Tawa adalah salah satu respons manusia yang paling mendasar, sebuah mekanisme biologis sekaligus fenomena sosial yang kompleks. Di satu sisi, tawa berfungsi sebagai perekat sosial, mengindikasikan kegembiraan, penerimaan, dan keamanan. Namun, di sisi lain, tawa memiliki sisi gelap yang kuat—kekuatan untuk meruntuhkan martabat, membangun batas eksklusi, dan menimbulkan rasa sakit emosional yang mendalam. Fenomena inilah yang kita kenal sebagai 'mentertawakan', atau ridikul, sebuah tindakan yang melampaui humor dan masuk ke wilayah etika dan dinamika kekuasaan.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa kita mentertawakan, bagaimana perilaku ini membentuk struktur sosial, apa dampak psikologisnya bagi individu yang menjadi sasaran, dan bagaimana masyarakat, dari era filosofis kuno hingga dunia digital modern, telah bergulat dengan batas tipis antara humor yang sehat dan ejekan yang merusak. Memahami mekanisme mentertawakan adalah kunci untuk membangun interaksi sosial yang lebih berempati dan konstruktif.
Untuk memahami ridikul, kita harus terlebih dahulu mengerti mengapa tawa itu ada. Psikologi humor membagi fungsi tawa menjadi beberapa kategori utama, tetapi ketika tawa digunakan untuk mentertawakan seseorang, ia sering kali berakar pada 'Teori Superioritas' yang diajukan oleh filsuf kuno.
Filsuf seperti Plato dan Aristoteles sudah mencurigai sifat tawa yang merusak. Mereka melihat tawa yang diarahkan pada kelemahan atau kemalangan orang lain sebagai emosi yang harus dikendalikan. Namun, Thomas Hobbes (abad ke-17) memberikan formulasi yang paling jelas mengenai tawa ridikul dalam karyanya Leviathan. Hobbes berpendapat bahwa tawa hanyalah:
"Kemenangan mendadak yang berasal dari konsepsi mendadak beberapa keunggulan diri kita sendiri, dibandingkan dengan kelemahan orang lain, atau kelemahan kita sendiri sebelumnya."
Menurut Teori Superioritas ini, mentertawakan adalah manifestasi publik dari perasaan superioritas. Ketika kita menyaksikan seseorang melakukan kesalahan, mengalami kegagalan, atau menunjukkan kelemahan yang kita yakini tidak kita miliki, tawa berfungsi sebagai konfirmasi status kita yang 'lebih tinggi'. Ini adalah insting tribal kuno yang digunakan untuk membedakan 'kita' yang kompeten dari 'mereka' yang cacat atau bodoh.
Secara kognitif, mentertawakan melibatkan pergeseran kerangka berpikir yang cepat. Humor yang sehat (misalnya, lelucon tentang diri sendiri atau permainan kata-kata) melibatkan resolusi inkongruensi—ketika dua ide yang tidak cocok tiba-tiba bersatu. Ridikul juga melibatkan inkongruensi, tetapi resolusinya berpusat pada penargetan sosial:
Proses ini diperkuat oleh hormon. Tawa melepaskan endorfin, menciptakan rasa senang. Ketika kesenangan ini dikaitkan dengan penurunan status orang lain, perilaku mentertawakan diperkuat sebagai strategi efektif untuk mendapatkan kesenangan sosial dan menaikkan moral kelompok dalam (in-group).
Salah satu syarat utama agar ridikul berhasil dan dipertahankan dalam kelompok adalah pemutusan sementara (atau permanen) terhadap empati. Ketika kita mentertawakan seseorang, otak harus mengesampingkan kemampuan untuk merasakan penderitaan target. Pemutusan empati ini sering kali dibantu oleh de-humanisasi atau kategorisasi target sebagai 'orang luar' (out-group).
Studi neurosains menunjukkan bahwa ketika seseorang mengamati penderitaan yang disebabkan oleh ridikul pada individu yang mereka kategorikan sebagai 'tidak disukai', aktivitas di korteks cingulate anterior, area yang terkait dengan empati terhadap rasa sakit, cenderung menurun. Sebaliknya, ada peningkatan aktivitas di jalur penghargaan (reward pathway) di otak, mengkonfirmasi bahwa mentertawakan musuh atau orang luar terasa menyenangkan.
Mentertawakan bukanlah monolitis; ia mengambil banyak bentuk, mulai dari humor ringan yang berniat mengoreksi hingga agresi verbal yang brutal. Perbedaan ini krusial karena ia menentukan dampak etika dan sosial dari tindakan tersebut.
Satire bertujuan untuk mentertawakan kebodohan atau kejahatan, seringkali untuk tujuan perbaikan sosial. Satire biasanya menargetkan institusi, sistem, atau kelemahan universal manusia, bukan individu yang rentan. Tawa yang dihasilkan dari satire dimaksudkan untuk mencerahkan dan mendorong introspeksi kolektif. Ketika seorang kartunis menertawakan politisi korup, tujuannya bukan merendahkan individu, tetapi mengungkap kebenaran yang lebih besar.
Sarkasme adalah bentuk komunikasi di mana makna literal bertentangan dengan makna yang dimaksudkan, seringkali dengan nada mencibir. Sarkasme hampir selalu melibatkan agresi interpersonal. Meskipun sering dibenarkan sebagai "hanya bercanda" atau "gaya komunikasi", sarkasme adalah cara yang halus namun kuat untuk mentertawakan kekurangan atau situasi buruk seseorang tanpa harus bertanggung jawab atas pernyataan langsung yang menyakitkan.
Ini adalah bentuk ridikul yang paling interpersonal. Godaan (teasing) dalam konteks yang aman dan penuh kasih sayang dapat menjadi tanda keintiman dan kohesi kelompok. Namun, godaan menjadi ridikul (mocking) ketika melampaui batas empati, menargetkan identitas inti seseorang, atau dilakukan secara sepihak dan berulang-ulang, mengubahnya menjadi pelecehan atau intimidasi (bullying).
Mentertawakan adalah alat ampuh untuk menegakkan batas-batas sosial. Kelompok menggunakan ridikul untuk menghukum anggota yang menyimpang dari norma atau tradisi. Jika seorang anggota kelompok melanggar aturan tak tertulis, ejekan dari anggota lain bertindak sebagai sanksi sosial yang efektif, seringkali lebih kuat daripada hukuman formal.
Fungsi sosial ridikul meliputi:
Meskipun ridikul memberikan manfaat psikologis instan bagi si penertawa (rasa superioritas dan pelepasan endorfin), dampaknya pada target sering kali menghancurkan dan memiliki resonansi jangka panjang yang serius.
Tindakan mentertawakan secara fundamental menyerang harga diri dan rasa aman seseorang. Ketika seseorang ditertawakan di depan umum, respons emosional yang paling kuat adalah rasa malu. Rasa malu berbeda dari rasa bersalah; rasa bersalah berfokus pada tindakan ("Saya melakukan kesalahan"), sementara rasa malu berfokus pada diri ("Saya adalah kesalahan").
Ridikul mengkomunikasikan pesan bahwa diri seseorang tidak hanya gagal, tetapi juga patut dicemooh. Efek jangka panjang dari rasa malu yang disebabkan oleh ridikul meliputi:
Masalah etika terbesar dari ridikul terletak pada ketidakseimbangan kekuasaan. Mentertawakan hampir tidak pernah merupakan interaksi horizontal. Itu adalah alat yang digunakan oleh mereka yang berada dalam posisi kekuasaan (mayoritas, yang kuat, yang populer) untuk menekan mereka yang rentan (minoritas, yang lemah, yang berbeda).
Dalam konteks sosial yang tidak adil, ridikul berfungsi untuk mempertahankan status quo:
Pada tingkat ekstrem, ridikul dapat berbatasan dengan sadisme psikologis. Ketika seseorang menikmati penderitaan emosional yang mereka timbulkan melalui tawa, ini menunjukkan kurangnya empati yang parah. Filsuf Arthur Schopenhauer melihat tawa yang diarahkan pada penderitaan orang lain (schadenfreude) sebagai tanda kebobrokan moral, meskipun ia mengakui bahwa tawa adalah sifat manusiawi.
Sadisme dalam ridikul sering terlihat jelas dalam perilaku cyberbullying, di mana anonimitas platform digital memungkinkan individu untuk mentertawakan target secara brutal dan kolektif tanpa menghadapi konsekuensi sosial tatap muka. Tawa ini menjadi pelumas bagi kekejaman, membuatnya terasa menyenangkan dan dapat diterima secara sosial bagi pelakunya.
Sejarah menunjukkan bahwa batas antara humor dan kekejaman selalu dinegosiasikan. Dari jester kerajaan hingga meme internet, tindakan mentertawakan mencerminkan ketegangan dan nilai-nilai masyarakat kontemporer.
Di istana-istana abad pertengahan, jester atau pelawak memainkan peran yang unik. Mereka adalah satu-satunya individu yang diizinkan mentertawakan raja dan otoritas tanpa takut akan hukuman mati. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam struktur kekuasaan yang paling otokratis, kebutuhan untuk menertawakan keangkuhan dan kebodohan sangatlah mendasar. Jester menggunakan tawa sebagai katarsis sosial—mereka menyalurkan ketidakpuasan rakyat melalui humor, tetapi humor mereka bersifat terapeutik dan korektif, bukan destruktif pribadi.
Namun, dalam masyarakat modern, siapa yang memainkan peran jester, dan kepada siapa tawa diarahkan? Seringkali, kekuatan tawa ini tidak lagi diarahkan ke atas (kekuatan), tetapi ke bawah (yang lemah).
Media sosial telah merevolusi kecepatan dan skala ridikul. Fenomena shaming publik melalui internet adalah contoh paling nyata dari bagaimana mentertawakan dapat menjadi hukuman massal yang instan dan permanen.
Ketika seseorang melakukan kesalahan di depan umum, atau bahkan secara pribadi yang kemudian bocor, kerumunan daring (online mob) dengan cepat mengambil peran sebagai juri, juri, dan algojo. Tawa kolektif yang dipicu oleh meme, komentar sarkastik, dan reaksi berantai menjadi mekanisme yang menindas. Fenomena ini memiliki karakteristik:
Mentertawakan di ruang digital sering kali kurang memiliki nuansa konteks. Sebuah foto atau pernyataan yang diambil di luar konteks dapat diubah menjadi bahan tertawaan yang mematikan, terlepas dari niat awal orang tersebut.
Dalam politik modern, ridikul telah menjadi senjata utama dalam perang informasi. Partai politik atau kelompok ideologis sering menggunakan sindiran dan ejekan untuk: (1) Mendiskreditkan lawan, (2) Membangkitkan kemarahan dan solidaritas basis mereka, dan (3) Membuat isu-isu serius terlihat konyol.
Penggunaan ejekan yang terus-menerus di ranah publik berkontribusi pada polarisasi. Ketika politisi atau tokoh publik terus-menerus mentertawakan lawan mereka, ini mengirimkan pesan kepada pengikut mereka bahwa lawan tersebut tidak pantas dihormati atau diajak berdialog, hanya pantas dicemooh. Ini merusak kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam diskusi sipil dan rasional.
Bagaimana kita menentukan batas antara humor yang tidak berbahaya dan ridikul yang merusak? Garis ini sangat subjektif, tetapi etika humor memerlukan pertimbangan yang cermat terhadap target, niat, dan konteks.
Sebagian besar filosofi etika humor berpendapat bahwa humor harus diarahkan ke atas, bukan ke bawah. Yaitu, kita harus menertawakan mereka yang memiliki kekuasaan dan hak istimewa, bukan mereka yang berada dalam posisi rentan.
"Humor yang etis adalah ketika kita menertawakan kekuasaan, bukan kelemahan. Kita menertawakan sistem yang pincang, bukan korban sistem tersebut."
Mentertawakan kelompok marjinal, kecacatan, atau kesulitan ekonomi seseorang adalah bentuk ridikul yang paling tidak etis karena ini menambah beban pada orang yang sudah menderita. Sebaliknya, mentertawakan keangkuhan, keserakahan, atau penyalahgunaan kekuasaan adalah bentuk humor yang membebaskan dan penting untuk kesehatan demokrasi.
Seringkali, ketika seseorang dituduh melakukan ridikul, pembelaan pertama mereka adalah, "Saya hanya bercanda, saya tidak bermaksud buruk." Namun, dalam etika komunikasi, niat tidak selalu membatalkan dampak. Jika niatnya adalah untuk menghibur, tetapi dampaknya adalah menyebabkan rasa malu atau sakit, tindakan tersebut tetap bermasalah secara etika.
Humor yang bertanggung jawab menuntut kesadaran akan dampak yang mungkin terjadi. Ini berarti mengajukan pertanyaan sebelum melontarkan lelucon yang berpotensi menjadi ridikul:
Tawa yang paling aman adalah tawa yang diarahkan pada diri sendiri. Humor diri (self-deprecating humor) adalah kemampuan untuk mentertawakan kekurangan dan kesalahan diri sendiri. Ini adalah indikator penting dari kerendahan hati dan kecerdasan emosional.
Ketika digunakan dengan tulus, humor diri dapat berfungsi untuk: (1) Melucuti ketegangan sosial, (2) Membuat diri lebih mudah didekati, dan (3) Mengakui bahwa semua manusia, termasuk diri sendiri, tidak sempurna. Namun, bahkan humor diri bisa menjadi ridikul internal yang berbahaya jika digunakan sebagai mekanisme untuk memvalidasi kebencian terhadap diri sendiri.
Bagi mereka yang sering menjadi sasaran ridikul, mengembangkan strategi untuk merespons dan membangun resiliensi adalah langkah penting. Tidak semua tawa yang merugikan dapat dihindari, tetapi reaksinya dapat dikendalikan.
Ketika dihadapkan pada ejekan, reaksi yang paling umum adalah marah atau menarik diri. Namun, para ahli komunikasi menyarankan beberapa pendekatan alternatif yang dapat memotong siklus ridikul:
Salah satu taktik paling efektif adalah merespons ejekan dengan humor yang diarahkan pada diri sendiri atau bahkan berlebihan. Jika seseorang mentertawakan pakaian Anda, merespons dengan, "Ya ampun, benar, saya terlihat seperti badut yang baru saja keluar dari mesin cuci!" dapat menunjukkan bahwa Anda tidak terintimidasi dan merebut kembali kendali atas emosi Anda.
Untuk ridikul yang berulang atau sangat menyakitkan, pendekatan langsung diperlukan. Menggunakan pernyataan "Saya" (I statements) yang fokus pada perasaan Anda, bukan pada kesalahan orang lain, dapat membuka jalan menuju dialog. Contoh: "Saya mengerti Anda mungkin hanya bercanda, tetapi ketika Anda mentertawakan ide saya di depan semua orang, saya merasa malu dan tidak dihargai."
Dalam kasus di mana si penertawa hanya mencari perhatian atau reaksi, mengabaikan ejekan sepenuhnya adalah senjata yang kuat. Jika audiens melihat bahwa ejekan tersebut tidak menimbulkan reaksi, tawa tersebut akan kehilangan kekuatannya sebagai alat manipulasi. Ini membutuhkan kekuatan mental yang besar, tetapi seringkali ini adalah cara tercepat untuk mematikan perilaku ejekan.
Resiliensi (ketahanan) adalah kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan. Dalam konteks ridikul, ini berarti membangun citra diri yang kuat yang tidak bergantung pada validasi atau persetujuan orang lain. Tiga pilar utama resiliensi meliputi:
Solusi jangka panjang untuk mengurangi dampak ridikul adalah melalui pendidikan etika humor sejak dini. Anak-anak dan remaja perlu diajarkan bahwa humor tidak boleh menjadi senjata. Ini melibatkan pengajaran tentang empati, dinamika kekuasaan, dan konsekuensi kata-kata mereka.
Pendidikan ini harus menekankan bahwa ada perbedaan mendasar antara mentertawakan *bersama* seseorang (tawa inklusif) dan mentertawakan *seseorang* (tawa eksklusif). Tawa inklusif membangun jembatan, sementara tawa eksklusif membangun dinding dan parit sosial.
Kajian mendalam tentang mentertawakan membawa kita kembali ke paradoks fundamental tawa itu sendiri. Tawa adalah kekuatan ganda: ia dapat menghancurkan sekaligus menyembuhkan. Ia dapat memisahkan kita, tetapi juga menyatukan kita dalam kebahagiaan bersama. Kekuatan tawa terletak pada kemampuannya untuk mengganggu status quo—baik status quo sosial (melalui satire) maupun status quo martabat pribadi (melalui ridikul).
Fungsi tawa yang paling berharga dalam masyarakat adalah fungsi korektifnya. Ketika kita menertawakan keangkuhan, birokrasi yang konyol, atau ketidakadilan yang jelas, tawa kita adalah bentuk perlawanan sipil. Itu adalah suara kolektif yang menuntut akuntabilitas.
Namun, ketika kita mengarahkan tawa ini ke arah yang salah—ke arah mereka yang rentan, kelemahan fisik, atau rasa malu yang jujur—kita mengubah katarsis sosial menjadi kekerasan psikologis. Ridikul semacam ini tidak menghasilkan perbaikan; ia hanya menghasilkan rasa takut dan kepatuhan yang dipaksakan.
Pada akhirnya, tindakan mentertawakan adalah pilihan. Kita memiliki kendali atas tawa kita. Dalam setiap situasi di mana humor muncul, kita harus secara etis mempertanyakan asal-usul tawa itu:
Menciptakan budaya yang menghargai humor, tetapi menolak ridikul, adalah pekerjaan kolektif. Ini menuntut kita untuk menjadi lebih sadar akan bagaimana kata-kata kita, dan ya, bahkan tawa kita, dapat membentuk realitas emosional orang di sekitar kita. Dengan memahami kekuasaan tawa, kita dapat memilih untuk menjadikannya kekuatan yang menyembuhkan, bukan senjata yang merusak. Itu adalah panggilan untuk humor yang berempati, yang merayakan kegembiraan hidup tanpa harus merayakan kehinaan orang lain.
Perjalanan memahami kompleksitas tawa, khususnya ketika ia berubah menjadi ridikul, adalah perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri sebagai makhluk sosial dan moral. Hanya dengan pengawasan diri yang ketat terhadap naluri superioritas kita, kita dapat memastikan bahwa tawa yang kita bagi adalah sumber kekuatan dan kebersamaan, bukan sumber isolasi dan rasa malu. Inilah tuntutan etika yang melekat pada setiap senyum atau tawa yang kita bagi dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman ini mendorong kita untuk selalu mencari humor yang inklusif, humor yang merangkul kelemahan manusiawi secara universal, tanpa perlu menunjuk jari pada satu individu dan mempermalukannya. Tawa sejati adalah anugerah, sebuah ekspresi dari kebebasan dan kegembiraan. Tugas kita adalah melindunginya agar tidak tercemar oleh agresi yang terselubung sebagai hiburan. Ini adalah penutup dari analisis mendalam ini, menyajikan refleksi akhir tentang pentingnya memilih kebaikan dalam setiap ekspresi kegembiraan kita.