Pendahuluan: Definisi dan Kedudukan Riba
Riba, secara harfiah berarti kelebihan, tambahan, atau pertumbuhan. Dalam terminologi syariat Islam, riba merujuk pada tambahan (bunga) yang disyaratkan oleh pemberi pinjaman kepada peminjam, atau kelebihan dalam pertukaran barang-barang ribawi tertentu yang tidak sesuai dengan kaidah syariat. Larangan terhadap riba merupakan salah satu pilar utama dalam etika ekonomi Islam dan dianggap sebagai dosa besar yang memiliki konsekuensi sosial dan spiritual yang sangat merusak.
Larangan riba dalam Al-Qur'an diturunkan secara bertahap (tadarruj), mencerminkan metode dakwah yang bijaksana. Tahapan ini dimulai dengan kritikan ringan, kemudian larangan terhadap riba yang berlipat ganda, dan puncaknya adalah larangan total terhadap segala bentuk riba, yang tertuang dalam serangkaian ayat-ayat tegas di Surah Al-Baqarah.
Kajian mendalam mengenai ayat-ayat riba sangat krusial bagi umat Islam, bukan hanya untuk memahami haramnya bunga bank konvensional, tetapi juga untuk membangun sistem perekonomian yang adil, berbasis pada risiko bersama (risk sharing) dan keadilan distribusi kekayaan. Ayat-ayat ini tidak hanya berbicara tentang uang, tetapi juga tentang moralitas dalam transaksi, keutamaan sedekah, dan bahaya keserakahan yang merusak tatanan masyarakat.
Penting untuk dipahami bahwa larangan riba bukan hanya aturan agama yang bersifat ritualistik, tetapi merupakan pondasi etika ekonomi yang bertujuan melindungi yang lemah, memastikan perputaran modal yang produktif, dan mencegah akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang tanpa upaya atau risiko yang seimbang. Kehancuran moral dan ekonomi yang ditimbulkan oleh praktik riba menjadi fokus utama dalam peringatan Ilahi yang disajikan dalam Kitab Suci Al-Qur'an.
Keadilan (Al-Mizan) adalah inti dari larangan riba dalam Islam.
Ayat-Ayat Pokok Larangan Riba
Larangan riba dalam Al-Qur'an tidak datang secara tiba-tiba, melainkan melalui empat tahapan utama yang mencerminkan strategi pembinaan umat. Tahapan ini menunjukkan kehati-hatian Syariat dalam mengubah kebiasaan ekonomi masyarakat Arab Jahiliyah yang telah mendarah daging, di mana riba merupakan praktik yang sangat umum dan diterima secara sosial.
1. Peringatan Awal: Surah Ar-Rum (30:39)
Ini adalah tahapan pertama, diturunkan di Makkah, yang berfokus pada dimensi spiritual dan perbandingan antara riba dan zakat (sedekah). Ayat ini belum secara eksplisit melarang, tetapi menanamkan pemahaman bahwa harta yang diperoleh melalui riba tidak akan mendatangkan keberkahan sejati di sisi Allah.
Ayat ini menetapkan kontras fundamental: Riba (pertumbuhan material semu) melawan Zakat (pertumbuhan spiritual dan keberkahan hakiki). Meskipun riba tampaknya menambah harta di dunia, secara spiritual, ia adalah kerugian. Sebaliknya, sedekah atau zakat yang dikeluarkan karena Allah akan dilipatgandakan pahalanya.
2. Larangan Riba Berlipat Ganda: Surah Ali Imran (3:130)
Tahapan kedua ini datang di Madinah. Ayat ini mulai melarang riba, tetapi memfokuskan larangan pada bentuk riba yang paling eksploitatif, yaitu riba yang berlipat ganda (berbunga di atas bunga), yang dikenal sebagai Riba Al-Mudha'afah.
Dalam konteks sejarah, praktik umum di Jahiliyah adalah: jika peminjam tidak mampu membayar utang pada waktu jatuh tempo, utang tersebut digandakan dengan syarat tambahan waktu. Ayat ini secara spesifik menargetkan praktik keji ini. Meskipun ayat ini secara eksplisit menyebut 'berlipat ganda', para ulama sepakat bahwa larangan total (yang datang setelahnya) mencakup riba dalam jumlah kecil sekalipun. Ayat 3:130 ini adalah langkah transisional menuju pelarangan total.
3. Kritik Terhadap Pelaku Riba dari Umat Terdahulu: Surah An-Nisa (4:161)
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan historis, menunjukkan bahwa larangan riba bukanlah ajaran baru, melainkan telah ditegakkan dalam syariat sebelumnya (khususnya Yahudi), namun mereka melanggarnya.
Konteks ayat ini memberikan legitimasi universal terhadap larangan riba. Hal ini menegaskan bahwa setiap sistem Ilahi yang adil selalu menentang eksploitasi finansial. Pelanggaran terhadap larangan ini dihubungkan dengan memakan harta orang lain secara batil, yang merupakan dosa ekonomi yang serius.
4. Larangan Total dan Konsekuensi Fatal: Surah Al-Baqarah (2:275-281)
Ini adalah klimaks dari larangan riba, memberikan definisi hukum yang final dan sanksi spiritual yang paling berat. Ayat-ayat ini diturunkan pada akhir masa Nabi Muhammad SAW, setelah penaklukan Mekah, dan menetapkan hukum yang tidak dapat diubah lagi hingga Hari Kiamat.
QS Al-Baqarah 2:275 – Keserupaan dengan Kesurupan
Ayat ini mengandung beberapa poin tafsir yang sangat mendasar dan penting untuk dipahami secara menyeluruh:
Tafsir Mendalam QS 2:275
1. Kiasan Kondisi di Hari Kiamat (Kesurupan Setan): Para mufassir (ahli tafsir) sepakat bahwa kiasan laa yaquumuuna illaa kamaa yaquumul ladzii yatakhabbathuhusy-syaithaanu minal mass merujuk pada kondisi mereka dibangkitkan dari kubur di Hari Kiamat. Mereka akan berdiri dengan goyah, bingung, dan tidak seimbang, seperti orang yang kehilangan akal karena tekanan setan. Kiasan ini menggambarkan ketidakseimbangan psikologis dan spiritual yang ditimbulkan oleh riba di dunia, yang manifestasinya terlihat jelas di akhirat.
2. Pembenaran yang Keliru (Riba Sama dengan Jual Beli): Ayat tersebut mengabadikan alasan klasik para penolak hukum: Innanal bay’u mitslur-ribaa (Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba). Ini adalah argumen inti dari Kapitalisme kuno maupun modern, di mana mereka melihat bunga (riba) sebagai harga waktu atau harga modal, yang secara fungsional sama dengan margin keuntungan dalam jual beli. Allah dengan tegas menolak perbandingan ini dengan pernyataan: Wa ahallallahu al-bay’a wa harramar-ribaa (Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba).
Perbedaan fundamental antara jual beli dan riba terletak pada risiko (al-ghurm bi al-ghunm). Dalam jual beli, penjual menanggung risiko atas barang yang diperdagangkan, dan keuntungan yang diperoleh adalah imbalan atas risiko tersebut. Sementara dalam riba, modal dijamin kembali plus keuntungan tetap (bunga) tanpa menanggung risiko kerugian sedikit pun, yang merupakan inti dari eksploitasi dan ketidakadilan.
3. Hukum Transisi (Bagi yang Berhenti): Ayat ini memberikan keringanan bagi mereka yang bertaubat sebelum larangan total ini turun. Faman jaa’ahu mau’izhatun mir-rabbihi fantahaa falahu maa salaf (Barangsiapa yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu). Ini adalah prinsip hukum Islam yang mengutamakan taubat dan reformasi. Apa yang terjadi sebelum hukum ditetapkan diampuni, tetapi setelah hukum ini jelas, tidak ada lagi toleransi.
4. Sanksi Kekal: Peringatan keras ditekankan pada mereka yang kembali kepada riba setelah mengetahui larangan ini: Wa man ‘aada fa ulaa’ika ash-haabun-naar, hum fiihaa khaaliduun (Orang yang mengulangi, maka mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya). Ancamam kekal ini menunjukkan bahwa memandang remeh larangan riba adalah kejahatan moral dan spiritual yang sangat besar, menempatkannya sejajar dengan dosa-dosa besar yang mengancam keimanan pelakunya.
QS Al-Baqarah 2:276 – Pemusnahan Harta Riba
Kata yamhaq berarti memusnahkan, mengurangi, atau menghilangkan keberkahan. Meskipun harta riba tampak bertambah secara kuantitas, Allah menghilangkan keberkahannya (barakah). Harta tersebut mungkin cepat habis, mendatangkan penyakit, atau menyebabkan bencana. Sebaliknya, sedekah (yurbi as-shadaqaat), meskipun secara lahiriah mengurangi harta, justru disuburkan dan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
Ayat ini kembali menegaskan dualisme moral dan spiritual antara riba dan sedekah, antara keserakahan yang merusak dan kedermawanan yang menyuburkan.
QS Al-Baqarah 2:278-279 – Tantangan Perang
Ini adalah ayat yang paling menggentarkan, menetapkan konsekuensi hukum dan spiritual tertinggi bagi pelaku riba yang menolak bertaubat dan menghentikan praktiknya.
Tidak ada dosa selain riba yang diberikan ancaman sekeras ini, yaitu ancaman perang langsung dari Allah dan Rasul-Nya. Para ulama fiqih menjelaskan bahwa ancaman ini memberikan legitimasi kepada pemimpin negara Islam untuk mengambil tindakan tegas, bahkan sanksi hukuman mati atau pengusiran, terhadap institusi atau individu yang secara terbuka dan konsisten menolak untuk menghentikan praktik riba setelah hukum syariat ditegakkan.
Frasa Falakum ru'uusu amwaalikum (Maka bagimu pokok hartamu) adalah kunci utama keadilan ekonomi Islam. Syariat memastikan bahwa modal pokok harus dikembalikan (menghindari kerugian bagi pemberi pinjaman), tetapi setiap tambahan di atas modal pokok adalah riba dan harus ditinggalkan. Prinsip ini adalah inti dari larangan riba: Laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun (Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya).
QS Al-Baqarah 2:280-281 – Kasus Peminjam Sulit
Ayat-ayat terakhir ini melengkapi panduan etika pinjaman, menekankan pentingnya kemanusiaan dan sedekah dalam hubungan utang piutang.
Ayat ini mengajarkan etika tertinggi dalam utang piutang. Jika peminjam kesulitan membayar (dhul 'usrah), kewajiban pemberi pinjaman adalah memberikan penangguhan waktu (nadhirah) tanpa bunga tambahan. Bahkan, sangat dianjurkan untuk menyedekahkan utang tersebut (merelakan sebagian atau seluruhnya). Ayat ini menjustifikasi bahwa praktik riba justru memanfaatkan kesulitan orang, sementara Islam memerintahkan untuk meringankan kesulitan tersebut.
Klasifikasi Fiqih Terhadap Jenis-Jenis Riba
Untuk menerapkan larangan yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an, para fuqaha (ahli fiqih) mengklasifikasikan riba menjadi dua kategori besar berdasarkan praktik dasarnya: Riba Duyun (Riba Utang) dan Riba Buyu' (Riba Jual Beli/Pertukaran).
1. Riba Duyun (Riba Utang atau Pinjaman)
Riba Duyun adalah riba yang terjadi dalam transaksi pinjam-meminjam (utang-piutang). Ini adalah bentuk riba yang paling jelas dilarang oleh QS Al-Baqarah 2:275-279 dan dikenal juga sebagai Riba Al-Jahiliyah.
- Definisi: Tambahan yang disyaratkan atas modal pokok pinjaman sebagai imbalan waktu.
- Contoh Modern: Bunga pinjaman, bunga deposito, dan denda keterlambatan pembayaran yang bersifat tetap atau meningkat seiring waktu.
Inti dari Riba Duyun adalah memastikan adanya keuntungan tetap (return) atas uang tanpa menanggung risiko (risk) dari usaha peminjam. Dalam Islam, uang adalah alat tukar, bukan komoditas yang menghasilkan keuntungan dengan sendirinya.
2. Riba Buyu’ (Riba Jual Beli atau Pertukaran)
Riba Buyu' terjadi dalam transaksi pertukaran barang atau komoditas tertentu (barang ribawi). Meskipun ayat-ayat Al-Qur'an fokus pada riba utang, hadis-hadis Nabi SAW memperluas cakupan riba ke transaksi pertukaran, demi menutup celah (sadd al-dzari'ah) yang memungkinkan riba utang disamarkan sebagai jual beli.
Riba Buyu' dibagi lagi menjadi dua jenis:
A. Riba Fadl (Riba Kelebihan)
Riba Fadl terjadi ketika ada pertukaran dua barang sejenis yang memenuhi illah (alasan hukum) ribawi, namun dengan takaran atau kadar yang tidak sama (ada kelebihan).
- Syarat Pertukaran: Barang sejenis (misalnya, emas dengan emas, atau beras dengan beras).
- Contoh: Menukar 1 kilogram gandum berkualitas rendah dengan 1.2 kilogram gandum berkualitas tinggi. Kelebihan 0.2 kilogram adalah riba, karena pertukaran barang sejenis harus dilakukan secara setara (mitslan bi mitslin).
Tujuan larangan Riba Fadl adalah mencegah inflasi terselubung dan memastikan bahwa nilai intrinsik komoditas sejenis dipertahankan dalam transaksi barter. Jika ingin menukar barang sejenis dengan kualitas berbeda, salah satu ulama menyarankan menjual barang tersebut secara terpisah dan menggunakan uang hasil penjualan untuk membeli barang yang lain.
B. Riba Nasiah (Riba Penundaan)
Riba Nasiah terjadi ketika ada penundaan serah terima (atau salah satunya) dalam pertukaran barang-barang ribawi, baik itu sejenis maupun tidak sejenis, selama barang tersebut memiliki illah ribawi yang sama.
- Syarat Pertukaran: Barang ribawi, baik sejenis maupun berbeda jenis.
- Syarat Pelarangan: Harus dilakukan secara tunai (yadan bi yadin - serah terima langsung).
- Contoh: Menjual emas (ribawi) dengan perak (ribawi) namun penyerahan salah satunya ditunda hingga satu bulan ke depan. Penundaan serah terima ini (nasiah) adalah riba.
Hadis Dasar Enam Komoditas Ribawi
Klasifikasi Riba Buyu' didasarkan pada hadis sahih dari Ubadah bin Shamit dan Abu Said Al-Khudri, yang menetapkan enam jenis barang yang dipertukarkan harus memenuhi dua syarat (setara dan tunai) jika sejenis:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai (sya'ir) dengan jelai, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, haruslah sama takarannya dan harus tunai (tangan di atas tangan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu, asal tunai.” (HR. Muslim)
Perdebatan Fiqih Mengenai 'Ilah (Ratio Legis) Riba Buyu'
Para ulama berbeda pandangan mengenai alasan (illah) mengapa keenam barang ini diharamkan, dan bagaimana mengqiyaskan (menganalogikan) barang modern seperti uang kertas atau komoditas pangan lainnya:
- Madzhab Hanafi: Ilah adalah takaran (al-kayl) dan timbangan (al-wazn). Apapun yang dijual berdasarkan takaran atau timbangan (seperti beras, gula, minyak) masuk kategori ribawi.
- Madzhab Syafi'i: Ilah terbagi dua:
- Untuk emas dan perak: Fungsinya sebagai alat tukar dan standar harga (tsamaniyah).
- Untuk empat bahan pangan: Fungsinya sebagai makanan pokok yang disimpan (qut wa idkhar).
- Madzhab Maliki & Hanbali: Ilah untuk empat bahan pangan adalah fungsinya sebagai makanan pokok (qut) dan bahan konsumsi (tha'am).
Konsensus modern menyimpulkan bahwa emas dan perak, serta mata uang modern (sebagai penerus fungsi emas/perak), adalah barang ribawi yang tunduk pada hukum Riba Nasiah dan Riba Fadl (pertukaran mata uang harus tunai). Sementara makanan pokok seperti beras dan gandum juga tetap dianggap ribawi.
Hikmah dan Dampak Sosial Ekonomi Larangan Riba
Larangan riba dalam ayat-ayat Al-Qur'an bukanlah sekadar larangan sepihak, melainkan perintah yang sarat hikmah mendalam. Riba dilarang karena ia secara fundamental bertentangan dengan tujuan Syariah (Maqashid Syariah) dalam menjaga keadilan, harta, dan keharmonisan sosial.
1. Ancaman Keadilan Sosial (Zhulm)
Riba secara inheren adalah praktik zhulm (kezaliman) karena melanggar prinsip keadilan distributif. Peminjam, yang biasanya adalah pihak yang membutuhkan atau sedang kesulitan modal, dipaksa menanggung risiko kerugian sendiri dan juga menjamin keuntungan (bunga) bagi pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman diuntungkan tanpa risiko, sementara peminjam menanggung risiko ganda. Ayat 2:279 tegas menyatakan: Laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun (Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).
Praktik riba memperburuk kesenjangan ekonomi. Pihak yang sudah kaya (pemilik modal) akan semakin kaya hanya dengan menunggu waktu, sementara pihak yang miskin (yang terpaksa berutang) terjerat dalam lingkaran utang abadi, di mana mereka harus bekerja keras hanya untuk membayar bunga yang terus berlipat ganda, bukan untuk pokok utangnya.
Konsep 'Mahq' (pemusnahan keberkahan) pada harta riba dan 'Irbah' (pertumbuhan) pada sedekah.
2. Penghambat Investasi Produktif
Larangan riba mendorong modal untuk masuk ke sektor riil melalui mekanisme bagi hasil (Mudharabah, Musyarakah) atau jual beli yang sah (Murabahah, Ijarah). Dalam sistem ribawi, pemilik modal cenderung memilih cara yang paling mudah, yaitu meminjamkan uang dengan bunga tetap, daripada mengambil risiko berinvestasi dalam usaha riil yang membutuhkan manajemen dan tenaga. Riba menciptakan 'malasnya' modal, di mana uang menghasilkan uang tanpa upaya, sementara Islam mewajibkan setiap keuntungan datang dari usaha dan risiko (al-ghurm bi al-ghunm).
3. Merusak Moralitas dan Individualisme
Riba menumbuhkan sifat individualistik dan keserakahan (hubb ad-dunya). Pelaku riba fokus pada keuntungan pribadi yang terjamin, tanpa peduli apakah proyek peminjam berhasil atau gagal. Ini bertentangan dengan nilai-nilai tolong-menolong (ta'awun) yang menjadi ciri khas ekonomi Islam. Ayat 2:280 secara jelas mendorong sedekah dan keringanan (penangguhan) sebagai solusi etis bagi peminjam yang kesulitan, menggantikan mentalitas eksploitasi dengan mentalitas kasih sayang.
4. Pemicu Krisis Ekonomi
Para ekonom syariah dan beberapa ekonom non-syariah berpendapat bahwa riba (bunga) adalah akar dari ketidakstabilan ekonomi. Bunga menyebabkan sistem utang yang meluas melebihi kemampuan ekonomi riil untuk membayarnya. Ketika suku bunga tinggi, investasi riil melambat. Ketika utang menjadi tidak terkelola, terjadi kegagalan pembayaran massal (default), yang memicu krisis finansial dan resesi. Hukum riba berfungsi sebagai mekanisme pertahanan terhadap pembengkakan utang yang tidak sehat dan spekulasi.
Oleh karena itu, larangan riba yang termaktub dalam ayat-ayat suci adalah rancangan ekonomi yang kokoh, bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang stabil, adil, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama, bukan akumulasi kekayaan yang eksploitatif.
Penerapan Kontemporer dan Solusi Keuangan Syariah
Setelah memahami kedalaman larangan yang tersemat dalam ayat riba, tantangan selanjutnya adalah bagaimana ayat-ayat ini diimplementasikan dalam sistem keuangan modern yang kompleks. Keuangan Islam muncul sebagai jawaban praktis terhadap larangan riba.
Riba dalam Konteks Lembaga Keuangan Modern
Secara umum, mayoritas ulama kontemporer sepakat bahwa bunga yang dikenakan pada pinjaman oleh bank konvensional—baik itu bunga pinjaman (kredit) maupun bunga yang diberikan kepada deposan (tabungan)—termasuk dalam kategori Riba Duyun (Riba Jahiliyah), yang dilarang keras oleh QS Al-Baqarah 2:275-279.
- Kredit Bunga Tetap/Mengambang: Jelas riba. Pihak peminjam harus membayar tambahan atas pokok tanpa adanya risiko kerugian bagi bank atas modalnya.
- Obligasi Konvensional: Termasuk riba karena menjanjikan pendapatan tetap (fixed interest) tanpa bergantung pada kinerja proyek yang didanai.
- Denda Keterlambatan: Jika denda keterlambatan langsung menjadi pendapatan bank, itu tergolong riba. Dalam sistem syariah, denda keterlambatan (ta’zir) boleh dikenakan, tetapi harus disalurkan ke dana sosial (bukan keuntungan bank), sesuai dengan prinsip Laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun.
Mekanisme Pengganti Riba (Kontrak Syariah)
Ekonomi Islam mengganti bunga dengan mekanisme berbasis risiko, perdagangan, dan sewa. Ini memungkinkan lembaga keuangan beroperasi tanpa melanggar larangan ayat riba.
1. Prinsip Bagi Hasil (Risk Sharing Contracts)
Ini adalah ideal tertinggi dalam keuangan Islam, mewujudkan konsep al-ghurm bi al-ghunm (keuntungan sebanding dengan risiko):
- Mudharabah (Perkongsian Modal): Satu pihak (bank/shahibul maal) menyediakan 100% modal, dan pihak lain (nasabah/mudharib) menyediakan keahlian dan tenaga. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan; kerugian ditanggung oleh pemilik modal (kecuali jika ada kelalaian).
- Musyarakah (Kerja Sama Murni): Kedua belah pihak menyediakan modal dan keahlian, dan berbagi keuntungan dan kerugian sesuai porsi modal atau kesepakatan.
2. Prinsip Jual Beli dan Sewa (Trading & Leasing)
Mekanisme ini memenuhi kebutuhan pembiayaan tanpa menggunakan pinjaman berbunga, melainkan dengan menjual barang atau menyewakan aset:
- Murabahah (Jual Beli dengan Keuntungan Ditentukan): Bank membeli aset (misalnya rumah atau mobil) yang dibutuhkan nasabah, lalu menjualnya kembali kepada nasabah dengan harga yang mencakup margin keuntungan yang disepakati di awal. Harga jual ini dibayar secara cicilan tetap. Ini halal karena melibatkan kepemilikan dan risiko barang, bukan sekadar meminjamkan uang.
- Ijarah (Sewa): Bank membeli aset dan menyewakannya kepada nasabah untuk periode tertentu. Setelah masa sewa berakhir, aset bisa dialihkan kepemilikannya kepada nasabah (Ijarah Muntahiya bi At-Tamlik).
- Salam dan Istishna (Jual Beli Pesanan): Digunakan untuk pembiayaan sektor pertanian atau manufaktur, di mana pembayaran dilakukan di muka (Salam) atau secara bertahap (Istishna) untuk barang yang akan diproduksi di masa depan.
Penggunaan kontrak-kontrak berbasis risiko dan jual beli ini merupakan manifestasi praktis dari pernyataan Allah: Wa ahallallahu al-bay’a wa harramar-ribaa (Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba).
Urgensi Meninggalkan Riba: Peringatan Spiritual dan Amaliyah
Keputusan untuk meninggalkan riba, bagi seorang Mukmin, adalah keputusan fundamental yang dipicu oleh ketaatan total terhadap ayat-ayat Allah. Riba tidak hanya merusak sistem keuangan, tetapi juga mengikis keimanan seseorang.
Keimanan dan Ketakwaan sebagai Syarat
Ayat-ayat riba sering dibuka dengan panggilan kepada ya ayyuhal ladziina aamanuu (Hai orang-orang yang beriman), dan diikuti dengan perintah untuk bertakwa (ittaqullaah). Khususnya QS 2:278, yang menyatakan: Wat takkullaaha wa dzaruu maa baqiya minar-ribaa in kuntum mu’miniin (Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman). Ayat ini menjadikan meninggalkan sisa riba sebagai ujian langsung terhadap klaim keimanan seseorang. Jika seseorang gagal meninggalkan riba, maka integritas keimanannya patut dipertanyakan.
Ancaman Perang Ilahi: Konsekuensi Tak Terhindarkan
Ancaman perang dari Allah dan Rasul-Nya (QS 2:279) adalah peringatan terberat yang harus dipegang teguh. Para ulama menjelaskan bahwa perang ini dapat berbentuk hukuman di dunia (kehancuran harta, kegelisahan, krisis) atau azab yang lebih besar di akhirat. Individu atau masyarakat yang terus-menerus membiarkan praktik riba telah menyatakan permusuhan terhadap sistem keadilan yang ditetapkan oleh Sang Pencipta. Konsekuensi ini jauh lebih besar daripada keuntungan materi yang mungkin diperoleh dari bunga.
Sikap Taubat dan Pembersihan Harta
Bagi mereka yang telah terlanjur terlibat, solusi yang ditawarkan oleh ayat-ayat riba adalah taubat yang murni (inna tubtum falakum ru’uusu amwaalikum). Taubat ini mencakup dua aspek:
- Penyesalan dan Penghentian Total: Menghentikan semua transaksi ribawi yang sedang berjalan dan berjanji tidak akan kembali.
- Pembersihan Harta: Mengambil kembali hanya modal pokok (ru’uusu amwaalikum) dan meninggalkan semua kelebihan riba. Harta riba yang terlanjur diterima di masa lalu, jika tidak mungkin dikembalikan kepada pemilik aslinya, harus disalurkan untuk kepentingan umum atau fakir miskin (sebagai pembersihan harta, bukan sebagai sedekah yang mendatangkan pahala).
Kesucian harta adalah fondasi dari ibadah yang diterima. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa doa seseorang yang makanannya berasal dari sumber haram (termasuk riba) tidak akan dikabulkan. Oleh karena itu, meninggalkan riba adalah prasyarat spiritual untuk mencapai ketenangan jiwa dan penerimaan amal ibadah.
Penyebutan kondisi orang yang memakan riba seperti orang yang kesurupan (QS 2:275) juga memberikan gambaran psikologis yang mendalam. Orang yang terbiasa dengan riba cenderung kehilangan keseimbangan emosi dan moral. Kekayaan yang didapat dengan mudah tanpa kerja keras yang halal (tanpa risiko) membuat mereka serakah, gelisah, dan merasa superior, yang pada akhirnya memusnahkan ketenangan batin mereka.
Secara ringkas, ayat-ayat riba menetapkan bahwa kepatuhan terhadap larangan riba adalah indikator iman sejati. Ini adalah seruan untuk kembali kepada sistem yang mengutamakan keberkahan, keadilan sosial, dan kemanusiaan, yang jauh lebih berharga daripada akumulasi kekayaan yang bersifat materialistik semu.
Umat Islam diperintahkan untuk selalu mengingat Hari Kiamat (QS 2:281) sebagai titik balik di mana segala amal akan diperhitungkan, dan di mana tidak ada kezaliman yang akan ditoleransi. Pemakan riba yang terus menolak ajakan taubat akan menghadapi konsekuensi terbesar, yaitu pertarungan abadi melawan keadilan Ilahi yang mutlak.
Perjuangan untuk membangun sistem ekonomi yang bebas riba adalah perjuangan kolektif yang melibatkan setiap individu, lembaga, dan negara. Ayat-ayat riba adalah peta jalan untuk mencapai falah (keberuntungan) sejati, baik di dunia maupun di akhirat, melalui pengamalan prinsip ihsan (kebaikan) dalam setiap transaksi finansial. Ketaatan terhadap larangan ini adalah bentuk tertinggi dari ketakwaan sosial dan ekonomi.
Larangan riba, yang tertuang begitu tegas dalam Al-Qur'an, juga berfungsi sebagai pembeda (furqan) antara sistem ekonomi yang didasarkan pada eksploitasi dan sistem ekonomi yang didasarkan pada partisipasi dan risiko bersama. Ini adalah penegasan bahwa keuntungan harus diperoleh melalui kerja, kreativitas, dan partisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi riil, bukan hanya dengan membebankan biaya waktu kepada mereka yang membutuhkan.
Para mufassir menekankan bahwa keindahan larangan riba adalah bahwa ia mengarahkan manusia untuk menggunakan kelebihan modalnya tidak hanya untuk pinjaman tanpa bunga (qardh hasan) tetapi juga untuk investasi berbasis bagi hasil, yang secara langsung mendukung sektor produktif dan menciptakan lapangan kerja. Dengan demikian, ayat-ayat riba berfungsi sebagai katalisator untuk pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Penting untuk menggarisbawahi kembali janji Allah dalam QS 2:276, di mana Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dalam jangka panjang, meskipun keuntungan riba terlihat cepat dan pasti, ia membawa kehancuran; sementara sedekah dan investasi syariah, meskipun memerlukan kesabaran dan risiko, membawa pertumbuhan yang kokoh dan keberkahan abadi. Inilah janji yang harus dipegang teguh oleh setiap Mukmin yang berurusan dengan masalah harta dan kekayaan.
Pemahaman menyeluruh terhadap ayat riba menuntut umat Islam untuk tidak hanya menjauhi bunga, tetapi juga secara aktif mencari dan membangun alternatif-alternatif syariah. Ini adalah jihad ekonomi modern yang wajib dilaksanakan sebagai bukti keimanan dan ketakwaan, mewujudkan masyarakat yang tidak didominasi oleh ketamakan, melainkan oleh keadilan dan belas kasihan.
Setiap transaksi finansial, baik besar maupun kecil, harus melewati saringan etika yang ketat berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Ketika umat kembali kepada pokok hartanya (ru’uusu amwaalikum) dan menolak segala bentuk tambahan yang tidak sah, mereka tidak hanya membersihkan harta mereka, tetapi juga membersihkan hati dan masyarakat dari noda eksploitasi, sesuai dengan perintah yang tercantum dalam firman-Nya yang mulia.
Kekuatan ayat-ayat riba terletak pada detailnya yang universal. Larangan ini tidak hanya berlaku untuk konteks kurma atau gandum di Madinah, tetapi relevan sepenuhnya dengan bursa saham, pasar obligasi, dan transaksi perbankan global saat ini. Prinsip keadilan, larangan risiko sepihak, dan kewajiban untuk tidak menganiaya adalah nilai-nilai abadi yang harus dipertahankan. Oleh karena itu, bagi setiap Muslim, ayat-ayat riba adalah hukum yang harus ditaati tanpa kompromi, sebagai jalan menuju keselamatan dari ancaman Ilahi yang paling dahsyat.
Memahami dan mengamalkan larangan riba juga berarti memahami bahwa pinjaman yang diberikan haruslah qardh hasan (pinjaman kebaikan) tanpa imbalan, atau menjadi bagian dari investasi berbasis risiko bersama. Ini adalah dua jalur utama dalam ekonomi Islam: tolong-menolong berbasis sedekah, atau kerja sama berbasis risiko. Di antara keduanya, tidak ada ruang bagi keuntungan yang dijamin tanpa partisipasi dalam risiko, yang merupakan definisi operasional dari riba.
Implikasi hukum dari ancaman perang dalam QS 2:279 sangat berat. Dalam sejarah Islam klasik, khalifah memiliki kewenangan untuk memaksa para pelaku riba untuk menghentikan praktik mereka, bahkan dengan kekuatan fisik jika diperlukan. Di era modern, ini diterjemahkan menjadi kebutuhan untuk memberlakukan regulasi ketat terhadap sistem keuangan dan mempromosikan bank syariah sebagai satu-satunya alternatif yang sah bagi transaksi utang-piutang. Pengabaian terhadap larangan ini sama dengan meruntuhkan tatanan hukum dan moral masyarakat Islam.
Dalam konteks akhir zaman, di mana banyak hadis menunjukkan penyebaran riba yang tak terhindarkan, ketaatan pada ayat-ayat ini menjadi semakin penting. Umat diperintahkan untuk sebisa mungkin menghindarinya, bahkan jika hanya asapnya yang tersisa. Ini menunjukkan urgensi pemisahan total antara harta yang bersih dan harta yang tercemar, demi menjaga kemurnian spiritual dan keberkahan hidup.
Penjelasan mengenai status kekal penghuni neraka bagi yang mengulangi riba (QS 2:275) oleh sebagian ulama ditafsirkan sebagai ancaman yang ditujukan kepada mereka yang menghalalkan riba (mengingkari hukum Allah) setelah mengetahuinya, yang membawa mereka kepada kekufuran. Namun, bagi yang meyakini keharamannya tetapi tetap melakukannya, mereka adalah pelaku dosa besar yang berada di bawah kehendak Allah, tetapi ancaman nerakanya sangat nyata dan menakutkan, menjadikannya dosa finansial yang paling parah.
Kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa ayat-ayat riba adalah seruan untuk revolusi etika dalam berinteraksi dengan kekayaan. Mereka memanggil kita untuk memilih antara jalan yang merusak (riba) dan jalan yang menumbuhkan (sedekah dan investasi syariah), antara keserakahan yang membutakan dan kedermawanan yang mencerahkan. Pilihan ini adalah manifestasi langsung dari takwa yang diwajibkan kepada setiap orang yang mengaku beriman.
Kewajiban meninggalkan riba harus diikuti dengan kesabaran, terutama dalam menghadapi kesulitan ekonomi atau tekanan dari sistem konvensional yang dominan. Namun, janji keberkahan dan perlindungan dari Allah bagi mereka yang meninggalkan riba adalah motivasi tertinggi, sebagaimana digariskan dalam keseluruhan rangkaian Surah Al-Baqarah yang membahas masalah ini.
Analisis ini menegaskan bahwa larangan riba adalah hukum yang final, mencakup segala bentuk kelebihan yang disyaratkan atas modal pokok pinjaman. Ayat Al-Baqarah 2:275 adalah penutup yang sempurna, membedakan secara definitif antara transaksi halal (jual beli) yang berbasis risiko dan transaksi haram (riba) yang berbasis eksploitasi dan kepastian keuntungan. Memahami perbedaan ini adalah kunci untuk menjalankan kehidupan ekonomi yang sesuai dengan Syariat Islam.
Oleh karena itu, setiap Muslim harus memiliki pemahaman yang kuat terhadap ayat-ayat ini, memastikan bahwa setiap sumber penghasilan dan setiap transaksi utang-piutang bebas dari unsur riba, demi menjaga kebersihan harta dan menyelamatkan diri dari ancaman perang yang dahsyat dari Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan terhadap hukum riba adalah perisai pelindung yang menjamin keberuntungan hakiki di hari perhitungan.
Ayat-ayat ini juga memberikan dorongan kuat kepada para pemikir dan praktisi keuangan Islam untuk terus mengembangkan instrumen-instrumen yang inovatif dan canggih, yang sepenuhnya sesuai dengan semangat dan teks Al-Qur'an. Tujuan akhirnya adalah menciptakan ekosistem finansial yang menyejahterakan semua pihak, mengurangi kesenjangan, dan mewujudkan keadilan distributif yang menjadi tujuan utama dari syariat Islam.