Prinsip Ketaatan Mutlak dan Terikat dalam Islam
Surah An-Nisa ayat 59 merupakan salah satu poros utama dalam syariat Islam yang mengatur hubungan antara individu, kepemimpinan, dan sumber hukum yang fundamental. Ayat ini tidak sekadar memberikan perintah, tetapi menetapkan hirarki otoritas yang sangat jelas dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang baku. Inti dari ajaran yang terkandung dalam ayat ini adalah penegasan kembali konsep tauhid dalam ketaatan, di mana semua bentuk kepatuhan harus bermuara pada ketaatan kepada Allah SWT. Ayat ini adalah fondasi bagi Usul al-Fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi Islam) dan etika pemerintahan dalam pandangan syariat.
Analisis mendalam terhadap ayat ini memerlukan pembedahan setiap frase, memahami konteks penurunannya, serta implikasi hukum dan sosialnya yang berlaku hingga akhir zaman. Ayat ini adalah peta jalan bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan yang teratur, adil, dan sesuai dengan kehendak Ilahi, baik dalam ranah pribadi maupun kolektif.
Panggilan Khusus: Yaa Ayyuhal Ladziina Aamanuu
Pentingnya Status Keimanan sebagai Prasyarat
Ayat ini dibuka dengan seruan agung, "Yaa Ayyuhal Ladziina Aamanuu" (Wahai orang-orang yang beriman). Dalam Al-Qur'an, panggilan ini selalu mendahului perintah atau larangan penting yang menuntut perhatian dan kesediaan untuk melaksanakan. Penggunaan seruan ini secara implisit menyatakan bahwa ketaatan yang akan disebutkan setelahnya adalah konsekuensi logis dan kewajiban moral bagi siapa saja yang telah menyatakan diri beriman kepada Allah.
Iman bukanlah sekadar pernyataan lisan, melainkan komitmen hati, perkataan, dan perbuatan. Oleh karena itu, ketika Allah menyeru orang-orang beriman, Dia sedang mengingatkan mereka akan ikrar tauhid yang telah mereka ucapkan. Seruan ini memberikan energi spiritual bahwa perintah ketaatan bukanlah beban, melainkan jalan menuju kebaikan dan penegasan status keimanan mereka.
Jika seseorang lalai dalam melaksanakan ketaatan yang diperintahkan, keimanan mereka dipertanyakan. Ayat ini berfungsi sebagai barometer: sejauh mana seseorang patuh pada hirarki yang ditetapkan, sejauh itu pula ia membuktikan kejujuran imannya kepada Allah dan Hari Akhir. Ketaatan, dalam konteks ini, adalah manifestasi praktis dari akidah.
Peran Pembeda Seruan
Seruan ini juga membedakan antara orang mukmin dan mereka yang tidak beriman atau munafik. Orang munafik seringkali menunjukkan ketaatan lahiriah, tetapi hati mereka menolak kepatuhan pada aturan yang ditetapkan. Ayat 59 ini secara langsung menuntut ketaatan dari lubuk hati, memastikan bahwa pemegang otoritas—apakah itu Rasul atau Ulil Amri—mendapatkan dukungan yang tulus dari komunitas yang beriman, asalkan otoritas tersebut berada dalam batas-batas syariat.
Penting untuk dicatat bahwa struktur tata bahasa Arab dari seruan ini menekankan universalitas. Ia ditujukan kepada seluruh komunitas mukmin sepanjang masa dan di seluruh belahan bumi. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip hirarki ketaatan dan mekanisme rujukan hukum yang ditetapkan dalam ayat ini bersifat abadi dan tidak terikat oleh batasan geografis atau temporal yang sempit.
Hirarki Ketaatan: Athii'ullaha wa Athii'ur Rasuula
Ayat ini menetapkan tiga tingkatan ketaatan, namun dengan perbedaan gramatikal yang memiliki implikasi teologis dan jurisprudensial yang sangat mendalam. Perhatikan pengulangan kata kerja "Athii’u" (Taatilah).
Ketaatan Mutlak: Athii'ullaha
Ketaatan pertama dan tertinggi adalah kepada Allah (Athii'ullaha). Ini adalah ketaatan mutlak (al-taa'ah al-mutlaqah). Ketaatan ini bersumber dari wahyu ilahi, yaitu Al-Qur'an. Sumber hukum ini tidak mengenal kesalahan, tidak terikat oleh hawa nafsu manusia, dan merupakan kebenaran hakiki yang harus diterima tanpa syarat. Ketaatan kepada Allah adalah esensi dari tauhid uluhiyah.
Segala sesuatu yang Allah perintahkan, baik yang eksplisit maupun yang dipahami melalui kaidah usul, wajib dilaksanakan. Ketaatan kepada Allah tidak membutuhkan justifikasi manusiawi selain pengakuan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Bijaksana. Inilah fondasi di mana seluruh bangunan syariat dan hubungan sosial Islam didirikan.
Ketaatan Terikat dan Menjelaskan: Athii'ur Rasuula
Ketaatan kedua adalah kepada Rasulullah Muhammad SAW (Athii'ur Rasuula). Kata kerja 'Athii’u' diulang di sini. Para ulama usul fikih, seperti Imam Syafi’i, sangat menekankan pengulangan kata kerja ini. Jika Allah hanya berfirman, "Taatilah Allah dan Rasul," maka ketaatan kepada Rasul bisa dianggap sekadar bagian dari ketaatan kepada Allah (karena Rasul hanya menyampaikan perintah Allah). Namun, pengulangan 'Athii’u' menegaskan bahwa ketaatan kepada Rasul adalah kewajiban independen.
Mengapa ketaatan kepada Rasul harus diperintahkan secara terpisah? Karena Rasulullah SAW memiliki peran ganda:
- Penyampai Wahyu (Muballigh): Beliau menyampaikan Al-Qur'an.
- Penjelas Wahyu (Mubayyin): Beliau menafsirkan, merinci, dan mengaplikasikan Al-Qur'an melalui Sunnahnya (perkataan, perbuatan, dan persetujuan).
Ketaatan kepada Rasulullah SAW meliputi ketaatan terhadap Sunnah, yang merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Sunnah memiliki kekuatan legislatif sendiri (tasyri') yang mungkin tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an (misalnya, jumlah rakaat salat atau detail ibadah haji). Oleh karena itu, menolak Sunnah berarti menolak ketaatan yang diperintahkan dalam ayat 59 ini, yang pada akhirnya sama dengan menolak ketaatan kepada Allah.
Kesatuan Dua Ketaatan
Meskipun dua ketaatan ini diperintahkan secara terpisah, keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Mustahil seseorang mengklaim taat kepada Allah tetapi menolak Sunnah Rasulullah. Allah menjadikan Rasul sebagai contoh (uswah hasanah) dan sebagai penjelas kehendak-Nya. Kedua ketaatan ini, yang memiliki sumber yang ma'sum (terjaga dari kesalahan), menjadi pilar utama penegakan hukum dalam Islam.
Ketaatan Kontekstual: Wa Ulil Amri Minkum
Makna Gramatikal Ulil Amri
Perbedaan paling mencolok dalam hirarki ini adalah pada frasa "wa Ulil Amri Minkum" (dan Ulil Amri di antara kamu). Di sini, kata kerja 'Athii’u' tidak diulang. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Ulil Amri bukanlah ketaatan mutlak yang berdiri sendiri, tetapi ketaatan yang terikat (al-taa'ah al-muqayyadah) oleh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketaatan kepada Ulil Amri harus senantiasa berada dalam bingkai syariat. Jika Ulil Amri memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur'an atau Sunnah, maka ketaatan tersebut gugur. Dalam hadis yang sahih, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Al-Khaliq (Pencipta)." Prinsip ini ditarik langsung dari tidak adanya pengulangan kata 'Athii’u' sebelum Ulil Amri.
Siapakah Ulil Amri? Pendapat Ulama
Terdapat khilaf (perbedaan pendapat) yang luas di kalangan ulama mengenai definisi Ulil Amri, namun secara umum terbagi menjadi dua kelompok utama, dan kelompok ketiga yang menggabungkannya:
1. Ulama (Para Ahli Ilmu dan Fikih)
Sebagian besar salaf dan mufasir awal, termasuk Mujahid, Ibnu Abbas (dalam sebagian riwayat), dan Imam Malik, berpendapat bahwa Ulil Amri merujuk kepada para ulama dan ahli fikih. Alasannya, merekalah yang memiliki otoritas untuk merumuskan hukum, menafsirkan syariat, dan memberikan fatwa. Ketaatan kepada mereka adalah dalam menerima dan mengikuti petunjuk keagamaan mereka, selama petunjuk itu sesuai dengan Qur'an dan Sunnah.
Ketaatan kepada ulama sangat penting karena tanpa mereka, umat tidak dapat memahami hukum Allah. Mereka adalah penerus para nabi dalam mengajarkan syariat. Dalam masyarakat modern, peran ulama ini mencakup dewan syariah dan lembaga fatwa yang menjadi rujukan spiritual dan hukum.
2. Umara (Para Penguasa atau Pemimpin Politik)
Pendapat lain, didukung oleh Imam Ahmad dan sebagian besar ulama mutaakhirin (belakangan), menyatakan bahwa Ulil Amri merujuk kepada Umara (pemimpin politik, penguasa, raja, presiden, atau pihak yang memegang kendali pemerintahan). Alasan di balik pendapat ini adalah bahwa ketaatan yang dimaksud dalam ayat ini mencakup penataan urusan publik, penegakan hukum, dan pencegahan kekacauan (fitnah).
Ketaatan kepada Umara diperlukan untuk menjaga ketertiban sosial, keamanan, dan pelaksanaan hukum syariat. Selama perintah pemimpin tidak melanggar syariat, umat wajib menaatinya demi kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah). Hal ini mencakup aturan lalu lintas, pajak yang adil, atau kebijakan publik lainnya.
3. Gabungan Kedua Kelompok
Pandangan yang paling komprehensif dan diterima luas saat ini adalah bahwa Ulil Amri mencakup kedua kelompok tersebut: para ulama (pemimpin spiritual dan intelektual) dan umara (pemimpin politik dan eksekutif). Ketaatan kepada ulama adalah ketaatan dalam hal ilmu dan fatwa, sedangkan ketaatan kepada umara adalah ketaatan dalam hal kebijakan dan penegakan hukum.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan Ibnu Katsir cenderung pada pandangan ini, menekankan bahwa sebuah masyarakat Islam hanya dapat tegak jika terjadi sinergi yang harmonis antara otoritas ilmu (ulama) dan otoritas kekuasaan (umara). Keduanya memiliki tugas untuk memastikan bahwa kehidupan komunitas beriman berjalan sesuai dengan tuntunan Ilahi.
Pentingnya frase "minkum" (di antara kamu) juga harus diperhatikan. Hal ini membatasi ketaatan pada otoritas yang berasal dari komunitas mukmin itu sendiri, atau setidaknya otoritas yang tunduk pada kerangka syariat Islam. Meskipun demikian, para ulama juga membahas kewajiban menaati penguasa non-Muslim dalam hal yang bersifat umum dan tidak bertentangan dengan prinsip agama, namun ketaatan yang dimaksud dalam ayat ini secara spesifik merujuk pada otoritas yang seharusnya menegakkan hukum Islam.
Dengan demikian, ketaatan kepada Ulil Amri adalah ketaatan bersyarat yang berfungsi sebagai mekanisme untuk mengorganisir kehidupan komunal, tetapi ia tidak pernah boleh melebihi atau menyamai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang bersifat mutlak.
Diagram sederhana yang menunjukkan Al-Qur'an (Q) dan As-Sunnah (S) sebagai landasan yang menjadi rujukan ketaatan.
Mekanisme Penyelesaian Perselisihan: Fa In Tanaza'tum
Bagian kedua dari ayat 59 ini memberikan solusi praktis dan teologis bagi umat Islam ketika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat dalam suatu perkara. Ini adalah prinsip konstitusional yang paling penting dalam sistem politik dan hukum Islam: "Fa in tanaza'tum fii syai'in farudduuhu ilallahi war rasuuli..." (Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul...).
Batasan Perselisihan (Tanaza'tum)
Kata ‘Tanaza’ berarti tarik-menarik, perselisihan, atau sengketa. Ayat ini mengakui bahwa perselisihan adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia, terutama ketika hukum ditegakkan oleh Ulil Amri (yang tidak ma’sum/terjaga dari kesalahan) atau ketika terjadi perbedaan interpretasi di kalangan ulama. Baik sengketa antara rakyat dengan pemimpin, maupun sengketa antara sesama rakyat, rujukan akhirnya tetap sama.
Rujukan Hukum: Ilallahi war Rasuuli
Ketika perselisihan terjadi, umat Islam diperintahkan untuk mengembalikan perkara tersebut kepada Allah dan Rasul. Merujuk kepada Allah artinya merujuk kepada Kitabullah (Al-Qur'an), dan merujuk kepada Rasul berarti merujuk kepada Sunnahnya, baik Sunnah yang masih hidup saat itu maupun Sunnah yang telah dicatat dan dipelihara setelah wafatnya beliau.
Prinsip rujukan ini secara efektif menempatkan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai otoritas judisial tertinggi, di atas setiap otoritas manusia, termasuk Ulil Amri. Ini adalah jaminan bahwa sistem Islam selalu memiliki fondasi yang stabil dan transparan, yang tidak dapat diubah oleh kemauan politik atau tekanan sosial semata.
Implikasi Rujukan
- Mengikat Ulil Amri: Mekanisme ini mengingatkan Ulil Amri bahwa otoritas mereka bersyarat. Jika perintah mereka menimbulkan sengketa dan bertentangan dengan wahyu, perintah mereka harus dibatalkan demi kepatuhan kepada wahyu.
- Menghilangkan Subjektivitas: Rujukan kepada sumber hukum yang objektif mencegah sengketa berlarut-larut berdasarkan hawa nafsu atau opini pribadi yang bias.
- Pintu Ijtihad: Rujukan ini juga menegaskan pentingnya Ijtihad. Ketika suatu masalah baru muncul dan tidak ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Qur'an atau Sunnah, ulama wajib melakukan ijtihad (usaha keras menggunakan akal berdasarkan kaidah syariat) yang tujuannya adalah menemukan hukum Allah dan Rasul yang paling mendekati, bukan menciptakan hukum baru.
Sejarah mencatat bahwa kaum Khawarij dan kelompok ekstremis lainnya gagal memahami prinsip ini. Mereka seringkali menolak otoritas Ulil Amri sepenuhnya karena dianggap telah melakukan kesalahan, tanpa melalui prosedur rujukan dan koreksi yang damai sebagaimana diperintahkan ayat ini. Ayat 59 mengajarkan koreksi internal yang terstruktur, bukan pemberontakan anarkis.
Syarat Keimanan dalam Rujukan
Ayat tersebut menambahkan syarat yang tegas: "In kuntum tu'minuuna billahi wal yawmil aakhir" (Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian). Rujukan kembali kepada Allah dan Rasul bukanlah pilihan, melainkan tes keimanan. Seseorang yang mengklaim beriman tetapi menolak sumber rujukan ini dalam perselisihan, berarti keimanan mereka terhadap Allah dan Hari Akhir dipertanyakan.
Ancaman Hari Akhir (Yawmil Aakhir) menjadi penekanan bahwa menolak ketaatan pada prinsip rujukan ini memiliki konsekuensi yang jauh melampaui urusan duniawi, melibatkan pertanggungjawaban di hadapan Mahkamah Ilahi. Ini adalah dorongan spiritual terkuat untuk selalu mencari kebenaran yang bersumber dari wahyu.
Keutamaan dan Hasil Akhir: Khairun wa Ahsanu Ta'wiilan
Ayat ditutup dengan penegasan bahwa mekanisme yang telah ditetapkan — yaitu ketaatan berjenjang dan rujukan kepada wahyu — adalah yang paling utama dan yang paling baik akibatnya: "Dzalika khairun wa ahsanu ta’wiilan".
Makna Khairun (Lebih Utama)
Rujukan kepada Al-Qur'an dan Sunnah adalah lebih baik (khairun) karena beberapa alasan:
- Kebaikan Duniawi: Menjamin keadilan, stabilitas, dan keteraturan sosial, mencegah perpecahan umat.
- Kebaikan Akhirat: Menjamin keselamatan dari siksa neraka dan meraih keridaan Allah.
Pendekatan ini memberikan kemaslahatan yang bersifat komprehensif, mencakup aspek dunia dan akhirat. Setiap solusi yang ditarik dari wahyu pasti lebih unggul daripada solusi yang dihasilkan dari akal atau hawa nafsu semata.
Makna Ahsanu Ta'wiilan (Lebih Baik Akibatnya)
Kata ‘Ta’wiil’ di sini berarti hasil akhir, interpretasi, atau penafsiran. Artinya, hasil atau keputusan yang didapatkan setelah merujuk kepada Allah dan Rasul adalah keputusan yang paling benar dan memiliki konsekuensi jangka panjang yang paling baik.
Mengapa akibatnya lebih baik? Karena keputusan yang berdasarkan wahyu tidak tunduk pada perubahan politik atau tekanan waktu. Keputusan itu bersifat permanen dalam kerangka kebenaran ilahi, memberikan kepastian hukum dan ketenangan bagi jiwa orang-orang beriman.
Klausa penutup ini adalah janji dari Allah SWT bahwa umat yang memegang teguh prinsip ketaatan dan rujukan ini akan selalu meraih hasil terbaik dalam urusan mereka, meskipun proses mencapai keputusan itu mungkin memerlukan ijtihad dan diskusi yang panjang. Ini adalah motivasi untuk selalu berpegang pada tali Allah (hablullah).
Timbangan Keadilan (Mizan) yang menunjukkan bahwa hukum dan kebijakan Ulil Amri harus senantiasa seimbang dan ditopang oleh Al-Qur'an dan Sunnah.
Konteks Historis dan Asbabun Nuzul
Untuk memahami kedalaman ayat 59, penting melihat konteks penurunannya (Asbabun Nuzul). Meskipun terdapat beberapa riwayat yang berbeda, semuanya mengarah pada masalah ketaatan kepada pemimpin militer atau perwakilan otoritas Rasulullah SAW.
Riwayat Tentang Sariyyah
Riwayat yang paling masyhur, yang dicatat oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan sebuah ekspedisi (sariyyah) yang dipimpin oleh seorang sahabat, Abdullah bin Hudzafah bin Qais As-Sahmi. Dalam sebuah ekspedisi, komandan ini (Ulil Amri) menjadi marah kepada pasukannya karena suatu hal. Sebagai bentuk teguran yang ekstrem, ia memerintahkan pasukannya untuk mengumpulkan kayu bakar, menyalakan api besar, dan memerintahkan mereka masuk ke dalam api tersebut.
Beberapa prajurit hampir melaksanakan perintah gila tersebut, dengan alasan mereka diperintahkan untuk menaati Ulil Amri. Namun, prajurit lain yang lebih bijaksana (terutama yang lebih tua) mencegah mereka, mengingatkan bahwa mereka mengikuti Islam justru untuk lari dari api neraka. Mereka memutuskan untuk tidak menaati perintah tersebut dan menunggu hingga mereka kembali kepada Rasulullah SAW.
Ketika mereka kembali dan menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah SAW, Beliau bersabda, "Seandainya kalian masuk ke dalamnya, niscaya kalian tidak akan pernah keluar darinya, karena ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma'ruf (kebaikan)."
Ayat 59 kemudian turun, mengklarifikasi bahwa Ulil Amri harus ditaati, tetapi dengan batasan yang sangat jelas: ketaatan itu harus sejalan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Perintah maksiat, seperti membakar diri, secara otomatis membatalkan kewajiban ketaatan.
Implikasi Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul ini memperkuat pemahaman bahwa:
- Otoritas Ulil Amri, bahkan yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah, tidak kebal dari kesalahan.
- Ketaatan dalam Islam bersifat hirarkis; ketaatan kepada Ulil Amri harus gugur jika bertentangan dengan prinsip dasar syariat (Qur'an dan Sunnah).
- Hukum yang bersifat naluriah dan universal (seperti menjaga jiwa) selalu berada di atas ketaatan kepada perintah manusia yang bertentangan.
Kisah ini menjadi landasan teologis yang kokoh untuk menentang tirani dan kepemimpinan yang zalim (selama penentangan itu masih dalam batas-batas syariat dan mengacu pada Qur'an/Sunnah), sambil tetap menjaga stabilitas dan menghindari perpecahan kecuali jika diperintahkan maksiat yang nyata.
Analisis Jurisprudensial dan Relevansi Modern
Ayat An-Nisa 59 bukan hanya ayat akidah dan etika, tetapi juga ayat Usul al-Fiqh (Prinsip Hukum Islam) yang sangat penting. Para fuqaha (ahli fikih) menggunakannya untuk merumuskan kaidah-kaidah kunci dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan.
Kaidah Fikih Utama
Ayat ini melahirkan kaidah penting dalam fikih politik Islam:
"La ta'ata li makhluqin fi ma'shiyatil Khaliq" (Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Pencipta).
Kaidah ini adalah filter etika dan moral terhadap setiap hukum positif yang dibuat oleh penguasa. Ini menjamin bahwa hak-hak asasi manusia yang ditetapkan oleh syariat (seperti hak hidup, hak beragama, hak milik) tidak dapat dihilangkan oleh perintah Ulil Amri.
Implikasi dalam Pemerintahan Modern
Dalam konteks negara modern, prinsip-prinsip An-Nisa 59 tetap relevan dan berfungsi sebagai landasan bagi:
1. Konstitusionalisme Islam
Ayat ini berfungsi sebagai Konstitusi fundamental, yang menempatkan Qur'an dan Sunnah sebagai undang-undang tertinggi, di atas setiap undang-undang atau kebijakan pemerintah (Ulil Amri). Ini berarti bahwa setiap undang-undang harus diuji kesesuaiannya dengan sumber rujukan utama.
2. Peran Lembaga Legislatif dan Yudikatif
Dalam sistem modern, lembaga yudikatif (pengadilan, mahkamah konstitusi) bertugas menjalankan fungsi "farudduuhu ilallahi war rasuuli", yaitu menguji perselisihan atau kebijakan pemerintah dengan merujuk pada prinsip-prinsip syariah yang ditarik dari Qur'an dan Sunnah.
3. Hubungan Ulama dan Umara
Ayat ini menuntut adanya keseimbangan kekuasaan dan kolaborasi yang sehat antara ahli ilmu (ulama/akademisi) dan pelaksana kekuasaan (umara/eksekutif). Ulama berfungsi sebagai penasihat spiritual, moral, dan hukum bagi umara, memastikan bahwa kebijakan publik tetap berada di jalur syariat.
Jika terjadi penyimpangan yang ekstrem dari Ulil Amri—misalnya, penguasa menolak syariat secara total atau memerintahkan kekufuran—maka para ulama berhak dan wajib mengeluarkan fatwa untuk mengoreksi atau bahkan, dalam kondisi ekstrem dan dengan pertimbangan maslahah yang sangat matang, untuk membatalkan ketaatan. Namun, ulama menekankan bahwa upaya koreksi harus selalu diutamakan demi menghindari kekacauan sosial dan pertumpahan darah yang lebih besar.
Tantangan Globalisasi dan Pluralisme
Dalam masyarakat yang plural, ayat ini mengajarkan umat Islam untuk menaati hukum negara (Ulil Amri), bahkan jika pemimpinnya non-Muslim, selama hukum tersebut tidak memaksa mereka melanggar prinsip dasar agama (seperti meninggalkan salat atau memakan yang haram). Ketaatan pada hukum sipil (seperti membayar pajak, menjaga ketertiban umum) adalah bagian dari menjaga perjanjian sosial dan kemaslahatan umum, yang sejalan dengan ruh ayat 59 selama tidak ada maksiat kepada Allah di dalamnya.
Pembedahan Linguistik Mendalam (Tahlil Lughawi)
Kekuatan ayat 59 terletak pada pilihan kata-kata bahasa Arab yang sangat presisi, yang memberikan implikasi hukum yang jelas.
1. Analisis Kata Kerja: Athii'u (Taatilah)
Kata ini berasal dari akar kata *ṭ-w-ʿ* yang berarti patuh, tunduk, atau melaksanakan perintah dengan sukarela. Dalam konteks ayat ini, penggunaan kata kerja perintah (fi'il amr) menunjukkan bahwa ketaatan adalah kewajiban agama (wajib).
Seperti dibahas sebelumnya, pengulangan 'Athii'u' untuk Allah dan Rasul, serta ketiadaannya untuk Ulil Amri, adalah penentu hukum yang krusial. Dalam ilmu balaghah (retorika Arab), pengulangan menunjukkan independensi sumber ketaatan, sedangkan penghilangan menunjukkan ketergantungan.
Perbedaan ini juga membedakan antara ketaatan yang berdasarkan otoritas mutlak (Allah dan Rasul yang ma'sum) dan ketaatan yang berdasarkan otoritas terikat dan bisa salah (Ulil Amri yang tidak ma'sum).
2. Analisis Frasa: Ulil Amri
Secara etimologi, *Ulil* berarti 'pemilik' atau 'yang memiliki', dan *Amr* berarti 'perintah', 'urusan', atau 'kekuasaan'. Jadi, *Ulil Amri* adalah 'orang-orang yang memiliki otoritas dalam urusan'.
Penggunaan kata jamak (*Uli*) dan kata majemuk (*Amri*) menunjukkan bahwa otoritas tersebut tidak terbatas pada satu individu (seperti raja atau khalifah) tetapi mencakup semua orang yang memegang kekuasaan yang relevan dalam masyarakat mukmin, baik itu penguasa tertinggi, hakim, pemimpin suku, atau bahkan komandan militer seperti dalam Asbabun Nuzul.
3. Analisis Istilah: Tanaza'tum (Kamu Berselisih)
Kata ini adalah bentuk kata kerja mutawa'a (resiprokal) dari *n-z-ʿ* yang berarti menarik atau mencabut. *Tanaza'tum* menunjukkan adanya saling tarik-menarik pandangan atau konflik pendapat. Ini mengindikasikan bahwa ayat ini bukan hanya berbicara tentang ketaatan individu, tetapi juga bagaimana perselisihan kolektif dalam komunitas (antara pemimpin dan rakyat, atau antar kelompok dalam Ulil Amri) harus diselesaikan.
Pengakuan adanya perselisihan ini adalah bukti pragmatisme Al-Qur'an. Islam tidak menuntut utopia tanpa perselisihan, melainkan menyediakan mekanisme yang jelas untuk mengelolanya secara damai dan adil.
4. Analisis Perintah Rujukan: Farudduuhu (Maka Kembalikanlah Ia)
Kata *Farudduuhu* adalah kata kerja perintah yang tegas, memaksa umat untuk mengembalikan perselisihan kepada Qur'an dan Sunnah. Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa solusi atas sengketa tidak boleh dicari di luar kerangka wahyu. Kata ganti (-hu) merujuk pada "syai'in" (sesuatu) yang diperselisihkan.
Perintah ini secara eksplisit menegasikan semua bentuk relativisme hukum. Ketika ada masalah, tidak ada ruang untuk mencari hukum di luar dua sumber utama tersebut jika seseorang mengklaim sebagai mukmin sejati.
Tauhid dalam Ketaatan dan Konsep Ma'sum
Kajian mendalam Surah An-Nisa 59 membawa kita kembali pada inti dari ajaran Islam: Tauhid (Keesaan Allah). Ayat ini mengajarkan Tauhid al-Hakimiyah (Keesaan dalam penetapan hukum) dan Tauhid al-Ittiba' (Keesaan dalam ketaatan dan kepatuhan).
Ketaatan Mutlak dan Ismah (Keterjagaan)
Alasan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak adalah karena mereka *ma'sum* (terjaga dari kesalahan) dalam hal legislasi syariat. Allah adalah Yang Maha Tahu dan Maha Benar. Rasulullah SAW, meskipun manusia, dijaga (diberikan *Ismah*) oleh Allah dalam menyampaikan, menafsirkan, dan melaksanakan syariat. Oleh karena itu, hukum yang bersumber dari Qur'an dan Sunnah adalah hukum yang sempurna dan tidak bercacat.
Sebaliknya, Ulil Amri adalah manusia biasa yang tidak memiliki *Ismah*. Mereka bisa keliru, berbuat zalim, atau terpengaruh hawa nafsu. Oleh karena itu, ketaatan kepada mereka harus dibatasi dan selalu diukur dengan standar yang *ma'sum*, yaitu Qur'an dan Sunnah.
Jika umat tidak memahami konsep Ismah ini, mereka mungkin akan menempatkan Ulil Amri setara dengan Rasulullah SAW, yang merupakan bentuk kesyirikan kecil dalam ketaatan (*shirk al-ta'ah*) jika mereka mematuhi Ulil Amri dalam maksiat. Ayat 59 adalah benteng terhadap penyelewengan akidah ini.
Menjaga Komunitas dari Fitnah
Ayat ini merupakan resep ilahi untuk menjaga komunitas mukmin dari perpecahan (fitnah). Dengan menetapkan sumber rujukan yang jelas di atas perselisihan manusia, Allah menyediakan tali penyelamat (hablullah) yang menjaga umat tetap bersatu di atas kebenaran.
Ketika terjadi perbedaan pendapat—baik dalam fikih, politik, atau sosial—yang mengancam perpecahan, langkah yang diwajibkan adalah menanggalkan opini pribadi dan kelompok, lalu dengan rendah hati kembali mencari solusi dalam lautan hikmah Al-Qur'an dan Sunnah. Proses ini bukan hanya prosedural, tetapi juga ritual keimanan yang menegaskan dominasi wahyu atas akal manusia.
Jika umat Islam mengabaikan mekanisme rujukan ini dan lebih memilih mengikuti tradisi, nasionalisme sempit, atau opini Ulil Amri yang jelas bertentangan dengan syariat, maka janji "lebih baik akibatnya" (ahsanu ta’wiilan) tidak akan terwujud. Sebaliknya, mereka akan terperosok ke dalam kekacauan dan kezaliman yang berkepanjangan.
Penutup Kajian
Surah An-Nisa ayat 59 adalah mercusuar dalam membimbing umat Islam menuju ketaatan yang terstruktur dan kehidupan sosial yang teratur. Ayat ini mengajarkan bahwa ketaatan adalah hirarkis, bahwa kepemimpinan manusia bersifat bersyarat, dan bahwa setiap perselisihan harus diselesaikan dengan merujuk pada sumber kebenaran abadi: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Bagi setiap mukmin, ayat ini adalah pengingat konstan bahwa segala bentuk kekuasaan, hukum, dan otoritas akhirnya harus tunduk dan bersandar pada kehendak Ilahi.