Surah Al-Maidah, yang dikenal sebagai salah satu surah Madaniyah, memuat pedoman hukum, etika, dan landasan interaksi dengan Ahli Kitab. Di antara ayat-ayatnya yang paling fundamental dalam mendefinisikan kedudukan Al-Qur'an dalam sejarah pewahyuan Ilahi adalah ayat ke-48. Ayat ini tidak hanya menegaskan kebenaran Rasulullah ﷺ, tetapi juga menetapkan peran Al-Qur'an sebagai standar tertinggi dan otoritas akhir atas semua wahyu sebelumnya.
Ayat ini sarat dengan terminologi teologis dan hukum yang mendefinisikan hubungan antara Al-Qur'an dengan Taurat (kepada Nabi Musa) dan Injil (kepada Nabi Isa). Tiga konsep utama yang harus diperdalam adalah *Mushaddiq*, *Muhaimin*, dan dikotomi *Syir'ah* dan *Minhaj*.
Frasa مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ (membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab) menunjukkan kesinambungan risalah. Al-Qur'an membenarkan tiga hal fundamental tentang kitab-kitab sebelumnya (Taurat, Injil, Zabur):
Peran *Mushaddiq* menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama baru, melainkan penyempurnaan dari agama para nabi sebelumnya.
Kata kunci مُهَيْمِنًا عَلَيْهِ (Muhaiminan 'alaih) adalah fokus utama ayat ini, memberikan Al-Qur'an otoritas tertinggi. Para ulama tafsir klasik memberikan berbagai makna yang saling melengkapi untuk *Muhaimin*:
Menurut beberapa riwayat dari salaf, terutama Ibn Abbas dan Mujahid, *Muhaimin* berarti "penjaga" (*Hafiz*) dan "saksi" (*Syahid*). Al-Qur'an menjaga ajaran yang benar yang masih tersisa dalam Taurat dan Injil, dan menjadi saksi yang membedakan mana bagian yang asli dari Allah dan mana bagian yang telah diubah atau ditambah oleh manusia (tahrif).
Imam Al-Tabari menekankan bahwa Al-Qur'an adalah standar yang mengawasi kitab-kitab sebelumnya. Jika ada ajaran dalam kitab terdahulu yang bertentangan dengan Al-Qur'an, maka ajaran itu dianggap telah dibatalkan (*mansukh*) atau telah diubah dari aslinya. Dengan kata lain, Al-Qur'an adalah hakim yang memutuskan keabsahan hukum-hukum terdahulu.
Konsep *Muhaimin* secara otomatis memunculkan doktrin *Naskh* (abrogasi) dalam syariat. Meskipun Al-Qur'an membenarkan dasar-dasar agama sebelumnya, ia membatalkan hukum-hukum praktis (furu' al-fiqh) yang spesifik bagi Bani Israil. Misalnya, hukum tentang makanan, cara salat, atau hukuman tertentu. Setelah kedatangan Al-Qur'an, syariat Nabi Muhammad ﷺ menjadi satu-satunya pedoman hukum yang sah bagi seluruh umat manusia.
Oleh karena itu, ketika Nabi Muhammad ﷺ dihadapkan pada perselisihan hukum yang dibawa oleh Ahli Kitab, beliau diperintahkan untuk memutuskan perkara tersebut menggunakan standar Al-Qur'an (فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ).
Bagian ayat ini, لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا, menjelaskan mengapa terdapat perbedaan hukum antara umat Nabi Muhammad ﷺ, umat Nabi Musa (pemilik Taurat), dan umat Nabi Isa (pemilik Injil).
*Syir'ah* (atau *syari’ah*) secara harfiah berarti "tempat sumber air mengalir" atau "jalan menuju air". Dalam konteks hukum, ia merujuk pada keseluruhan hukum praktis dan peraturan yang Allah tetapkan untuk suatu umat, seperti tata cara ibadah (salat, puasa), hukum muamalah, dan pidana.
*Minhaj* berarti "jalan yang jelas", "metode", atau "cara yang terang". Ia sering diartikan sebagai metode dakwah, pendekatan moral, dan jalan yang lebih spesifik dan detail dalam melaksanakan *Syir'ah*. Sebagian ulama menafsirkan *Syir'ah* dan *Minhaj* sebagai sinonim yang menguatkan (redundansi sastra), namun tafsir yang lebih kuat membedakan keduanya, di mana *Syir'ah* adalah badan hukumnya dan *Minhaj* adalah cara menjalankannya.
Ayat ini secara eksplisit menjelaskan bahwa perbedaan syariat (hukum) antar umat bukanlah suatu kebetulan, melainkan kehendak ilahi untuk tujuan spesifik: وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ (tetapi [Allah berkehendak] menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu).
Hikmah dari variasi syariat meliputi:
Perintah فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ (Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah) adalah perintah tegas kepada Nabi Muhammad ﷺ dan, setelahnya, kepada seluruh penguasa Muslim untuk berhukum hanya dengan Al-Qur'an. Ayat ini memperkuat status Al-Qur'an sebagai sumber hukum utama dan mutlak.
Ayat 48 ini diturunkan setelah ayat-ayat sebelumnya (5:42-47) yang membahas kewajiban Ahli Kitab untuk berhukum dengan kitab mereka sendiri (Taurat dan Injil). Ayat 48 menyempurnakan pedoman ini dengan menetapkan:
Larangan keras وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ (dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu) berfungsi sebagai peringatan universal bagi umat Islam agar tidak mengorbankan syariat demi menyenangkan pihak lain atau mengikuti tren sesaat, terutama jika itu berarti menjauhi wahyu Ilahi.
Pernyataan bahwa perbedaan syariat adalah ujian harus dipahami dalam konteks ketaatan. Allah mampu menjadikan umat manusia bersatu dalam satu syariat sejak awal zaman, namun Dia memilih variasi. Kehendak Allah (Masyi'ah) dalam menciptakan keragaman hukum bertujuan untuk mengukur tingkat ketulusan dan kepatuhan umat manusia dalam menghadapi perintah dan larangan yang berbeda-beda. Ini mendorong umat untuk fokus pada tujuan fundamental agama, yaitu tauhid dan keadilan, daripada terjebak dalam perdebatan hukum yang bersifat parsial.
Setelah menjelaskan adanya perbedaan syariat antarumat, ayat ini menutup dengan seruan agung yang melampaui batas-batas hukum: فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ (Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan). Ini adalah puncak dari pesan universal ayat 48.
Apabila umat manusia memiliki syariat yang berbeda, mereka tidak perlu berdebat tak berkesudahan tentang detail hukum yang telah diatur oleh Allah. Sebaliknya, mereka harus menyalurkan energi mereka untuk hal yang pasti diterima dan dihargai oleh semua syariat Ilahi: melakukan kebaikan (*al-khairat*).
Konsep "berlomba-lomba" (*Istibaq*) mengimplikasikan:
Seruan ini memastikan bahwa meskipun umat Nabi Musa memiliki hukum *A* dan umat Nabi Muhammad memiliki hukum *B*, tujuan mereka (yaitu meraih ridha Allah melalui perbuatan baik) tetap sama. Semua kembali kepada Allah (إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا) dan pada Hari Kiamat, Dia akan memberitahukan kebenaran hakiki dari semua perselisihan yang terjadi di dunia.
Dalam konteks modern, di mana dialog antaragama menjadi semakin penting, peran Al-Qur'an sebagai *Muhaimin* sering dibahas bukan hanya sebagai pembatal hukum, tetapi juga sebagai otoritas yang memulihkan teks asli. Para mufassir kontemporer memperluas makna *Muhaimin* sebagai berikut:
Al-Qur'an berfungsi sebagai filter. Ia membenarkan prinsip-prinsip ketuhanan yang murni (tauhid) dalam Taurat dan Injil yang mungkin telah kabur atau terkontaminasi oleh interpretasi manusia. Ini berarti Al-Qur'an memulihkan esensi dari ajaran monoteisme murni yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa, menegaskan bahwa semua rasul mengajarkan hal yang sama: kepasrahan total kepada Tuhan Yang Esa.
Peran ini sangat vital karena ia memberikan basis teologis yang kokoh bagi Muslim untuk memahami kitab suci agama lain tanpa harus terjebak dalam kontroversi perubahan teks. Yang menjadi standar adalah apa yang disaksikan dan dikonfirmasi oleh Al-Qur'an.
Meskipun terdapat perbedaan dalam *Syir'ah* dan *Minhaj*, ayat ini menekankan kesatuan sumber ilahi. Allah adalah Dzat Yang Maha Berkehendak. Kekuatan-Nya untuk menjadikan semua umat manusia satu (*Ummatan Wahidah*) sangat jelas. Fakta bahwa Dia tidak memilih jalan tersebut menunjukkan bahwa variasi adalah bagian dari rencana kosmis-Nya. Kesadaran akan kehendak Allah ini seharusnya meredakan perpecahan, karena perbedaan ritual atau hukum pidana bukanlah dasar untuk permusuhan, melainkan hanya sarana ujian.
Tujuan akhirnya tetap sama: mendekatkan diri kepada Sang Pencipta melalui ketaatan (Taqwa). Inilah mengapa seruan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan diletakkan di tengah pembahasan perbedaan syariat. Kebaikan adalah bahasa universal yang melampaui batas-batas hukum spesifik.
Dengan menjadi *Muhaimin*, Al-Qur'an menawarkan kekuatan argumentatif (hujjah) yang tak tertandingi. Ketika berhadapan dengan Ahli Kitab, Nabi Muhammad ﷺ tidak perlu mengandalkan Taurat atau Injil yang mungkin telah tercampur dengan unsur manusia. Beliau memiliki wahyu baru, yang dijamin kemurniannya, untuk dijadikan otoritas tunggal dalam berhukum dan berdebat. Ini adalah penegasan kedaulatan risalah terakhir.
Perintah tegas untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah memiliki kaitan erat dengan ayat-ayat sebelumnya dalam Al-Maidah (khususnya 44, 45, 47), yang menyebut Ahli Kitab yang tidak berhukum dengan wahyu sebagai orang-orang kafir, zalim, atau fasik. Meskipun konteks ayat 48 lebih ditujukan pada interaksi dengan non-Muslim dalam putusan hukum, prinsip dasarnya berlaku secara universal bagi umat Islam:
Kewajiban menjalankan hukum Allah adalah keharusan, dan meninggalkannya karena mengikuti hawa nafsu (وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ) adalah pelanggaran serius. Ulama membedakan tiga tingkatan bahaya ketika meninggalkan hukum Allah:
Jika seseorang meyakini bahwa hukum selain hukum Allah lebih baik, atau bahwa ia bebas memilih hukum mana pun tanpa konsekuensi, maka ia jatuh pada kekafiran besar (*Kufur Akbar*).
Jika seseorang mengakui bahwa hukum Allah adalah yang terbaik, namun ia meninggalkannya dalam kasus tertentu karena kepentingan pribadi, suap, atau hawa nafsu, sambil tetap meyakini keunggulan syariat, maka ini adalah kezaliman atau kefasikan tingkat tinggi, sering disebut *Kufur Duna Kufur* (kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam, namun tetap dosa besar).
Ayat 48 menekankan bahwa bahkan di tengah perbedaan pandangan Ahli Kitab, kebenaran dari wahyu Ilahi (Al-Qur'an) tidak boleh ditinggalkan. Ini menunjukkan bahwa ketaatan terhadap syariat adalah refleksi dari keimanan yang sejati.
Akhir dari ayat ini memberikan perspektif eskatologis yang penting: إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan).
Kalimat ini memberikan kepastian dan ketenangan. Ketika manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, berselisih mengenai doktrin, hukum, atau tafsiran kitab suci, perselisihan tersebut tidak akan dibiarkan tanpa jawaban. Allah, pada Hari Kiamat, akan menjadi hakim akhir yang akan mengungkapkan kebenaran mutlak. Hal ini mengalihkan fokus umat Islam dari menghabiskan waktu berlebihan dalam perdebatan tak berujung menuju aksi nyata (berlomba dalam kebaikan).
Ayat 48, dengan seluruh kedalaman maknanya, menempatkan Al-Qur'an pada posisi sentral dan tak tergantikan dalam kehidupan spiritual dan hukum umat manusia. Ia adalah pembenar kebenaran lama, penjaga kemurnian ajaran, dan penentu hukum yang sah dan berlaku hingga akhir zaman. Dengan memahami peran *Muhaimin*, setiap Muslim ditegaskan untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai satu-satunya otoritas dalam setiap aspek kehidupan, sambil tetap menjunjung tinggi semangat berlomba-lomba dalam kebajikan sebagai manifestasi keimanan yang paling tinggi.
Untuk memahami sepenuhnya kekayaan makna ayat 48, perlu diperhatikan struktur gramatikal dan pilihan kata yang spesifik dalam bahasa Arab:
Ayat ini dimulai dengan وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ (Dan Kami telah turunkan Kitab kepadamu). Penggunaan kata kerja *anzalna* (Kami turunkan), dalam bentuk jamak kemuliaan, menekankan keagungan dan keilahian sumber Al-Qur'an. Ini bukan sekadar inspirasi, tetapi penurunan yang diatur dan terstruktur.
Kata *Muhaiminan* adalah *ism fa’il* (kata sifat aktif) dari akar kata *Haymana*, yang berarti mengawasi, mengontrol, atau melindungi. Penempatannya dalam ayat ini sebagai sifat yang mengikuti *Mushaddiqan* menunjukkan bahwa peran Al-Qur'an tidak pasif (sekadar membenarkan), melainkan aktif dan dominan (mengawasi dan menentukan). Hubungan antara *Mushaddiq* dan *Muhaimin* adalah hierarkis; Al-Qur'an membenarkan di tingkat akidah, tetapi mengungguli dan menentukan di tingkat syariat.
Meskipun kedua kata ini memiliki arti yang sangat mirip—jalan atau metode—penggunaan keduanya secara berpasangan dalam satu ayat (dikenal sebagai *ta’kid* atau penekanan, atau *itbā’* atau pengikut) oleh ahli balaghah menunjukkan penekanan pada keseluruhan sistem hukum. Syir’ah mungkin merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang luas, sementara Minhaj merujuk pada detail praktis atau tradisi kenabian (Sunnah) yang menafsirkan syariat tersebut.
Beberapa ulama tafsir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam *Fi Zilal al-Qur'an*, menekankan bahwa Syir'ah adalah undang-undang dasar, sedangkan Minhaj adalah sistem pelaksanaan dan metode operasional dari undang-undang tersebut. Dalam konteks ini, setiap umat memiliki sistem uniknya sendiri, tetapi semua sistem itu bersumber dari Allah Yang Maha Esa.
Pemahaman mengenai sebab-sebab spesifik turunnya ayat 48 Al-Maidah, yang secara umum diturunkan di Madinah pasca-Hijrah, sangat penting. Ayat-ayat sebelumnya (khususnya 42–47) berkaitan dengan perselisihan hukum yang dibawa oleh Ahli Kitab (Yahudi) kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Menurut riwayat yang sering dikutip, kasus yang memicu penurunan ayat-ayat ini melibatkan kasus perzinahan (hukuman rajam). Dalam Taurat, hukuman rajam sudah ada, tetapi para pemimpin Yahudi di Madinah pada masa itu sering mengabaikannya karena hukuman itu dianggap terlalu berat, terutama bagi kalangan bangsawan. Mereka mencoba membawa kasus tersebut kepada Nabi Muhammad ﷺ, berharap beliau akan menetapkan hukuman yang lebih ringan (seperti cambuk atau diarak) yang mereka adopsi sebagai pengganti rajam.
Ayat-ayat ini turun untuk menjawab dilema Nabi ﷺ: haruskah beliau berhukum dengan hukum Taurat yang sebenarnya atau dengan hukum yang telah mereka ubah, ataukah dengan syariat Islam?
Jawabannya tegas: Nabi diperintahkan untuk berhukum dengan Al-Qur'an (بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ). Perintah ini menunjukkan bahwa meskipun Taurat itu benar dari Allah, Al-Qur'an adalah otoritas yang lebih tinggi dan syariat yang berlaku saat ini. Jika hukum Al-Qur'an sesuai dengan Taurat yang asli (seperti dalam kasus rajam), maka Al-Qur'an membenarkannya; jika tidak, hukum Al-Qur'an yang berlaku karena ia adalah *Muhaimin*.
Melalui ayat ini, kedudukan Nabi Muhammad ﷺ ditegaskan sebagai hakim universal, bukan hanya pemimpin bagi umat Muslim, tetapi juga sebagai otoritas tertinggi yang dapat menyelesaikan perselisihan Ahli Kitab, asalkan putusannya didasarkan pada wahyu Al-Qur'an.
Ayat 48 merupakan manifestasi praktis dari tauhid rububiyyah (ketuhanan) dan tauhid uluhiyyah (peribadatan), khususnya dalam aspek *tauhid al-Hakimiyyah* (tauhid dalam kekuasaan legislatif).
Ketika Allah memerintahkan, "Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah," ini menegaskan bahwa kekuasaan untuk menetapkan hukum, syariat, dan sistem kehidupan hanya milik Allah semata. Mengikuti hukum buatan manusia yang bertentangan dengan wahyu, atau mengikuti hawa nafsu Ahli Kitab, adalah bentuk pelanggaran terhadap tauhid al-Hakimiyyah.
Penerimaan seorang Muslim terhadap syariat Nabi Muhammad ﷺ sebagai *Syir'ah* dan *Minhaj* yang terakhir dan paling sempurna adalah pengakuan praktis bahwa Allah adalah satu-satunya legislator yang berhak diikuti. Meskipun hukum Taurat dan Injil (yang asli) pernah benar, kepatuhan sekarang harus dialihkan sepenuhnya kepada Al-Qur'an, yang merupakan wahyu yang tidak pernah dicabut dan selalu dijaga kemurniannya oleh Allah.
Konsep *Muhaimin* memastikan bahwa meskipun Al-Qur'an mengakhiri periode nabi-nabi sebelumnya, ia melakukannya dengan penuh penghormatan terhadap sumber Ilahi mereka, namun menetapkan kedaulatan hukumnya sendiri sebagai penutup risalah kenabian.
Seruan untuk berlomba dalam kebaikan memiliki relevansi abadi, terutama di dunia yang semakin terfragmentasi oleh perbedaan ideologi dan hukum. Apa bentuk perlombaan kebaikan yang paling utama?
Berlomba dalam pemahaman dan penerapan ilmu. Kebaikan tertinggi adalah ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah. Perlombaan mencakup penelitian, pembelajaran Al-Qur'an dan Sunnah, serta penyebaran ilmu yang bermanfaat.
Ini mencakup keadilan, amal, menolong yang lemah, dan menjaga etika universal. Di tengah perbedaan syariat antarumat, keadilan sosial dan integritas moral adalah titik temu universal yang dihargai oleh Allah dalam setiap ajaran. Perlombaan dalam kebaikan sosial berarti memastikan lingkungan sekitar menjadi tempat yang lebih adil dan beradab.
Yang paling utama adalah berlomba dalam ibadah wajib dan sunnah (kualitas salat, puasa yang ikhlas, haji yang mabrur). Ini adalah ranah yang sepenuhnya pribadi antara hamba dan Rabb-nya, yang merupakan inti dari *Syir'ah* Islam.
Ayat ini mengajarkan kepada Muslim bahwa meskipun kita yakin syariat kita adalah yang paling sempurna dan berlaku, interaksi dengan umat lain harus diarahkan pada aspek-aspek kebaikan dan kemanusiaan universal. Daripada terperangkap dalam perdebatan hukum yang telah diputuskan oleh Allah, fokus energi harus dialihkan pada bagaimana kita bisa menjadi komunitas yang paling unggul dalam melakukan kebajikan. Kebenaran absolut akan diungkapkan pada hari semua kembali, menjamin bahwa tidak ada amal saleh yang sia-sia, terlepas dari latar belakang syariatnya, selama ia dilakukan dengan keikhlasan kepada Allah Yang Maha Esa.
Perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan ini adalah kesimpulan logis dari pengakuan adanya variasi syariat sebagai ujian. Jika hidup adalah ujian (li-yabluwakum), maka respons terbaik terhadap ujian tersebut adalah maksimalisasi amal saleh. Ini adalah panggilan untuk tindakan nyata, bukan sekadar perselisihan teoretis.
Maka, Surah Al-Maidah ayat 48 berdiri tegak sebagai pilar keimanan yang mengatur hierarki wahyu, menetapkan keutamaan Al-Qur'an sebagai pedoman akhir dan universal, sekaligus mendorong seluruh umat manusia—terlepas dari perbedaan syariat dan hukum mereka—untuk berfokus pada tujuan mulia, yaitu mencapai kesempurnaan moral dan spiritual melalui perlombaan dalam segala bentuk kebaikan. Semuanya akan terungkap kebenarannya di hadapan Allah SWT, di mana Dia akan memberikan keputusan akhir atas semua yang diperselisihkan.
Inti dari ayat ini adalah pengukuhan janji Allah bahwa ketaatan yang tulus, yang dibuktikan dengan amal saleh yang maksimal, adalah jalan keselamatan, dan bahwa Al-Qur'an adalah pelita yang menjaga jalan tersebut tetap terang dan murni dari kesesatan dan perubahan, hingga Hari Perhitungan tiba.