An-Nisa 163: Rantai Kenabian dan Kesinambungan Wahyu Ilahi
Pendahuluan: Universalitas Pesan Tauhid
Surah An-Nisa (Wanita) merupakan salah satu surah yang kaya akan regulasi sosial, hukum, dan juga fondasi akidah. Di antara ayat-ayatnya yang fundamental, Ayat 163 menempati posisi sentral dalam menjelaskan kedudukan Nabi Muhammad ﷺ sebagai penyambung sekaligus penutup dari rantai kenabian yang panjang. Ayat ini menegaskan bahwa wahyu yang diturunkan kepada beliau bukanlah ajaran baru yang terisolasi, melainkan kesinambungan dan penyempurna dari seluruh risalah ilahi yang pernah disampaikan kepada umat manusia sejak zaman purba.
Ayat 163 datang dalam konteks diskusi Al-Qur'an dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang seringkali mempertanyakan otentisitas dan keabsahan kenabian Muhammad ﷺ. Dengan tegas, Allah SWT menjawab keraguan tersebut, menyandingkan risalah beliau dengan risalah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan banyak nabi lainnya. Ini adalah pernyataan teologis mengenai kesatuan sumber (Allah) dan kesatuan tujuan (Tauhid/Esa Tuhan) dari semua agama samawi.
Teks dan Terjemah Surah An-Nisa Ayat 163
Ilustrasi: Gulungan Kitab Suci sebagai Simbol Wahyu Ilahi.
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَىٰ وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ ۚ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا
Terjemah Resmi: "Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Zabur kepada Dawud."
Analisis Mendalam Tafsir Ayat 163
Ayat ini berfungsi ganda: sebagai penegasan (bagi umat Islam) dan sebagai argumentasi (bagi mereka yang meragukan). Kata kunci utama dalam ayat ini adalah "أَوْحَيْنَا" (Awhayna) yang berarti "Kami telah mewahyukan." Ini menekankan bahwa sumber komunikasi (Allah) dan cara komunikasi (wahyu) adalah identik sepanjang sejarah kemanusiaan, menjamin kesamaan esensial dari semua ajaran yang dibawa para nabi.
1. Persamaan Metode Wahyu (Inna Awhayna Ilaika Kama Awhayna Ila Nuh)
Perbandingan dengan Nabi Nuh AS sangat signifikan. Nuh sering dianggap sebagai rasul pertama yang membawa hukum (syariat) setelah musibah besar. Memulai daftar kenabian dengan Nuh, dan kemudian menyatakan bahwa wahyu kepada Muhammad adalah 'sama' dengan yang diberikan kepada Nuh, menunjukkan bahwa Al-Qur'an memposisikan dirinya dalam tradisi wahyu yang paling kuno dan murni. Ini sekaligus menegasikan tuduhan bahwa Muhammad hanyalah penyair atau penemu ajaran baru. Ayat ini menggarisbawahi kesinambungan mutlak.
2. Rantai Kenabian yang Disebutkan (Silsilah Utama)
Ayat ini secara spesifik menyebutkan 13 nama nabi atau kelompok. Pemilihan nama-nama ini bukanlah kebetulan, melainkan memiliki fungsi teologis dan historis yang krusial:
- Nuh: Titik awal risalah pasca-banjir besar.
- Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan Al-Asbath (Anak Cucu): Mereka adalah fondasi utama monoteisme (Tauhid) yang diakui oleh Yahudi, Nasrani, dan Islam (agama-agama Ibrahim). Ismail merupakan nenek moyang bangsa Arab, sementara Ishak dan Yakub (Israel) adalah nenek moyang Bani Israel. Penyebutan mereka menyatukan dua jalur keturunan kenabian.
- Isa dan Ayyub, Yunus, Harun, Sulaiman: Mereka mewakili nabi-nabi penting dalam tradisi Bani Israel yang membawa Taurat dan Injil, yang diakui sebagai bagian integral dari tradisi ilahi yang sama.
Penyebutan nama-nama ini, yang sebagian besar sangat dihormati oleh Ahli Kitab, adalah sebuah argumen yang kuat: bagaimana mungkin mereka menerima wahyu yang dibawa oleh nabi-nabi ini, namun menolak wahyu yang datang kepada Muhammad ﷺ, padahal sumbernya dan esensinya sama? Ini mendorong refleksi tentang bias dan prasangka historis, bukan substansi ajaran.
3. Pengecualian Khusus: Dawud dan Zabur
Bagian akhir ayat, "Wa Atayna Dawuda Zabura" (Dan Kami telah memberikan Zabur kepada Dawud), memberikan penekanan khusus. Sementara nabi-nabi lain disebutkan dalam konteks penerimaan wahyu umum, penyebutan Zabur (Mazmur) kepada Dawud secara spesifik menekankan bahwa Dawud (yang juga seorang raja) menerima kitab suci yang diakui oleh Ahli Kitab. Ini menegaskan bahwa pemberian kitab suci—baik Taurat, Injil, Zabur, maupun Al-Qur'an—adalah mekanisme yang konsisten dari Allah SWT.
Tafsir klasik, seperti yang diungkapkan oleh Imam Al-Tabari dan Ibn Kathir, menegaskan bahwa tujuan utama ayat ini adalah untuk mengeliminasi keraguan. Kenabian Muhammad ﷺ bukanlah anomali, tetapi manifestasi logis dan yang dinanti-nantikan dari rencana ilahi yang telah berjalan ribuan tahun. Semua pesan, pada intinya, adalah menyeru kepada Laa Ilaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah).
Konsep Wahyu dan Risalah dalam Lintas Sejarah
Untuk memahami kedalaman An-Nisa 163, kita perlu menyelami konsep teologis tentang Wahyu (Wahyu) dan Risalah (Risalah). Wahyu adalah komunikasi supernatural dari Allah kepada nabi-nabi-Nya, yang bersifat murni, terjaga, dan bertujuan membimbing manusia. Risalah adalah penyampaian wahyu tersebut kepada umat manusia.
Hubungan Nuh dan Muhammad: Awal dan Akhir
Nuh AS memegang posisi yang unik. Setelah banjir besar, umat manusia 'direset', dan Nuh adalah nabi pertama yang memulai kembali tradisi tauhid di tengah kekafiran. Jika Nuh adalah titik awal dari siklus risalah pasca-banjir, Muhammad ﷺ adalah titik penutup. Keduanya menghadapi penolakan luar biasa, dan keduanya membawa pesan yang sama: kembali kepada fitrah ilahi. Perbandingan ini menempatkan risalah Islam sebagai pengembalian ke prinsip-prinsip universal, bukan reformasi yang radikal, tetapi restorasi yang sempurna.
Millah Ibrahim: Jantung Kesinambungan
Penyebutan Nabi Ibrahim AS dan garis keturunannya (Ismail, Ishak, Yakub, Al-Asbath) merupakan pusat gravitasi dari Ayat 163. Ibrahim dikenal sebagai Khalilullah (Kekasih Allah) dan arsitek monoteisme. Dia adalah titik temu di mana Yahudi, Nasrani, dan Islam (melalui Ismail dan Ishak) bersatu. Al-Qur'an sering kali menekankan bahwa Muhammad ﷺ mengikuti Millah Ibrahim Hanifa (Agama Ibrahim yang lurus). Hal ini berfungsi untuk mendiskreditkan klaim eksklusifitas oleh Ahli Kitab. Jika risalah Muhammad adalah Millah Ibrahim, maka itu adalah kelanjutan sah dari tradisi yang mereka hormati.
Ilustrasi: Rantai Kenabian yang Menunjukkan Kesinambungan Risalah.
Nabi Musa dan Isa: Bukti Komprehensif
Penyebutan Musa AS dan Isa AS sangat penting karena mereka mewakili dua puncak syariat utama sebelum Islam. Musa menerima Taurat, yang berisi hukum detail. Isa, meskipun tidak membawa syariat baru yang substansial, datang untuk mengkonfirmasi dan meringankan beberapa beban syariat Musa, dan membawa Injil (kabar baik). Dengan memasukkan mereka dalam daftar, Al-Qur'an tidak hanya mengklaim kesamaan sumber wahyu, tetapi juga mengklaim pengakuan terhadap keabsahan Taurat dan Injil yang asli.
Kesinambungan Tema Risalah: Tauhid Inti dari Semua Ajaran
Ayat 163 mengajarkan bahwa perbedaan antar syariat (hukum praktis) tidak boleh mengaburkan kesamaan dalam akidah (pokok kepercayaan). Setiap nabi yang disebutkan dalam ayat ini, dari Nuh hingga Muhammad ﷺ, membawa tiga pesan inti yang sama:
1. Pengesaan Allah (Tauhid Uluhiyah)
Semua nabi diutus untuk mengeluarkan umat manusia dari penyembahan berhala, bintang, atau manusia, menuju penyembahan hanya kepada Allah SWT. Nuh memerangi penyembahan berhala; Ibrahim menghancurkan patung-patung; Musa melawan kultus Firaun; dan Muhammad ﷺ membersihkan Ka’bah dari berhala. Pesan ini adalah benang merah yang mutlak.
2. Hari Pembalasan (Yaumul Qiyamah)
Setiap risalah kenabian memperingatkan tentang tanggung jawab moral dan kehidupan setelah kematian. Nabi-nabi meletakkan dasar bahwa kehidupan di dunia ini adalah ujian, dan keadilan penuh akan ditegakkan pada Hari Kiamat. Ini memberikan konteks moral bagi hukum dan etika yang mereka bawa.
3. Kenabian dan Peran Rasul (Risalah)
Setiap nabi mengajarkan umatnya untuk mengimani nabi-nabi sebelumnya dan mengantisipasi nabi-nabi yang akan datang. Dalam konteks ini, Ayat 163 merupakan pemenuhan dari nubuat-nubuat kuno. Seorang Muslim harus mengimani bukan hanya Muhammad ﷺ dan Al-Qur'an, tetapi juga Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan semua risalah yang disebutkan, selama ia berasal dari sumber ilahi yang murni.
Fakhruddin Ar-Razi, dalam tafsirnya, menyoroti bahwa ayat ini menunjukkan kekayaan tak terbatas dari ilmu Allah. Meskipun nabi-nabi ini muncul di lokasi geografis yang berbeda, pada periode waktu yang terpisah ribuan tahun, dan berbicara dalam bahasa yang berbeda, mereka semua menerima pengetahuan yang sama mengenai hakikat Tauhid. Hal ini mustahil terjadi jika sumbernya adalah kecerdasan manusia belaka.
Membedah Daftar Nama-nama Nabi dalam An-Nisa 163
Daftar nabi yang panjang ini berfungsi lebih dari sekadar pengakuan; ia membentuk peta teologis mengenai intervensi ilahi dalam sejarah. Mari kita perhatikan beberapa nabi yang memiliki relevansi khusus dalam konteks Bani Israel dan Al-Qur'an:
Ayyub (Ayub): Simbol Kesabaran
Ayyub (Job) sering disebutkan sebagai contoh kesabaran dalam menghadapi cobaan. Penyebutannya di sini, meskipun tidak secara langsung terkait dengan syariat besar, menekankan dimensi moral dan etika dari wahyu. Pesan ilahi tidak hanya tentang hukum, tetapi juga tentang pembentukan karakter yang kuat dan kesabaran (sabr) yang tak tergoyahkan, sebuah pelajaran yang sangat dibutuhkan oleh Nabi Muhammad ﷺ di awal dakwahnya di Makkah.
Yunus (Yunus): Pelajaran Tobat dan Ketaatan
Yunus (Jonah) dikenal karena kisahnya yang unik: diutus kepada penduduk Ninawa, penolakannya, dan pengalamannya di dalam perut ikan. Kisahnya adalah demonstrasi penting tentang kemahabesaran Allah dan perlunya ketaatan segera terhadap perintah-Nya, bahkan ketika rasul merasa frustrasi atau ingin menyerah. Ini adalah pengingat bagi Muhammad ﷺ bahwa tugas risalah harus dilaksanakan secara penuh.
Harun dan Sulaiman: Kepemimpinan dan Kekuatan Ilahi
Harun (Aaron) adalah saudara dan pembantu Musa, menunjukkan konsep dukungan dan kepemimpinan kolektif. Sulaiman (Solomon) melambangkan puncak kejayaan duniawi yang diberikan kepada seorang nabi, memiliki kekuasaan atas jin dan hewan. Penyebutan mereka memastikan bahwa kenabian tidak terbatas pada orang-orang yang lemah atau terpinggirkan, melainkan mencakup para pemimpin dan pemegang otoritas politik dan spiritual.
Dalam totalitasnya, daftar ini mencakup berbagai jenis kenabian: yang berjuang melawan kekafiran (Nuh, Ibrahim), yang membawa syariat (Musa), yang menyebarkan Injil (Isa), yang bersabar dalam cobaan (Ayyub), dan yang memegang kekuasaan (Dawud, Sulaiman). Muhammad ﷺ adalah pewaris dari seluruh spektrum risalah ini.
Implikasi Teologis Ayat An-Nisa 163
Ayat ini memiliki dampak fundamental pada akidah Islam dan cara pandang terhadap sejarah agama.
1. Keharusan Mengimani Semua Rasul
Bagi seorang Muslim, ayat ini mewajibkan pengakuan atas kenabian dan risalah yang dibawa oleh semua nabi yang disebutkan. Tidak ada pemisahan atau diskriminasi antar rasul (sebagaimana ditegaskan di ayat lain: “Laa nufarriqu bayna ahadin min rusulih”). Mengingkari salah satu nabi yang diutus Allah sama dengan mengingkari keseluruhan pesan ilahi.
2. Bukti Finalitas Kenabian (Khatamun Nubuwwah)
Dengan menegaskan bahwa wahyu kepada Muhammad ﷺ adalah "seperti" wahyu kepada pendahulu, ayat ini menyiratkan bahwa Al-Qur'an adalah versi paling murni dan terakhir dari pesan universal yang sama. Wahyu ini tidak membutuhkan penambahan atau koreksi, menjadikannya penutup dari rantai wahyu formal. Semua elemen yang ada dalam risalah Nuh, Ibrahim, dan Musa, telah dikumpulkan, disempurnakan, dan diabadikan dalam Al-Qur'an.
3. Fondasi Dialog Antaragama
Ayat 163 memberikan landasan yang kuat untuk berdialog dengan pemeluk agama-agama Ibrahim. Alih-alih memulai dengan perbedaan syariat, titik awalnya adalah kesamaan akidah: pengakuan bersama atas kenabian Ibrahim, Musa, dan Isa. Ayat ini memungkinkan pengakuan bersama bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber dari semua ajaran moral dan spiritual yang diterima oleh nabi-nabi besar tersebut.
4. Pemurnian Sejarah Agama
Al-Qur'an hadir sebagai otoritas tertinggi yang memurnikan sejarah nabi-nabi dari distorsi atau interpolasi yang mungkin terjadi dalam kitab-kitab sebelumnya. Ketika Al-Qur'an menceritakan kisah Musa, misalnya, ia menyajikan versi yang murni dari kisah tersebut, membersihkannya dari elemen-elemen yang mungkin telah ditambahkan oleh tradisi lisan atau redaksi manusia sepanjang waktu.
Relevansi Ayat 163 di Era Modern
Di tengah konflik global dan polarisasi identitas agama, pesan dari An-Nisa 163 menjadi semakin penting.
Menghadapi Fragmentasi Agama
Modernitas sering kali melihat agama sebagai serangkaian entitas yang terfragmentasi dan saling bertentangan. Ayat 163 menantang pandangan ini dengan menawarkan visi kesatuan transenden. Ini mengingatkan kita bahwa permusuhan antaragama sering kali berakar pada perbedaan budaya atau interpretasi manusia, bukan pada esensi wahyu ilahi yang tunggal dan sama.
Peran Nabi Muhammad sebagai Saksi
Nabi Muhammad ﷺ dalam konteks ayat ini tidak hanya penerima wahyu, tetapi juga saksi atas kebenaran semua wahyu sebelumnya. Beliau datang bukan untuk menghapus seluruh masa lalu, melainkan untuk mengonfirmasi bagian-bagian yang benar (Tauhid) dan mengoreksi bagian-bagian yang menyimpang (Syirik dan penambahan manusia). Ini adalah peran sebagai Muhaimin (Penjaga dan Penentu kebenaran) atas kitab-kitab terdahulu.
Kewajiban Dakwah Universal
Karena pesan Islam diakui sebagai kelanjutan dari wahyu Nuh dan Ibrahim, dakwah Islam harus dilakukan dengan kesadaran akan akar universal ini. Dakwah harus bersifat inklusif dalam mengakui nabi-nabi masa lalu, dan tegas dalam penyampaian kesempurnaan syariat yang dibawa oleh nabi terakhir. Kesinambungan ini menjadi jembatan, bukan dinding pemisah.
Dalam konteks politik dan sosial, pemahaman bahwa semua nabi berbagi misi yang sama—untuk menegakkan keadilan dan tauhid—mendorong umat Islam untuk melihat komunitas Ahli Kitab bukan sebagai kelompok asing total, tetapi sebagai pewaris tradisi monoteistik yang sama, meskipun jalan mereka telah menyimpang atau terfragmentasi seiring waktu. Ayat ini adalah seruan untuk mencari titik temu teologis.
Analisis Filosofis: Kenapa Wahyu Harus Berkesinambungan?
Pertanyaan yang muncul dari Ayat 163 adalah mengapa Allah memilih metode risalah yang panjang dan berkesinambungan, daripada hanya mengirim satu wahyu yang sempurna sejak awal. Para ulama teologi (mutakallimun) menawarkan beberapa jawaban yang terintegrasi dengan pesan ayat ini:
1. Evolusi Kapasitas Penerimaan Manusia
Syariat yang berbeda diberikan kepada umat yang berbeda sesuai dengan tingkat perkembangan sosial, budaya, dan intelektual mereka. Risalah Nuh sangat mendasar, berfokus pada Tauhid dasar. Syariat Musa sangat ketat, sesuai dengan kebutuhan Bani Israel untuk menstabilkan identitas mereka setelah perbudakan. Syariat Muhammad ﷺ, yang paling komprehensif, diturunkan ketika manusia mencapai tingkat kematangan sosial dan intelektual yang mampu menerima hukum universal yang final. An-Nisa 163 menunjukkan bahwa meskipun hukumnya berkembang, akidahnya tetap konstan.
2. Ujian Iman Berulang
Setiap nabi yang datang berfungsi sebagai ujian bagi umatnya. Apakah mereka akan beriman kepada utusan yang baru, ataukah mereka akan terikat pada tradisi lama yang telah mereka korupsi? Kisah-kisah yang disajikan dalam ayat ini (termasuk Isa yang ditolak oleh banyak Yahudi) menunjukkan bahwa penerimaan kebenaran ilahi memerlukan kerendahan hati dan kesiapan untuk meninggalkan kepatuhan buta pada masa lalu.
3. Peran Keadilan Ilahi (Tawazun)
Setiap komunitas harus memiliki kesempatan untuk dibimbing. Allah SWT berfirman: “Wa ma kunna mu’adzdzibin hatta nab’atsa rasula” (Kami tidak akan mengazab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang rasul). Ayat 163 memverifikasi bahwa Allah telah memenuhi janji ini dengan mengirimkan rasul kepada semua bangsa yang penting dalam sejarah kenabian yang tercatat, menjamin bahwa tidak ada seorang pun yang dapat beralasan ketidaktahuan pada Hari Kiamat.
Keberadaan rantai kenabian ini juga menegaskan konsep kemurahan Allah (Rahmat). Jika manusia berulang kali menyimpang setelah menerima wahyu, Allah berulang kali mengirim utusan baru, menunjukkan kasih sayang-Nya yang tak terbatas, diakhiri dengan risalah yang dijanjikan abadi: Al-Qur'an.
Kesimpulan: Cahaya yang Satu dari Banyak Sumber
Surah An-Nisa Ayat 163 adalah salah satu pernyataan Al-Qur'an yang paling gamblang mengenai sifat risalah ilahi: ia bersifat tunggal dalam substansi (Tauhid), berkesinambungan dalam sejarah (Silsilah), dan universal dalam jangkauan. Ayat ini menempatkan Nabi Muhammad ﷺ bukan sebagai pendiri agama baru yang terpisah, melainkan sebagai penutup dan penyempurna tradisi monoteistik murni yang dimulai dari Nuh dan diperjuangkan oleh Ibrahim, Musa, dan Isa.
Memahami An-Nisa 163 berarti memahami bahwa semua nabi adalah saudara, membawa obor yang sama, yang kini bersinar paling terang melalui Al-Qur'an. Ini mendorong umat Islam untuk merangkul warisan kenabian yang luas, sekaligus memegang teguh finalitas dan kesempurnaan risalah yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad ﷺ.