Peristiwa Isra Mi'raj adalah salah satu mu’jizat terbesar yang diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Peristiwa agung ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan merupakan penegasan status kenabian, penguatan iman bagi kaum Muslimin, dan pameran kekuasaan tak terbatas dari Sang Pencipta. Inti dari peristiwa ini tersemat jelas dalam beberapa ayat Al-Qur'an, yang menjadi landasan teologis dan sumber utama tafsir. Dua rujukan utama yang menjadi fokus pembahasan ini adalah Surah Al-Isra ayat 1 dan Surah An-Najm ayat 1 hingga 18. Melalui penelusuran mendalam terhadap ayat-ayat ini, kita akan memahami dimensi spiritual, historis, dan hukum yang terkandung di dalamnya.
Ilustrasi abstrak perjalanan Isra dari Makkah ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa).
Kata Isra merujuk pada bagian pertama perjalanan suci, yaitu perjalanan malam dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis (Yerusalem). Ayat yang menjadi saksi abadi dari peristiwa ini adalah ayat pertama dari Surah Al-Isra (sebelumnya dikenal juga sebagai Surah Bani Israil).
Ayat ini dibuka dengan kata سُبْحَانَ (Subhana). Dalam ilmu tafsir, pembukaan dengan lafaz ini menunjukkan bahwa peristiwa yang akan diceritakan adalah peristiwa yang sangat agung, luar biasa, dan melampaui batas nalar manusia biasa. Ini adalah penegasan kekuasaan Allah yang tidak terbatas, yang mampu melakukan sesuatu yang mustahil bagi makhluk. Penggunaan lafaz ini sekaligus menepis keraguan yang mungkin muncul dari para penentang Nabi Muhammad SAW.
Kata أَسْرَى (Asra) berasal dari akar kata yang merujuk pada perjalanan yang dilakukan secara khusus pada malam hari. Ini mengindikasikan bahwa seluruh tahapan perjalanan Isra, baik dari Makkah ke Yerusalem, terjadi dalam waktu yang sangat singkat di malam hari. Penekanan pada ‘malam’ (لَيْلًا - lailan) menghilangkan keraguan bahwa ini adalah perjalanan biasa yang memakan waktu berbulan-bulan, mempertegas mu’jizat yang terjadi.
Allah tidak menggunakan sebutan Nabi, Rasul, atau Muhammad, melainkan بِعَبْدِهِ (Bi’abdihi), yang berarti 'hamba-Nya'. Para ulama tafsir, seperti Imam Al-Qurthubi, menafsirkan bahwa gelar 'hamba' adalah gelar tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Allah memuliakan Rasulullah bukan dengan jabatan kenegaraan atau kekayaan, melainkan dengan kedekatan sebagai hamba yang taat sepenuhnya. Status ini menegaskan bahwa perjalanan ini dilakukan dalam keadaan fisik dan spiritual yang utuh, dan bukan sekadar mimpi.
Ayat ini secara tegas menyebutkan dua titik suci: Masjidil Haram (di Makkah) dan Masjidil Aqsa (di Yerusalem). Pemilihan dua lokasi ini memiliki makna historis dan teologis yang mendalam. Masjidil Haram adalah kiblat awal dan pusat peribadatan Nabi Ibrahim AS, sementara Masjidil Aqsa adalah kiblat para nabi sebelum Muhammad SAW dan merupakan tanah yang diberkahi (بَارَكْنَا حَوْلَهُ - barakna haulahu). Perjalanan ini menyatukan warisan kenabian yang berbeda, menunjukkan bahwa risalah Muhammad adalah penyempurna dan penerus dari semua risalah sebelumnya.
Keberkahan di sekitar Masjidil Aqsa mencakup keberkahan materi (kesuburan tanah Syam) dan keberkahan spiritual (tempat turunnya wahyu bagi banyak nabi, mulai dari Ibrahim, Ishak, Yakub, hingga Musa dan Isa AS). Dengan demikian, perjalanan ini bukan hanya sekadar transit, tetapi pengukuhan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin seluruh umat manusia dan nabi-nabi.
Tujuan utama Isra Mi'raj bukanlah hanya sekadar perpindahan tempat, melainkan untuk memperlihatkan آيَاتِنَا (Ayatina), yaitu tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah yang luar biasa. Tanda-tanda ini mencakup rahasia alam semesta, kejadian-kejadian ghaib, dimensi surga dan neraka, serta pertemuan dengan para nabi terdahulu. Semua ini berfungsi untuk memperkuat hati Nabi SAW setelah menghadapi tahun-tahun penuh kesedihan (Amul Huzn) di Makkah dan mempersiapkan beliau untuk tugas kenabian yang lebih besar setelah hijrah.
Setelah Isra (perjalanan horizontal di bumi), Nabi Muhammad SAW melanjutkan Mi'raj (perjalanan vertikal) menuju langit tertinggi hingga melampaui batas makhluk. Bagian kedua yang paling dramatis ini diabadikan secara rinci dalam Surah An-Najm (Bintang), khususnya ayat 1 hingga 18. Surah ini menjelaskan pertemuan Nabi dengan Malaikat Jibril dalam wujud aslinya dan puncaknya di Sidratul Muntaha.
Ayat-ayat awal Surah An-Najm berfungsi sebagai sumpah dan penegasan. Allah bersumpah demi bintang yang terbenam (mengisyaratkan keteraturan kosmik) bahwa Muhammad SAW tidaklah sesat atau keliru. Ini secara langsung menangkis tuduhan kaum musyrikin yang menyebut Nabi gila atau dukun. Penegasan ini sangat penting karena wahyu yang dibawa oleh Nabi, termasuk kisah Isra Mi'raj, adalah murni wahyu ilahi, bukan karangan pribadi (وما ينطق عن الهوى - dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya).
Ayat 5 hingga 10 menjelaskan tentang sosok yang mengajarkan wahyu, yaitu Malaikat Jibril (شَدِيدُ الْقُوَىٰ - Syadidul Quwa, yang sangat kuat). Jibril menampakkan diri dalam rupa aslinya (yang memiliki 600 sayap, sebagaimana dikuatkan dalam hadits) saat berada di ufuk yang tinggi. Para mufasir sepakat bahwa kedekatan yang dijelaskan dalam ayat 9 ("dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi") merujuk pada kedekatan antara Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril, bukan kedekatan fisik dengan Allah SWT, meskipun interpretasi ini tetap memerlukan kehati-hatian teologis.
Ayat 14 secara eksplisit menyebutkan عِندَ سِدْرَةِ الْمُنتَهَىٰ (Inda Sidratil Muntaha). Sidratul Muntaha adalah sebuah pohon Sidr (Bidara) yang berada di batas akhir langit ketujuh. Nama 'Muntaha' (batas akhir) menunjukkan bahwa ini adalah titik di mana pengetahuan makhluk telah berakhir. Tidak ada makhluk yang diizinkan melampauinya, kecuali Nabi Muhammad SAW dalam Mi'raj. Di sanalah catatan amal diangkat, dan di sanalah batas antara alam fisik dan alam ghaib yang murni.
Penting untuk dicatat bahwa para malaikat yang naik dari bawah akan berhenti di Sidratul Muntaha, dan wahyu yang turun dari atas juga diterima oleh Jibril di tempat tersebut sebelum disampaikan kepada para nabi. Ini adalah titik singgah tertinggi di alam semesta ciptaan.
Ayat 16 menyatakan, "Ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya." Para ulama menjelaskan bahwa "sesuatu" yang meliputinya adalah cahaya agung dari Allah SWT (An-Nur), serta malaikat-malaikat yang tak terhitung jumlahnya yang bersujud. Ini menunjukkan betapa menakjubkan dan sucinya pemandangan yang disaksikan oleh Nabi Muhammad SAW, pemandangan yang belum pernah dilihat oleh nabi atau rasul mana pun sebelumnya.
Ayat 17 (مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ - Ma zāghal baṣaru wa mā ṭaghā) memberikan penegasan luar biasa: penglihatan Nabi tidak berpaling dan tidak melampaui batas. Artinya, Nabi Muhammad SAW melihat realitas ghaib dengan penglihatan yang sempurna, tanpa kesalahan, dan tanpa berlebihan atau mengurangi apa yang diizinkan untuk dilihat. Ini adalah jaminan ilahi atas kebenaran semua yang disaksikan oleh beliau selama Mi'raj.
Puncaknya, ayat 18 menegaskan: "Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." Ini merujuk pada mu'jizat-mu'jizat agung, seperti melihat Surga dan Neraka, Arsy, dan berdialog dengan Allah SWT tanpa perantara—sebuah kehormatan yang tak tertandingi.
Visualisasi Sidratul Muntaha, batas tertinggi perjalanan Mi'raj.
Sementara ayat-ayat Al-Qur'an memberikan kerangka teologis dan penegasan mu’jizat, hadits-hadits shahih melengkapi narasi dengan detail operasional perjalanan. Tanpa hadits, kita tidak akan tahu apa yang disaksikan Nabi Muhammad SAW sebagai 'tanda-tanda kebesaran' yang disebutkan dalam Surah Al-Isra dan An-Najm.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwa perjalanan Isra menggunakan kendaraan yang disebut Buraq. Buraq digambarkan sebagai makhluk putih, lebih besar dari keledai namun lebih kecil dari bagal, yang meletakkan langkahnya sejauh pandangan matanya. Kecepatan Buraq ini adalah manifestasi konkret dari kekuasaan Allah yang melampaui fisika duniawi, yang memungkinkan perjalanan ribuan kilometer hanya dalam semalam, sesuai dengan lafaz أَسْرَىٰ (Asra) dalam ayat pertama Surah Al-Isra.
Setibanya di Masjidil Aqsa, Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat dua rakaat. Hadits menegaskan bahwa beliau menjadi imam bagi seluruh nabi yang pernah diutus, termasuk Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan yang lainnya. Peristiwa ini adalah penafsiran visual atas Surah Al-Isra yang menyatukan kedua masjid suci. Ini bukan sekadar shalat, tetapi pengakuan resmi dari para nabi pendahulu bahwa kenabian telah sempurna dan kepemimpinan spiritual kini berada di tangan Muhammad SAW.
Perjalanan Mi'raj dimulai dari Masjidil Aqsa. Hadits menjelaskan bahwa Nabi Muhammad, ditemani Jibril AS, naik melalui tujuh lapis langit. Di setiap lapis langit, beliau bertemu dengan para nabi tertentu, yang merupakan bagian dari 'tanda-tanda kebesaran' yang disebutkan dalam Al-Qur'an:
Pertemuan ini menegaskan kesinambungan risalah dan menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki kedudukan tertinggi di antara mereka.
Puncak dari seluruh Mi'raj, yang diisyaratkan oleh Surah An-Najm sebagai melihat "tanda-tanda Tuhannya yang paling besar," adalah momen dialog langsung dengan Allah SWT, setelah Jibril berhenti di Sidratul Muntaha. Inti dari wahyu yang diterima saat itu adalah perintah pelaksanaan shalat lima waktu. Awalnya diperintahkan 50 kali, namun atas saran Nabi Musa AS dan permohonan Nabi Muhammad SAW, dikurangi hingga menjadi lima waktu, namun pahalanya tetap setara 50 waktu. Ini menjadikan shalat sebagai hadiah dan manifestasi nyata dari perjalanan suci tersebut.
Meskipun ayat-ayat Al-Qur'an jelas, beberapa poin memicu perdebatan mendalam di kalangan ulama salaf dan khalaf, terutama mengenai sifat fisik atau spiritual perjalanan dan penglihatan Nabi terhadap Allah SWT.
Ayat pertama Surah Al-Isra menggunakan lafaz بِعَبْدِهِ (Bi’abdihi - hamba-Nya). Dalam bahasa Arab, 'abd' mencakup ruh dan jasad. Mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jamaah (seperti Ibnu Katsir, Al-Thabari, dan Al-Qurthubi) berpendapat bahwa Isra Mi'raj adalah perjalanan fisik (dengan jasad dan ruh) dari Makkah ke Yerusalem, karena:
Namun, sebagian kecil ulama (seperti sebagian pendapat Aisyah RA) berpendapat bahwa Mi'raj (perjalanan ke langit) mungkin bersifat ruhani, meskipun Isra (perjalanan ke Aqsa) adalah fisik. Namun, pandangan yang kuat dan diterima luas adalah bahwa seluruh perjalanan terjadi dalam keadaan fisik, sebagai bukti absolut kekuasaan Allah SWT.
Ayat-ayat Surah An-Najm yang menjelaskan kedekatan dan penglihatan memicu perdebatan: apakah Nabi Muhammad SAW melihat Allah SWT dengan mata kepalanya?
1. Pandangan yang Menyatakan Tidak Melihat: Ini adalah pandangan yang didukung oleh Sayyidah Aisyah RA dan Ibnu Mas'ud RA. Mereka berpegangan pada Surah Al-An'am ayat 103: "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu." Aisyah RA juga menyatakan, "Barangsiapa berkata Muhammad melihat Tuhannya, maka ia telah melakukan kebohongan besar." Mereka menafsirkan bahwa yang dilihat Nabi adalah Jibril dalam wujud aslinya, atau Cahaya Ilahi yang agung. Ketika ditanya, Nabi SAW menjawab: "Aku melihat Cahaya (Nur)."
2. Pandangan yang Menyatakan Melihat Hati: Sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas RA, berpendapat bahwa Nabi melihat Tuhannya, tetapi dengan mata hati (فؤاد - fu’ad), sesuai dengan ayat 11 Surah An-Najm: "Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya." Ini adalah penglihatan spiritual yang melampaui batas penglihatan fisik, sebuah penghormatan istimewa.
3. Resolusi Teologis: Perdebatan ini menyimpulkan bahwa penglihatan fisik terhadap Allah di dunia adalah mustahil bagi manusia biasa. Namun, Allah mungkin memberikan pengecualian mutlak kepada Nabi-Nya sebagai mu’jizat. Meskipun demikian, mayoritas tafsir hadits menegaskan bahwa yang dilihat Nabi pada puncak Sidratul Muntaha adalah Cahaya, bukan zat Allah dalam bentuk yang dapat dipahami makhluk.
Ayat-ayat Isra Mi'raj mengandung hikmah yang melampaui narasi sejarah. Ini adalah cetak biru untuk memahami hubungan antara Makkah, Yerusalem, dan langit, serta peran sentral shalat dalam kehidupan Muslim.
Isra Mi'raj datang pada masa-masa terberat bagi Nabi (Tahun Kesedihan). Peristiwa ini berfungsi sebagai penguatan mental dan spiritual. Mu'jizat ini, yang dicatat dalam Surah Al-Isra, menjadi bukti otentik bagi orang-orang yang beriman (آيَاتِنَا - Ayatina) bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah yang memiliki koneksi langsung dengan alam ghaib. Kisah ini memisahkan antara Muslim yang benar-benar beriman (seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq) dengan mereka yang hanya berislam secara permukaan.
Inti praktis dari perjalanan Mi'raj adalah perintah shalat. Jika Nabi Muhammad SAW harus menempuh perjalanan luar biasa melintasi ruang dan waktu untuk menerima perintah shalat, maka ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan shalat. Para ulama menyebut shalat sebagai Mi'rajul Mu'minin (Mi'rajnya orang-orang beriman), karena melalui shalat, seorang hamba dapat berdialog langsung dengan Tuhannya, merefleksikan kedekatan yang dicapai Nabi di Sidratul Muntaha.
Kualitas dan intensitas shalat yang disyariatkan mencerminkan janji Allah dalam Surah Al-Isra: "Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (Ayat 1). Shalat adalah sarana utama untuk mencapai keadaan didengar dan dilihat oleh Sang Pencipta.
Penyebutan Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa dalam satu ayat (Al-Isra: 1) secara permanen mengikatkan kedua tempat ini dalam kesucian Islam. Perjalanan ini menyimbolkan bahwa Islam adalah kelanjutan dari risalah tauhid para nabi terdahulu yang berpusat di Yerusalem. Melalui Isra Mi'raj, Masjidil Aqsa menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas spiritual umat Muhammad, menegaskan bahwa tidak ada pemisahan antara ajaran nabi-nabi Allah.
Kekuatan ayat-ayat Isra Mi'raj terletak pada ketepatan pilihan kata dalam bahasa Arab yang tidak mungkin diciptakan oleh manusia. Pemilihan diksi ini memastikan bahwa mu’jizat tersebut disampaikan dengan cara yang paling kuat dan efektif.
Ketika Allah ingin memuji Nabi Muhammad SAW dalam konteks menerima kitab suci atau dalam perjalanan paling agung, Allah menggunakan lafaz 'Abd' (hamba). Contohnya dalam Surah Al-Kahfi ayat 1: "Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya..." (الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ). Ini memperkuat argumen bahwa kemuliaan sejati terletak pada penyerahan diri total kepada Allah, yang merupakan kunci untuk membuka pintu mu’jizat.
Kata 'Abd' juga menekankan sisi kemanusiaan Nabi Muhammad SAW, menolak upaya-upaya untuk menuhankan beliau. Beliau mampu melakukan perjalanan luar biasa ini bukan karena kekuatan intrinsik, melainkan karena keagungan Allah yang memperjalankan hamba-Nya.
Dalam Surah An-Najm, penggunaan kata-kata yang mendeskripsikan penglihatan sangat tepat: مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَىٰ (Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya) dan مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ (Penglihatan tidak berpaling dan tidak melampaui batas). Ini adalah standar pengamatan tertinggi. Dalam konteks modern, ini setara dengan jaminan akurasi dan integritas data pengamatan. Visi Nabi bukanlah halusinasi atau penglihatan yang kacau, melainkan pandangan yang jernih, akurat, dan sesuai dengan realitas ghaib yang diizinkan Allah.
Pilihan diksi seperti قاب قوسين أو أدنى (Qaba Qausayni Aw Adna), yang secara harfiah berarti dua busur panah atau lebih dekat lagi, adalah ungkapan yang digunakan dalam bahasa Arab kuno untuk menunjukkan kedekatan ekstrem. Ini menunjukkan tingkat keintiman komunikasi yang belum pernah diberikan kepada nabi lain.
Kedua surah yang memuat ayat-ayat utama Isra Mi'raj, Surah Al-Isra dan Surah An-Najm, diturunkan pada periode Makkiyah (sebelum hijrah), ketika umat Islam berada dalam posisi minoritas yang tertindas. Menempatkan peristiwa ini dalam konteks historisnya akan menyingkapkan mengapa mu’jizat ini menjadi sangat penting.
Sebelum Isra Mi'raj, Nabi Muhammad SAW baru saja kehilangan dua pendukung terbesarnya: pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah RA (Amul Huzn - Tahun Kesedihan). Setelah kegagalan dakwah di Thaif, Nabi SAW berada di titik terendah secara dukungan manusiawi. Ayat-ayat ini, dengan membawa Nabi ke alam semesta yang luas, berfungsi sebagai hiburan ilahi, sebuah pesan bahwa meskipun seluruh manusia menolak, Allah SWT tetap berada di sisi beliau dan memuliakan beliau melampaui semua makhluk.
Ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan perjalanannya di pagi hari setelah Isra Mi'raj, kaum Quraisy menjadikannya bahan olok-olok dan cemoohan. Mereka yang imannya lemah langsung murtad. Ini adalah ujian yang sangat keras. Ayat-ayat suci tersebut menjadi garis pemisah yang jelas: apakah seseorang meyakini janji Allah SWT dan kekuasaan-Nya yang tak terbatas, ataukah membatasi kekuasaan Tuhan pada hukum-hukum alam yang mereka kenal.
Kebenaran yang disajikan dalam Surah Al-Isra dan An-Najm membutuhkan penyerahan akal kepada iman. Ketika Abu Bakar mendengar kisah itu, ia tanpa ragu berkata: "Jika Muhammad yang mengatakannya, maka itu benar." Sikap ini menunjukkan esensi keimanan yang dibutuhkan untuk menerima mu’jizat agung ini.
Dalam bagian 'tanda-tanda kebesaran' yang dilihat Nabi Muhammad SAW, hadits menambahkan deskripsi yang berkaitan dengan alam ghaib, yang secara tidak langsung mendukung klaim dalam Surah An-Najm tentang melihat "Tanda-tanda Tuhannya yang paling besar."
Di Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad SAW melihat empat sungai: dua sungai batin (di Surga) dan dua sungai lahir (di dunia). Kedua sungai lahir ditafsirkan sebagai Sungai Nil dan Sungai Eufrat. Para ulama menafsirkan bahwa penglihatan ini adalah simbol dari berkah dan rezeki yang akan diberikan Allah kepada umat Islam, serta perlindungan terhadap sumber-sumber air suci tersebut.
Selama perjalanan Mi'raj, Nabi Muhammad SAW diperlihatkan kondisi akhirat yang menggambarkan hukuman bagi dosa-dosa tertentu. Contohnya, beliau melihat orang-orang yang memakan harta anak yatim, orang-orang yang meninggalkan shalat, dan para pezina. Pemandangan ini, yang merupakan bagian dari آيَاتِنَا (Ayatina), berfungsi sebagai peringatan keras bagi umatnya tentang konsekuensi dari perbuatan buruk di dunia. Ini adalah pelajaran moral yang diberikan langsung dari alam ghaib.
Pemandangan ini sekaligus memberikan pemahaman yang lebih konkret tentang Surga (عِندَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَىٰ - Jannatul Ma'wa, Surga tempat tinggal, yang berada di dekat Sidratul Muntaha, sebagaimana disebutkan dalam An-Najm ayat 15) dan Neraka, menguatkan keyakinan umat terhadap hari pembalasan.
Ayat-ayat Isra Mi'raj, yang terangkum dalam kemuliaan Surah Al-Isra ayat 1 dan keagungan Surah An-Najm ayat 1-18, bukan hanya sekadar catatan sejarah. Ayat-ayat ini adalah poros keimanan, yang menetapkan posisi Nabi Muhammad SAW, menyatukan warisan kenabian di Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa, serta melembagakan shalat sebagai tiang agama.
Setiap lafaz dalam ayat-ayat tersebut adalah bukti tak terbantahkan dari kekuasaan mutlak Allah SWT. Perjalanan ini mengajarkan kita bahwa meskipun tantangan duniawi terasa berat, pertolongan dan penghiburan ilahi dapat datang melalui cara yang paling ajaib dan tak terduga. Keyakinan terhadap kebenaran ayat-ayat ini adalah tolok ukur keislaman yang sejati. Perenungan mendalam terhadap firman Allah yang menjelaskan Isra Mi'raj akan selalu menjadi sumber inspirasi tak terbatas bagi umat Muslim di seluruh dunia.
***
(Artikel ini disusun berdasarkan analisis tafsir Al-Qur'an klasik dan kontemporer, serta rujukan pada matan hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan Isra Mi'raj.)