Peristiwa Isra dan Miraj merupakan salah satu mukjizat terbesar yang dianugerahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Bukan sekadar perjalanan fisik, namun ia adalah manifestasi agung dari kekuasaan Ilahi dan ujian tertinggi bagi keimanan umat manusia. Dua surah utama dalam Al-Qur'an secara eksplisit maupun implisit menyinggung perjalanan malam dan kenaikan ini, yaitu Surah Al-Isra ayat 1 dan Surah An-Najm ayat 1-18.
Kajian mendalam terhadap ayat-ayat ini tidak hanya membuka tabir kronologi peristiwa, tetapi juga mengungkapkan makna teologis, spiritual, dan hukum (terutama mengenai kewajiban salat) yang menjadi inti dari risalah kenabian. Artikel ini akan membedah setiap kata kunci, menelusuri tafsir para ulama klasik, dan menggali hikmah abadi yang terkandung dalam firman Allah mengenai perjalanan suci Rasulullah SAW.
Surah Al-Isra dibuka dengan pernyataan yang sangat kuat, menetapkan dasar keimanan bahwa perjalanan ini benar-benar terjadi atas kehendak dan kekuasaan mutlak Allah SWT. Ayat ini fokus pada bagian pertama perjalanan, yaitu perjalanan horizontal dari Mekah ke Yerusalem (Baitul Maqdis).
Terjemah Makna: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Kata pembuka ini, yang berarti 'Maha Suci', adalah penegasan teologis sebelum mukjizat dijelaskan. Menurut para mufassir seperti Imam Al-Qurtubi, penggunaan kata *Subhana* di sini berfungsi sebagai:
Kata *Asra* berarti 'memperjalankan pada malam hari'. Ini secara spesifik menunjukkan bahwa pelakunya adalah Allah, bukan Nabi Muhammad SAW sendiri. Yang lebih penting adalah pemilihan kata *Bi'abdihi* (dengan hamba-Nya). Ibnu Katsir menekankan bahwa penggunaan kata 'hamba' (abd) adalah gelar kemuliaan tertinggi pada konteks ini. Nabi SAW dipuji bukan sebagai Raja atau Pahlawan, tetapi sebagai Hamba yang tunduk sepenuhnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa perjalanan ini, meskipun bersifat luar biasa, tetap berada dalam bingkai kedudukan Nabi sebagai manusia utusan, bukan sebagai Tuhan atau makhluk Ilahi.
Penjelasan bahwa perjalanan terjadi *Laylan* (pada suatu malam) mengandung tiga poin penting:
Ayat ini menghubungkan dua tempat suci paling utama dalam Islam:
Tujuan dari Isra Miraj diringkas dalam frasa: *Linuriyahu min Aayatina* (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami). Ini bukanlah perjalanan untuk mencari ilmu semata, melainkan:
Sementara Surah Al-Isra menjelaskan perjalanan horizontal (Isra), Surah An-Najm (Bintang) menjelaskan secara rinci tentang kenaikan vertikal (Miraj) ke langit ketujuh dan pertemuannya dengan realitas Ilahi. Ayat-ayat 1 hingga 18 dari Surah An-Najm adalah deskripsi yang paling puitis dan mendalam mengenai peristiwa Miraj.
Terjemah Makna: Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Ayat-ayat pembuka ini berfungsi untuk menegaskan kredibilitas Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks Isra Miraj, ketika kaum musyrikin menolak kebenaran perjalanan ini karena dianggap tidak masuk akal, ayat ini secara umum membela integritas Nabi. Allah bersumpah (Demi Bintang) bahwa segala yang diucapkan Muhammad, termasuk kisah perjalanan gaib yang luar biasa ini, bukanlah bualan atau khayalan, melainkan kebenaran yang bersumber dari wahyu.
Ayat-ayat ini mengalihkan fokus pada sosok yang membawa wahyu, yaitu Malaikat Jibril, yang Nabi lihat dalam wujud aslinya dua kali: sekali di bumi (sebelum Miraj, menurut beberapa tafsir), dan sekali lagi di *Sidratul Muntaha*.
Terjemah Makna: Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (dengan Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu disampaikannya kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan Allah.
Meskipun mayoritas ulama tafsir menghubungkan ayat 5-10 ini dengan penglihatan Nabi SAW terhadap Jibril pada awal kenabian, banyak juga yang melihatnya sebagai bagian dari narasi Miraj, yang menggambarkan kemuliaan Jibril sebagai pemandu dan penghubung dalam perjalanan spiritual tertinggi tersebut. Frasa فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ (sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi) menggambarkan kedekatan luar biasa yang dicapai, baik antara Nabi dan Jibril, atau antara Nabi dan Zat Ilahi, tergantung pada penafsiran yang dipegang.
Bagian ini adalah puncak dari seluruh narasi Miraj, menjelaskan apa yang dilihat Nabi Muhammad SAW di batas akhir alam semesta yang dapat dijangkau oleh makhluk.
Terjemah Makna: Hati tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (kaum musyrikin) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (Yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada Surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.
Secara harfiah, Sidratul Muntaha adalah 'Pohon Sidr (Bidara) Batas Akhir'. Ini adalah lokasi spiritual dan kosmis yang paling jauh, yang merupakan batas terakhir dari segala pengetahuan dan penjangkauan makhluk. Menurut Hadits, ini adalah batas di mana:
Frasa ini adalah pujian tertinggi atas kesempurnaan pandangan Nabi SAW saat di puncak Miraj. Artinya, "Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya."
Ayat-ayat tentang Isra Miraj turun pada periode yang sangat kritis dalam dakwah Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai periode Mekah Akhir, tak lama sebelum hijrah ke Madinah. Memahami konteks ini sangat penting untuk memahami mengapa mukjizat luar biasa ini diperlukan.
Isra Miraj terjadi setelah "Tahun Kesedihan" (*Amul Huzn*), sekitar tahun kesepuluh kenabian. Periode ini ditandai dengan:
Meskipun Al-Qur'an secara jelas menyebutkan Isra Miraj, terjadi perdebatan di kalangan ulama mengenai sifat perjalanannya. Namun, tafsir dominan, berdasarkan penggunaan kata *Bi'abdihi* (dengan hamba-Nya) dalam Al-Isra ayat 1, menegaskan bahwa perjalanan itu terjadi dengan jasad dan ruh, dalam keadaan terjaga.
Jika perjalanan ini hanya berupa mimpi (ruhani), maka tidak akan menjadi mukjizat besar yang patut diawali dengan pujian "Subhana" (Maha Suci), dan tidak akan menimbulkan reaksi keras penolakan dari kaum Quraisy. Reaksi Quraisy yang menuduh Nabi gila membuktikan bahwa mereka menyadari klaim Nabi adalah perjalanan fisik yang melampaui akal sehat.
Inilah inti dari keajaiban mukjizat ini: Allah telah mengubah hukum fisika dan dimensi waktu bagi hamba-Nya, membuktikan bahwa Al-Qur'an berbicara tentang realitas yang melebihi batas-batas material yang kita pahami.
Meskipun ayat-ayat Al-Qur'an secara langsung berfokus pada deskripsi perjalanan, hadits-hadits sahih (yang merupakan penjelasan dari *Ayatinal Kubra*—Tanda-tanda Kebesaran Kami yang disebutkan di An-Najm 18) menunjukkan bahwa hasil syar’i paling monumental dari Miraj adalah penetapan kewajiban salat lima waktu.
Dalam pertemuan dengan Allah di lapisan langit tertinggi, Nabi Muhammad SAW awalnya diperintahkan untuk salat 50 kali sehari. Melalui proses negosiasi spiritual, atas saran Nabi Musa AS, jumlah itu dikurangi hingga lima kali, namun pahalanya tetap setara dengan 50 kali salat.
Di samping salat, Surah Al-Isra, meskipun fokus pada ayat 1 tentang perjalanan, segera beralih ke serangkaian instruksi etika dan akhlak yang luar biasa (Ayat 2-39). Para ulama seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi menafsirkan bahwa daftar perintah moral ini (berbakti kepada orang tua, menjauhi zina, tidak membunuh, jujur dalam timbangan, dll.) diletakkan segera setelah deskripsi Isra sebagai pengingat: Perjalanan menuju kedekatan dengan Allah harus diikuti dengan pemurnian amal di bumi. Mukjizat fisik harus didukung oleh mukjizat akhlak.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dikehendaki dari ayat-ayat Isra Miraj, diperlukan ekspansi pada aspek filosofis dan teologis, terutama dalam menafsirkan makna *Aayatinal Kubra* (tanda-tanda kebesaran Kami yang paling besar).
Ketika Nabi Muhammad SAW melihat tanda-tanda kebesaran Tuhannya yang paling besar, ini tidak hanya melibatkan penglihatan surga dan neraka, tetapi juga penyingkapan misteri alam semesta dan takdir:
Perhentian di Masjidil Aqsa, di mana Nabi Muhammad SAW menjadi imam salat bagi semua nabi terdahulu, adalah penafsiran visual dari Surah Al-Isra 1 yang menghubungkan kedua masjid suci tersebut.
Tindakan mengimami salat ini, yang disaksikan para nabi agung (termasuk Ibrahim, Musa, dan Isa), menegaskan:
Konsep *Sidratul Muntaha* di An-Najm 14-15 memiliki implikasi epistemologis yang dalam. Ia bukan hanya batas geografis di langit, tetapi batas dari pengetahuan makhluk.
Ayat-ayat mengenai Isra Miraj menawarkan sumber pelajaran spiritual dan moral yang tak terbatas, yang relevan sepanjang masa. Berikut adalah perluasan mendalam mengenai hikmah yang terkandung dalam Surah Al-Isra 1 dan An-Najm 1-18.
Mukjizat Isra Miraj, yang datang setelah Tahun Kesedihan, mengajarkan bahwa krisis terbesar seringkali mendahului anugerah dan kehormatan spiritual terbesar. Ketika dunia menutup pintu (seperti yang terjadi di Mekah dan Thaif), Allah membuka pintu-pintu langit. Hal ini menjadi penghiburan bagi para dai dan orang beriman yang menghadapi penolakan dan kesulitan; bahwa pertolongan dan pengangkatan derajat datang langsung dari Allah.
Pujian tertinggi yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya saat diperjalankan adalah gelar 'Hamba' (*abd*). Ini mengajarkan bahwa kemuliaan sejati di sisi Allah bukanlah terletak pada kekayaan, kekuasaan, atau karisma duniawi, melainkan pada ketundukan yang sempurna. Semakin seorang hamba menyadari status kehambaannya, semakin tinggi derajatnya di sisi Khaliq (Pencipta).
Perjalanan ke Al-Aqsa menguatkan bahwa ajaran Islam adalah universal dan merupakan kelanjutan dari wahyu Musa dan Isa. Umat Islam diperintahkan untuk menghormati semua nabi. Bagi umat saat ini, ini adalah panggilan untuk memahami Islam sebagai agama yang inklusif secara historis, merangkul warisan spiritual dari masa lalu.
Kewajiban salat adalah satu-satunya rukun Islam yang dijemput langsung oleh Nabi Muhammad SAW di tempat tertinggi. Ini meningkatkan nilai salat di atas semua ibadah lainnya. Salat bukan hanya ritual, tetapi hadiah dan tali penghubung langsung antara hamba dan Pencipta, suatu "Miraj" mini yang dapat dilakukan kapan saja.
Proses pengurangan jumlah salat, atas saran Nabi Musa, mengajarkan pentingnya kesabaran dan meminta keringanan (tawfiq) dalam menjalankan perintah agama, meskipun perintah tersebut datang langsung dari Allah. Nabi Musa, sebagai nabi syariat, berfungsi sebagai simbol kebijaksanaan dalam pelaksanaan hukum.
Ketepatan pandangan Nabi di Sidratul Muntaha mengajarkan umat pentingnya fokus dan khusyuk, terutama dalam salat. Keberhasilan spiritual sangat bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan pandangan dan pikiran agar tidak *zagha* (menyimpang) dan tidak *thagha* (melampaui batas).
Nabi SAW diperlihatkan surga dan neraka, beserta ganjaran dan hukuman yang menanti. Ayat-ayat dan hadits Miraj berfungsi sebagai deskripsi rinci tentang janji dan ancaman Ilahi, menjadikannya lebih nyata dan mendorong umat untuk beramal saleh.
Mukjizat Isra Miraj menghancurkan pandangan materialistik yang membatasi kekuasaan Tuhan pada hukum alam. Ia menunjukkan bahwa Allah adalah Pencipta hukum alam, dan Dia dapat menangguhkan atau mengubahnya sewaktu-waktu. Ini memantapkan konsep kekuasaan mutlak (*Qudrah*) Allah SWT.
Pengajaran bahwa *Sidratul Muntaha* adalah batas akhir menegaskan bahwa ilmu manusia, sejenius apa pun, memiliki ujung. Ada misteri Ilahi yang tidak mungkin dijangkau oleh makhluk, dan upaya untuk memahami Zat Allah secara keseluruhan adalah kesia-siaan. Fokus harus pada tanda-tanda (Ayat) dan bukan pada Dzat yang menciptakan tanda.
Pilihan Allah untuk menjadikan Masjidil Aqsa sebagai titik transit menunjukkan pentingnya tanah suci tersebut dalam rencana Ilahi. Ini menggarisbawahi tanggung jawab umat Islam untuk memelihara kesucian dan keberkahan kawasan tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Al-Isra: *Alladhi Barokna Haulahu* (yang telah Kami berkahi sekelilingnya).
Kaitan antara Surah Al-Isra ayat 1 dan perintah-perintah moral yang mengikutinya (ayat 2-39) sangat penting. Jika seseorang telah "Miraj" secara spiritual melalui salat, maka buahnya harus terlihat dalam perilaku di masyarakat:
Dari Kebesaran di Langit menuju Kebaikan di Bumi:
Dengan demikian, ayat-ayat tentang Isra Miraj adalah fondasi teologis yang kuat, bukan hanya kisah masa lalu, tetapi pedoman abadi yang membentuk ibadah (Salat) dan akhlak (Adab) seorang mukmin, menghubungkan langit dan bumi dalam satu garis ketaatan yang sempurna. Perjalanan malam itu menjadi sumber energi spiritual yang tak pernah habis bagi umat Islam di setiap zaman.
Beberapa ulama dan ahli tasawuf (sufi) juga mengkaji dimensi esoteris atau batiniah dari ayat-ayat Isra Miraj, melihat perjalanan ini sebagai lambang tahapan spiritual yang harus dilalui oleh setiap pencari kebenaran. Dalam pandangan ini, perjalanan bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga peta jalan menuju kedekatan Ilahi.
Fakta bahwa perjalanan ribuan mil (Isra) dan jutaan tahun cahaya (Miraj) diselesaikan dalam satu malam menunjukkan bahwa realitas yang dialami manusia di bumi adalah relatif. Para filsuf Muslim berpendapat bahwa Isra Miraj menunjukkan kemampuan Allah untuk melipat ruang (*tayy al-makan*) dan melipat waktu (*tayy az-zaman*). Dalam konteks tasawuf, ini melambangkan bahwa ketika seseorang mencapai tingkat ketundukan dan kemurnian spiritual tertinggi, batasan-batasan fisik dan mental duniawi tidak lagi mengikatnya. Kemurnian hati (yang disebutkan dalam An-Najm 11, *Ma Kadzabal Fuad*) menjadi kunci untuk melampaui dimensi materi.
Kenaikan melalui tujuh lapisan langit, di mana Nabi Muhammad bertemu dengan nabi-nabi terdahulu, melambangkan tahapan penyucian jiwa. Setiap nabi yang ditemui merepresentasikan makam spiritual atau sifat utama yang harus dilalui atau dipelajari oleh Nabi Muhammad (dan oleh setiap mukmin yang menapaki jalan spiritual):
Ayat An-Najm 11, *Ma Kadzabal Fuad Ma Ra'a* (Hati tidak mendustakan apa yang dilihatnya), adalah kunci pemahaman sufistik. Dalam pandangan esoteris, penglihatan ini bukan hanya visual eksternal, tetapi penglihatan batin (kasyf). Hati (*fuad*) di sini adalah organ spiritual yang lebih dalam dari akal. Ketika Nabi melihat kebenaran gaib, akal mungkin goyah, tetapi hati beliau tidak pernah berbohong. Ini menunjukkan bahwa keyakinan yang sebenarnya adalah apa yang ditangkap oleh hati yang suci, yang telah disiapkan untuk menerima realitas yang melampaui batas indra fisik.
Ayat-ayat suci tentang Isra dan Miraj, dari Surah Al-Isra 1 yang menggarisbawahi kekuasaan Allah yang Mahasuci, hingga Surah An-Najm 1-18 yang mendeskripsikan kedekatan tertinggi di Sidratul Muntaha, adalah batu penjuru dalam teologi Islam. Peristiwa ini melampaui narasi sejarah biasa; ia adalah ujian, penghibur, sekaligus penugasan ilahi.
Setiap detail yang disinggung oleh Al-Qur'an—dari pemilihan kata *abd* (hamba) hingga penegasan bahwa pandangan Nabi tidak menyimpang (*Ma Zagh*)—mengandung pelajaran yang mendalam. Mereka menegaskan bahwa kemuliaan seorang hamba terletak pada ketundukan mutlak, dan bahwa realitas Ilahi dapat dicapai melalui jalur spiritual yang telah ditetapkan (salat).
Kajian mendalam ini memanggil umat untuk merenungkan makna hakiki dari perjalanan suci tersebut. Isra Miraj bukanlah sekadar cerita yang dirayakan setahun sekali, melainkan cetak biru spiritual bagi setiap mukmin untuk mengejar "Miraj" pribadinya melalui ibadah, pengendalian diri, dan peningkatan akhlak, sebagaimana dituntut oleh ayat-ayat moral yang segera menyusul deskripsi perjalanan luar biasa itu.
Kekuatan mukjizat ini terletak pada fakta bahwa ia menuntut iman tanpa melihat dan ketaatan tanpa pertanyaan, memurnikan barisan orang-orang beriman sejati dari mereka yang ragu. Ayat-ayat ini akan selamanya menjadi bukti nyata janji Allah kepada hamba-Nya yang setia, bahwa setelah setiap kesulitan, pasti ada kemudahan, dan setelah setiap pengorbanan, ada kehormatan tertinggi dari langit.
Peristiwa ini, yang diabadikan dalam ayat-ayat Al-Qur'an yang mulia, tetap menjadi sumber inspirasi tak terbatas, mendorong umat untuk memandang keagungan Allah yang tidak terbatas, serta menyadari nilai hakiki dari setiap langkah ketaatan di atas bumi.
Kelebihan retorika Al-Qur'an dalam menjelaskan Isra Miraj terletak pada efisiensi dan kedalaman makna yang terkandung dalam setiap frasa. Analisis linguistik terhadap terminologi yang digunakan memperkuat argumen teologis tentang keajaiban peristiwa ini.
Penggunaan kata مصدر (masdar) *Subhana* di awal Surah Al-Isra berfungsi sebagai predikat nominal yang mengandung makna universalitas penyucian. Ini adalah bentuk *ta'ajjub* (kekaguman) yang paling tinggi dalam Bahasa Arab. Ayat ini tidak mengatakan "Sucikanlah Allah," melainkan "Allah adalah Maha Suci" (dari segala kekurangan dan ketidakmampuan). Penempatan *Subhana* di awal mengkondisikan pembaca atau pendengar bahwa apa yang akan mereka dengar selanjutnya adalah sesuatu yang di luar nalar manusia, dan penerimaannya wajib didasarkan pada iman terhadap kesempurnaan Dzat Yang Maha Melakukannya. Dalam tradisi retorika Qur'ani, *Subhana* sering digunakan sebagai pembuka mukjizat yang tidak dapat diulang oleh siapa pun selain Allah, seperti penciptaan alam semesta atau Isra Miraj.
Ayat 2-4 Surah An-Najm, yang menekankan bahwa Nabi tidak sesat (*Ma Dhalla*) dan tidak pula keliru (*Ma Ghawa*), dan tidak berbicara dari hawa nafsu (*Wama Yantiq 'an Al-Hawa*), adalah penegasan terhadap kebenaran mutlak kenabian pasca pengalaman Miraj yang kontroversial. Retorika ini secara langsung menyangkal tuduhan para penentang di Mekah yang menganggap kisah Miraj sebagai fantasi. Allah menggunakan sumpah (Demi Bintang) untuk meyakinkan bahwa sumber informasinya adalah wahyu (*In Huwa Illa Wahyun Yuha*), dan oleh karena itu, harus diterima sebagai fakta, tidak peduli betapa pun fantastisnya ia terdengar oleh akal terbatas.
Secara linguistik, *Al-Masjidil Haram* berarti masjid yang disucikan dan dihormati (Haram), sedangkan *Al-Masjidil Aqsa* berarti masjid yang "paling jauh" (*Aqsa*). Kontras ini tidak hanya geografis, tetapi juga historis. Al-Haram melambangkan kenabian Arab (Islam versi final), sementara Al-Aqsa melambangkan kenabian yang paling jauh dari Jazirah Arab, yang merujuk pada tradisi nabi-nabi Bani Israil. Penyatuan keduanya dalam satu perjalanan menunjukkan penguasaan total Nabi Muhammad atas seluruh spektrum risalah tauhid. Penamaan ini secara linguistik mendahului penaklukan politik, menetapkan klaim spiritual atas Yerusalem sebelum klaim militer.
Pengkajian mendalam terhadap ayat-ayat tentang Isra Miraj membuka tiga lapisan realitas yang saling terkait dan tidak terpisahkan dalam risalah Islam:
Lapisan Pertama: Realitas Mukjizat dan Kekuasaan Ilahi. Ayat-ayat ini adalah bukti fisik dan metafisik dari kekuasaan mutlak Allah. Kisah Isra Miraj menantang akal dan menguji batas keimanan, menegaskan bahwa kebenaran Islam tidak terikat pada batasan-batasan materialistik yang diciptakan. Perjalanan ini adalah manifestasi langsung dari sifat Allah sebagai *Al-Qadir* (Yang Mahakuasa).
Lapisan Kedua: Realitas Spiritual dan Hukum (Syariat). Hasil praktis terbesar adalah penetapan salat. Salat, yang menjadi Miraj bagi mukmin, adalah tiang agama dan pembeda antara iman dan kekafiran. Kedekatan yang dicapai Nabi di Sidratul Muntaha ditransformasikan menjadi lima waktu kedekatan bagi seluruh umatnya. Ini menunjukkan bahwa ibadah adalah jembatan yang menghubungkan pencapaian spiritual tertinggi dengan praktik harian yang paling mendasar.
Lapisan Ketiga: Realitas Moral dan Kemanusiaan. Ayat-ayat yang mengiringi Al-Isra 1 memberikan penekanan bahwa kemuliaan spiritual harus menghasilkan perilaku etis yang sempurna di bumi. Seseorang yang hatinya telah melihat Tanda-tanda Kebesaran Allah harus menjalani hidupnya dengan adab (akhlak) yang sempurna, menjauhi dosa sosial dan individu. Kesempurnaan vertikal (ibadah) harus diimbangi dengan kesempurnaan horizontal (muamalah).
Dengan menafsirkan ayat-ayat ini secara komprehensif, dari Surah Al-Isra 1 hingga An-Najm 18, umat Islam memperoleh pemahaman yang utuh tentang posisi Nabi Muhammad SAW, hakikat salat, dan peta jalan menuju kesucian batin. Kisah agung ini tetap menjadi mercusuar yang menerangi jalan bagi mereka yang mencari kedekatan abadi dengan Sang Pencipta, menegaskan bahwa iman adalah kunci untuk membuka tirai misteri alam semesta.