Ayat Menikah: Panduan Al-Qur'an Mewujudkan Keluarga Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah
Pernikahan dalam Islam bukanlah sekadar ikatan sosial atau kontrak hukum biasa. Ia adalah pilar peradaban, fondasi spiritual, dan perjanjian suci yang memiliki dimensi transendental, yang Al-Qur’an sebut sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang berat/kokoh). Ayat-ayat menikah yang terkandung dalam Kitabullah menjadi panduan utama bagi setiap Muslim dan Muslimah yang ingin membangun biduk rumah tangga di atas landasan tauhid dan ketaatan.
Kajian ini akan mengulas secara mendalam ayat-ayat kunci pernikahan, tafsirnya, serta implikasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman yang komprehensif terhadap petunjuk ilahi ini esensial untuk menjamin keharmonisan, keadilan, dan keberkahan dalam keluarga Muslim.
I. Fondasi Spiritual: Tujuan Penciptaan dan Ketenangan Jiwa
Dua ayat yang paling mendasar dalam diskursus pernikahan adalah QS Ar-Rum ayat 21 dan QS An-Nisa ayat 1. Kedua ayat ini menetapkan tujuan eksistensial pernikahan, jauh melampaui kebutuhan biologis semata, menempatkannya pada ranah spiritual dan sosiologis yang luhur.
A. QS Ar-Rum [30]: 21 – Pilar Mawaddah dan Rahmah
Ayat ini sering disebut sebagai ‘Ayat Cinta’ dalam Islam, namun cakupannya jauh lebih luas dari sekadar perasaan romantis. Ayat ini adalah manifestasi tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah) yang terwujud melalui institusi pernikahan.
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir." (QS Ar-Rum [30]: 21)
1. Konsep ‘Li Taskunu Ilaiha’ (Agar Kamu Tenteram Kepadanya)
Kata kunci pertama dalam ayat ini adalah taskunu, yang berarti ketenangan atau kedamaian. Pernikahan adalah tempat berlindung (refuge) dari hiruk pikuk dunia. Pasangan hidup harus menjadi sumber ketenangan emosional, psikologis, dan spiritual. Ketenangan ini tidak datang secara otomatis; ia adalah hasil dari upaya bersama dalam membangun lingkungan yang aman, jujur, dan penuh penerimaan. Jika rumah tangga gagal memberikan ketenangan, maka ia telah kehilangan esensi teologisnya yang pertama. Ketenangan ini mencakup rasa aman dari kekerasan, aman dari pengkhianatan, dan aman dari kritik yang merusak. Ketenangan ini juga menuntut adanya transparansi komunikasi dan kesediaan untuk saling mendengarkan keluh kesah, menjadikan pasangan sebagai sandaran pertama dan utama dalam menghadapi cobaan hidup. Ini adalah peran psiko-sosial suami dan istri sebagai penyedia 'sakinah'.
2. Mengurai Mawaddah dan Rahmah (Cinta dan Kasih Sayang)
Allah menggunakan dua istilah berbeda, Mawaddah (cinta) dan Rahmah (kasih sayang/belas kasihan), yang menunjukkan kompleksitas emosi dalam ikatan suci ini. Para mufasir membedakan keduanya secara mendalam:
- Mawaddah: Sering diartikan sebagai cinta yang kuat, gairah, atau kecenderungan. Ini adalah aspek cinta yang cenderung bersifat dinamis dan muncul di awal pernikahan, terkait dengan daya tarik fisik dan emosional yang masih membara. Mawaddah membutuhkan pemeliharaan agar tidak pudar seiring berjalannya waktu. Ia adalah energi yang mendorong interaksi yang menyenangkan dan penuh semangat.
- Rahmah: Adalah kasih sayang yang mendalam, belas kasihan, atau rasa iba. Ini adalah kualitas yang paling penting ketika Mawaddah mulai meredup atau ketika pasangan menghadapi kesulitan (sakit, tua, miskin, atau dalam konflik). Rahmah memastikan bahwa hubungan tetap utuh dan manusiawi. Rahmah adalah fondasi yang menopang ketika Mawaddah diuji oleh kenyataan hidup yang keras. Ia adalah kesediaan untuk memaafkan, menerima kekurangan, dan merawat pasangan tanpa pamrih.
Tafsir Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa pasangan sering kali berpisah saat Mawaddah habis, namun Rahmah-lah yang menyelamatkan mereka, terutama ketika salah satu pasangan tidak lagi menarik secara fisik atau mental. Pernikahan yang ideal adalah ketika keduanya, Mawaddah dan Rahmah, hadir secara seimbang, memastikan hubungan yang bergairah (Mawaddah) sekaligus kokoh dan penuh penerimaan (Rahmah).
3. Implikasi Tafakkur (Berpikir)
Akhir ayat ini menegaskan bahwa pada pernikahan terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (li qaumin yatafakkaruun). Ini menuntut Muslim untuk tidak menjalani pernikahan secara insting semata, melainkan dengan refleksi mendalam, perencanaan, dan kebijaksanaan. Berpikir di sini berarti memahami peran ilahi yang melekat pada pernikahan, mengukur tanggung jawab, dan terus-menerus mengevaluasi cara berinteraksi untuk mencapai standar sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Intisari QS Ar-Rum 21: Pernikahan adalah mekanisme ilahi untuk mencapai ketenangan, di mana cinta (Mawaddah) dan belas kasihan (Rahmah) harus bekerja secara sinergis. Kegagalan mencapai ketenangan menunjukkan adanya penyimpangan dari tujuan spiritual yang ditetapkan oleh Allah SWT.
B. QS An-Nisa [4]: 1 – Persatuan Jiwa dan Takwa
Ayat ini adalah pembuka dari surah yang banyak membahas hak-hak wanita dan hukum keluarga. Ayat ini menetapkan ikatan kekeluargaan dan persatuan manusia dari asal yang satu.
يَٰٓأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
"Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan Dia menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan menggunakan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu mengawasimu." (QS An-Nisa [4]: 1)
1. Asal Muasal yang Sama (Nafsin Wahidah)
Ayat ini menekankan kesetaraan esensial antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Keduanya berasal dari "jiwa yang satu" (Nafsin Wahidah). Ini menolak segala bentuk hierarki superioritas absolut satu jenis kelamin di atas yang lain berdasarkan penciptaan. Kedua pasangan dalam pernikahan adalah rekan yang setara dalam kemanusiaan dan spiritualitas, meskipun peran fungsional mereka berbeda.
2. Perintah untuk Bertakwa
Perintah 'Ittaqullaha' (Bertakwalah kepada Allah) diulang dua kali dalam ayat ini. Ini menunjukkan bahwa pernikahan dan pemeliharaan hubungan kekeluargaan (Arham) adalah ibadah. Fondasi terkuat dari sebuah rumah tangga bukanlah cinta saja, melainkan Takwa. Ketika suami dan istri sama-sama takut melanggar perintah Allah dan berusaha menjalankan hak dan kewajiban sesuai syariat, hubungan tersebut akan tegak lurus. Takwa mencegah kezaliman, mendorong kejujuran, dan memastikan bahwa interaksi didasarkan pada keadilan, bahkan dalam situasi yang paling sulit.
3. Memelihara Arham (Hubungan Kekeluargaan)
Pernikahan bukan hanya menyatukan dua individu, tetapi dua keluarga besar. Pemeliharaan hubungan kekeluargaan (silaturahim) ditekankan di sini. Keluarga Muslim yang ideal adalah keluarga yang membuka diri, menyambung tali persaudaraan, dan menghindari konflik yang merusak ikatan kekerabatan. Tanggung jawab ini diemban oleh kedua pasangan.
II. Mitsaqan Ghalizha: Sumpah Pernikahan yang Berat
Meskipun istilah mitsaqan ghalizha (perjanjian yang berat/kokoh) tidak secara eksplisit ditujukan kepada pernikahan itu sendiri dalam QS An-Nisa ayat 21, konteksnya sangat kuat mengarah pada ikatan pernikahan, sejajar dengan perjanjian Allah dengan para Nabi (QS An-Nisa [4]: 154 dan QS Al-Ahzab [33]: 7). Menyadari bobot perjanjian ini sangat krusial dalam menjalani rumah tangga.
A. QS An-Nisa [4]: 21 – Bobot Perjanjian
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا
"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali (mahar) padahal sebagian kamu telah bercampur dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (para istri) telah mengambil perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizha) darimu?" (QS An-Nisa [4]: 21)
1. Kedudukan Perjanjian dalam Hukum Islam
Ayat ini diturunkan dalam konteks larangan suami menarik kembali mahar yang telah diberikan jika terjadi perpisahan. Namun, frasa mitsaqan ghalizha menaikkan derajat pernikahan dari sekadar kontrak sipil (aqad) menjadi sumpah suci yang melibatkan janji kepada Allah. Ini berarti setiap pelanggaran terhadap hak-hak pasangan bukan hanya pelanggaran terhadap kontrak, tetapi juga pelanggaran terhadap janji yang ditegakkan di hadapan Yang Maha Kuasa.
2. Implikasi Psikologis dan Komitmen
Kesadaran bahwa pernikahan adalah perjanjian yang berat menuntut komitmen yang total. Jika perjanjian bisnis bisa dibatalkan dengan ganti rugi, mitsaqan ghalizha menuntut pasangan untuk berusaha mati-matian mempertahankan ikatan. Kesulitan dan cobaan rumah tangga harus dilihat sebagai ujian terhadap janji suci ini, bukan alasan untuk lari. Ini menumbuhkan mentalitas penyelesaian masalah (problem-solving) daripada mentalitas pelepasan (divorce-seeking) saat menghadapi tantangan.
B. Menjalankan Komitmen Mitsaqan Ghalizha
Tanggung jawab dalam memenuhi perjanjian kokoh ini terbagi ke dalam beberapa aspek utama yang harus dijalankan seumur hidup:
1. Komitmen Keadilan Finansial (Nafkah)
Suami wajib menafkahi istri sesuai kemampuannya (QS At-Talaq [65]: 7). Kewajiban ini adalah bagian tak terpisahkan dari perjanjian kokoh tersebut. Keadilan finansial bukan hanya memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga memberikan rasa hormat dan martabat kepada istri. Kelalaian dalam menunaikan nafkah yang mampu diberikan adalah bentuk pengkhianatan terhadap perjanjian tersebut.
2. Komitmen Keadilan Emosional (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Keadilan tidak hanya berupa materi. Perlakuan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) mencakup dukungan emosional, komunikasi yang jujur, dan perlakuan yang hormat. Perjanjian suci ini mengharuskan pasangan untuk menjaga hati pasangannya, menjauhi kata-kata kasar, dan memberikan penghargaan atas peran yang dimainkan masing-masing dalam rumah tangga.
III. Ayat Tanggung Jawab dan Kepemimpinan: Prinsip Qawwamun dan Keadilan
Dalam membagi peran fungsional di dalam keluarga, Islam menetapkan prinsip kepemimpinan yang dikenal sebagai Qawwamun. Namun, prinsip ini selalu harus dipahami dalam bingkai Keadilan dan Perlakuan Baik (Mu’asyarah bil Ma’ruf).
A. QS An-Nisa [4]: 34 – Konsep Qawwamun
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ...
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka..." (QS An-Nisa [4]: 34, awal)
Ayat ini adalah salah satu yang paling sering disalahpahami. Kata Qawwamun tidak berarti superioritas mutlak atau hak untuk mendominasi. Para ulama menjelaskan Qawwamun sebagai tanggung jawab kepemimpinan (leadership), perlindungan (protection), dan pemeliharaan (maintenance).
1. Definisi Qawwamun: Pemeliharaan dan Perlindungan
Makna utama Qawwamun adalah seseorang yang bertanggung jawab untuk mengurus, menjaga, dan memelihara. Tanggung jawab ini muncul dari dua sebab yang disebutkan dalam ayat:
- Keutamaan yang Diberikan Allah (Bima Faddhalallahu Ba'dhahum 'ala Ba'dh): Ini merujuk pada kelebihan alami laki-laki yang terkait dengan peran kepemimpinan fisik dan stabilitas emosional dalam mengambil keputusan di bawah tekanan (meskipun ini tidak mengurangi kapasitas intelektual atau spiritual perempuan).
- Tanggung Jawab Nafkah (Wa Bima Anfaqu min Amwalihim): Ini adalah syarat fungsional. Laki-laki memegang posisi Qawwamun karena mereka wajib menanggung seluruh kebutuhan finansial keluarga, melindungi istri dari beban mencari nafkah, sehingga istri dapat berfokus pada peran lain dalam rumah tangga dan masyarakat. Jika kewajiban nafkah ini tidak dipenuhi, landasan Qawwamun menjadi goyah.
2. Kepemimpinan yang Melayani
Kepemimpinan dalam Islam adalah pelayanan, bukan kekuasaan diktator. Seorang pemimpin (Qawwam) wajib memimpin dengan musyawarah (syura), menghormati pendapat istri, dan memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi keseluruhan keluarga. Kepemimpinan yang adil adalah yang memberikan rasa aman, bukan rasa takut, kepada pasangannya.
IV. Ayat Etika Interaksi: Mu’asyarah bil Ma’ruf dan Hak Timbal Balik
Keharmonisan rumah tangga sangat bergantung pada etika interaksi sehari-hari. Al-Qur’an memberikan petunjuk yang sangat jelas mengenai bagaimana pasangan harus memperlakukan satu sama lain, terutama dalam menghadapi ketidakcocokan atau konflik.
A. QS An-Nisa [4]: 19 – Perlakuan Baik dalam Segala Kondisi
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
"Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan pergaulilah mereka dengan cara yang patut (mu’asyarah bil ma’ruf). Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS An-Nisa [4]: 19)
1. Prinsip Mu’asyarah bil Ma’ruf (Pergaulan yang Patut)
Ini adalah prinsip etika tertinggi dalam rumah tangga Islam. Ma’ruf berarti yang baik, yang dikenal, atau yang diterima secara moral dan sosial. Mu’asyarah bil ma’ruf menuntut perlakuan yang baik, sopan, sabar, dan penuh pengertian, sesuai dengan nilai-nilai syariah dan adat yang tidak bertentangan dengan Islam. Ini mencakup banyak aspek:
- Komunikasi yang Santun: Menghindari celaan, ejekan, atau kata-kata yang merendahkan pasangan, terutama di hadapan orang lain atau anak-anak.
- Menjaga Penampilan: Sebagaimana istri berhias untuk suami, suami pun dituntut untuk menjaga kebersihan dan penampilan untuk istrinya.
- Memenuhi Kebutuhan Seksual dan Emosional: Memberikan hak batin secara adil dan penuh kasih sayang.
- Memberi Penghargaan: Mengakui kontribusi pasangan terhadap rumah tangga, baik dalam bentuk finansial maupun domestik.
2. Menghadapi Ketidaksempurnaan dengan Kesabaran
Ayat ini secara eksplisit mengakui bahwa mungkin ada saat-saat suami (atau istri) tidak menyukai pasangannya karena alasan tertentu. Namun, Al-Qur'an memerintahkan kesabaran dan mengingatkan: "Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." Ini adalah panggilan untuk melihat potensi kebaikan tersembunyi (khairan katsira) yang mungkin ada pada pasangan, meskipun kita melihat kekurangannya. Kesabaran (Shabr) dalam pernikahan adalah ibadah yang bernilai tinggi.
B. QS Al-Baqarah [2]: 228 – Hak dan Kewajiban Timbal Balik
...وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"...Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Namun para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana." (QS Al-Baqarah [2]: 228, bagian)
1. Prinsip Keseimbangan (Lahunna Mitslul-ladzi 'Alaihinna)
Ayat ini menetapkan prinsip fundamental kesetaraan hak dan kewajiban. Hak istri seimbang dengan kewajibannya, dan hak suami seimbang dengan kewajibannya. Keseimbangan ini harus diukur dengan standar Ma'ruf (kebaikan yang diterima secara syar'i dan sosial). Jika pasangan menuntut hak, ia harus ingat kewajiban yang harus ditunaikan, dan sebaliknya.
2. Derajat Kelebihan Suami (Darajah)
Frasa wa lirrijali 'alaihinna darajah (suami memiliki kelebihan/derajat di atas mereka) merujuk kembali kepada konsep Qawwamun. Kelebihan ini bukan kelebihan nilai kemanusiaan, tetapi kelebihan dalam tanggung jawab manajerial dan kepemimpinan dalam rumah tangga. Kelebihan ini datang dengan beban kewajiban yang lebih berat, terutama dalam hal nafkah, perlindungan, dan pengambilan keputusan akhir. Derajat ini berfungsi untuk menghindari anarki dalam rumah tangga, memastikan ada penanggung jawab utama, bukan hak istimewa untuk menindas.
V. Ayat Konservasi Keluarga: Penanganan Konflik dan Nushuz
Al-Qur’an sangat realistis. Ia menyadari bahwa konflik dan bahkan perselisihan parah (nushuz) dapat terjadi. Ayat-ayat ini memberikan panduan bertahap untuk konservasi dan pemulihan rumah tangga sebelum mengambil langkah perpisahan.
A. QS An-Nisa [4]: 34 dan 35 – Tahapan Koreksi dan Mediasi
Kelanjutan dari QS An-Nisa [4]: 34 membahas tahapan yang harus dilalui suami jika menghadapi nushuz (pembangkangan atau sikap negatif yang merusak) dari pihak istri. Penting dicatat, panduan ini sangat terstruktur dan progresif, ditujukan untuk koreksi, bukan hukuman sembarangan.
1. Tahapan Koreksi Nushuz (Peringatan, Pemisahan Ranjang, Pukulan yang Tidak Menyakitkan)
Ayat ini menyebutkan tiga tahapan (peringatan/nasihat, pisah ranjang, dan pukulan ringan yang tidak melukai) jika istri melakukan nushuz. Namun, perluasan tafsir modern sangat menekankan konteks dan batasan ketat:
- Nasihat (Wa’izhuna hunna): Ini adalah langkah pertama, wajib dilakukan dengan lembut, bijak, dan penuh kasih sayang (bil hikmah wal mau'izhatil hasanah).
- Pemisahan Ranjang (Wahjuru hunna fil-madhaji'): Jika nasihat tidak berhasil, pisah ranjang secara simbolis di dalam rumah. Tujuannya adalah memberikan efek psikologis, bukan mempermalukan, dan tetap menjaga komunikasi.
- Memukul (Wadhribu hunna): Para ulama kontemporer dan Hadis Nabi (seperti Hadis yang melarang memukul wajah atau melukai) menafsirkan ini sebagai pukulan simbolis yang tidak menyakitkan (ghairu mubarrih) atau bahkan menganggapnya sebagai opsi terakhir yang sebaiknya dihindari, mengingat Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah memukul istrinya. Ini hanya berlaku dalam kondisi nushuz yang ekstrem dan bertujuan untuk menghentikan kerusakan dalam rumah tangga, bukan sebagai pembalasan.
Ayat ini menekankan bahwa jika setelah langkah-langkah ini istri kembali taat, suami dilarang mencari-cari alasan untuk menyusahkan mereka (Fala tabghu 'alaihinna sabilan).
2. Mediasi Keluarga (Hakamain) – QS An-Nisa [4]: 35
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَٱبْعَثُوا۟ حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِۦ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَآ إِن يُرِيدَآ إِصْلَٰحًا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيْنَهُمَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
"Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika kedua juru damai itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti." (QS An-Nisa [4]: 35)
Ketika konflik memuncak (syiqaq), Al-Qur’an memerintahkan intervensi eksternal yang adil: dua juru damai (Hakamain) dari masing-masing keluarga. Ini menunjukkan bahwa pernikahan adalah urusan komunal, bukan hanya pribadi, dan pemulihan harus melibatkan kebijaksanaan dari pihak luar yang independen dan berkeinginan tulus untuk Islah (perbaikan). Jika niat Islah kuat, Allah akan memberikan taufik (petunjuk dan keberhasilan) pada upaya mediasi tersebut.
VI. Ayat Perlindungan dan Etika Perpisahan (Jika Terpaksa)
Meskipun Islam sangat menganjurkan kelanggengan, ia juga menyediakan jalan keluar (Thalaq/Perceraian) sebagai solusi terakhir. Namun, proses perpisahan ini harus dilakukan dengan etika tertinggi dan keadilan, mencerminkan mitsaqan ghalizha yang pernah diucapkan.
A. QS At-Talaq [65]: 1 – Thalaq sebagai Proses Bertakwa
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا۟ ٱلْعِدَّةَ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَأْتِينَ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُۥ ۚ لَا تَدْرِى لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
"Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu perkara (yang baru)." (QS At-Talaq [65]: 1)
1. Perceraian yang Sesuai Syariat (Talaq li 'Iddatihinna)
Ayat ini mengajarkan bahwa perceraian harus dilakukan pada waktu yang tepat, yaitu ketika istri dalam keadaan suci dan belum digauli sejak suci tersebut. Ini dikenal sebagai Talaq Sunnah. Tujuannya adalah memastikan bahwa masa Iddah (masa tunggu) dapat dihitung dengan benar. Melakukan talak pada saat haid atau setelah digauli adalah Talaq Bid’i yang dibenci. Ketepatan waktu ini adalah bagian dari takwa dalam perpisahan.
2. Etika Selama Masa Iddah
Masa iddah (sekitar tiga kali suci) adalah periode konservasi keluarga. Suami dilarang mengusir istri dari rumah, dan istri dilarang keluar. Ini memberikan kesempatan terakhir bagi pasangan untuk merenung dan rujuk. Semboyan "La tadri la'allallaha yuhdithu ba'da dzalika amra" (Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu perkara) menekankan bahwa pintu rujuk harus tetap terbuka, dan Allah bisa menumbuhkan kembali Mawaddah dan Rahmah jika diberi waktu.
B. QS Al-Baqarah [2]: 229 – Batasan Thalaq dan Imsak bil Ma’ruf
ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌۢ بِإِحْسَٰنٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا۟ مِمَّآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْـًٔا إِلَّآ أَن يَخَافَآ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۗ...
"Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (Tashrihun bi Ihsan). Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah..." (QS Al-Baqarah [2]: 229, bagian)
1. Imsak bil Ma’ruf atau Tashrih bi Ihsan
Setelah talak pertama atau kedua, pasangan dihadapkan pada dua pilihan moral yang wajib:
- Imsak bil Ma’ruf (Mempertahankan dengan Cara yang Baik): Jika rujuk, harus dengan niat yang tulus untuk memperbaiki hubungan sesuai syariat, bukan untuk menyakiti atau mempermainkan istri.
- Tashrih bi Ihsan (Melepaskan dengan Cara yang Baik): Jika perpisahan adalah jalan akhir, ia harus dilakukan dengan cara yang paling mulia (Ihsan), tanpa merampas hak-hak mantan istri, tanpa menyebarkan aib, dan menjaga kehormatan anak-anak.
Ayat ini menegaskan bahwa etika perpisahan dalam Islam adalah etika tertinggi. Walaupun ikatan pernikahan terputus, ikatan kemanusiaan dan spiritual (dari mitsaqan ghalizha) tetap menuntut perlakuan yang baik.
VII. Ayat Pendidikan dan Peran Keluarga (Ibadah dan Warisan)
Tujuan akhir dari pernikahan adalah bukan hanya kebahagiaan duniawi, tetapi juga mendirikan sebuah unit yang berfungsi sebagai madrasah (sekolah) untuk melahirkan generasi yang bertakwa. Ayat-ayat menikah selalu terhubung erat dengan ayat-ayat pendidikan dan tanggung jawab terhadap anak.
A. QS At-Tahrim [66]: 6 – Kewajiban Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS At-Tahrim [66]: 6)
1. Peran Keluarga sebagai Benteng Pertahanan
Ayat ini adalah perintah eksplisit kepada suami dan istri (sebagai tim) untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga keimanan dan akhlak keluarga. Kewajiban ini mencakup pendidikan agama yang kokoh, pengawasan moral, penyediaan lingkungan yang kondusif bagi ibadah, dan penanaman nilai-nilai tauhid sejak dini. Pernikahan yang sukses bukan hanya diukur dari Mawaddah dan Rahmah, tetapi juga dari keberhasilan dalam menunaikan amanah pendidikan ini.
2. Pendidikan Sebagai Kewajiban Bersama
Meskipun Qawwamun menempatkan tanggung jawab utama pada suami, pendidikan anak adalah tugas bersama. Istri memiliki peran krusial sebagai madrasatul ula (sekolah pertama). Suami harus mendukung dan menyediakan sumber daya bagi istri untuk menunaikan peran pendidikan spiritual dan moral ini.
B. Membangun Keluarga Rabbani: Doa dari Para Nabi
Ayat-ayat yang mengandung doa untuk keturunan yang saleh menunjukkan bahwa keberkahan pernikahan sangat terkait dengan warisan spiritual yang ditinggalkan.
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
"Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (Qurrata A’yun), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan [25]: 74)
Doa "Qurrata A'yun" (penyejuk mata) adalah permintaan akan ketenangan dan kebahagiaan yang sempurna dari pasangan dan anak-anak, baik dalam hal agama, akhlak, maupun dunia. Ketenangan sejati datang ketika pasangan dan anak-anak tunduk pada hukum Allah. Ayat ini menuntut aspirasi yang lebih tinggi: menjadi pemimpin (Imam) bagi orang-orang yang bertakwa, menunjukkan bahwa kesalehan keluarga harus berdampak positif pada masyarakat luas.
VIII. Analisis Mendalam Implementasi Ayat Menikah dalam Kehidupan Modern
Penerapan ayat-ayat pernikahan di era kontemporer sering menghadapi tantangan budaya dan sosial. Namun, prinsip-prinsip Qur’ani bersifat abadi dan relevan, asalkan dipahami melalui lensa maqashid syariah (tujuan syariat).
A. Mengatasi Krisis Mawaddah di Tengah Kesibukan
Di zaman modern, Mawaddah sering terkikis oleh tuntutan ekonomi yang tinggi dan waktu yang minim untuk interaksi berkualitas. Penerapan QS Ar-Rum [30]: 21 menuntut pasangan untuk secara sadar mengalokasikan waktu untuk "Sakinah". Ini bisa berupa:
- Kehadiran Penuh (Deep Presence): Saat bersama, gadget dikesampingkan. Komunikasi harus difokuskan pada emosi dan kebutuhan pasangan.
- Ritual Kasih Sayang: Menciptakan kebiasaan yang membangun Mawaddah, seperti shalat berjamaah, makan bersama, atau berbagi cerita tanpa penghakiman.
- Pengorbanan Waktu: Menganggap waktu yang dihabiskan untuk pasangan sebagai investasi spiritual, bukan sekadar sisa-sisa waktu luang.
B. Qawwamun dan Dinamika Ekonomi Pasangan Bekerja
Ketika istri bekerja dan berkontribusi secara finansial, interpretasi Qawwamun harus fleksibel namun tetap memegang teguh prinsip nafkah. Kontribusi istri bersifat sukarela dan harus meningkatkan kesejahteraan keluarga, tanpa menggugurkan kewajiban primer suami. Suami tetap memegang peran Qawwamun, tetapi dalam konteks manajerial yang kolaboratif. Kepemimpinan ini lebih mirip CEO yang berdiskusi dengan COO (istri), dibandingkan seorang diktator.
1. Pengakuan Atas Harta Istri
Prinsip dalam QS An-Nisa [4]: 34 tetap berlaku: harta istri adalah miliknya sepenuhnya. Jika istri berkontribusi, ia melakukannya sebagai sedekah (infaq) kepada keluarga, bukan sebagai kewajiban. Suami harus mengakui dan menghormati kemandirian finansial istri, dan ini adalah bagian dari Mu’asyarah bil Ma’ruf.
C. Keadilan dalam Pembagian Kerja Domestik
Meskipun Islam tidak secara eksplisit membagi tugas rumah tangga, konsep Mu’asyarah bil Ma’ruf menuntut pembagian kerja yang adil dan sesuai dengan realitas. Di mana Nabi Muhammad SAW membantu pekerjaan rumah tangga, ini menjadi sunnah dan tolok ukur akhlak terbaik dalam pernikahan. Keadilan (adl) menuntut suami untuk berpartisipasi aktif dalam beban domestik, terutama jika istri juga bekerja di luar rumah, demi mencapai ketenangan bersama (Sakinah).
D. Implementasi Mitsaqan Ghalizha dalam Resolusi Konflik
Bobot perjanjian suci harus menjadi pengingat setiap kali terjadi pertengkaran hebat. Sebelum melontarkan kata-kata kasar atau mengambil keputusan tergesa-gesa (seperti talak), pasangan harus mengingat bahwa mereka terikat oleh sumpah yang lebih berat daripada perjanjian hukum manapun. Hal ini mendorong mekanisme rem internal (self-restraint) dan segera mencari jalan mediasi seperti yang diperintahkan dalam QS An-Nisa [4]: 35, melibatkan pihak ketiga yang netral untuk mengembalikan perspektif. Menunda keputusan perpisahan dan merenung di bawah naungan Allah adalah kunci untuk menghormati mitsaqan ghalizha.
IX. Kesimpulan: Pernikahan sebagai Ibadah Jangka Panjang
Ayat-ayat menikah dalam Al-Qur'an memberikan kerangka kerja teologis, etika, dan hukum yang komprehensif bagi pembentukan keluarga Muslim. Dari QS Ar-Rum [30]: 21 yang menetapkan tujuan Mawaddah dan Rahmah, hingga QS An-Nisa [4]: 21 yang mengangkat ikatan menjadi mitsaqan ghalizha, setiap petunjuk ilahi menuntut kesadaran, tanggung jawab, dan takwa yang berkelanjutan.
Pernikahan yang ideal adalah perjalanan spiritual bersama menuju keridhaan Allah. Ia adalah arena tempat pasangan belajar kesabaran, memaafkan, dan mengaplikasikan keadilan dalam segala situasi. Ketika setiap pasangan mengimplementasikan petunjuk Al-Qur'an ini dengan niat tulus (Ihsan), mereka tidak hanya membangun rumah tangga yang bahagia di dunia (Sakinah), tetapi juga menjamin keselamatan keluarga di akhirat (seperti yang diperintahkan dalam QS At-Tahrim [66]: 6). Dengan demikian, ayat-ayat menikah adalah peta jalan abadi menuju kebahagiaan sejati yang transenden.
Kewajiban untuk bertakwa kepada Allah dalam setiap urusan, termasuk interaksi domestik, adalah benang merah yang mengikat seluruh ajaran ini. Suami dan istri dituntut untuk terus menerus memperbaiki diri, menjadikan rumah sebagai tempat ibadah, bukan sekadar tempat tinggal. Pemenuhan hak dan kewajiban harus didasarkan pada standar Ma’ruf dan Ihsan, yang akan memastikan bahwa cinta, belas kasihan, dan keadilan selalu bersemi, sebagaimana janji Allah dalam Firman-Nya yang suci.