I. Fondasi Ayat: Teks dan Terjemah Surah An Nahl 43
Surah An Nahl, yang dikenal juga sebagai Surah Lebah, adalah surah Makkiyah yang diturunkan di Makkah. Surah ini kaya akan pembahasan mengenai bukti-bukti keesaan Allah, keniscayaan hari kebangkitan, dan argumentasi kuat terhadap para penolak risalah. Di tengah rangkaian dalil kosmik dan penciptaan, munculah ayat ke-43 yang menancapkan salah satu prinsip metodologi paling fundamental dalam Islam: prinsip merujuk kepada otoritas ilmu.
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang-orang lelaki yang Kami berikan wahyu kepada mereka; maka tanyakanlah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (Ahl adz-Dzikr) jika kamu tidak mengetahui." — (QS. An Nahl: 43)
Ayat ini berfungsi sebagai respons langsung terhadap keraguan kaum musyrikin yang menolak kenabian Muhammad ﷺ dengan alasan bahwa ia hanyalah manusia biasa yang makan, minum, dan berjalan di pasar. Allah ﷻ menjawab keraguan ini dengan menetapkan bahwa pola kenabian sejak dahulu adalah sama: para utusan adalah manusia pilihan yang menerima wahyu.
II. Analisis Bagian Pertama: Keniscayaan Kenabian Manusia
A. Jawaban Terhadap Skeptisisme Kenabian
Bagian pertama ayat, وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ (Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang-orang lelaki yang Kami berikan wahyu kepada mereka), menegaskan sebuah hukum universal ketuhanan dalam menyampaikan risalah. Penolakan kaum musyrikin Makkah seringkali berpusat pada sifat kemanusiaan Rasulullah ﷺ. Mereka beranggapan bahwa seorang utusan Allah seharusnya berupa malaikat atau setidaknya sosok supra-natural yang bebas dari hajat insani. Ayat ini menolak pandangan tersebut secara total.
Allah ﷻ menetapkan bahwa utusan-Nya adalah 'Rijalan' (lelaki/manusia). Mengapa harus manusia?
Alasan utamanya adalah agar risalah dapat dicontoh dan dipraktikkan. Jika seorang utusan berupa malaikat, manusia akan berdalih, "Kami tidak bisa mengikuti perintah ini karena Engkau adalah makhluk cahaya, sementara kami adalah makhluk tanah." Dengan diutusnya manusia, para nabi menjadi *uswah hasanah* (teladan terbaik). Mereka menghadapi cobaan, merasakan lapar, menikah, berjuang, dan sakit; namun dalam semua kondisi tersebut, mereka tetap berpegang teguh pada wahyu. Ini membuktikan bahwa ajaran tersebut realistis dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata manusia.
B. Definisi dan Fungsi Wahyu
Pilar kedua dari bagian ini adalah نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ (Kami berikan wahyu kepada mereka). Wahyu adalah komunikasi ilahi yang diturunkan kepada para nabi dan rasul. Ini adalah sumber utama pengetahuan hakiki yang tidak dapat diakses melalui panca indra atau akal semata. Fungsi wahyu sangat esensial:
- Penjelasan Ghaib: Wahyu menjelaskan tentang Tuhan, Hari Akhir, Surga, Neraka, dan alam malaikat yang berada di luar jangkauan logika empiris.
- Penetapan Hukum: Wahyu menetapkan batasan moral, sosial, dan hukum (syariat) yang dibutuhkan manusia untuk mencapai keadilan dan kebahagiaan sejati.
- Koreksi Akal: Akal manusia adalah alat yang penting, tetapi ia terbatas, bias, dan rentan salah. Wahyu berfungsi sebagai panduan dan koreksi tertinggi bagi akal.
Ayat ini menyiratkan bahwa hanya manusia yang dipilih Allah, yang telah dianugerahi wahyu, yang memiliki otoritas untuk berbicara atas nama syariat. Ini adalah fondasi dari pemisahan antara pengetahuan empiris biasa dengan pengetahuan profetik yang bersifat transendental.
III. Analisis Bagian Kedua: Perintah Merujuk kepada Ahl adz-Dzikr
Bagian paling terkenal dan krusial dari ayat ini adalah: فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (maka tanyakanlah kepada orang yang mempunyai pengetahuan [Ahl adz-Dzikr] jika kamu tidak mengetahui).
A. Identitas Klasik Ahl adz-Dzikr
Secara bahasa, *Ahl adz-Dzikr* berarti 'Orang-orang yang memiliki Peringatan' atau 'Orang-orang yang memiliki Pengetahuan'. Para ulama tafsir klasik memiliki dua pandangan utama mengenai siapa yang dimaksud di sini, tergantung pada konteks sejarah turunnya ayat:
1. Ahlul Kitab (Orang Yahudi dan Nasrani yang Berilmu)
Pada konteks awal di Makkah, kaum Quraisy sering merujuk kepada kaum Ahli Kitab (yang memiliki Taurat dan Injil) untuk memverifikasi kisah-kisah kenabian terdahulu, karena pengetahuan mereka dianggap lebih tua dan mendalam mengenai sejarah kenabian. Menurut pandangan ini, Allah memerintahkan kaum musyrikin untuk bertanya kepada para ulama Ahli Kitab yang jujur mengenai apakah nabi-nabi terdahulu yang diutus kepada Bani Israil adalah malaikat atau manusia. Jawaban mereka akan membenarkan klaim Rasulullah ﷺ bahwa ia adalah manusia yang diwahyukan.
Imam At-Tabari dan beberapa mufassir lain cenderung memperkuat interpretasi ini, yang berfokus pada pembuktian risalah (Hujjah an-Nubuwah).
2. Ulama Muslimin dan Pemegang Ilmu Syariat
Seiring berkembangnya zaman dan sempurnanya syariat, makna *Ahl adz-Dzikr* meluas menjadi universal, mencakup seluruh ulama, mujtahid, dan para ahli dalam ilmu agama (ilmu Al-Qur’an dan Sunnah). Kata *Adz-Dzikr* dalam konteks ini juga sering merujuk langsung kepada Al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana firman Allah, "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur'an), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS Al Hijr: 9). Maka, Ahl adz-Dzikr adalah orang-orang yang menguasai Al-Qur’an dan petunjuknya.
Dalam konteks fiqih dan kehidupan sehari-hari umat Islam, inilah interpretasi yang paling relevan. Ayat ini menjadi dasar perintah wajib bagi orang awam (yang tidak memiliki pengetahuan spesifik) untuk melakukan *taqlid* (mengikuti) atau merujuk kepada para ulama yang terpercaya (otoritas keilmuan).
B. Kewajiban Bertanya (Fas'alu) dan Batasan Kebodohan (In Kuntum Laa Ta'lamun)
Perintah فَسْـَٔلُوٓا۟ (Maka tanyakanlah) adalah perintah imperatif yang menunjukkan wajibnya mencari klarifikasi dan petunjuk. Prinsip ini menghilangkan dalih kebodohan bagi orang yang mampu bertanya namun enggan melakukannya. Kewajiban ini muncul ketika seseorang berada dalam kondisi إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (jika kamu tidak mengetahui).
Ayat ini secara tegas membagi masyarakat menjadi dua kelompok:
- Al-Ahl (Orang yang Berilmu/Pakar): Mereka yang wajib mengeluarkan fatwa atau memberikan penjelasan.
- Al-Mustafsid (Orang yang Bertanya/Awam): Mereka yang wajib merujuk dan menerima petunjuk dari Ahli.
Sistem ini menciptakan stabilitas keilmuan dan mencegah kekacauan metodologi di mana setiap individu merasa berhak menafsirkan sumber primer tanpa bekal ilmu yang memadai. Pengetahuan adalah spesialisasi, dan agama, sebagaimana ilmu-ilmu dunia, menuntut adanya spesialisasi yang diakui.
IV. Implikasi Metodologis Ayat An Nahl 43 dalam Ushul Fiqh dan Aqidah
A. Dasar Hukum Ijtihad dan Taqlid
Ayat An Nahl 43 adalah salah satu dalil Al-Qur’an yang paling sering dikutip oleh para ahli Ushul Fiqh (Prinsip-prinsip Hukum Islam) untuk menetapkan dua konsep penting:
1. Legalitas Taqlid (Mengikuti Pendapat Ulama)
Bagi mayoritas umat Islam yang tidak memiliki perangkat ilmu yang cukup untuk melakukan *istimbath* (penggalian hukum) langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah, taqlid kepada mujtahid yang diakui menjadi suatu kewajiban syar'i. Perintah "tanyakanlah kepada Ahl adz-Dzikr" secara eksplisit memberikan legitimasi terhadap transfer pengetahuan dari pakar kepada orang awam. Tanpa prinsip ini, setiap Muslim harus menjadi seorang mujtahid, yang secara praktis mustahil dan akan mengakibatkan rusaknya tatanan syariat.
Taqlid yang sah adalah taqlid kepada seseorang yang dikenal dengan kejujuran, ketakwaan, dan kedalaman ilmunya (Ahl adz-Dzikr). Ini bukanlah taqlid buta, tetapi mengikuti petunjuk berdasarkan keyakinan bahwa orang yang diikuti memiliki otoritas keilmuan yang lebih tinggi.
2. Kewajiban Ijtihad (Bagi yang Memenuhi Syarat)
Di sisi lain, bagi mereka yang telah mencapai tingkat keilmuan (kualifikasi ijtihad), merujuk kepada pendapat orang lain tanpa melakukan verifikasi sendiri adalah suatu kelalaian. Ahl adz-Dzikr sendiri tidak diperintahkan untuk bertanya kepada Ahl adz-Dzikr yang lain, melainkan wajib berusaha keras mencari kebenaran melalui metode ilmiah Islam (ijtihad). Ayat ini mendorong spesialisasi dan penguasaan ilmu hingga mencapai tingkat *Dzikr*.
B. Prinsip Spesialisasi dalam Pengetahuan Agama
Ayat ini mengajarkan bahwa ilmu agama bukanlah domain umum yang bisa dimasuki oleh siapa saja tanpa persiapan. Kata *Dzikr* tidak sekadar berarti 'mengingat' atau 'berzikir', tetapi juga mencakup penguasaan yang mendalam. Seseorang disebut Ahl adz-Dzikr hanya jika ia memenuhi kriteria keilmuan, seperti:
- Penguasaan Bahasa Arab (Nahu, Sharf, Balaghah).
- Pemahaman terhadap Asbabun Nuzul (konteks turunnya ayat).
- Penguasaan Ilmu Hadis (Rijal, Matan, Sanad).
- Pemahaman terhadap Ushul Fiqh dan Maqasid Syariah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ketika membahas ayat ini, menekankan bahwa kewajiban bertanya berlaku umum dalam setiap disiplin ilmu. Jika kita sakit, kita bertanya kepada dokter (ahl adz-dzikr dalam kedokteran). Jika kita membutuhkan konstruksi bangunan, kita bertanya kepada insinyur. Demikian pula, jika kita bingung tentang hukum halal atau haram, kita harus merujuk kepada Ahl adz-Dzikr syariat.
C. Penegasan Universalitas Prinsip Ilmu
Kewajiban merujuk kepada Ahl adz-Dzikr adalah pengakuan Ilahi terhadap pentingnya otoritas keilmuan. Dalam konteks yang lebih luas, ayat ini merupakan penolakan terhadap subyektivitas ekstrem dan individualisme radikal dalam memahami teks suci. Jika setiap orang boleh menafsirkan Kitabullah tanpa alat dan ilmu, maka persatuan umat akan hancur dan agama akan menjadi permainan akal-akalan semata.
Oleh karena itu, kewajiban untuk bertanya, فَسْـَٔلُوٓا۟, adalah mekanisme penjagaan (hifzh) syariat dari penyimpangan dan penyelewengan yang disebabkan oleh kebodohan atau interpretasi yang sembrono.
V. Perluasan Konsep Dzikr dan Aplikasi Kontemporer
A. Dzikr sebagai Kitab dan Sunnah
Sebagaimana telah disinggung, Adz-Dzikr seringkali diidentifikasi sebagai wahyu yang diturunkan, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, Ahl adz-Dzikr adalah mereka yang mendalami, menghafal, dan memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Dzikr tersebut. Pengetahuan ini tidak cukup hanya dihafal; ia harus dipahami secara kontekstual dan mendalam. Ini menuntut disiplin ilmu yang kompleks dan bertingkat.
Kajian-kajian klasik mengenai ayat ini memperluas makna Dzikr hingga mencakup seluruh ilmu agama yang merupakan turunan dari sumber utama, termasuk ilmu tafsir, ilmu hadis, fiqih perbandingan (muqaranah), dan disiplin lainnya yang memastikan pemahaman syariat yang komprehensif. Ahl adz-Dzikr adalah pewaris para nabi dalam menyebarkan dan menjelaskan ilmu tersebut.
B. Kondisi Keilmuan Ahl adz-Dzikr yang Layak Dirujuk
Dalam penerapannya, umat Islam tidak diperintahkan untuk bertanya kepada sembarang orang. Ahl adz-Dzikr yang dimaksud harus memiliki karakteristik tertentu yang menjamin keabsahan fatwa mereka. Karakteristik ini mencakup:
- Al-Ilm (Kedalaman Ilmu): Mereka harus mencapai tingkat penguasaan yang diakui dalam disiplin yang mereka fatwakan.
- Al-Adalah (Integritas Moral): Mereka harus dikenal dengan ketakwaan, kejujuran, dan keadilan. Ilmu yang dipisahkan dari integritas moral seringkali menghasilkan fatwa yang bias atau terdistorsi.
- Al-Wara’ (Kehati-hatian): Mereka harus berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat, senantiasa merujuk kepada dalil yang paling kuat, dan mengakui keterbatasan pengetahuan manusia.
Jika seorang awam mendapati perbedaan pendapat di antara Ahl adz-Dzikr, kewajiban yang paling utama adalah mengikuti pendapat yang paling dekat dengan dalil (Al-Aqwaa dalilan) atau pendapat dari ulama yang secara umum dianggap lebih mumpuni dan lebih berhati-hati (Al-Awra'). Proses ini tetap berada dalam koridor "bertanya kepada Ahlinya."
C. Peran Ahl adz-Dzikr dalam Menghadapi Isu Kontemporer
Di era modern, tantangan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks, meliputi isu-isu ekonomi global, bioetika (kloning, rekayasa genetika), teknologi informasi, dan geopolitik. Dalam menghadapi hal-hal baru yang tidak pernah dibahas secara eksplisit di masa lalu (*Nawazil*), peran Ahl adz-Dzikr menjadi sangat vital.
Para ulama kontemporer harus mengaplikasikan metodologi Ushul Fiqh (seperti *Qiyas*, *Istislah*, dan *Istihsan*) dengan merujuk kepada pakar ilmu dunia (teknologi, ekonomi, kedokteran) sebagai bagian dari proses pencarian hukum. Meskipun seorang ulama syariat adalah Ahl adz-Dzikr dalam fiqih, ia wajib merujuk kepada Ahl adz-Dzikr dalam ilmu kedokteran untuk memahami fakta medis sebelum menetapkan hukum (misalnya, hukum donor organ).
Dengan demikian, ayat An Nahl 43 mengajarkan prinsip interdisipliner dalam Islam, di mana ilmu syariat dan ilmu dunia saling melengkapi, asalkan landasan hukumnya tetap berakar pada wahyu ilahi.
VI. Kedalaman Tafsir: Menggali Detail Setiap Komponen Ayat
Untuk memahami sepenuhnya keluasan Surah An Nahl ayat 43, kita perlu melakukan penyelaman lebih dalam terhadap setiap frasa dan implikasinya dalam kerangka tauhid dan risalah.
A. Tafsir Lughawi Mendalam: Makna 'Rijalan'
Pemilihan kata رِجَالًا (Rijalan) – yang berarti 'laki-laki' atau 'manusia' – membawa implikasi penting. Meskipun secara harfiah merujuk pada jenis kelamin, dalam konteks kenabian, ia menekankan sifat kemanusiaan dan keunggulan. Para nabi adalah manusia yang diberi kekuatan dan ketahanan luar biasa dalam menghadapi risalah. Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menekankan bahwa Allah memilih mereka dari kalangan manusia agar mereka bisa menjadi contoh sempurna (role model) bagi umat manusia.
Argumentasi para mufassir menyebutkan bahwa jika malaikat diutus, mereka tidak akan bisa merasakan kesulitan dakwah yang dirasakan manusia biasa, sehingga nilai ketaatan yang mereka tunjukkan tidak akan sebanding dengan kesulitan yang dialami manusia.
B. Kenapa Harus Bertanya? Eksistensi Keterbatasan Akal
Perintah bertanya, فَسْـَٔلُوٓا۟, adalah pengakuan universal tentang keterbatasan manusia. Akal manusia, meskipun mulia, tidak dapat berdiri sendiri dalam menetapkan kebenaran mutlak (al-Haqq). Akal hanya mampu memahami apa yang disajikan oleh wahyu dan alam semesta, tetapi ia tidak dapat menciptakan hukum syariat atau mengungkap misteri metafisik.
Dalam konteks ayat ini, pertanyaan yang diarahkan kepada Ahl adz-Dzikr pada awalnya adalah pertanyaan tentang sejarah para nabi. Pertanyaan ini bukanlah sekadar meminta informasi, tetapi meminta bukti (hujjah). Jika Ahl adz-Dzikr (Ahli Kitab saat itu) membenarkan bahwa nabi-nabi mereka juga manusia, maka argumentasi kaum musyrikin terhadap kenabian Muhammad ﷺ runtuh dengan sendirinya.
Meluasnya makna ayat ini ke ranah fiqih dan akidah modern menunjukkan bahwa prinsip ini berlaku abadi: Kebodohan adalah status yang harus dihilangkan melalui sumber pengetahuan yang sah dan terverifikasi.
C. Dampak Negatif Pengabaian Ahl adz-Dzikr
Jika seseorang mengabaikan perintah untuk bertanya kepada Ahl adz-Dzikr, ia rentan terhadap kesalahan fatal yang dikenal sebagai *fatwa tanpa ilmu* atau *ijtihad tanpa syarat*. Dampak negatifnya sangat luas:
- Perpecahan Umat: Ketika setiap orang berpendapat sendiri, timbullah perpecahan dalam hukum dan akidah.
- Penyelewengan Akidah: Pengabaian ulama bisa menyebabkan penyimpangan dari ajaran tauhid yang benar, jatuh ke dalam bid’ah, atau khurafat.
- Kekacauan Sosial: Fatwa yang salah dapat menyebabkan kekacauan dalam masyarakat, merusak tatanan ekonomi, atau menghalalkan yang diharamkan, dan sebaliknya.
Oleh karena itu, ayat An Nahl 43 adalah sebuah perlindungan ilahi terhadap kejahilan dan kesombongan intelektual. Ia memastikan bahwa ilmu yang diwariskan oleh para nabi tetap murni dan terpelihara melalui rantai sanad keilmuan yang kuat.
VII. Kontemplasi Filosofis: Keseimbangan Antara Nalar dan Naskh
A. Kedudukan Akal dalam Metodologi Ahl adz-Dzikr
Meskipun ayat ini memerintahkan untuk merujuk kepada Ahl adz-Dzikr (otoritas naskh/teks), ini tidak berarti penolakan terhadap akal (rasio). Sebaliknya, Ahl adz-Dzikr adalah mereka yang menggunakan akal secara maksimal untuk memahami dan menggali makna teks suci. Tanpa akal, seseorang tidak dapat memahami gramatika Arab, konteks historis, atau melakukan *Qiyas* (analogi hukum).
Akal adalah alat untuk memahami wahyu, bukan sumber independen untuk menciptakan syariat. Keseimbangan ini adalah inti dari metodologi Ahl as-Sunnah wal Jama'ah. Ahl adz-Dzikr adalah mereka yang berhasil menyeimbangkan antara penggunaan akal yang cerdas dan ketaatan mutlak terhadap batasan wahyu.
B. Menghidupkan Tradisi Bertanya yang Jujur
Ayat ini mendorong budaya keilmuan yang sehat, dimulai dari pengakuan terhadap ketidaktahuan. Seseorang yang jujur dan rendah hati mengakui keterbatasannya dan mencari pengetahuan dari sumber yang paling kredibel. Inilah yang disebut oleh para ulama sebagai adab menuntut ilmu.
Pertanyaan yang diajukan kepada Ahl adz-Dzikr haruslah bertujuan murni mencari kebenaran, bukan untuk berdebat atau mencari-cari celah (syubhat). Tradisi bertanya yang diperintahkan oleh Allah ﷻ adalah jalan menuju *Hidayah* (petunjuk).
Proses ini memerlukan kerja keras, baik dari pihak penanya (keseriusan mencari Ahl adz-Dzikr yang benar) maupun pihak yang ditanya (ketakwaan dan tanggung jawab dalam menjawab). Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada dosa bagi orang awam yang tidak mengetahui, asalkan ia telah berusaha keras mencari tahu dari ahlinya.
C. Implikasi dalam Penyatuan Umat
Ketika umat secara kolektif merujuk kepada Ahl adz-Dzikr yang terkemuka dan diakui, potensi perpecahan karena perbedaan pandangan radikal dapat diminimalisir. Ayat An Nahl 43, dengan menekankan hierarki dan spesialisasi keilmuan, berfungsi sebagai pilar persatuan umat di bawah naungan otoritas ilmu syariat yang teruji.
Ketundukan kepada otoritas keilmuan, yang diwakili oleh Ahl adz-Dzikr, adalah manifestasi dari ketundukan kepada perintah Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Jika kita mengakui bahwa nabi harus manusia yang menerima wahyu (bagian pertama ayat), maka kita juga harus mengakui bahwa petunjuk wahyu itu hanya dapat dijelaskan secara otoritatif oleh pewaris mereka (bagian kedua ayat).
Inilah yang menjadikan Surah An Nahl ayat 43 bukan sekadar potongan ayat tafsir, tetapi prinsip metodologi abadi yang mengatur bagaimana seorang Muslim harus berinteraksi dengan sumber-sumber hukum dan pengetahuan, menjamin keberlangsungan ajaran Islam yang murni hingga akhir zaman.
Pentingnya mengulang dan meresapi makna ini tidak akan pernah pudar, sebab setiap generasi baru dihadapkan pada tantangan yang berbeda, namun solusi dasar tetap sama: merujuk kepada fondasi wahyu dan menanyakan penjelasannya kepada orang-orang yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk menguasai Dzikr. Ini adalah jaminan Allah ﷻ bahwa petunjuk-Nya akan selalu tersedia dan terakses, asalkan umat manusia menjalankan kewajiban mereka: mengakui kebodohan, dan bertanya kepada Ahl adz-Dzikr.
Penguatan konsep Ahl adz-Dzikr ini juga menegaskan pentingnya pendidikan Islam yang formal dan terstruktur. Gelar ulama atau ahli tidak diperoleh dengan klaim pribadi, melainkan melalui proses panjang pembelajaran, sanad yang terhubung, dan pengakuan dari komunitas ilmiah. Ayat ini secara implisit mengecam mereka yang mengaku sebagai ahli (Ahl adz-Dzikr) tanpa memenuhi syarat-syarat keilmuan yang ketat dan transparan. Ilmu adalah amanah, dan Ahl adz-Dzikr adalah pengemban amanah tersebut.
Seluruh ayat ini, mulai dari penegasan kenabian manusia hingga perintah bertanya, menyusun sebuah sistem lengkap yang memastikan bahwa akidah dan syariat umat Islam terjaga dari infiltrasi pemikiran yang tidak berdasar. Sistem ini adalah benteng pertahanan terakhir terhadap relativisme agama, di mana setiap orang dianggap setara dalam menafsirkan teks suci. Islam menolak relativisme semacam itu melalui perintah tegas yang tertera dalam An Nahl 43, mewajibkan pengakuan terhadap otoritas keilmuan yang didasarkan pada ketakwaan dan penguasaan wahyu.
Marilah kita senantiasa memegang teguh petunjuk ini, mencari ilmu dengan kerendahan hati, dan merujuk kepada mereka yang telah diamanahi untuk membawa obor Dzikr, memastikan bahwa setiap langkah kehidupan kita didasarkan pada cahaya wahyu, bukan kegelapan asumsi pribadi.
***
D. Penegasan Ulang: Fungsi Ayat Sebagai Penguat Struktur Keilmuan
Ayat An Nahl 43 tidak hanya berfungsi sebagai jawaban historis terhadap keraguan kaum Quraisy, tetapi juga sebagai pilar metodologis yang mengatur hubungan antara ilmuwan dan non-ilmuwan (antara *mujtahid* dan *muqallid*). Pengulangan penekanan pada kewajiban bertanya ini adalah penting karena ia menyentuh titik kritis dalam praktik keagamaan sehari-hari.
Tanpa ayat ini, seseorang mungkin merasa bahwa ia bisa membaca Al-Qur’an dan langsung menerapkan hukum tanpa memerlukan Tafsir, Ushul Fiqh, atau ilmu pendukung lainnya. Hal ini, menurut ijma’ ulama, adalah kesalahan fatal. Ayat ini membedakan secara tegas antara orang yang menguasai ilmu agama (Ahl adz-Dzikr) dan orang yang belum menguasainya (laa ta'lamuun). Pengakuan akan perbedaan status ini adalah langkah awal menuju ketaatan syar’i yang benar.
Ketika kita menghadapi kompleksitas fiqih seperti hukum waris yang rumit (faraidh), hukum muamalat dalam pasar saham, atau hukum ibadah yang melibatkan kondisi khusus (misalnya shalat bagi pasien), kita menyadari bahwa pemahaman harfiah Al-Qur'an dan Sunnah saja tidak cukup. Dibutuhkan keahlian dalam mengaplikasikan kaidah-kaidah ilmu tafsir dan ushul fiqh. Keahlian ini berada di tangan Ahl adz-Dzikr. Oleh karena itu, ketaatan kita kepada Allah ﷻ diwujudkan melalui ketaatan kita untuk bertanya kepada mereka.
Kajian mendalam tentang Ahl adz-Dzikr juga membawa kita pada kesadaran pentingnya menjaga warisan keilmuan Islam. Institusi pendidikan agama, madrasah, dan universitas Islam, adalah wadah tempat generasi Ahl adz-Dzikr masa depan dibentuk. Investasi dalam ilmu agama, baik waktu, harta, maupun tenaga, merupakan bentuk implementasi kolektif dari perintah yang terkandung dalam ayat ini. Jika umat lalai dalam mencetak Ahl adz-Dzikr yang kredibel, maka rantai keilmuan akan terputus, dan perintah Ilahi untuk bertanya akan kehilangan subjeknya.
Filosofi yang ditekankan dalam ayat ini adalah filosofi ketergantungan (dependence) yang positif. Manusia bergantung pada Allah untuk wahyu, dan manusia bergantung pada sesama manusia (Ahl adz-Dzikr) untuk interpretasi dan penjelasan wahyu tersebut. Ketergantungan ini membangun komunitas yang saling menguatkan, di mana yang berilmu bertanggung jawab mengajarkan, dan yang awam bertanggung jawab untuk belajar dan bertanya.
Kita harus selalu mengingat, bahwa tujuan utama bertanya dan merujuk adalah untuk mencapai kepastian hukum dan ketenangan hati (tuma'ninah) dalam beribadah dan berinteraksi. Keraguan (syak) adalah musuh keimanan, dan Ahl adz-Dzikr adalah obat yang diresepkan oleh Allah ﷻ untuk menghilangkan keraguan tersebut melalui dalil dan penjelasan yang kuat.
Perenungan terhadap An Nahl 43 haruslah menghasilkan introspeksi diri: Seberapa serius kita dalam mencari sumber ilmu yang sah? Apakah kita telah menempatkan otoritas agama di tempat yang benar, yaitu pada Ahl adz-Dzikr yang teruji, ataukah kita lebih suka merujuk kepada pendapat yang populer, sensasional, atau sesuai dengan hawa nafsu kita? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan kualitas keislaman dan ketaatan seseorang. Ayat ini menuntut kerendahan hati dan disiplin intelektual, sebuah tuntutan yang relevan sepanjang masa.
Pengulangan dan penegasan ini adalah untuk memastikan bahwa setiap pembaca memahami bahwa kewajiban ini bukan pilihan, melainkan pilar yang menopang seluruh bangunan syariat. Kekuatan Islam terletak pada integritas sumbernya (wahyu) dan integritas penerusnya (Ahl adz-Dzikr).
***
E. Konsekuensi Fiqh dan Akidah dari Pengabaian Hukum
Jika seorang Muslim dihadapkan pada suatu persoalan hukum dan ia tidak mengetahui jawabannya, namun ia memilih untuk melakukan interpretasi sendiri tanpa merujuk kepada Ahl adz-Dzikr, para fuqaha (ahli fiqih) sepakat bahwa ia berdosa jika keputusannya bertentangan dengan syariat, karena ia mengabaikan perintah Allah dalam An Nahl 43.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam salah satu karyanya membahas secara panjang lebar mengenai bahaya berfatwa tanpa ilmu (Ahl adz-Dzikr), menyebutnya sebagai salah satu dosa besar yang merusak agama individu dan masyarakat. Ayat ini menjadi dasar legalitas *larangan berfatwa bagi yang tidak memenuhi syarat*. Fatwa adalah warisan kenabian, dan hanya waris sah yang berhak mengemban tugas tersebut.
Dalam konteks Akidah, merujuk kepada Ahl adz-Dzikr menjamin bahwa pemahaman terhadap sifat-sifat Allah, qadha dan qadar, serta Hari Akhir, adalah konsisten dengan jalan yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Tanpa bimbingan ahli, akidah mudah tergelincir ke dalam rasionalisme berlebihan (seperti Mu'tazilah di masa lalu) atau antropomorfisme (penyerupaan Allah dengan makhluk). Ahl adz-Dzikr berfungsi sebagai filter yang menjaga kemurnian akidah (Tauhid) dari penyimpangan.
Oleh karena itu, kewajiban bertanya adalah kewajiban yang bersifat *fardhu 'ain* (wajib bagi setiap individu) ketika ia tidak memiliki ilmu tentang suatu masalah yang relevan dengan kehidupannya, khususnya dalam hal akidah dan ibadah. Jika ia berada di daerah yang sulit menemukan Ahl adz-Dzikr, kewajibannya bertambah berat untuk melakukan perjalanan atau mencari mereka melalui sarana komunikasi yang tersedia.
***
F. Penutup Perenungan: Kebodohan dan Jalan Keluar Ilahi
Surah An Nahl ayat 43 menyajikan solusi paripurna terhadap masalah kebodohan yang inheren pada diri manusia. Allah tidak membiarkan hamba-Nya tersesat dalam kegelapan ketidaktahuan. Dia menyediakan dua sumber utama:
- Wahyu (Dzikr): Sumber petunjuk yang sempurna dan terpelihara.
- Ahl adz-Dzikr: Penafsir dan pelaksana yang berwenang untuk menyampaikan petunjuk tersebut.
Mengamalkan ayat ini berarti mengakui bahwa kesempurnaan ada pada Kitabullah dan bahwa proses memahaminya membutuhkan perangkat ilmu yang diwariskan dari para nabi. Ini adalah seruan untuk meninggalkan kesombongan yang menghalangi seseorang dari belajar dan bertanya. Tanyalah kepada mereka yang mengetahui, dan niscaya kamu akan menemukan jalan yang lurus.
Umat Islam di seluruh dunia harus terus menerus menghidupkan semangat ayat ini, dengan menghormati ulama yang berpegang teguh pada kebenaran dan Sunnah, serta secara aktif mencari petunjuk dari mereka dalam menghadapi setiap polemik dan permasalahan kehidupan. Dalam kepatuhan terhadap perintah فَسْـَٔلُوٓا۟, terdapat keselamatan di dunia dan akhirat.
Kewajiban untuk bertanya merupakan jembatan yang menghubungkan kebodohan (*laa ta'lamuun*) dengan pengetahuan (*Ahl adz-Dzikr*), dan pada akhirnya, menghubungkan manusia dengan ridha Allah ﷻ.
Ayat 43 dari Surah An Nahl adalah peta jalan yang jelas: Akui keterbatasanmu, cari petunjuk dari yang berhak, dan berjalanlah di atas cahaya wahyu yang dibawa oleh manusia pilihan Allah.