Ilustrasi simbolis kekuasaan dan kedaulatan Ilahi yang melingkupi ciptaan.
Surah As-Sajdah (Surah ke-32 dalam Al-Qur'an) adalah salah satu surah Makkiyah yang sangat kuat menekankan masalah akidah, khususnya kedaulatan mutlak Allah, kebenaran wahyu, dan hari kebangkitan. Di antara ayat-ayatnya yang menjadi fondasi keimanan adalah As-Sajdah Ayat 4. Ayat ini bukan sekadar informasi kosmik, melainkan sebuah pernyataan teologis menyeluruh yang merangkum tiga pilar utama akidah Islam: Penciptaan (Rububiyyah), Kedaulatan (Istiwa), dan Ketauhidan Murni (Uluhiyyah).
Terjemah Makna: Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Bagimu tidak ada seorang penolong pun dan tidak pula seorang pemberi syafa'at selain Dia. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?
Ayat yang ringkas namun padat ini menuntut kontemplasi yang mendalam. Setiap frasa adalah mata rantai yang menghubungkan kekuasaan mutlak Allah dengan kewajiban hamba untuk mentauhidkan-Nya. Mari kita telaah secara ekstensif setiap segmen dari ayat yang mulia ini.
Ayat ini dimulai dengan penegasan identitas Pencipta: "Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya." Ini adalah penegasan Rububiyyah (ketuhanan dalam tindakan penciptaan, pemeliharaan, dan pengaturan) yang mendasar.
Penciptaan alam semesta disebutkan terjadi dalam "enam masa" (sittati ayyām). Istilah "ayyam" (jamak dari yaum) dalam konteks ini tidak merujuk pada hari 24 jam yang kita kenal di bumi, yang mana hari tersebut baru eksis setelah terciptanya langit dan bumi serta sistem pergerakan matahari. Para ulama tafsir sepakat bahwa "masa" di sini merujuk pada periode atau tahapan penciptaan yang durasinya hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini bisa jadi merujuk pada periode waktu kosmik yang sangat panjang, miliaran tahun, atau sekadar tahapan-tahapan yang ditetapkan oleh kehendak Ilahi.
Allah, Dzat Yang Maha Kuasa, sesungguhnya mampu menciptakan segala sesuatu hanya dengan firman-Nya "Kun" (Jadilah!). Namun, Allah memilih enam masa sebagai manifestasi dari hikmah-Nya yang mendalam. Hikmah ini seringkali dikaitkan dengan pengajaran kepada makhluk, bahwa keteraturan dan ketenangan lebih utama daripada ketergesaan. Bahkan dalam kekuasaan mutlak, ada pola dan sistem yang menunjukkan kesempurnaan pengaturan.
Proses penciptaan yang bertahap ini juga memberikan pelajaran besar bagi manusia tentang pentingnya kesabaran dan proses evolusi yang teratur. Alam semesta, dengan segala galaksi, bintang, planet, dan hukum fisikanya, adalah hasil dari perencanaan Ilahi yang matang, bukan sekadar letupan tunggal tanpa arah. Tujuh kali dalam Al-Qur'an, proses penciptaan enam masa ini diulang, menggarisbawahi pentingnya konsep ini sebagai bukti kekuasaan Allah yang terstruktur dan teratur. Dari penciptaan langit yang berlapis hingga penempatan bumi dengan segala sumber dayanya, semua terjadi dalam tahapan yang telah ditetapkan.
Studi terhadap alam semesta yang diizinkan Allah temukan oleh manusia, seiring dengan berkembangnya ilmu kosmologi, semakin menunjukkan kompleksitas penciptaan. Keseimbangan gravitasi, kecepatan cahaya, dan konstanta fisika yang begitu presisi adalah bukti nyata bahwa Penciptaan enam masa ini adalah karya dari Dzat Yang Maha Mengetahui, yang menentukan ukuran segala sesuatu dengan sempurna. Jika salah satu parameter ini sedikit saja melenceng, alam semesta tidak akan mampu menopang kehidupan, atau bahkan tidak akan pernah terbentuk.
Konteks penciptaan dalam As-Sajdah Ayat 4 adalah pengingat bahwa Allah adalah Penguasa mutlak atas ruang dan waktu. Dia menciptakan, mengatur, dan memelihara. Pengakuan terhadap Rububiyyah ini adalah langkah pertama menuju penerimaan Uluhiyyah (hak untuk disembah).
Setelah selesai menciptakan langit dan bumi, ayat tersebut melanjutkan dengan frasa krusial: "kemudian Dia bersemayam (istawā) di atas 'Arsy." Bagian ini merupakan titik fokus akidah yang sangat mendalam dan sensitif, memisahkan pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dari berbagai kelompok lain.
Secara bahasa, Istawā (ٱسْتَوَىٰ) memiliki beberapa makna, termasuk tegak, lurus, dan bersemayam. Namun, ketika digunakan dalam kaitannya dengan Allah dan 'Arsy, maknanya harus dipahami sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, tanpa menyerupai makhluk (Tanzih).
Para ulama Salaf (generasi awal Islam) memiliki metodologi yang jelas dalam memahami sifat-sifat Allah, termasuk Istiwa. Metode ini dirumuskan sebagai: "Istiwa itu dimaklumi, caranya tidak diketahui, beriman kepadanya adalah wajib, dan menanyakan tentang caranya adalah bid'ah." (Ini adalah ringkasan dari perkataan Imam Malik mengenai Istiwa).
Artinya, kita menerima dan mengimani bahwa Allah ber-Istiwa di atas 'Arsy, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur'an, tanpa bertanya bagaimana (bilā kaifa), tanpa menanyakan perumpamaan (bilā tamtsil), tanpa mentakwilkan yang mengubah maknanya (bilā ta’wil), dan tanpa menolaknya (bilā ta’thil). Istiwa menunjukkan ketinggian (uluw) dan kedaulatan mutlak Allah atas seluruh ciptaan-Nya. Dia berpisah dari makhluk-Nya, menguasai, dan mengaturnya dari tempat tertinggi.
'Arsy (الْعَرْشِ) adalah ciptaan Allah yang paling agung, yang berfungsi sebagai singgasana atau takhta kekuasaan Ilahi. 'Arsy meliputi seluruh alam semesta (kursi) dan alam semesta itu sendiri adalah butiran kecil di hadapannya. Ia adalah batas teratas dari semua makhluk, dan di atas 'Arsy-lah Allah bersemayam, menguasai. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa Istiwa bukan berarti Allah membutuhkan 'Arsy, karena Allah ada sebelum 'Arsy. Istiwa adalah tindakan kedaulatan, bukan kebutuhan tempat.
Penyebutan Istiwa setelah penciptaan langit dan bumi dalam As-Sajdah Ayat 4 ini memiliki implikasi besar: setelah Allah menyelesaikan kreasi dunia materi, Dia menegakkan kedaulatan mutlak-Nya di atas pusat kendali tertinggi (Arsy). Ini adalah pernyataan tentang manajemen alam semesta yang berkelanjutan (Tadbir). Istiwa bukanlah sekadar pensiunan setelah penciptaan, tetapi penegasan bahwa semua pengaturan, rezeki, kehidupan, dan kematian bersumber dari kedaulatan-Nya yang berada di atas segalanya.
Memahami Istiwa sesuai dengan keagungan Allah adalah kunci untuk menghindari antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan manusia). Istiwa adalah sifat perbuatan Allah yang unik dan tidak dapat disamakan dengan bagaimana seorang raja duduk di takhtanya. Ini adalah Istiwa yang layak bagi kebesaran-Nya, sempurna, dan mutlak terpisah dari persepsi material makhluk.
Transisi dari penciptaan dan Istiwa menuju penolakan perantara adalah inti dari Tauhid al-Uluhiyyah. Setelah menyatakan kedaulatan-Nya yang tak tertandingi, Allah langsung menegaskan bahwa Dia adalah satu-satunya tujuan permohonan dan pertolongan.
Frasa ini berarti: "Bagimu tidak ada seorang penolong pun (walī) dan tidak pula seorang pemberi syafa'at (shafī’) selain Dia." Ini adalah penolakan tegas terhadap segala bentuk syirik, baik dalam memohon pertolongan (walī) maupun dalam mencari perantaraan (shafī’).
Kata Walī (وَلِيٍّ) berarti pelindung, kawan dekat, atau penolong yang mengurus urusan kita. Dalam konteks ayat ini, Allah menegaskan bahwa tidak ada pelindung yang dapat mengatur urusan kita, menolak bahaya, atau mendatangkan manfaat secara independen selain Dia. Ketergantungan total harus diberikan hanya kepada Allah, Dzat yang memiliki kekuasaan mutlak atas langit dan bumi, Dzat yang ber-Istiwa di atas 'Arsy.
Jika Allah telah menciptakan alam semesta dalam enam masa, dan menguasainya dari 'Arsy-Nya, bagaimana mungkin makhluk yang terbatas, bahkan yang paling mulia sekalipun, dapat menjadi penolong mutlak di sisi-Nya? Pertolongan yang sejati dan mandiri adalah milik Allah semata. Menggantungkan nasib dan harapan kepada selain Allah adalah kontradiksi terhadap pengakuan atas kedaulatan Allah yang telah dijelaskan pada dua pilar sebelumnya.
Syafa’ah (شَفِيعٍ) berarti perantaraan atau rekomendasi. Ayat ini menolak adanya syafa'at yang bersifat mutlak, di mana seseorang memiliki otoritas untuk memberikan syafa'at tanpa izin dari Allah. Penolakan ini adalah inti dari akidah Islam yang memurnikan ibadah.
Namun, perlu dipahami perbedaan antara dua jenis syafa’at:
Kesimpulannya, ayat ini mengajarkan bahwa kekuasaan, pertolongan, dan syafa'at adalah hak eksklusif Allah. Penciptaan yang agung dan Istiwa di 'Arsy adalah bukti tak terbantahkan bahwa tidak ada celah bagi perantara independen. Semua makhluk, termasuk para nabi dan wali, berada di bawah kendali-Nya dan tidak dapat bertindak kecuali dengan izin-Nya.
Ayat ditutup dengan pertanyaan retoris yang menggugah: "Maka apakah kamu tidak memperhatikan (afalā tatadhakkarūn)?" Kata tadzkur (mengingat, memperhatikan, mengambil pelajaran) di sini adalah sebuah perintah tegas untuk menggunakan akal budi dan merenungkan semua fakta teologis yang telah disebutkan sebelumnya.
Allah seakan bertanya: Setelah kalian tahu bahwa Akulah Pencipta yang Maha Kuasa (enam masa), Akulah Penguasa Tertinggi (Istiwa di Arsy), dan Akulah satu-satunya sumber pertolongan (menolak walī dan syafi’), mengapa kalian masih berpaling? Mengapa akal kalian tidak berfungsi untuk mengambil pelajaran dari kebesaran ini?
Perenungan yang dituntut oleh As-Sajdah Ayat 4 mencakup:
Tanpa kontemplasi, informasi tentang penciptaan hanyalah data kering, dan pernyataan tentang Istiwa hanyalah dogma tanpa jiwa. Kontemplasi adalah jembatan yang menghubungkan pengetahuan (ilmu) dengan implementasi (amal), menjadikannya landasan bagi kehidupan yang berlandaskan Tauhid murni.
Untuk memahami kedalaman As-Sajdah Ayat 4, kita perlu mengaitkan ketiga pilar tersebut secara terintegrasi, yang menunjukkan rantai logika yang sempurna dalam akidah Islam. Ayat ini merupakan argumen yang kohesif terhadap kaum musyrikin Mekah dan siapa pun yang mencoba mencari perantara di antara makhluk dan Pencipta.
Surah As-Sajdah Ayat 4 berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan Tauhid Rububiyyah (mengakui Allah sebagai Pencipta) dengan Tauhid Uluhiyyah (mengakui Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah). Urutan logikanya adalah:
Argumen ini telah berulang kali dikemukakan dalam Al-Qur'an: jika seseorang mengakui bahwa Allah adalah Pencipta dan Pengatur, mengapa ia tidak mengakui bahwa hanya Dia yang berhak disembah? As-Sajdah Ayat 4 memaksa pendengar untuk menghadapi kontradiksi dalam keyakinan mereka jika mereka masih menyembah berhala atau mengagungkan perantara setara dengan Allah.
Penelitian terhadap konsep sittati ayyām (enam masa) sering kali memicu diskusi antara teologi dan ilmu pengetahuan modern. Penting untuk dicatat bahwa Al-Qur'an memberikan kerangka waktu ini bukan untuk tujuan ilmu fisika, tetapi untuk tujuan teologis—yaitu, menunjukkan kesengajaan (qadr) dalam penciptaan. Tafsir yang sahih menekankan bahwa Allah tidak terikat oleh keterbatasan waktu. Meskipun para penentang berusaha mencari celah dengan membandingkan enam masa dengan teori evolusi kosmik, tafsir Islam yang kuat selalu memosisikan bahwa enam masa adalah masa yang unik, ditentukan oleh Allah, dan jauh melampaui perhitungan manusiawi.
Dalam riwayat Israiliyyat, terkadang enam masa ini dikaitkan dengan hari-hari bumi, namun para ulama menolaknya karena bertentangan dengan konteks kosmik. Enam masa ini adalah tahapan utama dalam pembentukan kosmos yang kita kenal, meliputi penciptaan materi dasar, pemisahan langit dan bumi, penetapan hukum-hukum fisika, dan penyiapan bumi untuk kehidupan. Mengakui enam masa ini adalah mengakui Allah sebagai arsitek agung, yang setiap detail kreasi-Nya memiliki tujuan dan perhitungan. Kontemplasi terhadap proses yang begitu rumit ini harusnya menghasilkan peningkatan rasa takwa dan ketundukan.
Konsep Istiwa adalah pernyataan teologis tentang 'Uluw (Ketinggian) Dzat Allah. Ketinggian Allah bukan hanya ketinggian status atau martabat (seperti kita mengatakan "matahari berada tinggi"), melainkan ketinggian Dzat (‘uluw adz-dzat). Allah secara Dzat berada di atas seluruh ciptaan-Nya. Istiwa di 'Arsy, sebagaimana yang ditegaskan dalam As-Sajdah Ayat 4, membedakan Allah dari keyakinan panteistik (bahwa Tuhan ada di mana-mana dalam makna fisik) atau panenteistik.
Ketinggian Allah adalah keharusan, karena jika Dia berada di mana-mana secara fisik, Dia akan terperangkap dalam ruang dan waktu yang Dia ciptakan, menjadikannya terbatas. Istiwa dan 'Uluw memastikan bahwa Allah transenden (terpisah dari makhluk) sambil tetap imanen (dekat melalui Ilmu, Kekuasaan, dan Pendengaran-Nya). Dia mengendalikan dari atas 'Arsy, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat leher, namun secara Dzat, Dia berada di atas langit, di atas 'Arsy. Menjaga keseimbangan antara Tanzih (Transendensi) dan Isbat (Penegasan Sifat) adalah esensi dari pemahaman ayat ini.
Penekanan berulang dalam As-Sajdah Ayat 4 mengenai ketiadaan walī dan shafī’ selain Allah menekankan pentingnya membersihkan ibadah dari segala bentuk interaksi dengan pihak ketiga yang dianggap memiliki kekuatan independen. Dalam tradisi musyrikin, walī (wali, orang suci) diyakini dapat menjadi jembatan permanen kepada Tuhan, bahkan ketika walī tersebut telah meninggal. Ayat ini menghancurkan mitos ini sepenuhnya.
Syafa'at (perantaraan) hanya akan berfungsi jika Allah yang mengizinkan. Ayat ini mengajarkan bahwa jika kita ingin mendapatkan syafa'at, kita harus mencarinya dari Dzat yang menguasai izin syafa'at, yaitu Allah. Mencari syafa'at dengan menyembah atau memohon kepada calon pemberi syafa'at adalah tindakan yang kontradiktif, karena hal itu justru menjauhkan dari izin Allah. Orang yang mentauhidkan Allah-lah yang paling berhak atas syafa'at yang diizinkan pada Hari Kiamat. Oleh karena itu, kalimat penutup “Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” adalah penutup yang paling logis, menuntut kepastian akidah berdasarkan bukti nyata penciptaan dan kedaulatan.
Analisis bahasa Arab (lughawi) pada ayat ini menambah lapisan pemahaman yang kaya. Struktur kalimatnya sangat lugas, memastikan tidak ada keraguan tentang klaim kedaulatan Allah.
Kata Tsūmma (ثُمَّ) yang diterjemahkan sebagai "kemudian" (dalam frasa tsūmma istawā ‘ala al-‘arsy) sering diperdebatkan. Apakah ini menunjukkan urutan waktu? Dalam banyak kasus, tsūmma menunjukkan urutan waktu dan juga urutan martabat (pencapaian status yang lebih tinggi). Di sini, tsūmma menunjukkan bahwa Istiwa di 'Arsy terjadi setelah penciptaan enam masa selesai. Ini menunjukkan transisi dari tahap penciptaan materi ke tahap pengaturan dan penetapan hukum alam, yang semuanya berasal dari 'Arsy.
Meskipun Allah telah menjadi Raja sebelum penciptaan alam semesta, Istiwa di 'Arsy setelah penciptaan adalah penegasan kedaulatan-Nya atas ciptaan yang baru selesai. Ini adalah tindakan manajemen kekuasaan. Istiwa menandai permulaan pengaturan aktif, dimana segala urusan langit dan bumi diatur dari Arsy, pusat komando Ilahi yang tidak terbatas.
Perhatikan struktur negasi yang digunakan dalam frasa "مَا لَكُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَلِيٍّ وَلَا شَفِيعٍ". Penggunaan huruf mā (negasi) diikuti dengan min dūnihi (selain Dia) dan diperkuat lagi dengan min walīyin (tidak ada penolong **sedikitpun**), menunjukkan negasi yang sangat kuat dan mutlak. Ini bukan sekadar penolakan umum, melainkan penolakan total dan tegas terhadap kemungkinan adanya entitas lain yang memiliki kewenangan independen dalam membantu atau menolong kita.
Negasi yang berlapis ini berfungsi untuk memutus semua tali pengharapan kepada selain Allah. Jika bahkan makhluk-makhluk paling mulia pun tidak memiliki kekuasaan mandiri untuk menolong, apalagi benda-benda mati atau konsep-konsep abstrak. Ini adalah pukulan telak terhadap setiap bentuk syirik yang mencari pengharapan dari kuburan, berhala, atau kekuatan alam.
Ayat ditutup dengan afalā tatadhakkarūn (Apakah kamu tidak memperhatikan?). Penggunaan kata kerja tatadhakkarūn (dari dzakar/dzikra) berbeda dengan ta’qilūn (berakal) atau yanzhurūn (melihat). Tadzkur menyiratkan proses mengingat kembali kebenaran yang sudah ada dalam fitrah manusia. Manusia diciptakan dengan fitrah tauhid; kekuasaan Allah yang disebutkan di awal ayat seharusnya memicu ingatan bawaan ini.
Seruan untuk tadzkur adalah seruan untuk menghilangkan kelalaian dan kabut keraguan. Ayat ini tidak hanya menyajikan fakta, tetapi juga menuntut respon internal, refleksi moral, dan pembersihan spiritual. Jika seseorang sungguh-sungguh merenungkan keagungan penciptaan dan Istiwa di 'Arsy, ia pasti akan sampai pada kesimpulan Tauhid murni dan meninggalkan semua bentuk perantaraan syirik.
Istiwa di atas 'Arsy, seperti yang tertuang dalam As-Sajdah Ayat 4, bukanlah sekadar pernyataan posisi geografis spiritual, melainkan sebuah pernyataan manajemen kosmik. Dari 'Arsy, Allah mengendalikan semua urusan (tadbir) langit dan bumi.
Al-Qur'an menjelaskan bagaimana segala urusan naik kepada-Nya. Ini menunjukkan bahwa Istiwa adalah pusat kendali mutlak dari mana perintah, takdir, dan hukum-hukum alam semesta disalurkan. Setiap atom, setiap galaksi, setiap tetesan hujan, dan setiap keputusan hidup dan mati berada di bawah kendali manajemen yang berasal dari Istiwa.
Memahami Istiwa dalam konteks manajemen ini memperkuat keyakinan bahwa berdoa langsung kepada Allah adalah cara yang paling efektif. Jika segala urusan kembali kepada-Nya, maka memohon kepada selain-Nya adalah sia-sia, karena makhluk yang dimintai tidak memiliki otoritas independen dalam rantai komando kosmik yang berpusat di 'Arsy.
Penciptaan dalam enam masa menghasilkan sebuah sistem kosmik yang sangat tertib. Keteraturan ini, yang menjadi subjek perenungan (tatadhakkarūn), meliputi:
Semua hukum ini adalah manifestasi nyata dari kedaulatan Istiwa. Seorang hamba yang merenungkan keteraturan ini akan menyadari bahwa Allah yang mampu mempertahankan keseimbangan kosmik tidak membutuhkan bantuan atau perantara untuk mengurus doa atau kebutuhan seorang hamba yang lemah di bumi. Kekuatan-Nya melampaui segala perbandingan.
Sebagai penutup dari analisis mendalam ini, As-Sajdah Ayat 4 adalah salah satu ayat paling komprehensif yang menuntut kejelasan akidah total. Ia mewajibkan seorang Muslim untuk menegakkan akidah berdasarkan tiga fondasi yang tak terpisahkan: keagungan penciptaan, kemutlakan kedaulatan (Istiwa), dan kemurnian ibadah (penolakan perantara).
Implikasi praktis dari ayat ini bagi kehidupan seorang Muslim adalah:
1. Penguatan Tawakkal: Karena tidak ada penolong sejati selain Allah (mā lakum min dūnihi min walīyin), seorang Muslim harus menggantungkan harapan, rasa takut, dan cintanya sepenuhnya kepada Allah. Keyakinan ini menghilangkan kecemasan yang muncul dari ketergantungan pada manusia, kekayaan, atau jabatan.
2. Pemurnian Doa: Semua permohonan harus diarahkan langsung kepada Allah. Tidak ada "jalur cepat" melalui perantara yang memiliki kekuasaan mandiri. Doa adalah ibadah, dan ibadah harus bersih dari syirik. Keyakinan bahwa Allah ber-Istiwa di 'Arsy memastikan bahwa Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat, meskipun Dia berada di atas segala-galanya.
3. Kewajiban Belajar dan Refleksi: Seruan afalā tatadhakkarūn menjadikan kontemplasi sebagai ibadah. Seorang Muslim dituntut untuk terus-menerus merenungkan ayat-ayat Allah, baik yang tertulis (Al-Qur'an) maupun yang terbentang (alam semesta), untuk menguatkan imannya akan keesaan dan kekuasaan mutlak Tuhan.
Pada akhirnya, Surah As-Sajdah Ayat 4 adalah kompas akidah yang menunjukkan arah yang benar: Tuhanmu adalah Allah, Pencipta yang Agung, Penguasa yang Mutlak, dan satu-satunya tempat untuk memohon. Inilah kebenaran yang harus dipegang teguh oleh setiap jiwa yang berakal.
Kembali kepada frasa awal, kita melihat Allah menggunakan istilah 'Khalaq' (خَلَقَ), yaitu menciptakan dari ketiadaan, sebuah tindakan yang unik dan eksklusif milik Allah. Penciptaan langit (jamak: samāwāt) dan bumi (al-ardh) mencakup seluruh struktur fisik dan non-fisik alam semesta. Penggunaan jamak untuk langit mengisyaratkan lapisan-lapisan kosmik atau tingkatan-tingkatan yang hanya diketahui oleh-Nya.
Pengulangan konsep enam masa (sittati ayyām) sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur'an (di antaranya dalam Al-A'raf 54, Yunus 3, Hud 7, Al-Furqan 59, As-Sajdah 4, Qaf 38, dan Al-Hadid 4) adalah penekanan ilahi. Ini bukan sekadar data kosmologis, tetapi merupakan dasar keyakinan bahwa penciptaan dilakukan dengan hikmah yang luar biasa. Jika Allah ingin, Dia bisa menciptakan semuanya dalam sekejap. Mengapa memilih enam masa?
Hikmah pertama adalah untuk menegakkan bukti kesempurnaan dan ketelitian Allah. Proses bertahap menunjukkan bahwa alam semesta tidak diciptakan secara acak, melainkan melalui serangkaian tahapan yang terukur dan terencana. Setiap masa (periode) memiliki fungsi spesifik dalam pembentukan kosmos. Para mufassir kontemporer sering mengaitkan enam masa ini dengan periode geologi dan astrofisika yang panjang, meskipun kita tidak boleh membatasi tafsir Al-Qur'an pada teori ilmiah yang dapat berubah.
Hikmah kedua adalah pelajaran bagi manusia. Kita, sebagai makhluk, seringkali menginginkan hasil instan. Penciptaan enam masa mengajarkan bahwa proses yang teratur, meskipun lambat dari sudut pandang manusia, adalah cara terbaik untuk mencapai hasil yang stabil dan sempurna. Hal ini berlaku untuk pembangunan peradaban, pendidikan, dan bahkan perkembangan spiritual. Ketergesaan bukanlah sifat yang disukai oleh Allah, meskipun Dia Maha Mampu untuk tergesa-gesa.
Penciptaan "apa yang ada di antara keduanya" (langit dan bumi) menunjukkan cakupan kreasi yang menyeluruh. Ini mencakup ruang angkasa, benda-benda langit, atmosfer, awan, dan semua fenomena yang menjadi penghubung dan penopang kehidupan. Ini adalah penegasan kedaulatan Allah atas setiap jengkal ruang dan waktu yang ada di alam semesta.
Perenungan terhadap enam masa ini harus mengantarkan kita pada pemahaman bahwa jika Allah begitu teliti dalam menciptakan struktur fisik, maka Dia pasti juga lebih teliti dalam mengatur urusan takdir dan syariat bagi hamba-Nya. Pengaturan yang sempurna dalam enam masa adalah bukti bahwa pengaturan setelah Istiwa di 'Arsy juga sempurna dan tidak membutuhkan perbaikan atau intervensi pihak lain.
Dalam teologi Islam, pengakuan terhadap Rububiyyah (Allah adalah Pencipta) adalah landasan untuk Tauhid. Jika ada dewa lain yang ikut serta dalam penciptaan, niscaya langit dan bumi akan rusak (seperti yang disebutkan dalam Al-Anbiya' 22). Kenyataan bahwa alam semesta yang diciptakan dalam enam masa ini beroperasi dengan harmonis adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa hanya ada satu Pengatur, satu Perancang, dan satu Pencipta. Argumen ini adalah fundamental dalam As-Sajdah Ayat 4.
Penciptaan yang begitu besar ini secara otomatis meniadakan kemampuan makhluk untuk menjadi penolong (walī) atau perantara (syafī’) yang independen. Mengapa kita harus mencari pertolongan dari makhluk yang tercipta dalam salah satu dari enam masa tersebut, sementara kita dapat memohon langsung kepada Dzat yang menciptakan keenam masa itu sendiri dan yang bersemayam di atas takhta kekuasaan?
Kontemplasi kosmik (tatadhakkarūn) di sini berarti merenungkan skala kecil keberadaan manusia di hadapan alam semesta yang agung ini, yang seluruhnya adalah hasil karya Allah dalam enam masa. Perenungan ini seharusnya menumbuhkan kerendahan hati yang mendalam dan menghilangkan kesombongan dalam mencari pertolongan selain Allah.
Konsep Istiwa di 'Arsy adalah ujian bagi kejernihan akal dan kepatuhan dalam menerima wahyu. Sebagaimana dijelaskan, Istiwa adalah pernyataan kedaulatan, bukan keterbatasan spasial. Dalam menghadapi ayat seperti As-Sajdah Ayat 4, umat Islam terbagi menjadi dua kelompok utama dalam metodologi tafsir sifat-sifat Allah:
Metode ini adalah menerima teks sebagaimana adanya (Itsbat), mengimani maknanya (Istiwa adalah ketinggian dan bersemayam yang layak bagi-Nya), namun meniadakan tata cara (Kaifiyyah) dan penyerupaan (Tamtsil). Mereka membaca tsūmma istawā ‘ala al-‘arsy dan memercayainya tanpa menafsirkan bahwa Istiwa berarti 'menguasai' (istawlā) atau menafsirkannya sebagai metafora belaka. Mereka menjaga Tanzih (transendensi) tanpa Ta’thil (penolakan makna sifat). Mereka beriman bahwa Allah di atas Arsy sesuai dengan keagungan-Nya, dan pengetahuan tentang bagaimana Dia bersemayam adalah urusan yang hanya diketahui-Nya.
Beberapa generasi ulama kemudian, karena khawatir terjadi penyerupaan fisik (tajsim) oleh orang awam, memilih untuk menakwilkan Istiwa menjadi ‘Istila’ (menguasai) atau interpretasi metaforis lainnya. Meskipun niat mereka baik (menjaga Tanzih), metode ini berisiko meniadakan makna harfiah yang telah ditegaskan oleh Al-Qur'an itu sendiri. Jika Istiwa hanya berarti 'menguasai', maka Istiwa di 'Arsy tidak memiliki makna khusus, karena Allah sudah menguasai segala sesuatu sebelum 'Arsy diciptakan.
Pentingnya pemahaman Salaf terhadap As-Sajdah Ayat 4 terletak pada pengukuhan kebenaran wahyu tanpa campur tangan rasionalisasi yang berlebihan. Istiwa adalah sifat perbuatan yang menunjukkan posisi kedaulatan Allah, Dzat Yang Maha Tinggi, yang darinya semua perintah dan takdir mengalir ke alam semesta.
Al-'Arsy adalah puncak dari semua ciptaan. Ia adalah struktur yang tidak dapat kita bayangkan. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa perbandingan tujuh lapis langit dan bumi dengan Al-Kursi (yang lebih kecil dari Al-Arsy) seperti cincin yang dilemparkan di padang pasir yang luas. Perbandingan Al-Kursi dengan Al-Arsy sama besarnya. Oleh karena itu, Istiwa di 'Arsy menunjukkan bahwa Allah, Dzat yang menguasai ciptaan terbesar (Arsy), pasti memiliki kekuasaan mutlak atas ciptaan yang lebih kecil (langit, bumi, dan manusia).
Keyakinan pada Istiwa adalah keyakinan yang memberikan kedamaian. Ia memberitahu kita bahwa ada pusat gravitasi spiritual, ada titik tertinggi dari segala kekuasaan, dan kita dapat mengangkat tangan kita dalam doa dan yakin bahwa ia sampai kepada Dzat yang bersemayam di atas segala-galanya, Dzat yang tidak terikat oleh keterbatasan makhluk fana.
Frasa mā lakum min dūnihi min walīyin wa lā shafī’ adalah pedang yang memisahkan Tauhid dari Syirik. Ayat ini memotong semua jalan menuju keyakinan bahwa ada entitas selain Allah yang dapat mengatur nasib kita tanpa izin-Nya. Pelarangan ini bersifat universal dan mencakup semua bentuk perantara yang didewakan atau dimintai pertolongan secara independen.
Syirik tidak hanya terbatas pada menyembah berhala, tetapi juga merasuk dalam bentuk halus dalam kehidupan sehari-hari (Syirik Khofiy). Misalnya, meyakini bahwa jabatan atau uang adalah penolong mutlak yang dapat menjamin masa depan, atau meyakini bahwa seorang tokoh spiritual memiliki kemampuan supranatural untuk mengubah takdir tanpa bergantung pada kehendak Allah.
Ayat As-Sajdah Ayat 4 adalah terapi akidah. Ia mengajarkan kita untuk mengembalikan setiap harapan dan ketakutan kepada Allah. Ketika kita menghadapi kesulitan, kita tidak mencari penolong dari makhluk yang lemah, tetapi dari Al-Waliyy (Penolong Sejati) yang ber-Istiwa di 'Arsy, Dzat yang mengendalikan seluruh alam semesta yang telah Dia ciptakan dalam enam masa. Keterkaitan antara Istiwa dan penolakan syafa'at adalah logis: bagaimana mungkin entitas lain memberikan syafa'at jika mereka tidak menguasai 'Arsy?
Syafa'at pada Hari Kiamat adalah bukti kemurahan dan kasih sayang Allah, tetapi ia juga merupakan ujian akidah. Jika seseorang meyakini bahwa syafa'at dapat "dipesan" atau "dimiliki" oleh seorang wali di dunia, ia telah jatuh dalam kesalahan yang ditolak oleh ayat ini. Syafa'at adalah hak prerogatif Allah; Dia memberikan izin kepada siapa yang Dia kehendaki, dan untuk siapa yang Dia ridhai.
Oleh karena itu, cara terbaik untuk mendapatkan syafa'at bukanlah dengan menyembah pemberi syafa'at potensial, melainkan dengan memurnikan ibadah kepada Dzat yang memiliki izin syafa'at: Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini adalah interpretasi yang paling sesuai dengan prinsip Tauhid yang ditegaskan oleh As-Sajdah Ayat 4. Tidak ada satupun makhluk yang bisa menjadi "partner" dalam memberikan syafa'at, mereka hanyalah utusan yang diberi izin pada Hari Perhitungan.
Seruan penutup afalā tatadhakkarūn adalah dorongan untuk mencapai tingkat keimanan yang sadar, bukan hanya keimanan yang diwariskan atau diterima secara pasif. Dzikir dan tafakkur (kontemplasi) adalah mekanisme untuk mengaktifkan Tadzkur yang diminta oleh ayat ini.
Surah ini diberi nama As-Sajdah karena mengandung ayat Sajdah Tilawah (ayat sujud), dan Ayat 4 sendiri berfungsi sebagai fondasi teologis mengapa kita harus bersujud. Sujud adalah manifestasi tertinggi dari pengakuan terhadap kedaulatan (Istiwa di Arsy) dan ketidakberdayaan diri (menghancurkan klaim Walī dan Syafī’ independen).
Ketika seorang hamba bersujud, ia meletakkan bagian tubuhnya yang paling mulia (dahi) di tempat yang paling rendah (tanah), mengakui bahwa Dzat yang disembah berada di tempat tertinggi ('Arsy). Ini adalah perwujudan fisik dari Tauhid yang diajarkan dalam As-Sajdah Ayat 4. Tadzkur dalam shalat berarti mengingat proses penciptaan enam masa, Istiwa di 'Arsy, dan ketiadaan walī serta syafi’ selain Dia.
Dalam menghadapi masalah besar kehidupan, tadzkur mengarahkan kita kembali kepada Dzat Pengatur. Jika Allah adalah Penguasa dari Arsy yang mengatur urusan alam semesta yang diciptakan dalam enam masa, maka masalah pribadi kita, sekecil apapun, pasti berada dalam genggaman kekuasaan-Nya.
Ini memotivasi kita untuk melakukan istikharah (memohon petunjuk) langsung kepada-Nya, tanpa merasa perlu perantara. Sikap ini adalah buah dari pemahaman mendalam terhadap negasi walīyin wa lā shafī’. Kehidupan yang berlandaskan tadzkur adalah kehidupan yang penuh ketenangan, karena ia berpegang teguh pada tali Allah yang tidak akan pernah putus.
Ayat As-Sajdah Ayat 4 adalah seruan abadi untuk kembali kepada fitrah yang murni, fitrah yang mengakui bahwa Allah Maha Kuasa, Maha Tinggi, dan Maha Esa dalam semua aspek ketuhanan, penciptaan, dan ibadah. Ketiga pilar ini saling menguatkan, menciptakan landasan akidah yang kokoh dan tak tergoyahkan, siap menghadapi segala bentuk keraguan dan penyimpangan.
Oleh karena itu, bagi setiap Muslim, mendalami dan merenungkan Surah As-Sajdah Ayat 4 adalah perjalanan spiritual yang tak berujung, memastikan bahwa imannya tetap murni dan ibadahnya terfokus sepenuhnya kepada Dzat yang menciptakan, menguasai, dan mengatur segala yang ada, dahulu, kini, dan selamanya.
Pengulangan dan penekanan terhadap Istiwa di 'Arsy di berbagai ayat, termasuk dalam Surah As-Sajdah ini, tidak lain adalah pengukuhan kebenaran bahwa keesaan Allah adalah fakta kosmik, bukan sekadar kepercayaan kultural. Segala yang ada di alam semesta tunduk kepada-Nya, dan kita sebagai hamba diwajibkan untuk menaati hukum alam dan hukum syariat yang berasal dari kedaulatan Ilahi yang tak terbatas ini.
Keyakinan ini menghasilkan keikhlasan total dalam beramal. Ketika seorang hamba menyadari bahwa Allah yang ber-Istiwa di atas 'Arsy adalah saksi dari setiap perbuatannya, dan bahwa tidak ada yang bisa membantunya tanpa izin-Nya, maka seluruh amal perbuatannya hanya akan ditujukan untuk mencari keridhaan Allah semata.
Surah As-Sajdah dimulai dengan penegasan kebenaran Kitab Suci (wahyu) dan kemudian segera beralih ke pembuktian logis tentang hakikat Dzat yang menurunkan wahyu tersebut. Ayat 4 adalah pusat argumen Surah. Ia menetapkan otoritas Allah sebelum membahas tema-tema lain seperti penciptaan manusia, tanda-tanda kebesaran, dan Hari Kebangkitan. Tanpa otoritas yang ditetapkan dalam Ayat 4 (Penciptaan, Istiwa, Tauhid), argumen tentang kebangkitan dan pertanggungjawaban akan menjadi lemah.
Ayat ini menjadi penangkal keraguan utama kaum musyrikin Mekah, yang menolak kebangkitan dan menyembah dewa-dewa sebagai perantara. Dengan menyatakan secara tegas bahwa hanya Allah yang menciptakan segala sesuatu dalam enam masa dan kemudian bersemayam di 'Arsy, Allah membatalkan semua klaim ilahiyah dan syafa'at yang disematkan pada berhala atau tuhan palsu.
Keterkaitan antara penciptaan bumi yang teratur dan janji Hari Kiamat adalah bahwa Dzat yang mampu menciptakan tatanan kosmik yang begitu rapi dalam enam masa, pastilah mampu untuk menghidupkan kembali manusia dari debu. Kekuatan yang mengatur 'Arsy adalah kekuatan yang sama yang akan mengumpulkan manusia di Padang Mahsyar. Perenungan yang diminta (tatadhakkarūn) harusnya menjangkau keyakinan penuh terhadap Hari Akhir.
Kesempurnaan pengaturan kosmik, yang termanifestasi dalam enam masa, menegaskan bahwa tidak ada kekurangan atau cacat sedikit pun dalam kreasi Allah. Kekuatan ini kemudian diatur dari puncak kekuasaan (Istiwa). Dengan demikian, ketika ayat ini mengatakan "tidak ada walī dan syafī’ selain Dia," itu adalah kesimpulan yang tak terhindarkan dari kekuasaan yang telah diuraikan.
Ayat 4 Surah As-Sajdah merupakan fondasi yang abadi, memandu umat Islam untuk hidup dalam kejernihan akidah, menolak takhayul dan syirik, dan hanya bergantung pada Sang Pencipta dan Penguasa Tunggal, Yang Kedaulatan-Nya mengatasi ruang, waktu, dan seluruh ciptaan.