Mengungkap Keagungan Dialog dalam Bacaan Attahiyatul
Di dalam setiap rakaat shalat, terdapat satu momen hening yang penuh makna, yaitu saat duduk tasyahud atau yang dikenal dengan pembacaan attahiyatul. Ini bukanlah sekadar jeda atau rangkaian kata tanpa arti. Sebaliknya, bacaan ini merupakan inti dari sebuah dialog agung, sebuah percakapan surgawi yang diwariskan kepada umat manusia sebagai salah satu momen paling sakral dalam ibadah. Memahami kedalaman makna attahiyatul akan mengubah cara kita memandang shalat, dari sebuah kewajiban rutin menjadi sebuah perjalanan spiritual yang personal dan mendalam.
Artikel ini akan membawa kita menyelami samudra hikmah di balik setiap kata dalam bacaan attahiyatul, menelusuri asal-usulnya yang mulia, membedah makna filosofisnya, hingga meresapi dampak spiritual yang dapat dirasakan oleh setiap hamba yang melafalkannya dengan penuh kesadaran dan kekhusyukan.
Asal-Usul Surgawi: Dialog Agung di Sidratul Muntaha
Kisah di balik bacaan attahiyatul bukanlah kisah yang berasal dari bumi. Ia lahir dari sebuah peristiwa paling luar biasa dalam sejarah kenabian, yaitu Isra' Mi'raj. Ketika Rasulullah Muhammad SAW diangkat ke langit tertinggi, Sidratul Muntaha, untuk bertemu langsung dengan Allah SWT, terjadilah sebuah dialog yang penuh dengan adab, penghormatan, dan kasih sayang. Dialog inilah yang menjadi cikal bakal bacaan tasyahud yang kita kenal sekarang.
Saat berada di hadapan Allah SWT, sebuah Dzat yang Maha Agung dan Maha Suci, Rasulullah SAW dengan penuh kerendahan hati dan adab yang sempurna mempersembahkan salam penghormatan. Beliau mengucapkan:
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ
Attahiyyaatul mubaarakaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah.
"Segala penghormatan, keberkahan, rahmat, dan kebaikan hanyalah milik Allah."
Ini adalah bentuk sanjungan tertinggi seorang hamba kepada Tuhannya. Rasulullah SAW tidak meminta apa pun untuk dirinya sendiri, melainkan mengembalikan semua bentuk pujian dan keagungan kepada Pemiliknya yang sejati.
Allah SWT, dengan kasih sayang-Nya yang tak terbatas, membalas salam penghormatan tersebut secara langsung kepada Nabi-Nya yang tercinta. Balasan ini menunjukkan betapa istimewanya kedudukan Rasulullah SAW di sisi-Nya. Allah SWT berfirman:
السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
"Keselamatan, rahmat Allah, dan keberkahan-Nya semoga tercurah kepadamu, wahai Nabi."
Mendengar balasan yang penuh kemuliaan ini, Rasulullah SAW menunjukkan sifatnya yang agung. Beliau tidak ingin menyimpan keselamatan dan rahmat itu untuk dirinya sendiri. Dengan hati yang penuh cinta kepada umatnya dan seluruh hamba yang saleh, beliau pun melanjutkan dialog tersebut dengan sebuah doa yang universal:
السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin.
"Semoga keselamatan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh."
Dialog agung ini disaksikan oleh para malaikat di seluruh penjuru langit. Terpesona oleh keindahan percakapan antara Allah dan Rasul-Nya, serta kemuliaan akhlak Nabi Muhammad SAW, para malaikat pun serentak mengikrarkan kesaksian iman mereka. Kesaksian inilah yang melengkapi bacaan tasyahud:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullaah.
"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."
Dengan demikian, bacaan attahiyatul yang kita lafalkan dalam setiap shalat adalah sebuah reka ulang dari dialog paling mulia. Kita, sebagai umatnya, diberi kehormatan untuk menjadi bagian dari percakapan sakral tersebut, menempatkan diri kita dalam posisi yang sama seperti Rasulullah SAW saat menghadap Rabb-nya.
Membedah Makna Setiap Kata dalam Attahiyatul
Untuk benar-benar meresapi keagungan bacaan ini, kita perlu memahami makna yang terkandung dalam setiap frasanya. Setiap kata dipilih dengan cermat dan memiliki kedalaman makna yang luar biasa.
1. Attahiyyaatul Mubaarakaatush Sholawaatuth Thoyyibaatu Lillaah
- Attahiyyat (التَّحِيَّاتُ): Kata ini sering diterjemahkan sebagai "penghormatan". Namun, maknanya jauh lebih luas. Ia mencakup segala bentuk pengagungan, pujian, sanjungan, kemuliaan, dan pengakuan atas kekuasaan abadi. Ketika kita mengucapkan "Attahiyyat", kita seolah berkata, "Ya Allah, segala bentuk penghormatan yang pernah ada, yang sedang ada, dan yang akan ada, baik yang terucap maupun yang tersimpan dalam hati, semuanya hanya untuk-Mu."
- Al-Mubarakatu (الْمُبَارَكَاتُ): Berasal dari kata "barakah" yang berarti keberkahan. Ini merujuk pada segala kebaikan yang terus-menerus, bertumbuh, dan langgeng. Keberkahan adalah karunia ilahi yang membuat sesuatu yang sedikit terasa cukup, dan yang banyak menjadi lebih bermanfaat. Dengan kata lain, kita mengakui bahwa sumber segala keberkahan di alam semesta ini adalah Allah SWT.
- As-Sholawat (الصَّلَوَاتُ): Secara harfiah berarti "doa-doa" atau "shalat". Dalam konteks ini, maknanya mencakup segala bentuk doa, permohonan rahmat, dan ibadah yang kita lakukan. Ini adalah pengakuan bahwa setiap ibadah dan doa yang kita panjatkan, pada hakikatnya, bertujuan untuk mengagungkan Allah dan hanya layak dipersembahkan kepada-Nya.
- At-Thoyyibat (الطَّيِّبَاتُ): Artinya adalah "segala yang baik". Ini mencakup ucapan yang baik, perbuatan yang baik, sifat yang baik, dan rezeki yang baik. Kita menyatakan bahwa segala kebaikan yang murni dan suci, yang terbebas dari segala cela dan kekurangan, adalah milik Allah dan pantas disandarkan kepada-Nya.
- Lillah (لِلَّهِ): Frasa penutup yang mengunci semua pernyataan sebelumnya. Artinya "hanya untuk Allah" atau "milik Allah". Ini adalah inti dari tauhid, yaitu mengesakan Allah. Semua penghormatan (Attahiyyat), keberkahan (Al-Mubarakah), doa (As-Sholawat), dan kebaikan (At-Thoyyibat) tidak diperuntukkan bagi siapa pun selain Allah SWT.
2. Assalaamu ‘alaika Ayyuhan Nabiyyu wa Rahmatullahi wa Barakaatuh
Ini adalah balasan langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW. "Assalam" berarti keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan. Ketika kita mengucapkannya dalam shalat, kita sedang menyampaikan salam dari Allah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Ini adalah bentuk penghormatan dan cinta kita kepada Rasulullah, serta pengakuan atas jasa-jasa beliau yang telah membawa risalah Islam kepada kita. Kita memohonkan keselamatan, rahmat (kasih sayang), dan keberkahan yang tak terhingga dari Allah untuk beliau.
3. Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘Ibaadillaahish Shoolihiin
Inilah manifestasi dari akhlak mulia Rasulullah SAW. Salam yang beliau terima tidak disimpan untuk dirinya sendiri. Beliau langsung membagikannya.
- 'Alainaa (عَلَيْنَا): Berarti "atas kami". Ini mencakup diri kita sendiri yang sedang shalat dan juga orang-orang yang shalat bersama kita (jika berjamaah). Ini adalah doa untuk keselamatan diri.
- Wa 'alaa 'Ibaadillaahish Shoolihiin (وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ): Berarti "dan atas hamba-hamba Allah yang saleh". Kalimat ini sangat inklusif dan universal. Doa keselamatan ini tidak terbatas pada orang di sekitar kita, tetapi mencakup setiap hamba Allah yang saleh di mana pun mereka berada, baik di langit maupun di bumi, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, dari zaman Nabi Adam hingga akhir zaman. Ini mengajarkan kita tentang persaudaraan (ukhuwah) universal dalam Islam.
4. Asyhadu an Laa Ilaaha Illallaah, wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullaah
Ini adalah kalimat Syahadat, fondasi utama keimanan seorang Muslim. Penempatannya di dalam tasyahud adalah sebuah penegasan ulang dan pembaruan ikrar iman di dalam setiap shalat.
- Asyhadu an Laa Ilaaha Illallaah (أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ): "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah." Ini bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi kesaksian dari lubuk hati yang paling dalam, yang didasari oleh ilmu dan keyakinan. Kita bersaksi bahwa hanya Allah yang berhak disembah, ditaati, dan menjadi tujuan hidup.
- Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullaah (وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ): "Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah." Kesaksian ini adalah konsekuensi logis dari kesaksian pertama. Kita mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah perantara yang membawa petunjuk dari Allah. Mengikuti ajaran beliau adalah bukti ketaatan kita kepada Allah.
Tahiyat Awal dan Tahiyat Akhir: Perbedaan dan Kedudukannya
Dalam shalat yang memiliki lebih dari dua rakaat (seperti Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya), terdapat dua kali duduk tasyahud: Tahiyat Awal dan Tahiyat Akhir.
Tahiyat Awal
Tahiyat Awal dilakukan setelah rakaat kedua. Bacaannya berhenti sampai pada kalimat syahadat. Menurut mayoritas ulama (Jumhur Ulama), hukum melaksanakan Tahiyat Awal adalah sunnah mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Jika seseorang lupa mengerjakannya dan sudah terlanjur berdiri sempurna untuk rakaat ketiga, ia tidak perlu kembali duduk, namun dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi (sujud karena lupa) sebelum salam. Ini menunjukkan pentingnya, meskipun tidak sampai membatalkan shalat jika ditinggalkan secara tidak sengaja.
Tahiyat Akhir
Tahiyat Akhir dilakukan di rakaat terakhir sebelum salam. Bacaannya sama dengan Tahiyat Awal, namun dilanjutkan dengan bacaan Shalawat Ibrahimiyah. Hukum melaksanakan Tahiyat Akhir adalah rukun shalat. Artinya, ia merupakan bagian inti yang tidak boleh ditinggalkan. Meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa akan membatalkan shalat dan shalat tersebut harus diulang. Ini karena Tahiyat Akhir adalah penutup dari seluruh rangkaian ibadah shalat.
Shalawat Ibrahimiyah: Puncak Pujian untuk Para Nabi
Setelah pembacaan syahadat pada Tahiyat Akhir, kita diwajibkan membaca Shalawat Ibrahimiyah. Ini adalah bentuk shalawat terbaik yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW ketika para sahabat bertanya bagaimana cara bershalawat kepadanya.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad, kamaa shollaita ‘ala Ibraahim wa ‘ala aali Ibraahim, innaka hamiidum majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad, kamaa baarakta ‘ala Ibraahim wa ‘ala aali Ibraahim, innaka hamiidum majiid.
"Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia."
Ada beberapa hikmah mendalam dari Shalawat Ibrahimiyah ini:
- Menyandingkan Nabi Muhammad dengan Nabi Ibrahim: Ini menunjukkan hubungan erat antara risalah yang dibawa oleh kedua nabi agung tersebut. Nabi Ibrahim adalah Bapak para Nabi (Abul Anbiya) dan pembawa ajaran tauhid murni. Dengan menyandingkan keduanya, kita mengakui bahwa ajaran Nabi Muhammad SAW adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari ajaran tauhid yang telah dibawa oleh Nabi Ibrahim AS.
- Permohonan Rahmat (Sholli) dan Keberkahan (Baarik): Kita tidak hanya memohon rahmat (kasih sayang dan pujian dari Allah di hadapan para malaikat), tetapi juga keberkahan (kebaikan yang terus bertambah dan langgeng) bagi Nabi Muhammad dan keluarganya. Ini adalah doa tertinggi yang bisa kita panjatkan untuk beliau.
- Pengakuan Atas Sifat Allah (Hamiidum Majiid): Shalawat ini ditutup dengan pengakuan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Terpuji (Al-Hamid) dan Maha Mulia (Al-Majid). Ini mengingatkan kita bahwa segala pujian dan kemuliaan pada akhirnya kembali kepada-Nya.
Doa Perlindungan Sebelum Salam
Setelah menyelesaikan Shalawat Ibrahimiyah dan sebelum mengucapkan salam, ada satu waktu yang sangat mustajab untuk berdoa. Rasulullah SAW mengajarkan sebuah doa perlindungan yang sangat penting untuk dibaca pada momen ini.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
Allahumma inni a'udzu bika min 'adzabil qobri, wa min 'adzabi jahannam, wa min fitnatil mahyaa wal mamaat, wa min syarri fitnatil masiihid dajjal.
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari siksa neraka Jahannam, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal."
Membaca doa ini adalah sunnah yang sangat dianjurkan. Empat hal yang kita minta perlindungan darinya adalah ujian-ujian terbesar yang akan dihadapi oleh setiap manusia:
- Siksa Kubur: Ujian pertama setelah kematian di alam barzakh.
- Siksa Neraka Jahannam: Hukuman terberat di akhirat.
- Fitnah Kehidupan dan Kematian: Segala macam ujian, godaan syahwat, syubhat (kerancuan pemikiran), dan penderitaan saat hidup, serta ujian berat saat sakaratul maut.
- Fitnah Al-Masih Ad-Dajjal: Fitnah terbesar dan terberat yang akan terjadi di akhir zaman.
Dengan memanjatkan doa ini di penghujung shalat, kita sedang memohon kekuatan dan perlindungan dari Allah untuk menghadapi tantangan-tantangan fundamental dalam perjalanan kita sebagai seorang hamba, dari dunia hingga akhirat.
Dimensi Spiritual dan Hikmah Attahiyatul
Bacaan attahiyatul bukan hanya sekumpulan lafadz, tetapi sebuah madrasah spiritual yang mengajarkan banyak hal:
- Pelajaran Adab: Ia mengajarkan kita adab tertinggi saat "berbicara" dengan Allah. Dimulai dengan sanjungan dan pujian, bukan dengan permintaan.
- Pembaruan Tauhid: Kalimat syahadat yang diulang-ulang dalam setiap shalat berfungsi sebagai pengingat konstan dan pembaruan komitmen kita terhadap keesaan Allah dan kerasulan Muhammad SAW.
- Koneksi Sejarah: Dengan menyebut Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim, kita merasa terhubung dengan rantai emas para nabi dan ajaran tauhid yang telah dijaga selama ribuan tahun.
- Membangun Kepedulian Sosial: Doa "Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin" memupuk rasa persaudaraan dan kepedulian universal, menghapus egoisme dan mengajarkan kita untuk mendoakan kebaikan bagi orang lain.
- Mi'raj Personal: Shalat adalah mi'raj (kenaikan) bagi orang beriman. Puncak dari mi'raj ini adalah saat kita duduk tasyahud, mengulang kembali dialog surgawi, merasakan seolah-olah kita sedang berada di hadapan Allah SWT secara langsung.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Bacaan
Attahiyatul adalah jantung dari shalat. Ia adalah momen di mana seorang hamba beralih dari gerakan fisik dan bacaan Al-Qur'an menuju sebuah dialog yang intim dan khusyuk dengan Sang Pencipta. Ia merangkum seluruh esensi ajaran Islam: tauhid, penghormatan kepada nabi, cinta kepada sesama orang saleh, dan pembaruan ikrar iman.
Dengan memahami setiap kata dan sejarah di baliknya, bacaan tasyahud tidak akan lagi terasa sebagai hafalan yang monoton. Ia akan menjadi sebuah pengalaman spiritual yang dinanti-nantikan dalam setiap shalat. Ia adalah pengingat bahwa kita, sebagai hamba yang hina, diberi kesempatan emas untuk menggemakan kembali dialog termulia yang pernah terjadi antara langit dan bumi. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita kemampuan untuk melaksanakan shalat dengan penuh kekhusyukan dan pemahaman, sehingga setiap lafadz attahiyatul yang kita ucapkan mampu menggetarkan hati dan mendekatkan jiwa kita kepada-Nya.