegahan Riba
Penerapan larangan riba harus dilihat sebagai upaya kolektif. Ketika individu dan masyarakat menjauhi riba, mereka secara kolektif mendorong pertumbuhan ekonomi yang stabil, etis, dan inklusif. Riba menciptakan ketidakstabilan karena mendasarkan pertumbuhan pada utang, bukan pada nilai riil, yang sering kali berujung pada krisis ekonomi. Dengan berpegang pada ayat-ayat Al-Qur'an, umat Islam berkontribusi pada penciptaan tatanan sosial yang lebih adil, di mana harta beredar secara merata dan bukan hanya berputar di kalangan orang-orang kaya.
Setiap praktik muamalah harus ditimbang dengan neraca keadilan Ilahi. Apakah transaksi ini menciptakan kezaliman? Apakah ia menuntut imbalan tanpa risiko? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan selalu membawa kembali kepada inti ajaran Al-Qur'an: "kamu tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi."
Penutup: Komitmen terhadap Ayat-Ayat Riba
Ayat-ayat tentang riba dalam Surat Al-Baqarah dan Ali Imran merupakan salah satu perintah yang paling tegas dan paling menantang untuk dilaksanakan di era modern. Ancaman perang dari Allah dan Rasul-Nya bukanlah ancaman main-main; ia menunjukkan bahwa riba berada pada posisi yang sangat tinggi dalam daftar dosa besar karena dampaknya yang merusak pada sendi-sendi masyarakat, ekonomi, dan spiritualitas individu.
Kewajiban meninggalkan riba adalah kewajiban yang berlanjut dan tidak pernah usai. Ia menuntut kehati-hatian dalam setiap transaksi, dorongan untuk mencari alternatif yang halal, dan keberanian untuk menolak sistem yang berbasis eksploitasi. Dengan mematuhi firman Allah, kita tidak hanya menyelamatkan diri dari azab di akhirat, tetapi juga berpartisipasi dalam membangun fondasi ekonomi yang kokoh, adil, dan penuh berkah di dunia ini.
Inti dari larangan ini selalu bermuara pada satu titik: Taqwa. Hanya dengan takwa, seseorang akan mampu membedakan secara konsisten antara bai' yang dihalalkan dan riba yang diharamkan, dan memilih jalan yang diridhai Allah SWT.
Pengulangan dan Penguatan Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan dalam muamalah adalah cerminan dari nama Allah Al-Adl. Kezaliman yang diakibatkan oleh riba tidak hanya berbentuk material, tetapi juga merusak tatanan moral. Ketika masyarakat mengizinkan riba, mereka secara implisit menerima bahwa mengambil keuntungan dari penderitaan dan kebutuhan orang lain adalah hal yang normal, padahal ini adalah antitesis dari ajaran Islam.
Oleh karena itu, setiap Muslim wajib mengkaji ulang seluruh aspek keuangannya. Apakah sumber penghasilan, pinjaman, dan investasinya telah memenuhi standar lā taẓlimūna wa lā tuẓlamūn? Jika tidak, taubat dan koreksi harus segera dilakukan. Meninggalkan riba adalah bagian integral dari menjaga keimanan dan meraih keberuntungan sejati (falāḥ), sebagaimana janji Allah dalam QS Ali Imran 130.
Dalam konteks globalisasi, pemahaman yang kuat terhadap ayat-ayat ini juga menjadi dasar argumentasi mengapa sistem keuangan Islam bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan moral dan ekonomi. Sistem ini menawarkan stabilitas karena didasarkan pada aset riil, bukan pada spekulasi utang semata. Ini adalah warisan dari Rasulullah ﷺ yang diamanahkan melalui firman-firman suci dalam Al-Qur'an, sebuah pedoman yang abadi bagi seluruh umat manusia.
Kita kembali merenungkan poin fundamental dalam Al-Baqarah 275, dimana Allah menegaskan bahwa Dia menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Perbedaan ini bukan sekadar perbedaan teknis, melainkan perbedaan filosofis tentang bagaimana kekayaan diciptakan dan didistribusikan. Jual beli didasarkan pada usaha, risiko, dan pertukaran nilai; riba didasarkan pada kekuasaan modal dan penambahan tanpa risiko.
Mengamalkan ayat-ayat tentang riba berarti mengamalkan integritas dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan ekonomi, dari yang terkecil hingga yang terbesar, demi meraih keselamatan dunia dan akhirat.