Kajian Mendalam Tajwid dan Tafsir Surah An-Nisa Ayat 59
Surah An-Nisa, surah keempat dalam Al-Qur'an, merupakan salah satu surah Madaniyah yang kaya akan petunjuk dan hukum. Namanya, "An-Nisa" yang berarti "Wanita", menunjukkan perhatian besar Islam terhadap hak dan kedudukan perempuan. Namun, cakupan surah ini jauh lebih luas, menyentuh pilar-pilar penting dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan beragama. Salah satu ayat yang menjadi fondasi utama dalam tatanan sosial dan kepemimpinan Islam adalah ayat ke-59. Ayat ini sering disebut sebagai "Ayat Taat" atau "Ayat Ulil Amri" karena kandungan perintahnya yang fundamental mengenai hierarki ketaatan seorang Muslim.
Mengkaji ayat ini tidak cukup hanya dari terjemahannya. Untuk merasakan kedalaman makna dan kemukjizatan lafaznya, diperlukan pemahaman ilmu tajwid. Tajwid adalah ilmu yang mempelajari cara melafalkan huruf-huruf Al-Qur'an dengan benar sesuai dengan makhraj (tempat keluar huruf) dan sifat-sifatnya. Dengan tajwid yang benar, bacaan Al-Qur'an menjadi fasih, indah, dan yang terpenting, terhindar dari kesalahan makna yang fatal. Artikel ini akan mengupas secara komprehensif hukum-hukum tajwid yang terkandung dalam setiap lafaz Surah An-Nisa ayat 59, diikuti dengan tafsir mendalam mengenai pesan universal yang disampaikannya.
Teks Ayat, Transliterasi, dan Terjemahan
Berikut adalah bacaan lengkap Surah An-Nisa Ayat 59 beserta transliterasi latin dan terjemahan dalam Bahasa Indonesia untuk menjadi landasan pembahasan kita.
Transliterasi: Yā ayyuhal-lażīna āmanū aṭī‘ullāha wa aṭī‘ur-rasūla wa ulil-amri minkum, fa in tanāza‘tum fī syai'in faruddūhu ilallāhi war-rasūli in kuntum tu'minūna billāhi wal-yaumil-ākhir(i), żālika khairuw wa aḥsanu ta'wīlā(n).
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Analisis Tajwid Lengkap Surah An-Nisa Ayat 59
Setiap lafaz dalam ayat ini mengandung kaidah-kaidah tajwid yang memperindah bacaan dan menjaga keaslian wahyu. Mari kita urai satu per satu hukum tajwid yang terkandung di dalamnya dalam tabel berikut agar lebih mudah dipahami.
| Lafaz (Potongan Ayat) | Hukum Tajwid | Penjelasan |
|---|---|---|
| يٰٓاَيُّهَا | Mad Jaiz Munfasil | Terjadi ketika Mad Thabi'i (dalam hal ini, huruf Ya' yang difathah berdiri) bertemu dengan huruf Hamzah (أ) di lain kata. Dibaca panjang 2, 4, atau 5 harakat. |
| الَّذِيْنَ | Alif Lam Syamsiyah & Mad Thabi'i | Alif Lam Syamsiyah: Huruf Alif Lam (ال) bertemu dengan huruf Syamsiyah (ذ). Alif Lam tidak dibaca, melainkan dilebur ke huruf berikutnya. Mad Thabi'i: Huruf Dzal (ذ) berharakat kasrah bertemu dengan Ya Sukun (يْ). Dibaca panjang 2 harakat. |
| اٰمَنُوْٓا | Mad Badal & Mad Thabi'i | Mad Badal: Setiap hamzah yang dibaca panjang. Pada lafaz ini, hamzah (ء) berharakat fathah berdiri. Dibaca panjang 2 harakat. Mad Thabi'i: Huruf Nun (ن) berharakat dhammah bertemu dengan Waw Sukun (وْ). Dibaca panjang 2 harakat. |
| اَطِيْعُوا | Mad Thabi'i | Huruf 'Ain (ع) berharakat kasrah bertemu dengan Ya Sukun (يْ). Dibaca panjang 2 harakat. |
| اللّٰهَ | Lam Tafkhim (Tebal) | Lafaz Allah (الله) didahului oleh huruf berharakat fathah (huruf 'Ain pada أَطِيعُوا). Maka, huruf Lam pada lafaz Allah dibaca tebal. |
| وَاَطِيْعُوا | Mad Thabi'i | Sama seperti sebelumnya, huruf 'Ain (ع) berharakat kasrah bertemu dengan Ya Sukun (يْ). Dibaca panjang 2 harakat. |
| الرَّسُوْلَ | Alif Lam Syamsiyah & Mad Thabi'i | Alif Lam Syamsiyah: Huruf Alif Lam (ال) bertemu dengan huruf Syamsiyah (ر). Alif Lam dilebur ke huruf Ra. Mad Thabi'i: Huruf Sin (س) berharakat dhammah bertemu dengan Waw Sukun (وْ). Dibaca panjang 2 harakat. |
| وَاُولِى الْاَمْرِ | Alif Lam Qamariyah & Ra Tarqiq | Alif Lam Qamariyah: Huruf Alif Lam (ال) bertemu dengan huruf Qamariyah (أ). Huruf Lam dibaca jelas (Izhar). Ra Tarqiq (Tipis): Huruf Ra (ر) berharakat kasrah, sehingga harus dibaca tipis. |
| مِنْكُمْۚ | Ikhfa Haqiqi | Terjadi ketika Nun Sukun (نْ) bertemu dengan salah satu huruf Ikhfa, yaitu Kaf (ك). Dibaca dengan dengung yang disamarkan, siap-siap ke makhraj huruf Kaf. |
| فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ | Ikhfa Haqiqi & Idzhar Syafawi | Ikhfa Haqiqi: Nun Sukun (نْ) bertemu dengan huruf Ta (ت). Dibaca dengung samar. Idzhar Syafawi: Mim Sukun (مْ) bertemu dengan huruf Fa (ف). Mim Sukun dibaca jelas tanpa dengung. |
| فِيْ شَيْءٍ | Mad Thabi'i & Mad Lin | Mad Thabi'i: Huruf Fa (ف) berharakat kasrah bertemu Ya Sukun (يْ). Dibaca panjang 2 harakat. Mad Lin: Ya Sukun (يْ) didahului oleh huruf berharakat fathah (ش). Dibaca lembut. |
| شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ | Ikhfa Haqiqi & Mad Thabi'i | Ikhfa Haqiqi: Tanwin kasrah ( ٍ ) bertemu dengan huruf Fa (ف). Dibaca dengung samar. Mad Thabi'i: Huruf Dal (د) berharakat dhammah bertemu Waw Sukun (وْ). Dibaca panjang 2 harakat. |
| اِلَى اللّٰهِ | Lam Tafkhim (Tebal) | Lafaz Allah (الله) didahului oleh huruf berharakat fathah (Lam pada إِلَى). Maka, huruf Lam dibaca tebal. |
| وَالرَّسُوْلِ | Alif Lam Syamsiyah & Mad Thabi'i | Alif Lam Syamsiyah: Huruf Alif Lam (ال) bertemu dengan huruf Ra (ر). Dilebur. Mad Thabi'i: Huruf Sin (س) berharakat dhammah bertemu Waw Sukun (وْ). Dibaca panjang 2 harakat. |
| اِنْ كُنْتُمْ | Ikhfa Haqiqi & Ikhfa Syafawi | Ikhfa Haqiqi (pertama): Nun Sukun (نْ) bertemu huruf Kaf (ك). Dengung samar. Ikhfa Haqiqi (kedua): Nun Sukun (نْ) pada كُنْتُمْ bertemu huruf Ta (ت). Dengung samar. Ikhfa Syafawi: Mim Sukun (مْ) bertemu dengan huruf Ba (ب) pada lafaz تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ. Namun, di sini tidak ada. Jika setelahnya ada Ba, barulah menjadi Ikhfa Syafawi. Pada lafaz ini, setelah Mim Sukun adalah Ta, maka hukumnya adalah Idzhar Syafawi, dibaca jelas. |
| تُؤْمِنُوْنَ | Mad Thabi'i | Huruf Nun (ن) berharakat dhammah bertemu dengan Waw Sukun (وْ). Dibaca panjang 2 harakat. Jika waqaf (berhenti) di lafaz ini, maka menjadi Mad 'Aridh Lissukun, boleh dibaca 2, 4, atau 6 harakat. |
| بِاللّٰهِ | Lam Tarqiq (Tipis) | Lafaz Allah (الله) didahului oleh huruf berharakat kasrah (Ba pada بِ). Maka, huruf Lam pada lafaz Allah dibaca tipis. |
| وَالْيَوْمِ | Alif Lam Qamariyah & Mad Lin | Alif Lam Qamariyah: Alif Lam (ال) bertemu huruf Ya (ي). Lam dibaca jelas. Mad Lin: Waw Sukun (وْ) didahului oleh huruf berharakat fathah (Ya pada يَوْ). Dibaca lembut. |
| الْاٰخِرِۗ | Alif Lam Qamariyah, Mad Badal & Ra Tarqiq | Alif Lam Qamariyah: Alif Lam (ال) bertemu Hamzah (أ). Lam dibaca jelas. Mad Badal: Hamzah (ء) berharakat fathah berdiri. Dibaca panjang 2 harakat. Ra Tarqiq: Huruf Ra (ر) berharakat kasrah, dibaca tipis. |
| ذٰلِكَ | Mad Thabi'i | Huruf Dzal (ذ) berharakat fathah berdiri. Dibaca panjang 2 harakat. |
| خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ | Idgham Bighunnah | Tanwin dhammah ( ٌ ) bertemu dengan huruf Waw (و). Suara tanwin dilebur ke dalam huruf Waw disertai dengan dengung (ghunnah) selama 2 harakat. |
| تَأْوِيْلًا | Mad 'Iwadh | Terjadi ketika berhenti (waqaf) pada huruf yang berharakat fathatain (tanwin fathah), selain Ta Marbutah (ة). Tanwin dihilangkan dan dibaca panjang 2 harakat seperti Mad Thabi'i. |
Tafsir Mendalam: Pilar Ketaatan dan Solusi Perselisihan
Setelah memahami cara membacanya dengan benar, kini saatnya kita menyelami lautan makna yang terkandung dalam Surah An-Nisa ayat 59. Ayat ini secara gamblang menetapkan tiga pilar ketaatan bagi orang beriman dan memberikan sebuah mekanisme penyelesaian konflik yang abadi.
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu..."
1. Pilar Pertama dan Utama: Ketaatan kepada Allah SWT
Perintah pertama dan paling fundamental adalah "Taatilah Allah" (أَطِيعُوا اللَّهَ). Ketaatan ini bersifat mutlak, tanpa syarat, dan tanpa tawar-menawar. Ketaatan kepada Allah adalah inti dari keimanan dan keislaman seseorang. Wujud nyata dari ketaatan ini adalah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya yang termaktub di dalam kitab suci Al-Qur'an. Al-Qur'an adalah firman Allah yang menjadi pedoman hidup (way of life) bagi seluruh umat manusia. Tidak ada satu pun perintah dalam Al-Qur'an yang boleh diabaikan, dan tidak ada satu pun larangan yang boleh dilanggar. Ketaatan ini mencakup seluruh aspek kehidupan, mulai dari ibadah ritual seperti shalat, puasa, zakat, hingga aspek muamalah seperti etika berbisnis, berkeluarga, dan bersosial.
Allah SWT menggunakan kata "aṭī‘ū" yang berasal dari kata "ṭā'ah," yang berarti kepatuhan yang lahir dari kesadaran dan kerelaan, bukan keterpaksaan. Ini menunjukkan bahwa ketaatan seorang mukmin kepada Rabb-nya harus didasari oleh cinta, pengharapan akan ridha-Nya, dan rasa takut akan azab-Nya. Ia bukanlah ketaatan buta, melainkan ketaatan yang lahir dari keyakinan bahwa setiap aturan Allah pasti membawa kebaikan (maslahat) dan mencegah keburukan (mafsadat), baik yang bisa dipahami oleh akal manusia maupun yang tidak.
2. Pilar Kedua: Ketaatan kepada Rasulullah SAW
Selanjutnya, Allah memerintahkan, "dan taatilah Rasul" (وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ). Perhatikan bahwa kata kerja "aṭī‘ū" (taatilah) diulang kembali sebelum menyebut Rasul. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa pengulangan ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW memiliki otoritas untuk ditaati secara independen dalam hal-hal yang beliau perintahkan, yang merupakan penjelasan, rincian, atau bahkan ketetapan baru yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an. Inilah yang kita kenal sebagai As-Sunnah atau Hadits.
Ketaatan kepada Rasulullah SAW adalah konsekuensi logis dari ketaatan kepada Allah. Mustahil seseorang bisa mengaku taat kepada Allah tanpa taat kepada utusan-Nya. Allah sendiri menegaskan dalam ayat lain, "Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah." (QS. An-Nisa: 80). Sunnah Nabi, baik berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (fi'liyah), maupun ketetapan (taqririyah), berfungsi sebagai penjelas (bayan) Al-Qur'an. Tanpa sunnah, banyak perintah dalam Al-Qur'an yang akan sulit kita praktikkan, seperti tata cara shalat, rincian zakat, dan manasik haji. Oleh karena itu, ketaatan kepada Rasulullah juga bersifat mutlak dalam lingkup syariat.
3. Pilar Ketiga: Ketaatan kepada Ulil Amri
Pilar ketiga adalah ketaatan kepada "Ulil Amri di antara kamu" (وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ). Yang menarik, kata kerja "aṭī‘ū" tidak diulang di sini. Ini adalah isyarat linguistik yang sangat kuat dari Al-Qur'an. Para mufasir menjelaskan bahwa ketiadaan pengulangan ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Ulil Amri tidak bersifat mutlak, melainkan bersyarat. Ketaatan kepada mereka terikat dan bergantung pada ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Siapakah Ulil Amri? Secara umum, Ulil Amri mencakup dua kelompok:
- Umarā' (Para Pemimpin/Penguasa): Mereka yang memegang kekuasaan pemerintahan, mulai dari kepala negara, gubernur, hingga pimpinan di level yang lebih rendah. Ketaatan kepada mereka dalam hal kebijakan publik, hukum positif, dan peraturan yang bertujuan untuk kemaslahatan bersama adalah wajib, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Ini penting untuk menjaga stabilitas, ketertiban, dan keutuhan negara.
- 'Ulamā' (Para Ulama/Ahli Ilmu): Mereka adalah pewaris para nabi yang memegang otoritas keilmuan agama. Ketaatan kepada mereka adalah dalam bentuk mengikuti fatwa dan panduan keagamaan mereka yang didasarkan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Sang Pencipta)." Hadits ini menjadi batas yang jelas bagi ketaatan kepada Ulil Amri. Jika seorang pemimpin atau ulama memerintahkan sesuatu yang jelas-jelas merupakan kemaksiatan atau bertentangan dengan dalil yang qath'i (pasti) dari Al-Qur'an dan Sunnah, maka tidak ada kewajiban untuk taat, bahkan haram untuk mengikutinya.
Mekanisme Penyelesaian Konflik
"...Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian..."
Bagian kedua dari ayat ini memberikan solusi universal bagi setiap perselisihan yang mungkin terjadi di antara umat Islam, baik antara rakyat dengan pemimpin, antar sesama anggota masyarakat, atau bahkan dalam perbedaan pandangan keilmuan. Allah tidak membiarkan umat ini dalam kebingungan ketika terjadi konflik.
Mekanismenya sangat jelas: "kembalikanlah kepada Allah dan Rasul" (فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ).
- Mengembalikan kepada Allah berarti merujuk kepada kitab-Nya, Al-Qur'an. Mencari ayat-ayat yang relevan dengan permasalahan yang diperselisihkan dan menjadikannya sebagai hakim tertinggi.
- Mengembalikan kepada Rasul berarti merujuk kepada sunnah-sunnahnya yang shahih. Di masa hidup beliau, para sahabat bisa langsung bertanya. Setelah beliau wafat, rujukannya adalah hadits-hadits yang telah diverifikasi kesahihannya oleh para ulama ahli hadits.
Prinsip ini adalah fondasi dari ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Ia menutup pintu bagi penyelesaian konflik yang didasarkan pada hawa nafsu, kepentingan kelompok, adat istiadat yang batil, atau hukum buatan manusia yang bertentangan dengan wahyu. Allah kemudian mengaitkan kesediaan untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah ini dengan keimanan sejati: "jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian." Ini adalah penegasan bahwa orang yang benar-benar beriman, ketika berselisih, tidak akan bersikeras dengan pendapatnya sendiri, melainkan akan tunduk dan patuh pada keputusan yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
Buah dari Ketaatan dan Rujukan yang Benar
"...Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Ayat ini ditutup dengan sebuah jaminan dari Allah SWT. Mengikuti hierarki ketaatan dan mekanisme penyelesaian konflik yang telah digariskan ini akan menghasilkan dua hal:
- Lebih Utama (خَيْرٌ - Khairun): Ia adalah kebaikan yang hakiki di dunia dan akhirat. Di dunia, ia akan menciptakan masyarakat yang stabil, adil, dan teratur. Di akhirat, ia akan mendatangkan pahala dan keridhaan Allah SWT. Meskipun terkadang menaati aturan terasa berat, namun pada hakikatnya itulah yang terbaik.
- Lebih Baik Akibatnya (وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا - wa aḥsanu ta'wīlā): Kata "ta'wīl" di sini merujuk pada hasil akhir, konsekuensi, atau buah dari suatu perbuatan. Allah menjamin bahwa solusi yang bersumber dari wahyu akan selalu memberikan hasil akhir yang paling baik dan paling indah, baik bagi individu maupun masyarakat, meskipun mungkin prosesnya tidak selalu mudah. Ini adalah janji yang pasti dari Zat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kesimpulan
Surah An-Nisa ayat 59 adalah sebuah ayat yang agung, menjadi cetak biru bagi tatanan kehidupan seorang Muslim. Dari sisi tajwid, setiap lafaznya menunjukkan kemukjizatan fonetik Al-Qur'an yang harus dijaga melalui pelafalan yang benar. Dari sisi makna, ayat ini membangun sebuah struktur ketaatan yang kokoh: ketaatan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya, serta ketaatan bersyarat kepada Ulil Amri. Lebih dari itu, ia memberikan sebuah metodologi penyelesaian sengketa yang adil dan abadi, yaitu dengan selalu kembali kepada sumber utama syariat Islam: Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mengamalkan isi kandungan ayat ini adalah kunci untuk meraih kebaikan (khair) dan mendapatkan hasil akhir yang terbaik (ahsanu ta'wila) dalam segala urusan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.