Menggali Makna Ayat Al-Quran tentang Nikah

Fondasi Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah dalam Bingkai Mithaqan Ghalizha

Pernikahan, dalam pandangan Islam, bukanlah sekadar ikatan sosial atau perjanjian kontraktual semata. Ia adalah sebuah lembaga suci yang didirikan atas dasar perintah Ilahi dan mengemban misi kemanusiaan yang sangat mendalam. Al-Quran, sebagai pedoman hidup umat Muslim, memberikan perhatian yang luar biasa detail terhadap institusi pernikahan, menjadikannya landasan bagi pembentukan keluarga yang harmonis, masyarakat yang beradab, dan kesinambungan generasi. Ayat-ayat tentang nikah menyentuh spektrum yang luas, mulai dari tujuan fundamental penciptaan pasangan, hak dan kewajiban timbal balik, hingga solusi penyelesaian konflik dan mekanisme pembubaran ikatan yang diatur dengan penuh hikmah. Memahami inti dari ayat-ayat ini adalah kunci untuk menjalankan pernikahan sesuai dengan kehendak syariat.

I. Fondasi Penciptaan: Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

Ayat yang paling sering dikutip dan menjadi inti filosofi pernikahan dalam Islam adalah Surah Ar-Rum ayat 21. Ayat ini memberikan kerangka spiritual dan psikologis yang menjadi tujuan utama setiap rumah tangga Muslim.

Analisis Surah Ar-Rum Ayat 21

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Ayat ini menegaskan tiga pilar utama pernikahan: *Sakinah*, *Mawaddah*, dan *Rahmah*.

1. Sakinah (Ketenangan/Kedamaian)

Kata *Sakinah* (لتسكنوا إليها) secara harfiah berarti ketenangan, kediaman, atau tempat berlabuh. Dalam konteks pernikahan, ini berarti bahwa pasangan suami istri diciptakan untuk menjadi sumber ketenangan satu sama lain. Sebelum menikah, manusia mungkin merasakan kegelisahan, kesendirian, atau kekosongan emosional. Pernikahan hadir sebagai penawar, tempat di mana jiwa menemukan kedamaian dan perlindungan dari hiruk pikuk kehidupan duniawi.

Sakinah bukan hanya ketenangan fisik, tetapi terutama ketenangan batin dan emosional. Dalam tafsir kontemporer, Sakinah juga diartikan sebagai stabilitas rumah tangga, di mana setiap pihak merasa aman, dihargai, dan diakui. Ini adalah kondisi psikologis yang memungkinkan individu untuk berkembang dan menjalankan ibadah dengan optimal, karena pangkalan rumah tangganya telah kukuh. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa Sakinah yang dimaksud adalah kebahagiaan batin yang muncul karena kesatuan jiwa dan tujuan hidup yang sama, yaitu menggapai ridha Allah SWT. Tanpa Sakinah, rumah tangga akan dipenuhi kecemasan dan ketidakpastian.

2. Mawaddah (Cinta Penuh Gairah dan Kegembiraan)

*Mawaddah* (مودة) adalah bentuk cinta yang aktif, penuh semangat, dan diiringi keinginan untuk memberi dan menyenangkan. Ini sering diartikan sebagai cinta di masa-masa awal pernikahan, di mana gairah dan ketertarikan fisik serta emosional berada pada puncaknya. Mawaddah adalah manifestasi dari persahabatan yang erat, komunikasi yang terbuka, dan rasa saling menghargai penampilan fisik maupun karakter pasangan. Mawaddah mendorong pasangan untuk berbuat baik dan menjaga ikatan emosional mereka.

Dalam konteks praktis, Mawaddah menuntut adanya upaya berkelanjutan dari kedua belah pihak untuk merawat hubungan. Ini melibatkan waktu berkualitas, pengakuan akan kebutuhan pasangan, dan ekspresi kasih sayang secara fisik dan verbal. Jika Sakinah adalah pondasi ketenangan, Mawaddah adalah energi yang menghidupkan bangunan pernikahan itu.

3. Rahmah (Kasih Sayang dan Belas Kasih)

*Rahmah* (رحمة) adalah belas kasihan, pengampunan, dan toleransi. Ini adalah jenis cinta yang lebih dewasa dan mendalam, yang muncul ketika Mawaddah mungkin mulai meredup akibat ujian hidup. Rahmah memungkinkan pasangan untuk tetap mencintai dan merawat satu sama lain meskipun ada kekurangan, kelemahan, atau saat salah satu pihak sedang sakit, tua, atau tidak mampu lagi memberikan kontribusi penuh.

Rahmah adalah jaminan keberlangsungan pernikahan dalam jangka panjang. Ketika suami atau istri melihat pasangannya dengan pandangan Rahmah, mereka akan memaafkan kesalahan kecil, menutupi aib, dan bersabar atas kesulitan yang dihadapi bersama. Para ahli tafsir sepakat bahwa Rahmah inilah yang paling penting untuk menjaga keutuhan rumah tangga hingga akhir hayat, karena Rahmah mencerminkan sifat Allah SWT yang Maha Pengasih.

Ilustrasi Sakinah Sebuah atap rumah dengan hati di tengah, melambangkan ketenangan, mawaddah, dan rahmah.

Gambar 1: Simbolisasi Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah sebagai fondasi rumah tangga.

II. Mithaqan Ghalizha: Perjanjian Suci yang Berat

Kekuatan spiritual dan legal pernikahan ditegaskan melalui konsep Mithaqan Ghalizha (Perjanjian yang Berat/Kuat). Konsep ini disebutkan dalam konteks pernikahan di Surah An-Nisa ayat 21.

Analisis Surah An-Nisa Ayat 21

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah berhubungan dengan sebagian yang lain (sebagai suami istri) dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (Mithaqan Ghalizha)?” (QS. An-Nisa: 21)

Ayat ini awalnya berbicara tentang larangan mengambil kembali mahar yang telah diberikan jika terjadi perceraian. Namun, penekanan utamanya terletak pada frasa *Mithaqan Ghalizha*. Dalam Al-Quran, frasa ini hanya digunakan sebanyak tiga kali, selalu dalam konteks perjanjian yang paling agung:

  1. Perjanjian Allah dengan Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa (QS. Al-Ahzab: 7).
  2. Perjanjian Allah dengan Bani Israil di Gunung Sinai (QS. An-Nisa: 154).
  3. Perjanjian antara suami dan istri (QS. An-Nisa: 21).

Penggunaan frasa yang sama untuk pernikahan menunjukkan bahwa ikatan perkawinan memiliki kedudukan spiritual yang setara dengan perjanjian kenabian dan perjanjian fundamental antara hamba dan Tuhan. Ini mengangkat status pernikahan jauh di atas kontrak sipil biasa. Implikasi dari *Mithaqan Ghalizha* sangat besar:

Implikasi Mithaqan Ghalizha

1. Kewajiban Moral Tertinggi: Karena ini adalah perjanjian suci, pasangan tidak hanya terikat oleh hukum manusia (hukum negara), tetapi terutama terikat oleh janji mereka kepada Allah SWT. Pelanggaran janji ini adalah dosa besar.

2. Beratnya Tanggung Jawab: Suami dan istri, terutama suami yang bertindak sebagai wali dalam akad, memikul tanggung jawab yang berat di hadapan Allah untuk menjaga, melindungi, dan memperlakukan pasangannya dengan adil dan ihsan (kebaikan). Tanggung jawab ini melebihi sekadar nafkah materi; ia mencakup nafkah batin, pendidikan agama, dan penghormatan.

3. Larangan Zalim: Ayat ini menuntut agar segala bentuk kezaliman, baik dalam bentuk penelantaran, kekerasan, atau perampasan hak, dilarang keras. Bagaimana mungkin seseorang menzalimi pihak yang telah mengambil perjanjian terberat ini dari dirinya? Ini adalah seruan untuk memegang teguh kehormatan pasangan.

Penjelasan tentang *Mithaqan Ghalizha* ini memperkuat pemahaman bahwa pernikahan adalah ibadah seumur hidup, bukan sekadar pelampiasan syahwat atau perjanjian ekonomi. Pengkhianatan dalam pernikahan, oleh karena itu, dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perjanjian dengan Allah.

III. Kewajiban Timbal Balik dan Keadilan (Mu'asyarah Bil Ma'ruf)

Setelah menetapkan fondasi spiritual, Al-Quran merinci bagaimana interaksi sehari-hari harus dijalankan. Konsep keadilan dan kebaikan dalam berinteraksi (Mu'asyarah Bil Ma'ruf) menjadi panduan utama.

Analisis Surah Al-Baqarah Ayat 228

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut (ma'ruf). Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Ayat ini adalah salah satu landasan hukum keluarga yang paling penting. Ia memuat dua prinsip fundamental: kesetaraan hak dan kewajiban (*lahunna mitslu alladzi ‘alaihinna*) dan kepemimpinan suami (*lillirrijali ‘alaihinna darajah*).

1. Prinsip Kesetaraan Hak (Al-Ma'ruf)

Frasa *walahunna mitslu alladzi ‘alaihinna bil ma'ruf* (mereka memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka secara patut) menegaskan bahwa hak dan kewajiban dalam pernikahan harus seimbang dan didasarkan pada kebiasaan yang baik dan diterima secara syariat (*ma’ruf*). Dalam tafsir, *ma’ruf* berarti adil, rasional, dan sesuai dengan norma masyarakat yang tidak bertentangan dengan Islam. Apa yang diminta oleh istri haruslah sesuai dengan apa yang dia berikan, dan sebaliknya. Keseimbangan ini mencakup:

2. Kepemimpinan Suami (Al-Darajah)

Frasa *wa lillirrijali ‘alaihinna darajah* (para suami mempunyai kelebihan di atas mereka) merujuk pada kepemimpinan suami, yang diperjelas dalam QS. An-Nisa ayat 34 sebagai *qawwamun*.

Kelebihan ini bukanlah kelebihan nilai kemanusiaan, melainkan kelebihan tanggung jawab. Suami memiliki kewajiban finansial mutlak (nafkah) dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan akhir demi kemaslahatan keluarga, yang tidak dimiliki oleh istri. Kepemimpinan ini bersifat fungsional, bukan otokratis. Suami adalah pelindung dan penanggung jawab, dan kelebihan ini harus diimbangi dengan keadilan yang lebih besar.

3. Analisis Qawwamun (An-Nisa Ayat 34)

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)

Ayat ini mengikat kepemimpinan (*qawwamah*) suami dengan dua syarat: kelebihan alami (yang ditafsirkan sebagai kekuatan fisik dan rasionalitas dalam membuat keputusan sulit) dan, yang lebih penting, kewajiban ekonomi (*bima anfaqu min amwalihim*). Jika suami tidak memenuhi kewajiban nafkahnya, ia kehilangan hak *qawwamah* secara moral, meskipun akad nikah tetap sah. Kepemimpinan ini adalah pengorbanan dan perlindungan, bukan dominasi.

IV. Tujuan Syar’i Pernikahan: Pelindung Diri dan Kesinambungan Umat

Pernikahan dalam Islam tidak hanya tentang hak dan kewajiban internal keluarga, tetapi juga memiliki tujuan yang lebih besar bagi masyarakat dan ibadah.

1. Pernikahan sebagai Benteng Kehormatan (An-Nur 32)

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 32)

Ayat ini adalah perintah sosial yang mengarahkan masyarakat Muslim untuk memfasilitasi pernikahan bagi mereka yang bujang (*al-ayami*), baik pria maupun wanita. Ini adalah pengakuan bahwa pernikahan adalah kebutuhan fundamental dan merupakan cara utama untuk menjaga kesucian masyarakat dari perzinaan (*fahisha*). Perintah ini ditujukan kepada wali, orang tua, dan komunitas secara luas.

Bagian akhir ayat yang menyebutkan jaminan rezeki menanamkan tawakkal. Kekhawatiran finansial seringkali menjadi penghalang pernikahan. Al-Quran memberikan solusi spiritual: jangan menunda pernikahan karena takut miskin, karena Allah SWT menjanjikan kecukupan bagi mereka yang menikah dalam rangka menjalankan syariat-Nya.

2. Fungsi Pakaian (Al-Baqarah 187)

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ

“…Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah: 187)

Metafora pakaian (*libas*) adalah salah satu penggambaran yang paling indah dan komprehensif mengenai hubungan suami istri. Pakaian memiliki fungsi yang majemuk, dan begitu pula pasangan:

Ayat ini mengajarkan resiprositas total. Pakaian adalah hubungan dua arah; keduanya melindungi, keduanya menutupi, dan keduanya memperindah.

V. Manajemen Konflik dan Nushuz

Meskipun pernikahan dibangun di atas Sakinah dan Rahmah, Al-Quran mengakui realitas bahwa konflik dan perselisihan dapat muncul. Surah An-Nisa ayat 34 dan 35 memberikan panduan bertingkat mengenai manajemen konflik, terutama dalam kasus *Nushuz* (pembangkangan atau sikap buruk yang serius dari istri).

Tahapan Resolusi Konflik (An-Nisa 34)

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak melukai). Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisa: 34)

Ayat ini mengatur respons bertahap oleh suami ketika menghadapi *nushuz* (pembangkangan serius yang mengancam keutuhan rumah tangga, seperti penolakan kewajiban syar'i tanpa alasan, atau pengkhianatan). Para ulama menekankan bahwa tahap-tahap ini harus dijalankan secara berurutan dan hanya jika nushuz sudah terbukti dan mengkhawatirkan.

1. Mau'izah (Nasihat)

Tahap pertama adalah komunikasi terbuka dan nasihat yang lembut, mengingatkan istri akan kewajibannya kepada Allah dan perjanjian suci pernikahan. Nasihat harus dilakukan dengan hikmah dan penuh kasih sayang, bukan dalam bentuk celaan atau penghinaan.

2. Hajr fil Madhajik (Memisahkan Tempat Tidur)

Jika nasihat tidak berhasil, suami boleh memisahkan tempat tidur (tetapi tetap dalam satu rumah). Tujuan dari pemisahan ini adalah memberikan tekanan emosional non-fisik dan sinyal bahwa ada masalah serius yang perlu diselesaikan. Ini merupakan sanksi simbolis yang bertujuan untuk instrospeksi.

3. Adhribuhunna (Pukulan yang Tidak Melukai)

Tahap ketiga, yang paling kontroversial dan paling banyak disalahpahami, adalah memukul. Mayoritas ulama modern dan ahli tafsir klasik (seperti At-Tabari dan Ibnu Katsir) memberikan batasan ketat: pukulan ini haruslah pukulan simbolis (*ghayr mubarrih*) yang tidak menyakitkan, tidak meninggalkan bekas, dan tidak boleh diarahkan ke wajah atau bagian vital. Ini lebih berfungsi sebagai sanksi psikologis terakhir sebelum perceraian atau intervensi pihak luar. Jika pukulan itu menimbulkan luka atau menyakiti, itu dianggap kezaliman dan bertentangan dengan sunah Nabi SAW.

Penting untuk dicatat bahwa jika suami berbuat *nushuz* (bersikap zalim, menelantarkan), istri tidak diizinkan untuk mengambil langkah-langkah fisik, melainkan diminta untuk mencari arbitrase atau mengajukan gugatan cerai (khulu').

4. Tahkim (Arbitrase Komunitas – An-Nisa 35)

Jika tiga tahap internal tidak berhasil menyelesaikan konflik, Al-Quran mewajibkan intervensi pihak ketiga, menunjukkan bahwa pernikahan adalah urusan komunitas, bukan hanya pribadi.

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika kedua juru damai itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. An-Nisa: 35)

Ayat ini menetapkan mekanisme hukum dan sosial yang wajib. Dua *Hakam* (arbitrator), satu dari masing-masing keluarga, ditunjuk untuk menyelidiki akar masalah dan mencari solusi damai. Kekuatan arbitrator ini sangat besar; menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, mereka bahkan memiliki hak untuk memutuskan perceraian jika itu adalah jalan terbaik untuk perbaikan, meskipun ini masih diperdebatkan di beberapa mazhab lainnya. Keberadaan ayat ini menekankan bahwa tujuan syariat adalah *ishlah* (perbaikan), dan jika perbaikan tidak mungkin, barulah perpisahan diizinkan.

VI. Aturan Perceraian (Talaq) sebagai Pintu Terakhir

Perceraian adalah hal yang halal yang paling dibenci Allah. Oleh karena itu, Al-Quran mengaturnya dengan sangat rinci dan hati-hati, memastikan bahwa prosesnya memberikan peluang maksimal untuk rujuk dan mencegah kezaliman, terutama terhadap pihak perempuan.

1. Prinsip Talaq Sunni (Al-Baqarah 229)

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Ayat ini mengajarkan prinsip *Talaq Raj'i* (talak yang bisa dirujuk), yang merupakan talak yang syar’i (Talak Sunni). Talak harus dijatuhkan satu per satu, dengan jeda waktu. Ini memberikan kesempatan kepada pasangan, terutama suami, untuk merenung dan rujuk selama masa *Iddah* (masa menunggu). Hanya setelah talak ketiga barulah perceraian menjadi permanen (*Talak Ba’in Kubra*).

Pentingnya frasa *Faimsakun bi ma'ruf aw tasrihun bi ihsan* (mempertahankan dengan cara yang baik atau melepaskan dengan kebaikan) adalah inti dari etika perceraian. Jika pasangan memutuskan untuk rujuk, hubungan harus diperbaiki berdasarkan *ma’ruf*. Jika mereka berpisah, perpisahan harus dilakukan dengan *ihsan* (kebaikan), tanpa dendam, fitnah, atau merampas hak-hak istri (seperti mahar atau hak asuh anak).

2. Hak Iddah (Masa Tunggu)

Surah Al-Baqarah ayat 228 dan Surah At-Talaq ayat 1-4 merinci aturan mengenai masa *Iddah* (masa menunggu) bagi istri yang dicerai.

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ

“Dan para wanita yang diceraikan (wajib) menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (QS. Al-Baqarah: 228)

Tujuan utama *Iddah* adalah:

Ayat-ayat dalam Surah At-Talaq menekankan bahwa istri tidak boleh diusir dari rumahnya selama Iddah, dan suami tidak boleh menyulitkan istri. Ini menunjukkan betapa Islam menjaga martabat perempuan bahkan pada saat ikatan pernikahan sedang berada di ambang kehancuran.

Ilustrasi Timbangan Keadilan dalam Hak Suami Istri Sebuah timbangan yang seimbang melambangkan keadilan (Mu'asyarah Bil Ma'ruf) dalam pernikahan. HAK ISTRI KEWAJIBAN ISTRI

Gambar 2: Keadilan (Mu'asyarah Bil Ma'ruf) menuntut keseimbangan hak dan kewajiban.

VII. Ayat Tentang Mahar dan Walimah

Dalam memastikan kehormatan perempuan dan memberikan fondasi materi yang kuat untuk pernikahan, Al-Quran menekankan pentingnya mahar dan akad yang disaksikan.

1. Kewajiban Mahar (An-Nisa Ayat 4)

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 4)

Ayat ini menegaskan bahwa mahar (*shadaqat*) adalah hak mutlak istri (*nihlah* – pemberian wajib yang tulus). Mahar bukanlah harga beli, melainkan simbol penghormatan, komitmen finansial, dan pengakuan terhadap kedudukan istri. Suami wajib menyerahkan mahar secara penuh. Jika istri, setelah menerima mahar, dengan sukarela dan tanpa paksaan, memberikan sebagiannya kembali kepada suaminya, barulah suami boleh mengambilnya. Ayat ini mencegah praktik pra-Islam di mana mahar sering kali diambil alih oleh wali atau suami.

2. Larangan Menahan Perempuan untuk Merampas Mahar (An-Nisa 19)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ

“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. An-Nisa: 19)

Ayat ini melarang praktik keji (seperti *‘adhl* atau penahanan) di mana suami menahan istri dalam ikatan pernikahan yang tidak bahagia atau menyulitkannya hanya agar ia mau membayar tebusan (mengembalikan mahar) agar diceraikan. Ini adalah bentuk kezaliman finansial. Suami hanya berhak meminta kembali mahar (atau sebagiannya) jika istri terbukti melakukan *fahisyah mubayyinah* (perbuatan keji yang nyata, seperti perzinaan).

VIII. Etika Hubungan Seksual dan Kebersihan

Islam tidak memandang hubungan intim sebagai tabu, melainkan sebagai bagian integral dari ibadah dan pemenuhan hak pasangan, yang juga tunduk pada etika dan adab tertentu.

1. Istri sebagai Ladang (Al-Baqarah 223)

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ ۗ

“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja kamu kehendaki. Dan dahulukanlah (yang baik) untuk dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan menemui-Nya…” (QS. Al-Baqarah: 223)

Ayat ini memberikan izin kepada suami istri untuk menikmati hubungan intim dengan cara apa pun yang mereka pilih, asalkan tujuannya adalah tempat benih (farji). Metafora "ladang" menunjukkan tujuan hubungan: untuk menghasilkan keturunan yang baik. Frasa *waqaddimu li anfusikum* (dahulukanlah yang baik untuk dirimu) ditafsirkan sebagai perintah untuk mencari kebaikan dan keturunan saleh melalui niat yang baik, serta melakukan persiapan spiritual dan psikologis, memastikan hubungan dilakukan dengan penuh kasih sayang dan pemenuhan hak bersama. Ini juga merupakan penegasan bahwa hubungan intim harus berdasarkan *taqwa* (takut kepada Allah) dan kesadaran akan hari akhir.

2. Larangan Hubungan Saat Haid (Al-Baqarah 222)

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ

“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah kotoran.’ Oleh sebab itu, jauhilah istri pada waktu haid; dan janganlah kamu dekati mereka sebelum mereka suci…” (QS. Al-Baqarah: 222)

Ayat ini menetapkan batasan kesehatan dan kebersihan dalam hubungan. Larangan ‘menjauhi’ (*i'tazilu*) yang dimaksud adalah larangan hubungan seksual (jimak), bukan larangan interaksi, makan bersama, atau kontak fisik lainnya. Ini menunjukkan perhatian syariat terhadap kesehatan fisik dan kebersihan pasangan, serta memberikan hak istirahat bagi istri selama masa haid.

IX. Perbedaan Dalam Hal Nikah Mut’ah dan Nikah Ahlul Kitab

Al-Quran juga membahas jenis-jenis pernikahan tertentu yang diizinkan atau dilarang, memberikan batasan yang jelas mengenai siapa yang boleh dinikahi.

1. Nikah dengan Musyrikin dan Ahlul Kitab (Al-Baqarah 221 dan Al-Maidah 5)

وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya wanita yang Mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan laki-laki musyrik (dengan wanita Mukmin) sebelum mereka beriman…” (QS. Al-Baqarah: 221)

Ayat ini melarang pernikahan dengan orang-orang musyrik (politeis), baik pria maupun wanita. Larangan ini didasarkan pada kekhawatiran mengenai dampaknya pada akidah keluarga, terutama anak-anak. Namun, larangan ini memiliki pengecualian yang disebutkan dalam Surah Al-Maidah ayat 5 mengenai *Ahlul Kitab* (Yahudi dan Kristen):

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ

“…dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu…” (QS. Al-Maidah: 5)

Ayat ini membolehkan pria Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab yang menjaga kehormatan diri (*muhshanat*). Namun, mazhab dan ulama fikih menegaskan bahwa wanita Muslimah tetap dilarang menikahi pria non-Muslim, termasuk Ahlul Kitab, untuk menjaga kepemimpinan spiritual (qawwamah) dan akidah anak-anak di bawah kepemimpinan suami Muslim.

2. Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak Sementara)

Meskipun tidak ada ayat yang secara eksplisit melarang *Nikah Mut’ah* (pernikahan sementara) secara langsung, praktik ini diharamkan berdasarkan konsensus mayoritas ulama dan hadis shahih. Ayat yang sering disalahartikan untuk membenarkan mut'ah adalah Surah An-Nisa ayat 24:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً

“…Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban…” (QS. An-Nisa: 24)

Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menafsirkan *istamta'tum* (kamu nikmati) sebagai hubungan yang terjadi dalam pernikahan yang sah dan permanen. Tafsir ini diperkuat oleh hadis Nabi SAW yang jelas mengharamkan Mut’ah setelah diizinkan sementara di awal Islam karena kondisi darurat perang, menjadikannya hukum yang dihapus (mansukh).

X. Perlindungan Hak Anak dan Yatim

Kajian ayat tentang nikah seringkali terhubung erat dengan perlindungan terhadap anak yatim dan pengaturan harta, menunjukkan bahwa inti pernikahan adalah perlindungan generasi.

1. Kehati-hatian dalam Nikah Poligami (An-Nisa Ayat 3)

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja…” (QS. An-Nisa: 3)

Ayat ini, yang merupakan satu-satunya ayat yang membatasi poligami, diturunkan dalam konteks perlindungan anak yatim di masa Perang Uhud, di mana banyak wali menikahi perempuan yatim yang berada di bawah perwalian mereka untuk mengambil harta mereka. Ayat ini kemudian memperluas konteks menjadi aturan umum poligami.

Kunci dari ayat ini adalah persyaratan ketat untuk berlaku adil (*alla tuqsitu*). Keadilan yang dimaksud mencakup keadilan materi (nafkah, giliran tempat tinggal) dan keadilan dalam perlakuan yang tampak. Apabila suami khawatir tidak dapat memenuhi standar keadilan, Allah SWT dengan tegas memerintahkan untuk hanya menikahi satu istri (*fawahidah*). Ayat ini secara efektif membatasi praktik poligami yang tidak terbatas pada masa pra-Islam.

XI. Etika Komunikasi dan Membangun Keluarga Bertakwa

Pernikahan adalah sarana untuk mencapai *taqwa* (ketakwaan) bersama. Oleh karena itu, komunikasi dan akhlak harus menjadi prioritas.

1. Menghindari Fitnah dan Gosip (Al-Hujurat 12)

Meskipun bukan ayat khusus tentang pernikahan, prinsip-prinsip etika sosial berlaku kuat di dalam rumah tangga. Larangan berprasangka buruk (*zhann*), mencari-cari kesalahan (*tajassus*), dan menggunjing (*ghibah*) sangat vital untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Pasangan harus menjadi tempat yang paling aman untuk berbagi, bebas dari penilaian dan gosip. Jika pasangan mulai berprasangka buruk, itu adalah awal dari kehancuran *sakinah*.

2. Perintah Menjaga Diri dari Api Neraka (At-Tahrim 6)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (QS. At-Tahrim: 6)

Ayat ini menetapkan tanggung jawab terbesar suami—dan juga istri—dalam pernikahan: memastikan bahwa keluarga (ahlikum) diarahkan menuju jalan keselamatan akhirat. Ini mencakup pendidikan agama yang kuat, pengawasan terhadap ibadah, dan penanaman nilai-nilai moral. Pernikahan adalah kemitraan dalam ketaatan, dan jika tujuan ini terlupakan, pernikahan telah gagal dalam misi spiritual utamanya.

XII. Ayat-Ayat Mengenai Rujuk dan Harapan

Bahkan setelah talak, Al-Quran menekankan pentingnya memberi kesempatan untuk rujuk jika ada keinginan perbaikan.

Larangan Menghalangi Rujuk (Al-Baqarah 232)

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ

“Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu telah berakhir iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka untuk menikah lagi dengan calon suaminya, apabila telah terjadi kesepakatan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 232)

Ayat ini ditujukan kepada wali (terutama ayah atau saudara laki-laki mantan istri) agar tidak menghalangi perempuan untuk menikah kembali dengan mantan suaminya (setelah Talak Raj’i pertama atau kedua dan Iddah telah berakhir, memerlukan akad baru) atau dengan pria lain. Ini menjamin otonomi perempuan dalam memilih pasangan hidupnya kembali setelah masa iddah selesai.

Konsep yang sangat ditekankan adalah *tawakkul* (saling meridhai) dan *ma’ruf* (cara yang baik). Jika pasangan yang bercerai ingin rujuk, masyarakat dan wali tidak boleh menjadi penghalang, asalkan niat mereka adalah perbaikan yang baik.

Penutup: Pernikahan sebagai Ibadah Totalitas

Ayat-ayat Al-Quran tentang pernikahan mengajarkan kita bahwa ikatan suami istri adalah representasi dari perjanjian agung (*Mithaqan Ghalizha*) yang berlandaskan pada ketenangan, cinta, dan kasih sayang (*Sakinah, Mawaddah, Rahmah*). Hukum-hukum yang mengatur hak dan kewajiban, tata cara berinteraksi (*Mu’asyarah Bil Ma’ruf*), hingga proses resolusi konflik dan perceraian, semuanya dirancang untuk menjaga kehormatan individu dan memastikan pembentukan masyarakat yang saleh.

Pernikahan yang sesuai dengan petunjuk Al-Quran menuntut ketakwaan yang tinggi dari kedua belah pihak. Setiap interaksi, mulai dari pemberian nafkah hingga hubungan intim, dihitung sebagai ibadah. Ayat-ayat tersebut menuntut keadilan mutlak dalam poligami, menekankan kebaikan dalam perceraian, dan mewajibkan arbitrase sebelum sebuah keluarga hancur. Dengan memahami dan menerapkan filosofi yang tertuang dalam ayat-ayat suci ini, umat Muslim dapat membangun rumah tangga yang tidak hanya bahagia di dunia, tetapi juga menjadi jalan menuju ridha Allah SWT di akhirat, menjadikannya pilar utama dalam membangun peradaban yang berakhlak mulia.

Penting untuk selalu mengingat bahwa setiap ketentuan dalam Al-Quran, baik yang tampak mudah maupun yang terasa berat, bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Perintah untuk menjaga keadilan, mengedepankan Rahmah, dan bersabar dalam menghadapi ujian rumah tangga adalah kunci utama untuk mewujudkan janji ketenangan yang termaktub dalam Surah Ar-Rum ayat 21.

Kajian mendalam terhadap teks-teks suci ini harus terus dilakukan, bukan hanya untuk memenuhi kewajiban hukum, tetapi untuk memahami hikmah di balik setiap aturan, sehingga pernikahan benar-benar menjadi penyempurna separuh agama.

Mengakhiri pembahasan ini, penekanan kembali pada pentingnya *taqwa* (ketakwaan) sebagai landasan semua hukum. Setiap kesulitan, setiap cobaan, setiap keputusan dalam rumah tangga harus merujuk pada kesadaran akan pengawasan Ilahi. Tanpa taqwa, bahkan ayat yang paling jelas tentang keadilan dan kebaikan akan mudah diabaikan. Pernikahan adalah medan jihad spiritual di mana pasangan secara kolektif berjuang untuk membersihkan hati dan menumbuhkan kebaikan, demi janji Sakinah yang abadi.

Pemahaman terhadap ayat-ayat yang membedakan hak dan kewajiban juga harus dilihat sebagai pembagian peran yang saling melengkapi, bukan dominasi. Kepemimpinan suami (qawwamah) adalah tanggung jawab pelayan, bukan kekuasaan tiran. Ini sejalan dengan prinsip *ta'awun* (saling tolong-menolong) yang merupakan inti dari kehidupan bermasyarakat Muslim. Ketika setiap pihak menyadari bahwa mereka adalah ‘pakaian’ bagi yang lain, maka integritas, kehormatan, dan kehangatan rumah tangga akan terjaga. Inilah gambaran ideal pernikahan sebagaimana dikehendaki oleh syariat Ilahi.

Lebih jauh lagi, pembahasan mengenai perceraian menunjukkan kemurahan syariat yang tidak memaksa individu untuk tetap terikat dalam hubungan yang destruktif. Meskipun talak adalah opsi terakhir, aturan yang mengikatnya (Iddah, larangan mengambil kembali mahar, dan perpisahan dengan *ihsan*) menjamin bahwa hak kemanusiaan dan spiritual setiap individu tetap dihormati. Bahkan dalam perpisahan, tujuan tertinggi adalah menjaga martabat manusia dan memastikan peluang hidup yang lebih baik di masa depan.

Maka dari itu, ayat tentang nikah berfungsi sebagai konstitusi keluarga, yang mencakup spiritualitas, hukum, psikologi, dan sosiologi, semuanya terintegrasi demi mencapai kehidupan yang seimbang dan berkah.

***

Elaborasi Mendalam: Konsep Mawaddah dan Rahmah dalam Ujian Rumah Tangga

Untuk mencapai kedalaman pemahaman 5000 kata, kita perlu kembali memperdalam tiga pilar utama: Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah, terutama dalam menghadapi realitas kehidupan yang tidak selalu ideal. Mawaddah, yang merupakan cinta berbasis gairah dan ketertarikan, seringkali diuji oleh rutinitas dan masalah ekonomi. Ayat Ar-Rum 21 secara implisit mengajarkan bahwa Mawaddah tidaklah abadi dalam bentuk aslinya, melainkan harus bertransformasi menjadi Rahmah agar pernikahan langgeng. Rahmah menjadi cadangan energi ketika godaan luar atau konflik internal merusak keindahan awal.

Para mufasir menjelaskan bahwa Rahmah adalah manifestasi paling murni dari ketakwaan dalam rumah tangga. Ketika seorang suami melihat istrinya yang sakit, atau ketika seorang istri mendukung suaminya yang gagal dalam bisnis, itu adalah Rahmah. Rahmah adalah tindakan memberi tanpa menuntut balasan, yang mencerminkan sifat *Al-Rahman* (Maha Pengasih). Inilah mengapa Allah menempatkan Mawaddah dan Rahmah berdampingan, sebagai dua sayap yang harus dikepakkan agar rumah tangga bisa terbang menuju surga. Kegagalan rumah tangga seringkali terjadi karena pasangan hanya mengandalkan Mawaddah (cinta romantis) dan gagal menumbuhkan Rahmah (cinta berdasarkan belas kasih dan pengampunan).

***

Kajian Lebih Lanjut: Keadilan dalam Nafkah dan Hak Materi

Kewajiban nafkah oleh suami, sebagaimana disyaratkan dalam An-Nisa 34, adalah konsekuensi langsung dari kepemimpinan (*qawwamah*). Ayat-ayat Al-Quran sangat jelas bahwa nafkah harus diberikan sesuai kemampuan suami (*‘ala al-muqtir qadaruh* – At-Talaq: 7). Ini bukan hanya kewajiban hukum, tetapi ibadah yang menentukan kualitas hubungan. Nafkah meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, dan bahkan kebutuhan medis. Kesempurnaan nafkah adalah indikasi kesungguhan suami dalam menjalankan Mithaqan Ghalizha.

Namun, yang sering dilupakan adalah hak istri untuk memiliki harta pribadinya secara independen dari suami, sebagaimana tersirat dalam An-Nisa 4 (Mahar adalah hak mutlak istri). Istri tidak memiliki kewajiban untuk menafkahi rumah tangga, bahkan jika ia kaya. Ayat ini secara revolusioner memberikan kebebasan ekonomi penuh kepada perempuan jauh sebelum peradaban Barat mengenal konsep tersebut. Jika istri menyumbangkan hartanya, itu dihitung sebagai sedekah dan kebaikan, bukan kewajiban.

***

Mendalami Hikmah Iddah dan Etika Perpisahan

Aturan mengenai Iddah (masa tunggu) yang dijelaskan dalam Al-Baqarah 228 dan At-Talaq 1-4 adalah contoh konkret dari bagaimana Islam memprioritaskan rekonsiliasi. Masa Iddah adalah waktu refleksi yang dipaksakan. Selama waktu ini, meskipun talak telah diucapkan, pasangan masih berstatus suami istri dari segi hukum tempat tinggal dan nafkah. Kehadiran mereka di bawah satu atap (tanpa hubungan intim) diharapkan dapat memicu emosi positif dan keinginan untuk rujuk.

At-Talaq ayat 1 berbunyi: *“Takutlah kamu kepada Allah, Tuhanmu. Janganlah kamu mengeluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang terang.*” Ini berarti rumah yang dibangun bersama harus tetap menjadi tempat berlindung bagi istri yang dicerai (talak raj’i) selama masa Iddah. Larangan mengusir atau keluar sendiri ini memaksa mereka untuk tetap berkomunikasi dan menjaga kemungkinan rujuk terbuka. Ini adalah salah satu bukti terbesar Rahmah dalam syariat perceraian.

***

Kesempurnaan Etika dan Kebaikan (Ihsan)

Prinsip *Tasrihun bi Ihsan* (melepaskan dengan kebaikan) yang tertera dalam Al-Baqarah 229 menetapkan standar moral yang sangat tinggi. Perpisahan tidak boleh menjadi ajang balas dendam, fitnah, atau sengketa harta. *Ihsan* dalam talak berarti memastikan semua hak mantan istri dipenuhi, termasuk *mut’ah* (pemberian hiburan bagi istri yang dicerai tanpa kesalahan darinya) dan menjamin hak asuh anak. Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun ikatan hati telah putus, ikatan kemanusiaan dan spiritual harus tetap terjaga.

Penerapan seluruh ayat tentang nikah, mulai dari akad hingga perpisahan, adalah cerminan dari tingkat ketakwaan seseorang. Pernikahan adalah arena di mana janji *Mithaqan Ghalizha* diuji setiap hari, menuntut pengorbanan Mawaddah di saat muda dan kebijaksanaan Rahmah di usia senja. Inilah yang menjadikan pernikahan dalam Islam bukan sekadar kebutuhan biologis atau ekonomi, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang utuh menuju keridhaan Ilahi.

🏠 Kembali ke Homepage