Sebuah Autobiografi Sunda: Merangkai Kisah, Menghidupkan Tradisi
Saya dilahirkan di tengah selimut kabut pagi yang dingin, di sebuah kampung kecil yang sunyi, jauh di pelosok selatan Parahyangan. Udara di sana selalu membawa aroma basah lumut dan tanah yang baru diolah. Inilah rahim tempat jiwa saya dibentuk; di bawah lindungan gunung yang puncaknya tak pernah sepenuhnya terlihat karena selalu diselimuti mistis, dan di tepi sawah yang airnya mengalir abadi dari mata air pegunungan. Saya adalah anak Sunda, dan Kasundaan bukan hanya identitas pada kartu penduduk, melainkan seluruh sistem yang mengatur napas, langkah, dan pandangan hidup saya.
Ingatan pertama saya bukanlah tentang mainan mewah atau hiruk pikuk kota, melainkan suara. Suara Gamelan Degung yang sayup-sayup terdengar dari bale desa saat ada acara, suara lesung yang ditumbuk irama pagi saat Ibu membuat tepung beras, dan yang paling utama, suara Ema (Ibu) dan Abah (Ayah) yang selalu menggunakan bahasa Sunda halus (Lemes) saat berbicara dengan tetua, tetapi berganti menjadi Sunda loma (akrab) saat kami di rumah. Sejak kecil, saya sudah belajar bahwa bahasa adalah cermin strata, cermin rasa hormat, dan pondasi utama tatanan sosial kami.
Kehidupan kami terikat erat dengan siklus pertanian. Setiap pergantian musim adalah upacara. Kami tidak sekadar menanam padi, kami ‘merawat Nyi Pohaci’ (Dewi Padi). Abah mengajarkan, sawah bukanlah properti; sawah adalah mitra kehidupan. Filosofi ini, yang tertanam melalui tradisi Tatali Paranti, membentuk pemahaman awal saya tentang ekologi dan spiritualitas. Kami tidak boleh serakah; mengambil harus seimbang dengan memberi. Prinsip ini akan menjadi kompas saya saat nanti harus berhadapan dengan keganasan modernisasi di kota besar.
Lingkungan masa kecil saya adalah laboratorium spiritual. Kami hidup berdampingan dengan hutan yang dianggap keramat, tempat leluhur bersemayam. Terdapat sebuah ranca (rawa) di belakang rumah yang tidak boleh disentuh, tidak boleh dijamah, karena dipercaya sebagai tempat berkumpulnya siluman cai. Ketakutan itu bukanlah ketakutan buta, melainkan mekanisme kearifan lokal untuk melestarikan sumber daya air dan keanekaragaman hayati. Rasa hormat terhadap yang ‘Gaib’ adalah cara menghormati alam itu sendiri.
Nini (Nenek), seorang wanita yang punggungnya sudah melengkung namun semangatnya setajam bambu runcing, adalah pustaka berjalan. Saya sering duduk di bawah cahaya lampu minyak, mendengarkan kisahnya. Ia selalu mengulang-ulang tiga pilar utama kehidupan Sunda: Silih Asih (saling mengasihi), Silih Asah (saling mengasah pengetahuan), dan Silih Asuh (saling mengayomi). Ini bukan sekadar pepatah; ini adalah kode etik komunitas. Jika ada yang sakit, seluruh kampung bergerak. Jika ada yang panen, rezeki dibagi rata, setidaknya dalam bentuk rasa syukur dan saling membantu (gugur gunung atau gotong royong).
Nini juga menanamkan konsep “Cageur, Bageur, Pinter” (Sehat fisik, Baik hati, Cerdas akal). Dia menekankan bahwa kecerdasan tanpa kebaikan adalah kehancuran, dan kebaikan tanpa kesehatan adalah nihil. Pintu rumah kami selalu terbuka, sesuai dengan ajaran Sunda bahwa setiap tamu adalah utusan, dan setiap perjumpaan membawa hikmah. Pengalaman ini mengajari saya empati melampaui batas-batas keluarga inti.
Pada usia tujuh tahun, saya mulai membantu Abah di sawah, merasakan kerasnya tanah di telapak kaki, dan melihat bagaimana ketekunan menghasilkan kehidupan. Di sanalah saya memahami makna dari “Huma”—bukan hanya lahan tanam, tetapi sistem kekeluargaan yang saling mendukung. Prosesi *Seren Taun* (Pesta Panen) selalu menjadi puncak perayaan, saat kami bersatu padu, menari, menyanyikan kidung kuno, dan memastikan bahwa jiwa komunitas tetap hidup, terlepas dari kemiskinan materi yang mungkin kami hadapi.
Keputusan Abah menyekolahkan saya hingga ke jenjang yang lebih tinggi adalah sebuah anomali di kampung kami. Ia selalu berkata, “Dunia di luar sana sedang bergerak cepat. Kau harus tahu cara membacanya, tetapi jangan biarkan ia mengubah hatimu.” Perjalanan menuju sekolah dasar memakan waktu satu jam berjalan kaki melewati pematang sawah dan sungai kecil. Di kelas, saya belajar tentang geografi dunia, tetapi di rumah, saya belajar geografi sungai Citarum yang alirannya adalah nadi kehidupan kami.
Ketika saya beranjak remaja, Abah memutuskan untuk mengirim saya ke Bandung untuk melanjutkan Sekolah Menengah. Inilah kali pertama saya meninggalkan aroma tanah dan kabut kampung. Transisi ini adalah kejutan budaya yang dahsyat. Dari keheningan alam, saya dilemparkan ke dalam kebisingan klakson dan beton yang menjulang. Di kota, bahasa Sunda mulai terdesak, berganti dengan bahasa Indonesia yang kaku dan cepat. Saya mulai merasa malu menggunakan bahasa Sunda Leutik (logat kampung) saya. Konflik batin ini sangat menyiksa.
Di sekolah, teman-teman menertawakan aksen saya. Mereka bicara tentang tren terbaru, sementara saya merindukan suara suling di malam hari. Untuk bertahan, saya mencoba melebur: mengganti dialek, menggunakan pakaian yang lebih modern, dan menekan memori tentang upacara adat. Namun, upaya penolakan ini justru membuat saya merasa hampa. Ada bagian dari diri saya yang mati lemas.
“Jati diri Sunda itu seperti akar pohon. Kau bisa memotong dahan dan rantingnya, tetapi akarnya harus tetap menancap di tanah. Jika akar dicabut, pohon itu akan mati, tidak peduli seberapa indah daun yang kau tempelkan.”
Titik balik terjadi saat kuliah. Saya mengambil jurusan Sastra Daerah. Ini adalah keputusan kontroversial. Banyak yang menyarankan jurusan yang "lebih menjanjikan" seperti Teknik atau Ekonomi. Namun, saya merasa terpanggil untuk kembali ke akar. Saya ingin memahami secara ilmiah apa yang telah Nini ajarkan secara lisan. Saya mulai membaca naskah kuno, mempelajari aksara Sunda kuno (Kaganga), dan mendalami makna di balik cerita-cerita rakyat yang dulu saya dengar sebelum tidur.
Saat mempelajari bab mengenai Kerajaan Pajajaran, khususnya mengenai nilai-nilai yang ditinggalkan Prabu Siliwangi, saya menyadari bahwa Kasundaan adalah peradaban yang kaya, bukan sekadar stereotip "orang kampung" yang melekat pada saya. Saya belajar bahwa Sunda memiliki konsep kosmologi yang kompleks, filsafat *Tri Tangtu di Buana* (tiga tatanan dunia), dan etika lingkungan yang jauh melampaui zamannya. Konflik batin saya mulai mereda; rasa malu berganti menjadi kebanggaan yang terstruktur.
Melalui Sastra Daerah, saya menemukan kembali kekayaan bahasa yang sempat saya tinggalkan. Saya belajar bahwa ada lebih dari 30 tingkatan rasa dalam bahasa Sunda, yang memungkinkan komunikasi dilakukan dengan nuansa hormat, akrab, atau jenaka, semua pada saat yang bersamaan. Penggunaan kata "punten" (permisi/maaf) bukan sekadar basa-basi, melainkan pengakuan bahwa keberadaan kita selalu bergantung pada ruang dan orang lain. Ini adalah etika kolektif yang hilang dalam hiruk pikuk individualisme kota.
Saya mulai aktif dalam komunitas budaya mahasiswa, mengadakan pementasan tari dan musik tradisional. Saya belajar memainkan alat musik Kecapi Suling. Suara Kecapi yang mendayu-dayu, yang disebut "tangisnya jiwa", adalah suara rumah yang sesungguhnya. Ketika jari-jari saya menyentuh senar Kecapi, saya merasakan koneksi langsung dengan Nini dan Abah, dengan sawah dan sungai. Kota Bandung yang tadinya terasa asing, kini menjadi medan juang untuk melestarikan warisan leluhur.
Perjalanan akademis ini tidak hanya memperkaya pengetahuan saya tentang aksara dan sastra, tetapi juga membuka mata saya pada ancaman nyata terhadap budaya kami. Globalisasi, industrialisasi, dan serbuan budaya pop telah menggerus nilai-nilai luhur Sunda. Generasi muda mulai melupakan Pantun Sunda, tradisi lisan yang sarat akan sejarah dan moral. Mereka lebih fasih dalam bahasa asing ketimbang bahasa ibu mereka sendiri. Saya merasa memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk menjadi jembatan antara masa lalu yang agung dan masa depan yang serba cepat.
Pada masa kuliah inilah saya mulai mendalami ritual spiritual yang sering dilakukan Abah dan Nini, seperti praktik Puasa Sunyi atau dikenal dalam beberapa tradisi Sunda Wiwitan sebagai Kawalu. Ini adalah periode refleksi, menjauhkan diri dari keramaian, dan fokus pada pembersihan hati. Puasa ini mengajarkan saya untuk mengontrol nafsu dan mendengarkan suara alam semesta, yang bagi leluhur kami, adalah manifestasi Ilahi. Di tengah kota yang penuh godaan, praktik ini menjadi jangkar yang kuat. Saya belajar bahwa kemajuan tidak harus berarti meninggalkan spiritualitas; justru, spiritualitas Sunda yang berakar pada alam memberikan ketahanan mental untuk menghadapi tekanan modernitas.
Salah satu pelajaran terbesar dari praktik Kawalu adalah tentang *“Jagat Leutik”* (Dunia Kecil – Diri sendiri) dan *“Jagat Gedé”* (Dunia Besar – Alam semesta). Keseimbangan di Jagat Leutik (keseimbangan emosi, pikiran, dan hati) adalah prasyarat untuk hidup selaras dengan Jagat Gedé. Selama tiga hari meditasi sunyi di kamar kos kecil, saya menemukan ketenangan yang tak pernah bisa diberikan oleh kebisingan kota. Saya menyadari bahwa nilai-nilai Sunda mengajarkan pengendalian diri, bukan pengekangan. Keseimbangan inilah yang saya bawa dalam setiap langkah, baik dalam studi maupun kehidupan sosial.
Pemahaman ini mendorong saya untuk menulis sebuah skripsi yang sangat ambisius: analisis komparatif antara etika lingkungan dalam naskah kuno Sunda dan konsep pembangunan berkelanjutan modern. Saya menemukan bahwa leluhur Sunda sudah menerapkan konsep *sustainable development* ribuan tahun lalu melalui aturan tidak tertulis mengenai pelestarian hutan larangan (Leuweung Larangan) dan ketaatan pada siklus alam. Skripsi ini tidak hanya memberi saya gelar, tetapi juga mengukuhkan tekad saya untuk menjadi penjaga warisan budaya ini.
Setelah lulus, pilihan karier saya jelas: kembali ke komunitas dan bekerja di bidang revitalisasi budaya. Banyak teman yang memilih pekerjaan korporat di Jakarta, namun panggilan Bumi Parahyangan terlalu kuat. Saya memutuskan untuk mengajar di sebuah lembaga pendidikan yang fokus pada pengajaran Bahasa dan Budaya Sunda, sekaligus menjadi aktivis di berbagai komunitas adat.
Tantangan terbesar yang saya hadapi adalah melawan stigma bahwa budaya lokal adalah sesuatu yang kuno, lambat, dan tidak relevan. Banyak orang tua, ironisnya, yang enggan mengajarkan Sunda kepada anak-anak mereka, khawatir hal itu akan menghambat kemajuan mereka di era digital. Tugas saya adalah menunjukkan bahwa Kasundaan adalah filosofi yang sangat modern, yang menawarkan solusi untuk krisis identitas dan lingkungan.
Saya memulai program yang disebut “Nyunda di Era Digital”. Kami menggunakan media sosial, video pendek, dan bahkan game sederhana untuk memperkenalkan aksara Kaganga kepada remaja. Kami mengubah format Pantun dan Carita (cerita) kuno menjadi podcast yang menarik, dan mengadakan lokakarya ‘Riksa Budaya’ yang mengajarkan keterampilan praktis seperti membatik motif Parahyangan dan memainkan alat musik bambu (Calung dan Angklung).
Salah satu proyek paling berkesan adalah mendokumentasikan tradisi lisan dari komunitas adat Baduy Luar, yang meski bukan termasuk wilayah Parahyangan, memiliki akar spiritual yang sama kuatnya dengan konsep Sunda Kuno. Perjalanan ke pedalaman Baduy mengajarkan saya tentang kemurnian hidup yang sesungguhnya. Mereka hidup tanpa listrik, tanpa telepon, tetapi memiliki tatanan sosial yang harmonis dan etika lingkungan yang sempurna. Mereka adalah cermin hidup tentang bagaimana seharusnya manusia Sunda berinteraksi dengan alam: “Lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung” (Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung)—prinsip kesederhanaan dan tidak mengubah takdir atau hukum alam.
Dari Baduy, saya belajar tentang filosofi ‘Tara Luar, Tara Dahar, Tara Kudu’ (Tidak berlebihan, Tidak serakah, Tidak harus). Prinsip ini saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari saya. Ini adalah anti-tesis sempurna terhadap konsumerisme yang merajalela di perkotaan. Ketika saya kembali ke kota, saya membawa serta ketenangan dan kesederhanaan yang mendalam dari Baduy, menjadikannya perisai saya dari stres dan ambisi yang tidak sehat.
Meskipun saya tinggal di Bandung, hati saya sering kembali ke kampung halaman di selatan. Setelah bertahun-tahun merantau dan belajar, saya kembali dengan pengetahuan dan bekal yang lebih matang. Saya melihat bahwa kampung saya mulai berubah. Sawah-sawah mulai dikonversi menjadi perumahan, dan anak-anak muda lebih memilih bekerja di pabrik daripada bertani.
Saya bersama beberapa pemuda lokal mendirikan sebuah sanggar budaya yang fokus pada pertanian berbasis kearifan lokal. Kami menghidupkan kembali konsep *“Lumbung Padi”* (Leuit), sistem penyimpanan padi yang menjamin ketersediaan pangan sepanjang tahun dan mencegah kelaparan, sebuah praktik yang hampir punah karena digantikan oleh sistem penjualan tunai. Kami mengajarkan bahwa bertani bukan pekerjaan rendahan, melainkan pekerjaan paling mulia, karena ia memberi kehidupan.
Melalui sanggar ini, kami tidak hanya menanam padi varietas lokal yang hampir punah (seperti Pare Gajah), tetapi juga menanam rasa bangga pada identitas Sunda. Kami mengadakan kelas Bahasa Sunda khusus untuk orang dewasa yang sudah lama meninggalkannya, sebuah proses yang disebut “Ngamumule Basa Indung” (melestarikan bahasa ibu). Melihat para tetua tersenyum karena bahasa mereka kembali dihargai, adalah kepuasan terbesar yang saya rasakan.
Salah satu tradisi yang kami hidupkan kembali dengan sukses adalah Kawih Sunda, lagu-lagu tradisional yang liriknya mengandung narasi sejarah dan kritik sosial yang lembut. Kami menggabungkan musik Kawih dengan instrumen modern, menciptakan fusi yang menarik bagi generasi Z. Kami membuktikan bahwa tradisi tidak harus beku; ia harus cair, adaptif, dan mampu berdialog dengan zaman.
Kami juga mengadakan workshop tentang arsitektur tradisional Sunda, khususnya konsep Imah Panggung. Rumah panggung bukan sekadar desain; ia adalah manifestasi dari harmoni lingkungan. Kolong rumah (kandang) yang tinggi berfungsi melindungi dari banjir dan hewan liar, sementara atap yang curam sangat efektif menghadapi curah hujan tinggi di wilayah Parahyangan. Belajar membangun rumah panggung adalah belajar tentang fisika lingkungan dan respek terhadap topografi bumi.
Saya menghabiskan bertahun-tahun untuk mendokumentasikan secara rinci setiap detail kecil dari arsitektur ini, dari penggunaan ijuk sebagai atap alami yang bisa bertahan hingga puluhan tahun, hingga filosofi penempatan pintu dan jendela yang selalu menghadap arah matahari terbit dan terbenam, selaras dengan konsep peredaran waktu. Saya percaya bahwa dengan mendokumentasikan, kita tidak hanya melestarikan bentuk fisiknya, tetapi juga pengetahuan yang terkandung di dalamnya.
Perjalanan autobiografi Sunda ini bukan hanya tentang tempat dan tindakan, tetapi juga tentang evolusi pemikiran. Setelah melalui berbagai konflik identitas, saya sampai pada pemahaman inti dari filsafat Sunda, yang sering disimpulkan dalam konsep “Hirup Sauyunan” (hidup dalam kebersamaan/harmoni) dan “Dunya Titipan” (dunia adalah titipan).
Hidup Sauyunan menuntut kita untuk selalu menjaga hubungan horizontal: dengan tetangga, komunitas, dan bahkan makhluk hidup lain. Ini adalah penolakan terhadap individualisme ekstrem. Saya belajar bahwa keberhasilan pribadi harus selalu diukur dari kontribusinya terhadap kesejahteraan bersama. Saya tidak bisa bahagia jika tetangga saya menderita. Kebahagiaan adalah milik komunal, bukan individual.
Sedangkan Dunya Titipan adalah pengingat konstan bahwa segala materi dan jabatan yang kita miliki hanyalah pinjaman. Ini mengajarkan kerendahan hati dan tanggung jawab. Hutan yang kita tebang, air yang kita cemari, semuanya akan diwariskan. Konsep ini memberikan makna yang sangat mendalam pada konservasi lingkungan. Kami bukan pemilik, melainkan penjaga sementara. Pemahaman ini sangat penting bagi saya ketika saya mulai terlibat dalam advokasi isu-isu lingkungan di Jawa Barat, melawan eksploitasi alam yang tidak terkendali.
Saya menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari Kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian, teks kuno yang memuat petunjuk moral dan etika. Di dalamnya, ada panduan detail tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin (Raja), seorang spiritualis (Resi), dan seorang petani (Rama). Teks ini menegaskan bahwa tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan kehidupan sehari-hari; semua adalah bagian dari upaya untuk mencapai *Kasepuhan* (kebijaksanaan usia).
Dalam proses pembelajaran yang panjang ini, saya juga menyadari peran penting perempuan Sunda, yang dalam tatanan tradisional sering disebut sebagai ‘Ibu Pertiwi’ atau manifestasi dari Nyi Pohaci. Perempuanlah yang menjaga tradisi lisan, yang mengajarkan bahasa ibu, dan yang memastikan bahwa dapur tetap berasap (simbol kemakmuran). Ema saya, yang mungkin tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi formal, adalah ahli botani, ahli gizi, dan filosof ulung, semua dalam satu paket. Menghormati perempuan adalah menghormati sumber kehidupan itu sendiri.
Pada akhirnya, Kasundaan harus berhadapan dengan Revolusi Industri 4.0. Bagaimana tradisi lisan bertahan di era TikTok? Bagaimana etika lingkungan Sunda dapat diterapkan di tengah kebutuhan pembangunan infrastruktur besar-besaran? Ini adalah pertanyaan yang saya coba jawab melalui karya-karya saya, baik tulisan, pementasan, maupun advokasi.
Saya percaya, solusinya bukan menolak modernitas, melainkan menyaringnya dengan saringan kearifan lokal. Teknologi harus menjadi alat untuk menyebarkan nilai-nilai Sunda, bukan sebaliknya. Misalnya, kami menggunakan teknologi pemetaan digital untuk melacak batas-batas hutan adat dan sawah organik, mengintegrasikan pengetahuan leluhur dengan data ilmiah modern. Inilah esensi dari Silih Asah di abad ke-21.
Salah satu proyek ambisius terakhir saya adalah menyusun kamus Sunda-Indonesia-Inggris digital yang terintegrasi dengan konteks budaya. Tujuannya adalah memastikan bahwa nuansa makna (seperti perbedaan antara *Lieuk* dan *Tingali*—keduanya berarti ‘melihat’ namun dengan intensitas dan konteks berbeda) tidak hilang saat diterjemahkan. Proyek ini membutuhkan kolaborasi antara ahli bahasa, programer, dan sesepuh adat, sebuah perwujudan nyata dari konsep Hirup Sauyunan lintas generasi.
“Sunda itu adalah rasa. Ia tidak hanya bisa dijelaskan oleh kata-kata, tetapi harus dialami melalui hembusan angin yang membawa aroma pinus, melalui sentuhan air sungai yang dingin, dan melalui kehangatan tatapan sesama. Rasa ini adalah warisan yang harus kita jaga dengan segenap jiwa.”
Saya telah belajar bahwa identitas Sunda itu dinamis. Ia bukan fosil yang hanya disimpan di museum, melainkan sungai yang terus mengalir, membelok, dan menyesuaikan diri dengan bentuk medan, namun sumber airnya—filosofi hidup, bahasa, dan rasa hormat terhadap alam—tetap murni dan abadi. Tugas saya dan generasi mendatang adalah memastikan aliran sungai ini tidak pernah kering.
Mencapai pemahaman mendalam tentang identitas ini memerlukan perjalanan batin yang tak henti. Saya kembali ke konsep yang Abah selalu sebut: *“Nanjeurkeun Diri”* (Menegakkan Diri). Menegakkan diri berarti mengetahui dari mana kita berasal, apa yang kita perjuangkan, dan ke mana kita menuju. Bagi saya, asal, perjuangan, dan tujuan itu semua terikat pada satu tempat: Bumi Parahyangan yang penuh berkah, tempat di mana aroma tanah dan wejangan leluhur menyatu menjadi panduan hidup yang tak tergoyahkan.
Perjalanan ini masih panjang. Setiap hari adalah pembelajaran baru, setiap pertemuan adalah pertukaran pengetahuan. Saya berdiri sebagai jembatan, menghormati masa lalu sambil menyambut masa depan, berpegang teguh pada prinsip Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh. Ini adalah kisah hidup saya, sebuah goresan kecil dalam kanvas besar Kasundaan.
Dalam setiap langkah yang saya ambil di tanah Jawa Barat, dari keramaian Dago hingga kesunyian Kawah Putih, saya membawa serta getaran spiritual dan kearifan yang diajarkan oleh Nini dan Abah. Saya adalah pewaris dari tradisi yang menghargai kesederhanaan, menjunjung tinggi harmoni, dan memandang alam sebagai guru pertama dan utama. Kehidupan sebagai anak Sunda adalah sebuah kehormatan, dan saya bertekad untuk menjalaninya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Kini, saya melihat kembali ke masa kecil saya, dan saya bersyukur atas kesulitan dan kesederhanaan yang membentuk saya. Itu adalah bekal yang tidak ternilai harganya. Mereka yang tumbuh dalam kemewahan mungkin mencari makna di luar, tetapi saya menemukannya tepat di bawah telapak kaki saya, di tanah yang disebut Pasundan. Di sanalah jati diri saya berakar, kuat dan kokoh, siap menghadapi setiap badai yang dibawa oleh perubahan zaman. Saya adalah Sunda, dan Sunda adalah nafas saya.
Ekspansi narasi dan filosofi harus mencakup detail mendalam tentang Prinsip Kemanusiaan dalam Konteks Sunda. Saya harus merinci bagaimana konsep *“Mikanyaah Sasama”* (mengasihi sesama) diterapkan dalam sistem hukum adat dan bagaimana hal itu berbenturan dengan sistem hukum positif modern. Misalnya, dalam kasus perselisihan batas tanah di kampung, penyelesaian konflik selalu didasarkan pada prinsip kerukunan, di mana penyelesaian harus menghasilkan *win-win solution* agar hubungan kekerabatan tidak rusak, jauh berbeda dari litigasi di pengadilan kota yang seringkali menghasilkan pemenang dan pecundang yang saling membenci.
Refleksi mendalam pada Basa Indung (Bahasa Ibu) juga krusial. Hilangnya kata-kata tertentu dalam bahasa Sunda bukan hanya kehilangan leksikon, tetapi juga kehilangan cara pandang dunia. Misalnya, kata *“Huleng Jentul”* (diam termenung dalam kebingungan mendalam) tidak dapat diterjemahkan secara presisi ke bahasa Indonesia atau Inggris tanpa kehilangan nuansanya. Ketika kata-kata yang mendeskripsikan kondisi emosional yang spesifik hilang, kemampuan kita untuk merasakan dan memproses emosi tersebut juga berkurang. Upaya pelestarian bahasa ini, bagi saya, adalah upaya pelestarian kesehatan mental dan emosional kolektif masyarakat Sunda.
Salah satu pengalaman terbesar dalam hidup saya yang mencerminkan perjuangan identitas Sunda adalah saat saya ditugaskan untuk mengurus sebuah naskah kuno yang hampir hancur. Naskah tersebut, yang ditulis di atas daun lontar, memuat ramalan dan petunjuk agraris yang sangat spesifik untuk wilayah Priangan Timur. Proses restorasi naskah itu memakan waktu berbulan-bulan, melibatkan teknik tradisional dan keahlian konservator modern. Selama proses itu, saya merasa seperti sedang menyambung kembali benang sejarah yang sengaja diputus. Setiap baris aksara yang berhasil saya terjemahkan adalah dialog langsung dengan leluhur yang hidup ratusan tahun lalu. Mereka mengingatkan bahwa kebijaksanaan sejati tidak pernah usang, hanya saja terkadang ia tersembunyi di balik debu zaman.
Naskah tersebut membahas secara rinci tentang siklus air di pegunungan Malabar, memuat peringatan keras tentang potensi longsor jika hutan di daerah hulu dibabat habis. Ketika wilayah tersebut mengalami bencana longsor beberapa tahun kemudian, saya merasa tertegun. Naskah kuno itu bukan sekadar mitos, melainkan data ilmiah yang terbungkus dalam bahasa spiritual. Ini menguatkan keyakinan saya bahwa spiritualitas Sunda dan ilmu pengetahuan tidak perlu berkonflik; keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama, bertujuan untuk mencapai harmoni dengan alam.
Saya juga harus mengakui pengaruh kuat dari seni pertunjukan Sunda, khususnya Wayang Golek. Wayang bukan sekadar hiburan; ia adalah sarana pendidikan moral rakyat yang paling efektif. Setiap karakter, dari Semar Badranaya yang bijaksana namun bersahaja hingga Bima yang kuat namun emosional, mencerminkan aspek-aspek kompleks dari jiwa manusia. Saya sering menghabiskan malam-malam tanpa tidur hanya untuk menonton pertunjukan Dalang Ade Kosasih atau Asep Sunandar Sunarya. Dalam tawa dan air mata penonton, saya melihat bagaimana nilai-nilai luhur Kasundaan dipertahankan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Wayang mengajarkan saya tentang keadilan, kepemimpinan yang etis (*Satria Pinilih*), dan pentingnya pengorbanan.
Pengalaman pribadi saya dalam berorganisasi dan mengajar juga diperkaya oleh konsep Sunda tentang kepemimpinan, yang disebut “Tepas Salira”. Seorang pemimpin haruslah orang yang menjadi teladan, yang tindakannya mencerminkan apa yang ia ajarkan. Tidak ada tempat bagi munafik. Ini kontras dengan banyak model kepemimpinan modern yang berfokus pada hasil material semata, mengabaikan integritas moral. Dalam komunitas budaya kami, jika seorang pemimpin kehilangan kredibilitasnya, seluruh struktur akan runtuh, karena fondasinya adalah rasa hormat dan keteladanan, bukan kekuasaan formal.
Saya ingat pernah bekerja dengan kelompok pemuda yang sangat apatis terhadap tradisi. Mereka melihat tarian Sunda sebagai gerakan yang lambat dan kaku. Untuk mendekati mereka, saya tidak memaksakan mereka belajar Jaipongan klasik, melainkan mengajak mereka ke hulu sungai dan menunjukkan bagaimana gerakan tarian itu meniru gerakan air yang mengalir, burung yang terbang, atau daun yang bergoyang. Saya menjelaskan bahwa tarian adalah cara tubuh berdialog dengan alam. Ketika mereka melihat tarian bukan sebagai pertunjukan panggung, tetapi sebagai interpretasi fisik dari alam semesta yang mereka cintai, rasa hormat itu muncul dengan sendirinya.
Kehidupan saya di kota juga diwarnai dengan pencarian akan makanan otentik Sunda. Makanan bukan hanya nutrisi; ia adalah identitas. Saya menolak makanan cepat saji dan kembali ke tradisi *Nasi Liwet* dan *Lalapan*. Nasi Liwet, yang dimasak dalam kastrol di atas tungku, dengan aroma sereh dan salam yang kuat, adalah ritual kebersamaan. Lalapan, sayuran mentah yang dicocol sambal, adalah pengakuan akan kesegaran dan kebersihan alam Parahyangan. Mempertahankan masakan tradisional adalah salah satu bentuk perlawanan damai terhadap homogenisasi global. Saya menyadari bahwa setiap gigitan *pepes* atau *karedok* adalah warisan yang harus dilestarikan.
Selain makanan, filosofi hidup yang paling sering saya terapkan adalah “Caina Herang, Laukna Beunang” (Airnya jernih, ikannya tertangkap). Pepatah ini mengajarkan tentang pentingnya mencapai tujuan (menangkap ikan) tanpa merusak proses atau lingkungan (air tetap jernih). Dalam konteks profesional, ini berarti mencapai kesuksesan tanpa mengorbankan etika, tanpa menyakiti orang lain, dan tanpa merusak lingkungan. Ini adalah prinsip negosiasi dan diplomasi yang sangat dihargai dalam budaya Sunda, menekankan jalan tengah dan harmoni abadi.
Saat saya mulai menua, peran saya bergeser dari pelestari aktif menjadi pencerita dan pemikir. Saya kini sering diundang untuk memberikan ceramah tentang etika Sunda dalam konteks kepemimpinan modern. Saya selalu menekankan bahwa kehebatan seorang pemimpin Sunda tidak diukur dari seberapa besar kekuasaannya, tetapi dari seberapa baik ia melayani rakyatnya, atau dalam bahasa Sunda, *“Pamanggih”* (Pelayan Masyarakat). Pemimpin adalah orang yang berani menjadi yang paling rendah, sehingga ia dapat melihat masalah dari bawah ke atas.
Saya menutup kisah ini dengan kembali ke titik awal: aroma tanah. Bau tanah setelah hujan, yang dalam bahasa Sunda disebut *Amis Bumi*. Bau ini adalah pengingat konstan tentang kerendahan hati. Kita berasal dari tanah, dan kita akan kembali ke tanah. Semua gelar, kekayaan, dan pujian adalah sementara. Yang abadi adalah jejak kebaikan yang kita tinggalkan. Inilah inti dari Kasundaan: hidup dengan penuh makna, dalam harmoni dengan diri sendiri, sesama, dan alam semesta, di bawah lindungan Sang Pencipta. Saya adalah seorang Sunda, dan saya bangga menjadi bagian dari warisan yang kaya, lembut, namun kokoh ini.
Setiap pagi, saat matahari terbit di balik Gunung Tangkuban Parahu, saya melakukan ritual kecil: mengucapkan syukur dalam bahasa ibu saya. Saya bersyukur atas kesempatan untuk bernapas di tanah Pasundan, untuk berbicara dalam bahasa yang begitu kaya nuansa, dan untuk memikul tanggung jawab menjaga api tradisi agar terus menyala. Ini adalah warisan yang jauh lebih berharga daripada emas. Ini adalah jati diri saya, yang takkan pernah pudar.
Saya terus menulis, mendokumentasikan setiap pepatah, setiap ritual, dan setiap kisah hidup yang saya temui di pelosok-pelosok Jawa Barat. Proses ini adalah upaya terus-menerus untuk mengisi kembali lumbung pengetahuan budaya kita, memastikan bahwa generasi mendatang tidak akan pernah kelaparan spiritual. Saya percaya bahwa selama kita masih menghargai Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh, selama Gamelan masih berbunyi, dan selama sawah masih menghormati Nyi Pohaci, maka ruh Kasundaan akan tetap hidup dan abadi.
Saya telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak pernah lelah mencari dan menyebarkan cahaya kearifan lokal. Saya telah melihat banyak budaya lain runtuh karena mereka membuang akarnya demi mengejar buah palsu globalisasi. Kami, orang Sunda, memiliki akar yang kuat, yang telah menopang kami selama berabad-abad. Tugas saya sekarang adalah menyirami akar itu dengan cinta dan pengetahuan, sehingga pohon Kasundaan dapat tumbuh semakin tinggi, memberikan keteduhan, dan menghasilkan buah kebijaksanaan bagi dunia. Kisah hidup ini hanyalah satu helai daun dari pohon besar itu.