Bulan sabit dan bintang sebagai simbol datangnya bulan Muharam.
Bulan Muharam adalah gerbang pembuka dalam kalender Hijriah, sebuah permulaan yang bukan hanya menandai siklus waktu baru, tetapi juga membawa serta kekayaan spiritual dan sejarah yang mendalam bagi umat Islam di seluruh dunia. Sebagai bulan pertama dalam kalender qamariah yang digunakan oleh jutaan Muslim, Muharam memiliki posisi istimewa yang melampaui sekadar penanda waktu. Ia adalah penanda dimulainya tahun baru Islam, sebuah kesempatan emas untuk introspeksi, refleksi, dan peningkatan diri.
Nama "Muharam" sendiri memiliki makna yang sangat kuat dan sakral. Berasal dari kata "haram," yang berarti "terlarang" atau "suci," ia mengindikasikan bahwa bulan ini adalah salah satu dari empat bulan yang dimuliakan dalam Islam, di mana perbuatan dosa sangat dilarang dan pahala kebaikan dilipatgandakan. Kemuliaan ini bukan tanpa alasan, melainkan berakar pada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ yang menempatkan Muharam pada kedudukan yang agung.
Bagi seorang Muslim, pergantian tahun Hijriah bukanlah saat untuk berpesta pora atau merayakan dengan kemewahan duniawi, melainkan sebuah undangan untuk kembali merenungkan perjalanan spiritual yang telah dilalui dan menetapkan niat baru untuk menjalani kehidupan yang lebih baik di hadapan Allah SWT. Ini adalah waktu untuk memperbaharui komitmen terhadap ajaran agama, meningkatkan ibadah, dan membersihkan hati dari segala bentuk kesalahan.
Artikel ini akan mengupas tuntas tentang bulan Muharam, mulai dari sejarah, keutamaan, amalan-amalan sunnah yang dianjurkan, hingga peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalamnya. Kita akan menyelami makna di balik kemuliaan Muharam, khususnya hari Asyura yang menjadi puncaknya, serta menggali pelajaran berharga yang dapat kita petik untuk kehidupan sehari-hari. Mari bersama-sama memahami dan menghidupkan bulan Muharam ini dengan sebaik-baiknya, menjadikannya pijakan untuk tahun yang penuh keberkahan dan ketaatan.
Sistem penanggalan Hijriah, yang dimulai dengan bulan Muharam, adalah fondasi krusial dalam kehidupan beragama umat Islam. Tidak seperti kalender Masehi yang didasarkan pada peredaran matahari, kalender Hijriah didasarkan pada peredaran bulan (qamariah). Ini berarti satu tahun Hijriah terdiri dari 12 bulan yang masing-masing memiliki 29 atau 30 hari, sehingga total hari dalam setahun adalah sekitar 354 atau 355 hari. Akibatnya, tahun Hijriah selalu lebih pendek sekitar 10-11 hari dibandingkan tahun Masehi, yang membuat awal setiap bulan Hijriah bergeser setiap tahunnya dalam kalender Masehi.
Penetapan kalender Hijriah sendiri memiliki sejarah yang menarik. Kalender ini mulai digunakan secara resmi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra, sekitar tahun 638 Masehi. Keputusan ini diambil setelah musyawarah para sahabat untuk menyeragamkan penanggalan yang kala itu belum baku. Mereka memilih peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ dari Mekah ke Madinah sebagai titik awal perhitungan tahun, sebuah peristiwa yang menandai titik balik penting dalam sejarah Islam: tegaknya daulah Islamiyah dan dimulainya era baru dakwah.
Meskipun Muharam adalah bulan pertama dalam kalender, peristiwa hijrah Nabi ﷺ terjadi pada bulan Rabiul Awal. Namun, para sahabat sepakat memilih Muharam sebagai bulan pertama karena beberapa alasan, di antaranya adalah karena Muharam adalah bulan di mana jamaah haji kembali ke kampung halaman mereka setelah menunaikan ibadah haji, sehingga dianggap sebagai penanda awal siklus kehidupan yang baru. Selain itu, Muharam juga merupakan salah satu dari empat bulan yang dimuliakan (bulan haram), sehingga cocok untuk dijadikan permulaan yang sakral.
Pentingnya kalender Hijriah tidak hanya terletak pada penentuan awal tahun, tetapi juga dalam penetapan waktu ibadah-ibadah fundamental seperti puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, waktu haji, serta penentuan masa iddah bagi wanita. Tanpa kalender ini, umat Islam akan kesulitan dalam menjalankan rukun-rukun Islam tersebut dengan benar. Oleh karena itu, memahami dan menghargai kalender Hijriah, dimulai dari bulan Muharam, adalah bagian integral dari praktik keislaman.
Dalam Islam, terdapat empat bulan yang memiliki kedudukan istimewa dan disebut sebagai bulan-bulan haram (suci). Keempat bulan tersebut adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharam, dan Rajab. Penamaan "haram" bukan berarti terlarang secara mutlak, melainkan mengandung makna kemuliaan dan kekhususan yang tinggi. Di bulan-bulan ini, Allah SWT melarang umat-Nya untuk berbuat dosa dan kezaliman, sementara pada saat yang sama, Ia juga melipatgandakan pahala bagi setiap amal kebaikan yang dilakukan.
Penjelasan mengenai empat bulan haram ini termaktub jelas dalam Al-Quran, yaitu Surah At-Taubah ayat 36:
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu."
Ayat ini menegaskan bahwa penetapan bulan-bulan haram ini merupakan bagian dari ketetapan Allah yang lurus, sebuah sistem yang telah ada sejak penciptaan langit dan bumi. Peringatan "janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu" mengisyaratkan bahwa dosa yang dilakukan di bulan-bulan ini memiliki dampak yang lebih besar, dan kezaliman yang dilakukan akan diperberat hukumannya.
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa larangan berbuat zalim di bulan-bulan haram ini mencakup semua jenis perbuatan zalim, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, baik berupa maksiat maupun tindakan melanggar hak. Ini karena kemuliaan waktu dapat memperbesar nilai suatu perbuatan, baik positif maupun negatif.
Hikmah di balik penetapan bulan-bulan haram ini sangatlah mendalam:
Sebagai bulan pertama dari empat bulan haram, Muharam menjadi titik awal yang sangat strategis untuk memulai tahun dengan penuh kesadaran spiritual. Ini adalah kesempatan untuk menata kembali niat, memperkuat azam (tekad), dan melangkah ke depan dengan bekal takwa yang lebih mantap.
Buku terbuka sebagai simbol ilmu dan hikmah dari Al-Quran dan Hadits.
Puncak kemuliaan bulan Muharam adalah pada hari Asyura, yaitu tanggal 10 Muharam. Hari ini memiliki sejarah yang sangat panjang dan kaya akan peristiwa-peristiwa penting, baik sebelum masa kenabian Muhammad ﷺ maupun setelahnya. Namun, yang paling menonjol dan menjadi fokus utama adalah anjuran puasa pada hari tersebut, yang dijanjikan dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.
Puasa Asyura telah dikenal bahkan sebelum Islam datang. Kaum Yahudi di Madinah pada masa Nabi Muhammad ﷺ telah mempraktikkannya. Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah setelah hijrah, beliau mendapati bahwa kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Saat ditanya alasannya, mereka menjawab bahwa hari itu adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa a.s. dan Bani Israil dari kekejaman Firaun dan pasukannya. Nabi Musa a.s. kemudian berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT.
Mendengar hal ini, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
نَحْنُ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ
"Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian."
Sejak saat itu, Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan umat Islam untuk berpuasa Asyura. Awalnya, puasa Asyura hukumnya wajib sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Setelah puasa Ramadhan diwajibkan, hukum puasa Asyura berubah menjadi sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), namun dengan keutamaan yang luar biasa.
Beberapa hadits Nabi Muhammad ﷺ secara jelas menjelaskan keutamaan puasa Asyura:
سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ. وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ.
"Nabi ﷺ ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, 'Menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.' Beliau ditanya tentang puasa hari Asyura, beliau menjawab, 'Menghapus dosa setahun yang lalu.'" (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan betapa besar pahala puasa Asyura. Dosa yang dimaksud di sini adalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar memerlukan taubat nasuha (taubat yang sungguh-sungguh) kepada Allah SWT. Namun, keutamaan ini tetaplah menjadi motivasi besar bagi setiap Muslim untuk tidak melewatkan kesempatan emas ini.
Kisah Nabi Musa a.s. dan Bani Israil adalah salah satu cerita paling epik dalam Al-Quran, dan puncaknya bertepatan dengan hari Asyura. Di Mesir, Firaun yang sombong dan kejam menindas Bani Israil, menjadikan mereka budak dan membunuh bayi-bayi laki-laki mereka. Allah SWT mengutus Nabi Musa a.s. untuk membebaskan kaumnya dan mendakwahi Firaun agar beriman.
Setelah berbagai mukjizat dan peringatan yang diabaikan oleh Firaun, Allah memerintahkan Nabi Musa a.s. untuk membawa Bani Israil keluar dari Mesir secara diam-diam pada malam hari. Firaun yang murka segera mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengejar mereka. Bani Israil terdesak di tepi Laut Merah, dengan Firaun di belakang dan laut di depan.
Dalam kondisi genting tersebut, Allah SWT memerintahkan Nabi Musa a.s. untuk memukulkan tongkatnya ke laut. Dengan kuasa Allah, laut pun terbelah, membentuk jalan kering yang dapat dilalui. Bani Israil menyeberang dengan selamat. Firaun dan pasukannya yang sombong mencoba mengikuti, namun ketika mereka berada di tengah-tengah laut yang terbelah, Allah memerintahkan laut untuk kembali seperti semula, menenggelamkan Firaun dan seluruh pasukannya. Peristiwa luar biasa ini terjadi pada hari Asyura.
Nabi Musa a.s. dan Bani Israil yang baru saja merasakan kebebasan dan keselamatan yang luar biasa, berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk syukur yang mendalam kepada Allah SWT atas pertolongan-Nya. Puasa ini kemudian menjadi tradisi di kalangan kaum Yahudi sebagai peringatan atas pembebasan mereka. Ketika Nabi Muhammad ﷺ tiba di Madinah, beliau melihat praktik ini dan merasa bahwa umat Islam, sebagai penerus ajaran tauhid dan pengikut para Nabi, memiliki hak yang lebih besar untuk mensyukuri nikmat tersebut. Oleh karena itu, beliau mengintegrasikannya ke dalam syariat Islam, namun dengan penyesuaian agar berbeda dari praktik Yahudi.
Meskipun puasa Asyura memiliki keutamaan yang besar, Nabi Muhammad ﷺ kemudian menganjurkan untuk menambah satu hari lagi puasa, yaitu pada tanggal 9 Muharam, yang dikenal dengan nama Tasu'a. Anjuran ini muncul di akhir hayat beliau, dengan tujuan untuk membedakan praktik umat Islam dari kaum Yahudi yang hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharam.
Hal ini dijelaskan dalam beberapa hadits, salah satunya dari Ibnu Abbas ra:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ". قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ.
"Ketika Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya, para sahabat berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.' Maka Rasulullah ﷺ bersabda, 'Apabila tiba tahun depan, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan.' Ibnu Abbas berkata, 'Belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah ﷺ telah wafat.'" (HR. Muslim)
Dari hadits ini, dipahami bahwa meskipun Nabi ﷺ tidak sempat berpuasa Tasu'a karena wafat sebelum Muharam tahun berikutnya, keinginan beliau untuk melakukannya menunjukkan sunnah dan anjuran yang kuat. Oleh karena itu, puasa Tasu'a (9 Muharam) bersamaan dengan Asyura (10 Muharam) menjadi praktik yang lebih afdal dan lengkap bagi seorang Muslim.
Para ulama menjelaskan bahwa hikmah dari puasa Tasu'a ini adalah:
Bagi mereka yang tidak sempat berpuasa Tasu'a, puasa Asyura saja tetap sah dan mendapatkan keutamaan. Namun, jika mampu, menggabungkan puasa Tasu'a dan Asyura adalah yang paling utama. Beberapa ulama juga menyebutkan anjuran untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharam sebagai bentuk kehati-hatian atau untuk menyempurnakan puasa tiga hari (9, 10, dan 11 Muharam), meskipun anjuran yang paling kuat adalah 9 dan 10 Muharam.
Bulan Muharam bukan hanya tentang puasa dan introspeksi, tetapi juga menyimpan banyak peristiwa bersejarah yang membentuk peradaban Islam dan umat manusia secara umum. Mengingat dan merenungkan peristiwa-peristiwa ini dapat memperkaya pemahaman kita tentang keagungan Allah SWT dan perjuangan para Nabi serta hamba-Nya yang saleh.
Salah satu peristiwa paling monumental yang dikaitkan dengan hari Asyura adalah pendaratan bahtera Nabi Nuh a.s. Setelah banjir besar yang menenggelamkan seluruh bumi kecuali mereka yang berada di dalam bahtera, Allah SWT memerintahkan bumi untuk menelan airnya dan langit untuk berhenti hujan. Bahtera Nabi Nuh a.s. akhirnya berlabuh dengan selamat di gunung Judi. Banyak riwayat menyebutkan bahwa peristiwa pendaratan bahtera ini terjadi pada hari Asyura. Ini adalah momen kemenangan keimanan atas kekufuran dan pelajaran tentang kepatuhan kepada perintah Allah.
Kisah Nabi Yunus a.s. yang ditelan ikan paus juga dikaitkan dengan hari Asyura. Setelah meninggalkan kaumnya karena putus asa, Nabi Yunus a.s. naik kapal dan kemudian dilempar ke laut dalam kondisi badai. Ia ditelan oleh seekor ikan paus raksasa. Di dalam kegelapan perut ikan, Nabi Yunus a.s. bertasbih dan memohon ampun kepada Allah dengan doa yang terkenal:
لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ
"Tidak ada tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Anbiya: 87)
Allah SWT mengabulkan doanya dan memerintahkan ikan paus untuk memuntahkannya ke daratan. Banyak riwayat menyebutkan bahwa Nabi Yunus a.s. dikeluarkan dari perut ikan pada hari Asyura, menunjukkan kekuasaan Allah yang tiada batas dan pentingnya taubat serta doa dalam kesulitan.
Nabi Ayyub a.s. adalah teladan kesabaran yang luar biasa. Ia diuji dengan kehilangan harta, anak-anak, dan penyakit parah yang berkepanjangan sehingga dijauhi banyak orang. Namun, ia tetap teguh dalam keimanannya dan tidak pernah mengeluh. Setelah bertahun-tahun dalam penderitaan, Nabi Ayyub a.s. berdoa kepada Allah:
أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ
"(Ya Tuhanku) sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang." (QS. Al-Anbiya: 83)
Allah SWT mengabulkan doanya dan memerintahkannya untuk menghentakkan kakinya ke tanah, lalu memancarlah air yang dengannya ia mandi dan minum, sehingga ia pulih sepenuhnya dari penyakitnya dan dikembalikan hartanya serta diberkahi dengan keluarga yang lebih baik. Riwayat mengatakan bahwa kesembuhan Nabi Ayyub a.s. ini terjadi pada hari Asyura, menjadi simbol rahmat Allah bagi hamba-Nya yang sabar.
Nabi Ibrahim a.s. adalah pejuang tauhid yang gigih. Ia menentang penyembahan berhala yang dilakukan kaumnya, termasuk Raja Namrud. Karena keteguhannya, Namrud memerintahkan agar Nabi Ibrahim a.s. dibakar hidup-hidup. Namun, Allah SWT dengan kuasa-Nya berfirman kepada api:
قُلْنَا يَٰنَارُ كُونِى بَرْدًا وَسَلَٰمًا عَلَىٰٓ إِبْرَٰهِيمَ
"Kami (Allah) berfirman: Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim." (QS. Al-Anbiya: 69)
Api pun menjadi dingin dan tidak membakar Nabi Ibrahim a.s. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa peristiwa penyelamatan ini terjadi di bulan Muharam, menunjukkan mukjizat Allah yang melindungi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertawakal.
Salah satu peristiwa paling menyedihkan dan signifikan dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharam adalah tragedi Karbala. Pada tanggal 10 Muharam tahun 61 Hijriah (sekitar 680 Masehi), cucu Nabi Muhammad ﷺ, Sayyidina Husain bin Ali ra, bersama dengan keluarga dan para pengikutnya, dikepung dan dibantai secara tragis oleh pasukan Khalifah Yazid bin Muawiyah di padang Karbala, Irak. Peristiwa ini adalah titik balik penting yang menyebabkan perpecahan besar dalam tubuh umat Islam dan memicu munculnya perbedaan pandangan teologis dan politik yang masih terasa hingga saat ini.
Tragedi Karbala adalah pengingat yang pahit akan bahaya perebutan kekuasaan, pengkhianatan, dan hilangnya nilai-nilai keadilan serta kasih sayang dalam konflik politik. Bagi umat Islam, khususnya Syiah, hari Asyura adalah hari berkabung yang diperingati dengan ratapan dan duka cita yang mendalam. Sementara bagi sebagian besar Muslim Sunni, hari ini dikenang sebagai hari kesyahidan Sayyidina Husain ra, sebuah pelajaran tentang kesabaran, keberanian dalam membela kebenaran, dan penolakan terhadap kezaliman, tanpa mengkhususkan ritual berkabung tertentu.
Penting untuk memahami peristiwa Karbala sebagai bagian dari sejarah Islam yang mengajarkan nilai-nilai universal seperti:
Meskipun tragis, Karbala harus menjadi momentum untuk mempersatukan umat, bukan memecah belah, dengan mengambil pelajaran dari sejarah untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan senantiasa menjaga ukhuwah Islamiyah.
Tangan yang menengadah, simbol doa, dzikir, dan permohonan ampunan.
Selain puasa Tasu'a dan Asyura, bulan Muharam adalah periode yang sangat tepat untuk memperbanyak amal kebaikan dan ibadah sunnah lainnya. Kemuliaan bulan ini menjadikan setiap amal saleh memiliki nilai yang lebih tinggi di sisi Allah SWT.
Bulan Muharam adalah bulan terbaik untuk berpuasa sunnah setelah bulan Ramadhan. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharam." (HR. Muslim)
Hadits ini menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak puasa di bulan Muharam, tidak hanya terbatas pada tanggal 9 dan 10. Seorang Muslim dapat berpuasa sunnah pada hari Senin dan Kamis, puasa Ayyamul Bidh (tanggal 13, 14, 15 Hijriah), atau puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak) di bulan ini. Semakin banyak puasa sunnah yang dilakukan, semakin besar pahala yang akan didapatkan, insya Allah.
Bersedekah adalah amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam, dan pahalanya akan dilipatgandakan di bulan-bulan yang dimuliakan seperti Muharam. Memberi makan orang yang kelaparan, membantu yatim piatu, atau menyumbang untuk kepentingan umum adalah bentuk sedekah yang sangat baik. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa sedekah pada hari Asyura memiliki keutamaan tersendiri, meskipun tidak ada hadits shahih yang secara spesifik mengkhususkannya melebihi hari lain. Namun, secara umum, bersedekah di bulan haram adalah perbuatan yang sangat dianjurkan.
Memberi nafkah lebih kepada keluarga pada hari Asyura juga merupakan tradisi yang diyakini membawa keberkahan, sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat, meskipun kekuatan haditsnya masih diperdebatkan di kalangan ulama. Namun, niat baik untuk membahagiakan keluarga adalah hal yang terpuji dalam Islam.
Bulan Muharam adalah waktu yang tepat untuk memperbanyak doa, memohon ampunan, rahmat, dan keberkahan dari Allah SWT. Mengingat bahwa ini adalah awal tahun baru Hijriah, seorang Muslim dapat memanjatkan doa untuk kebaikan diri, keluarga, dan seluruh umat Islam di sepanjang tahun yang akan datang. Dzikir seperti tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), tahlil (La ilaha illallah), dan takbir (Allahu Akbar) juga sangat dianjurkan. Membaca istighfar (Astaghfirullah) juga penting untuk membersihkan diri dari dosa-dosa yang telah lalu.
Setiap pergantian tahun adalah waktu yang ideal untuk muhasabah atau introspeksi diri. Seorang Muslim diharapkan merenungkan apa saja yang telah dilakukan selama setahun terakhir: apakah amal kebaikannya telah maksimal? Apakah dosa-dosanya telah banyak? Bagaimana hubungannya dengan Allah dan sesama manusia? Dari muhasabah ini, ia dapat membuat resolusi spiritual untuk tahun yang baru, berkomitmen untuk memperbaiki diri, meninggalkan kebiasaan buruk, dan meningkatkan ketaatan.
Mempererat tali silaturahmi adalah salah satu amalan mulia yang dianjurkan sepanjang waktu, namun bisa lebih ditekankan di bulan-bulan istimewa seperti Muharam. Mengunjungi kerabat, menyambung kembali hubungan yang terputus, atau sekadar menanyakan kabar, dapat mendatangkan keberkahan dan memperpanjang umur.
Meningkatkan pengetahuan agama adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Bulan Muharam dapat menjadi momentum untuk memulai atau meningkatkan studi Al-Quran, hadits, fiqh, dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Dengan ilmu, seorang Muslim akan dapat beribadah dengan lebih benar dan menjalani hidup sesuai tuntunan syariat.
Di balik setiap syariat dan ketetapan Allah, terdapat hikmah yang mendalam. Bulan Muharam, sebagai permulaan tahun Hijriah dan salah satu bulan haram, menyimpan banyak pelajaran berharga bagi kehidupan seorang Muslim.
Pergantian tahun adalah pengingat bahwa waktu terus berjalan, dan umur kita semakin berkurang. Setiap awal tahun baru seharusnya memicu kita untuk menghargai setiap detik yang diberikan Allah SWT. Waktu adalah anugerah terbesar dan modal utama bagi seorang hamba untuk mengumpulkan bekal akhirat. Muharam mengajarkan kita untuk tidak menyia-nyiakan waktu, melainkan mengisinya dengan amal saleh dan ketaatan.
Muharam adalah kesempatan emas untuk melakukan muhasabah secara menyeluruh. Ini bukan sekadar pergantian angka tahun, melainkan pergantian lembaran kehidupan. Apakah kita telah memanfaatkan waktu yang berlalu dengan sebaik-baiknya? Apakah kita telah menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak sesama manusia? Dari refleksi ini, kita didorong untuk membuat perencanaan perbaikan diri yang konkret dan realistis untuk tahun yang baru, agar menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Dengan adanya bulan-bulan haram dan anjuran puasa di dalamnya, Islam mendidik umatnya untuk senantiasa meningkatkan ketaqwaan dan kedisiplinan spiritual. Kemuliaan Muharam adalah stimulus untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, menjaga diri dari maksiat, dan memperbanyak ibadah. Ini melatih kita untuk konsisten dalam berbuat kebaikan, tidak hanya di bulan-bulan tertentu, tetapi sepanjang tahun.
Peristiwa-peristiwa bersejarah di bulan Muharam, seperti kisah Nabi Musa a.s. atau tragedi Karbala, mengajarkan pentingnya persatuan umat dan bahaya perpecahan. Muharam menjadi pengingat untuk senantiasa menjaga ukhuwah Islamiyah, menghindari konflik, dan belajar dari kesalahan masa lalu. Kita harus selalu mementingkan persaudaraan dan keadilan di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Meskipun Muharam adalah bulan yang mulia, tidak jarang terjadi kesalahpahaman atau praktik-praktik yang tidak memiliki dasar syar'i di kalangan masyarakat. Penting bagi seorang Muslim untuk membedakan antara ajaran Islam yang benar dengan tradisi atau mitos yang tidak berdasar.
Salah satu mitos yang cukup umum di beberapa daerah adalah larangan atau pantangan untuk menikah di bulan Muharam. Keyakinan ini seringkali dikaitkan dengan tragedi Karbala yang dianggap sebagai bulan duka, sehingga tidak baik untuk melakukan acara sukacita seperti pernikahan. Namun, dalam ajaran Islam, tidak ada satu pun dalil, baik dari Al-Quran maupun Hadits shahih, yang melarang pernikahan di bulan Muharam. Pernikahan adalah sunnah Nabi ﷺ dan dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun, kecuali pada waktu-waktu yang memang diharamkan secara syar'i seperti saat ihram haji atau umrah.
Anggapan bahwa menikah di bulan Muharam akan membawa kesialan adalah bentuk khurafat (takhayul) yang bertentangan dengan tauhid. Rezeki, jodoh, dan nasib adalah ketentuan Allah SWT, bukan dipengaruhi oleh bulan apa pernikahan dilangsungkan.
Beberapa masyarakat mungkin cenderung merayakan tahun baru Hijriah dengan cara-cara yang menyerupai perayaan tahun baru Masehi, seperti pesta kembang api, hura-hura, atau hiburan yang melalaikan. Padahal, esensi tahun baru Hijriah adalah refleksi, muhasabah, dan peningkatan ibadah. Merayakannya dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat Islam justru dapat mengurangi keberkahan bulan ini.
Umat Islam dianjurkan untuk mengisi malam dan hari-hari di bulan Muharam dengan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah, seperti dzikir, doa, membaca Al-Quran, dan puasa sunnah, bukan dengan euforia duniawi yang berlebihan.
Ada juga beberapa praktik ibadah yang dikhususkan pada bulan Muharam atau hari Asyura tanpa adanya dalil yang shahih dari syariat. Contohnya adalah:
Penting bagi umat Islam untuk senantiasa berpegang pada Al-Quran dan Sunnah yang shahih dalam beribadah, dan menghindari praktik-praktik yang tidak memiliki dasar syariat, agar amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT.
Bulan Muharam adalah anugerah besar dari Allah SWT bagi umat Islam, sebuah gerbang menuju tahun baru Hijriah yang penuh potensi spiritual. Sebagai salah satu dari empat bulan haram, ia menawarkan peluang emas untuk mengumpulkan pahala berlipat ganda melalui amal kebaikan dan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa melalui taubat dan istighfar.
Puncak kemuliaan Muharam adalah pada hari Asyura (10 Muharam), yang didampingi oleh Tasu'a (9 Muharam). Puasa pada kedua hari ini adalah sunnah muakkadah yang dijanjikan dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu, sekaligus mengenang peristiwa penyelamatan Nabi Musa a.s. dari Firaun dan sebagai wujud syukur kepada Allah SWT. Selain itu, bulan ini juga mengingatkan kita pada berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam, dari bahtera Nabi Nuh a.s. hingga tragedi Karbala, yang semuanya mengandung pelajaran mendalam tentang keimanan, kesabaran, keadilan, dan persatuan.
Oleh karena itu, marilah kita manfaatkan bulan Muharam ini dengan sebaik-baiknya. Bukan dengan perayaan duniawi yang hura-hura atau mengikuti mitos-mitos yang tidak berdasar, melainkan dengan:
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah untuk dapat menghidupkan bulan Muharam ini dengan penuh ketaatan dan keberkahan, sehingga kita dapat memulai tahun baru Hijriah dengan semangat spiritual yang lebih tinggi dan menjadi pribadi yang lebih baik di sisi-Nya. Amin ya Rabbal Alamin.