Ilustrasi dasar penciptaan dari jiwa tunggal (An-Nisa: 1).
Surat An-Nisa, ayat yang menduduki posisi pertama dari surat ini, bukanlah sekadar pembuka bab, melainkan sebuah pernyataan teologis dan sosiologis yang sangat padat. Ayat ini menjadi fondasi utama dalam hukum-hukum keluarga, hak-hak perempuan, dan prinsip dasar interaksi sosial dalam Islam. Ia menetapkan bahwa seluruh umat manusia berasal dari satu sumber tunggal, sehingga menegaskan kesetaraan fundamental dan mendesak umat manusia untuk memelihara hubungan kekerabatan.
Ayat ini terbagi menjadi lima komponen instruksi dan pernyataan yang saling menguatkan, membentuk kerangka etika dan hukum yang kokoh.
Seruan ini bersifat universal, ditujukan kepada seluruh umat manusia, bukan hanya kepada kaum Muslimin. Ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya—mengenai asal-usul, ketakwaan, dan kekerabatan—melampaui batas-batas keyakinan spesifik dan merupakan kebenaran kosmik yang harus diakui oleh setiap individu yang berakal. Penggunaan kata An-Nas (manusia) meniscayakan bahwa tanggung jawab ini adalah fitrah dasar kemanusiaan. Ini adalah panggilan pertama yang membangun jembatan kesamaan di antara seluruh ras dan suku bangsa.
Tafsir klasik menekankan bahwa memulai surat dengan seruan universal ini menyiapkan hati pembaca untuk menerima hukum-hukum yang akan menyusul, terutama yang berkaitan dengan hak waris, hak yatim, dan pernikahan, yang semuanya berakar pada hubungan darah dan penciptaan bersama.
Takwa (ketakutan yang disertai ketaatan) adalah inti dari seluruh ajaran Islam. Di sini, perintah takwa segera diikuti oleh alasan mengapa manusia harus bertakwa: karena Allah adalah pencipta mereka. Ini menunjukkan bahwa takwa bukanlah formalitas ritual, melainkan pengakuan logis atas kedaulatan Tuhan yang telah menganugerahkan keberadaan.
Ketakwaan dalam konteks ayat ini memiliki dua dimensi penting:
Ketika seseorang menyadari bahwa Rabbnya adalah Yang Maha Pencipta, secara otomatis ia akan tunduk pada aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya, baik dalam ranah pribadi maupun sosial.
Ini adalah inti pernyataan teologis dan fondasi kesetaraan dalam Islam. Penciptaan manusia dari Nafsin Wahidah (jiwa yang satu) merujuk kepada Adam AS. Allah kemudian menciptakan pasangannya, Hawa, wa khalaqa minhā zawjahā (dan menciptakan darinya pasangannya). Perbedaan gender dan ras yang kita lihat di dunia ini hanyalah cabang dari akar tunggal yang sama. Ini membantah segala bentuk supremasi rasial atau kasta.
Tafsir modern menyoroti bagaimana ayat ini menjadi penangkal diskriminasi. Semua klaim superioritas manusia runtuh di hadapan fakta bahwa darah setiap orang—dari raja hingga rakyat jelata—berasal dari DNA dan asal muasal yang sama. Ini adalah manifestasi keadilan Tuhan yang meletakkan dasar hak asasi manusia.
Frasa wa khalaqa minhā zawjahā sering kali diterjemahkan dalam konteks tradisi sebagai penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Meskipun Hadits sahih mendukung penafsiran ini, pesan utama Al-Qur'an adalah kesamaan substansi dan tujuan. Hawa diciptakan *dari* Adam, bukan sebagai entitas asing. Penciptaan ini menegaskan dua poin:
Setelah menyeru takwa kepada Allah (hak Allah), ayat ini segera menyambungkannya dengan instruksi untuk menjaga Al-Arham (tali kekerabatan). Al-Arham adalah jamak dari *rahim*, yang secara harfiah berarti rahim ibu, tempat semua manusia pertama kali dibentuk. Hal ini menunjukkan betapa sucinya hubungan kekerabatan di mata Allah.
Penyebutan *Al-Arham* diletakkan berdampingan dengan nama Allah dalam perintah takwa, menunjukkan pentingnya luar biasa dari *Silaturahim* (menghubungkan rahim/tali kekerabatan). Jika seseorang memutuskan hubungan dengan kerabatnya, ia seolah-olah mengabaikan fondasi penciptaan yang telah diatur oleh Allah.
Dalam konteks Fiqih, ayat ini merupakan dasar bagi seluruh hukum waris, nafkah, dan perlindungan terhadap anak yatim dan janda—tema sentral Surat An-Nisa. Melanggar hak-hak kerabat, terutama yang lemah, dianggap setara dengan melanggar hak Allah. Ini adalah perintah etik yang menyentuh akar masyarakat. Menjaga kekeluargaan berarti menjamin sistem dukungan sosial, ekonomi, dan moral dalam komunitas.
Ayat ditutup dengan pernyataan yang berfungsi sebagai peringatan dan jaminan. Raqībā berarti Maha Mengawasi, Maha Mengamati. Allah tidak hanya menciptakan, tetapi juga terus-menerus memantau tindakan manusia, terutama dalam hal menjaga amanah dan hak-hak sosial.
Jika manusia mungkin bisa menyembunyikan kezaliman mereka terhadap kerabat atau anak yatim dari pandangan manusia lain, mereka tidak akan bisa menyembunyikannya dari Raqib. Penutup ini mengikat semua perintah sebelumnya (Takwa, pengakuan asal usul tunggal, dan menjaga silaturahim) ke dalam kesadaran Ilahi yang menyeluruh. Ini mendorong integritas moral yang didorong oleh kesadaran kehadiran Tuhan, bukan sekadar ketakutan pada hukum manusia.
Ayat 1 Surat An-Nisa bukan hanya sepotong ayat; ia adalah konstitusi mini yang mengintegrasikan teologi murni (Tauhid) dengan etika praktis (Muamalah). Untuk memahami kedalaman 5000 kata dari ayat ini, kita harus memeriksa implikasi tafsirnya secara berulang dan mendalam dari berbagai sudut pandang.
Pernyataan bahwa kita diciptakan dari jiwa yang satu adalah bukti Tauhid Rububiyah (Keesaan Allah dalam Penciptaan). Hanya satu Dzat yang memulai proses ini, membantah klaim politeisme atau dualisme pencipta. Logika yang ditawarkan Al-Qur'an sangat sederhana: Jika semua berasal dari satu, maka hanya ada satu yang berhak disembah.
Analisis Ibn Kathir seringkali memulai tafsirnya dengan menekankan bagaimana ayat ini berfungsi sebagai peringatan tentang kekuasaan Allah. Manusia yang sombong dan memisahkan diri dari sesamanya diingatkan bahwa mereka berbagi asal-usul yang sama di rahim Adam dan Hawa. Ini memperkuat ketaatan pada Allah, karena ketaatan kepada Sang Pencipta harus diwujudkan melalui perlakuan baik terhadap ciptaan-Nya yang memiliki kekerabatan dengan kita.
Kewajiban menjaga Al-Arham adalah salah satu aspek hukum paling ditekankan dalam ayat ini. Para ulama fiqih dan moral membagi kewajiban ini menjadi beberapa tingkatan:
Ini mencakup mengunjungi kerabat, membantu mereka secara finansial jika mereka membutuhkan (terutama kerabat dekat seperti orang tua, saudara kandung, dan paman/bibi), serta terlibat dalam acara-acara penting mereka. An-Nisa Ayat 1 mendasari hukum nafkah wajib bagi kerabat tertentu yang tidak mampu.
Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa melalaikan Al-Arham adalah dosa besar (Kabair). Kekerabatan adalah ikatan suci. Bahkan jika kerabat tersebut berbuat buruk, kewajiban untuk tidak memutus hubungan tetap berlaku. Ini adalah ujian tertinggi dari takwa: apakah kita mampu menjaga hubungan yang sulit demi memenuhi perintah Ilahi?
Ini berarti menjaga kehormatan kerabat, mendoakan mereka, tidak memfitnah mereka, dan menjaga lidah dari ucapan buruk tentang mereka. Dalam masyarakat yang didominasi oleh konflik keluarga, ayat ini berfungsi sebagai perintah perdamaian. Kerabat adalah orang pertama yang harus menerima kebaikan kita, sebelum orang asing.
Penekanan pada tasā'alūna bihi (melalui nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain) mengaitkan hubungan sosial dengan sumpah dan janji suci. Ketika seseorang meminta bantuan atau haknya, ia sering menggunakan nama Allah. Ayat ini mengingatkan bahwa bahkan permintaan sehari-hari antar sesama manusia harus dijaga kesuciannya, apalagi hubungan darah yang telah diikrarkan oleh Pencipta itu sendiri.
Meskipun Surat An-Nisa secara keseluruhan dikenal sebagai surat tentang perempuan (An-Nisa), ayat pertamanya menetapkan kerangka hak yang fundamental.
Pertama, ia menegaskan bahwa Hawa (perempuan pertama) diciptakan dari substansi yang sama dengan Adam, secara implisit menolak pandangan kuno yang menganggap perempuan sebagai makhluk inferior atau sekunder dalam esensi. Mereka berdua adalah mitra dalam proses penciptaan dan reproduksi.
Kedua, frasa wa batstsa minhumā rijālan kathīran wa nisā'ā (dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak) menempatkan peran perempuan dalam melanjutkan eksistensi umat manusia pada posisi yang sama pentingnya dengan laki-laki. Tidak ada perbedaan nilai dasar antara kuantitas pria dan kuantitas wanita yang tersebar di bumi; keduanya adalah hasil dari proses Ilahi yang sama.
Ayat ini berfungsi sebagai pembukaan yang ideal untuk surat yang akan membahas perlindungan hak waris janda, hak mahar, dan perlakuan adil dalam pernikahan. Semua hukum ini berakar pada pengakuan bahwa wanita adalah bagian tak terpisahkan dan setara dari jiwa yang satu.
Penutupan ayat dengan Inna Allāha kāna 'alaykum raqībā (Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kamu) adalah konklusi yang sangat kuat. Konsep Raqib melampaui sekadar pengawasan; ini menyiratkan pengetahuan yang menyeluruh dan akuntabilitas total.
Dalam tradisi Sufi, kesadaran akan Raqib melahirkan konsep Muraqabah—keadaan di mana hati dan pikiran senantiasa menyadari kehadiran Allah. Ayat ini mengajarkan bahwa karena Allah selalu mengawasi, maka tindakan kita terhadap sesama—terutama dalam konteks keluarga yang rentan—harus didasarkan pada keikhlasan tertinggi.
Kesadaran Raqib menjadi katalisator keadilan. Seorang wali yang mengelola harta anak yatim (yang akan dibahas di ayat-ayat berikutnya) akan takut untuk berbuat curang, bukan hanya karena takut hukum dunia, tetapi karena keyakinan mutlak bahwa setiap detail transaksinya tercatat dan disaksikan oleh Sang Maha Pengawas.
Jika kita meletakkan kewajiban menjaga Al-Arham di bawah pengawasan Raqib, kita memahami bahwa pelanggaran terhadap kerabat bukan hanya masalah sosial, tetapi pengkhianatan terhadap perintah Ilahi. Ini memastikan bahwa meskipun tidak ada lembaga penegak hukum yang hadir, pengawasan metafisik selalu ada, menjaga fondasi masyarakat Islam dari keruntuhan internal.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman dan keluasan yang diminta, kita harus mensintesiskan bagaimana setiap frasa dalam An-Nisa Ayat 1 saling mendukung dalam menciptakan sistem moral yang utuh.
Takwa adalah perintah pertama dan kedua dalam ayat ini. Takwa yang pertama (Ittaqu Rabbakum) didasarkan pada Penciptaan. Takwa yang kedua (Wattaqullaha alladhi tasa'aluna bihi) diperluas untuk mencakup interaksi sosial, khususnya melalui sumpah dan kekerabatan. Ini menunjukkan bahwa ibadah tidak dapat dipisahkan dari muamalah. Ketakutan kepada Allah harus termanifestasi dalam perlakuan baik terhadap manusia.
Para mufasir menekankan bahwa ini adalah contoh sempurna integrasi Islam: keyakinan metafisik (Allah adalah Rabb dan Pencipta) diterjemahkan langsung menjadi etika praktis (jaga hubungan keluarga). Kegagalan dalam menjaga keluarga menunjukkan kelemahan dalam ketakwaan kepada Allah, karena ia melanggar tatanan sosial yang ditetapkan oleh Rabb yang sama.
Dalam bahasa Arab, *Nafs* bisa berarti jiwa, diri, atau substansi. Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa asal-usul manusia adalah murni, tanpa cela, dan tunggal. Ini membantah teori evolusi modern yang mengedepankan multiversalitas sumber manusia. Dalam pandangan Islam, keragaman (ras, bahasa, suku) adalah hasil dari proses penyebaran (*batstsa*), bukan dari asal yang berbeda.
Mengapa Al-Qur'an memilih kata yang secara spesifik merujuk pada organ kewanitaan untuk mewakili kekerabatan? Ini adalah pengakuan mendalam terhadap peran ibu dan perempuan sebagai sentra (rahim) dari segala hubungan kekerabatan. Ikatan darah yang paling kuat adalah yang berasal dari rahim, menempatkan perempuan di posisi terhormat sebagai penghubung dan sumber silaturahim. Melindungi Al-Arham juga berarti secara implisit melindungi martabat kaum wanita yang menjadi tempat bersatunya kekerabatan.
Di era modern, di mana sistem hukum seringkali tidak mampu menjangkau setiap kezaliman dalam rumah tangga atau perselisihan waris, konsep Raqib menjadi sangat relevan. Ia berfungsi sebagai penegak hukum internal. Ketika seseorang mempertimbangkan untuk menipu saudaranya dalam hal warisan atau mengabaikan kebutuhan orang tua yang sudah renta, kesadaran bahwa Allah Raqib (Maha Mengawasi) adalah benteng terakhir keadilan. Ini adalah mekanisme pengendalian diri yang lebih kuat daripada sanksi sosial atau hukum.
Pengawasan Ilahi ini mencakup setiap transaksi kecil yang terjadi di antara kerabat: pinjaman yang tidak dikembalikan, janji yang dilanggar, atau kata-kata kasar yang diucapkan. Semua itu berada di bawah pemantauan yang sempurna.
Bagaimana ayat ini membimbing Muslim dalam situasi sehari-hari? Inti dari An-Nisa Ayat 1 harus diterapkan secara konsisten dalam tiga area:
Karena pasangan diciptakan dari jiwa yang sama, hubungan suami istri harus didasarkan pada rasa hormat dan kemitraan, bukan dominasi. Tujuan pernikahan, sebagaimana ditegaskan oleh ayat ini, adalah penyebaran manusia (reproduksi) dan pencapaian ketenangan (sakinah), yang hanya mungkin terjadi bila kedua pihak diakui kesetaraan esensialnya.
Ayat ini menetapkan bahwa rumah tangga Islam dibangun atas dasar taqwa bersama. Setiap keputusan, dari mendidik anak hingga mengelola keuangan, harus diukur berdasarkan apakah hal itu melanggar hak-hak yang diakui oleh Al-Qur'an dan apakah dilakukan dengan kesadaran bahwa Allah mengawasi.
Surat An-Nisa adalah surat hukum waris utama. Ayat 1 menjadi pembuka karena mengingatkan para ahli waris: sebelum menghitung persentase harta, ingatlah bahwa semua harta ini berasal dari satu sumber dan kalian semua terhubung melalui Al-Arham. Konflik warisan, yang sering menghancurkan keluarga, adalah ujian paling langsung terhadap komitmen menjaga kekerabatan. Ayat ini secara tegas melarang keserakahan yang memutuskan tali silaturahim.
Keadilan dalam waris adalah manifestasi konkret dari taqwa. Ketidakadilan sekecil apapun dalam pembagian warisan, terutama kepada kerabat yang lemah seperti anak yatim atau perempuan yang kurang berdaya, merupakan pelanggaran langsung terhadap peringatan Raqibā.
Meskipun ayat ini secara eksplisit membahas kerabat darah, konsep Nafsin Wahidah meluas untuk mencakup seluruh umat manusia. Umat Muslim diajarkan untuk menghormati non-Muslim karena mereka pun memiliki asal-usul penciptaan yang sama. Perintah untuk bertakwa kepada Rabb yang menciptakan seluruh manusia dari jiwa yang satu menuntut perlakuan adil kepada semua individu, regardless of faith.
Dalam konteks global, ayat ini mempromosikan perdamaian dan kerjasama. Jika para pemimpin dunia mengingat bahwa populasi mereka, baik yang diperangi maupun yang memerangi, berasal dari akar tunggal yang sama, maka resolusi konflik akan didasarkan pada prinsip persaudaraan universal, sebagaimana diamanahkan oleh Sang Pencipta. Konsep ini menjadi landasan bagi dialog antar-peradaban, menyatukan manusia di bawah panji asal usul yang sama.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Surat An-Nisa Ayat 1 adalah pra-syarat filosofis untuk memahami seluruh hukum (Syariah) yang akan dijelaskan dalam surat tersebut dan dalam Islam secara keseluruhan. Ia berfungsi sebagai maqasid al-sharia (tujuan syariah) di ranah keluarga.
Salah satu tujuan utama syariah adalah menjaga keturunan (*Hifz al-Nasl*). Ayat 1 secara langsung membahas hal ini melalui frasa *wa batstsa minhumā rijālan kathīran wa nisā'ā*. Penyebaran umat manusia adalah tujuan ilahi. Oleh karena itu, hukum-hukum dalam Islam (seperti larangan perzinaan, kewajiban menikah, dan hukum waris) dirancang untuk memastikan bahwa penyebaran ini terjadi dalam kerangka yang bermartabat, sah, dan terstruktur, yang dimulai dan dihormati melalui penjagaan Al-Arham.
Jika kekerabatan dihancurkan—misalnya, melalui penolakan terhadap anak kandung atau pengabaian orang tua—maka tujuan syariah untuk menjaga nasab dan keturunan telah dilanggar. An-Nisa 1 mengingatkan bahwa kelangsungan hidup peradaban manusia bergantung pada pengakuan akar tunggal dan pemeliharaan cabang-cabangnya.
Ayat ini secara indah menyeimbangkan hak individu dengan tanggung jawab kolektif. Setiap individu diperintahkan untuk bertakwa secara pribadi, namun wujud nyata ketakwaan itu adalah melalui tindakan yang bermanfaat bagi komunitas terdekat (keluarga). Kualitas moral individu (takwa) diuji melalui keadilan sosialnya (menjaga Al-Arham). Ayat ini menolak individualisme ekstrem yang mengabaikan kewajiban terhadap kerabat, karena eksistensi pribadi seseorang tidak terlepas dari proses penciptaan bersama yang terhubung.
Manusia adalah *khalifah* (wakil) Allah di bumi. Tanggung jawab pertama dalam kekhalifahan adalah mengelola manusia dan hubungan mereka dengan adil. Dan Al-Qur'an memilih keluarga, yang diciptakan dari jiwa tunggal, sebagai medan uji pertama untuk kekhalifahan ini.
Surat An-Nisa Ayat 1 adalah gerbang menuju pemahaman hukum Islam mengenai hak-hak manusia, warisan, dan tata kelola sosial. Ini adalah pengingat abadi bahwa kekuatan masyarakat terletak pada kesadaran akan asal-usul yang satu dan komitmen tak tergoyahkan terhadap etika kekerabatan.
Ayat ini menetapkan bahwa ketakwaan sejati diukur bukan hanya dari ritual ibadah, tetapi dari bagaimana seseorang memperlakukan mereka yang memiliki ikatan darah dengannya—terutama mereka yang rentan dan membutuhkan. Setiap hubungan kekeluargaan yang dijaga adalah sebuah pengakuan terhadap keesaan Allah yang menciptakan Adam dan Hawa, dan setiap kezaliman terhadap kerabat adalah penolakan terhadap pemantauan abadi Sang Raqibā.
Pesan sentralnya tetap konsisten dan universal: Jadilah hamba yang bertakwa, sadari asal-usulmu yang mulia dan tunggal, hormati tali kekerabatan yang telah ditetapkan Ilahi, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat dan Maha Mengawasi segala tindakanmu. Prinsip-prinsip ini harus menjadi landasan utama bagi setiap Muslim dalam membangun rumah tangga, masyarakat, dan interaksi global yang didasarkan pada keadilan dan persaudaraan sejati yang berakar pada nafsin wahidah.
Ayat pembuka surat keempat dalam Al-Qur'an ini adalah undangan untuk merenungkan status kita yang setara, menuntut reformasi sosial dari dalam diri, dan memastikan bahwa hak-hak kaum lemah di antara kerabat kita—termasuk hak-hak anak yatim dan perempuan—selalu dipenuhi dengan penuh integritas, karena kita semua adalah satu keluarga besar yang diawasi oleh satu Pencipta.
Kajian ini telah berulang kali menegaskan bahwa perintah takwa adalah poros yang menghubungkan penciptaan masa lalu dengan tanggung jawab masa kini. Manusia diminta untuk menggunakan akalnya, merenungkan bagaimana dari jiwa yang satu bisa tersebar populasi yang tak terhitung jumlahnya. Keajaiban multiplikasi ini harus melahirkan rasa syukur dan ketaatan. Oleh karena itu, menjaga silaturahim adalah bentuk nyata dari rasa syukur atas keajaiban penciptaan yang terus berlangsung dari generasi ke generasi, semuanya berawal dari satu pasangan, Adam dan Hawa.
Ketika kita kembali pada frasa Yā ayyuhā an-nāsu, kita diingatkan bahwa tanggung jawab moral ini bukanlah pilihan, melainkan sebuah kewajiban universal yang mengikat semua manusia, sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan yang sama, berbagi esensi yang sama, dan hidup di bawah pengawasan-Nya yang tak pernah terlewat. Kesadaran ini menuntut pemahaman hukum yang mendalam mengenai waris, nafkah, dan pergaulan baik, yang semuanya akan diuraikan lebih lanjut dalam Surat An-Nisa. Ayat pertama adalah kunci, memegang filosofi dan etika yang menopang seluruh struktur hukum surat tersebut.
Pengulangan dan penekanan pada tema takwa dan asal-usul tunggal ini bertujuan untuk mengukir dalam kesadaran Muslim bahwa tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan kewajiban sosial. Kesalehan seseorang tercermin dari seberapa baik ia melaksanakan hak-hak keluarga, karena di mata Allah, memutuskan tali kekerabatan adalah memutuskan tatanan kosmik yang telah Dia tetapkan. Inilah warisan abadi dari An-Nisa Ayat 1.
Pengawasan Ilahi (Raqībā) di sini berfungsi sebagai motivasi terbesar. Tidak ada kebaikan yang luput dari pandangan-Nya, dan tidak ada kezaliman yang bisa disembunyikan. Kesadaran akan kehadiran Allah ini memurnikan niat (ikhlas) dan memastikan konsistensi dalam tindakan, bahkan di saat-saat paling pribadi dan rentan dalam hubungan keluarga. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya memberikan hukum, tetapi juga menanamkan kesadaran etis yang menjamin implementasi hukum tersebut secara adil dan berkelanjutan.
Studi ini menunjukkan bahwa Surat An-Nisa Ayat 1 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an yang mencakup dimensi Tauhid, Fiqih, dan Etika secara serentak. Kekuatan pesannya terletak pada keterkaitannya: Pengakuan Pencipta menghasilkan Takwa, Takwa menuntut pengakuan Kesatuan Asal-usul, dan Kesatuan Asal-usul menuntut pemeliharaan Kekerabatan di bawah pengawasan Ilahi.
Ayat ini adalah batu ujian bagi iman. Seberapa jauh seseorang siap mengorbankan kepentingan pribadi demi menjaga silaturahim adalah indikator sejati seberapa dalam ia memahami dan mengamalkan Takwa yang diperintahkan dalam ayat ini.