Memahami Intisari Risalah Semesta
Surah An-Nahl (Lebah) adalah surah Makkiyah yang memuat banyak bukti keesaan dan kekuasaan Allah SWT yang terhampar di alam semesta, mulai dari lebah, air, hingga bintang-bintang. Di tengah rentetan argumentasi kosmik ini, terselip sebuah ayat fundamental, yaitu ayat 36, yang berfungsi sebagai ringkasan universal dari seluruh ajaran yang dibawa oleh setiap utusan yang pernah diutus ke muka bumi.
Ayat ini bukan sekadar perintah, melainkan penegasan sejarah teologis yang tak terputus. Ia menjelaskan tujuan utama penciptaan dan pengutusan nabi: mengukuhkan Tauhid dan memberantas segala bentuk penyembahan selain Allah. Pemahaman mendalam terhadap An-Nahl 36 adalah kunci untuk memahami seluruh peta jalan Islam, dari ajaran Nabi Nuh AS hingga Nabi Muhammad SAW.
Teks dan Terjemah An-Nahl 36
Terjemah bebas: "Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah Taghut.’ Kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang telah pasti kesesatan atasnya. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (ajaran rasul)."
I. Prinsip Universalitas Risalah (وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا)
Ayat ini dimulai dengan penegasan historis: "Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat." (وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا). Frasa ini mengandung implikasi teologis yang sangat mendalam mengenai keadilan ilahi (Sunnatullah). Allah tidak pernah membiarkan satu pun komunitas manusia, sejak awal peradaban, tanpa panduan atau peringatan.
Penggunaan kata 'kullu ummah' (setiap umat) menunjukkan bahwa pesan Tauhid adalah pesan yang bersifat pan-historis dan universal, melampaui batas geografis dan zaman. Ini mematahkan anggapan bahwa ajaran agama adalah monopoli satu bangsa atau satu era tertentu. Setiap rasul, meski membawa syariat yang mungkin berbeda dalam detailnya (furu'), membawa satu misi inti yang sama.
Kesinambungan Rantai Kenabian
Makna 'ba'atsna' (Kami telah mengutus) menggarisbawahi kehendak aktif Allah dalam interaksi dengan manusia. Ini menegaskan bahwa kenabian bukan sekadar evolusi spiritual, melainkan intervensi ilahi yang disengaja. Rantai kenabian ini, yang dimulai dari Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, hingga penutupnya Muhammad, semuanya bertumpu pada premis tunggal yang diuraikan pada bagian berikutnya: Tauhid mutlak.
Bagi ulama tafsir, seperti Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir, penegasan ini juga merupakan bantahan terhadap kaum musyrikin Makkah yang menolak kerasulan Muhammad SAW. Allah seolah berkata, mengapa kalian menolak ajaran yang sama persis dengan yang telah dibawa oleh setiap utusan sebelumnya, bahkan kepada kaum-kaum sebelum kalian yang memiliki catatan sejarah yang jauh lebih panjang?
Keadilan Ilahi dan Hujjah
Konsep ini sangat erat kaitannya dengan keadilan (al-'Adl) Allah. Allah tidak akan menghukum suatu kaum melainkan setelah diutusnya pemberi peringatan. Ini adalah prinsip 'Iqamatul Hujjah' (Penegakan Bukti). An-Nahl 36 memastikan bahwa tidak ada satu pun individu atau kelompok yang dapat beralasan di hari perhitungan bahwa mereka tidak pernah menerima pesan dasar kebenaran. Pengutusan rasul di setiap umat memastikan bahwa hujjah telah sampai, bahkan jika bentuk pengutusannya berbeda-beda sesuai konteks zaman tersebut.
Universalitas ini juga menyiratkan bahwa fitrah manusia (insting bawaan) selalu cenderung mencari kebenaran, namun fitrah itu memerlukan bimbingan eksternal (wahyu) untuk menjernihkan kekeruhan yang ditimbulkan oleh adat, hawa nafsu, dan lingkungan sosial. Rasul-rasul diutus untuk mengembalikan fitrah tersebut kepada sumbernya.
II. Pilar Pertama: Inti Perintah (أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ)
Pesan inti yang disampaikan oleh setiap rasul kepada umatnya adalah "Sembahlah Allah." (أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ). Perintah ini bukan sekadar ajakan untuk melakukan ritual, tetapi merupakan fondasi seluruh pandangan hidup Islam—Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma' wa Sifat.
Makna Mendalam Ibadah (Al-Ibadah)
Kata 'Ibadah' (penyembahan) dalam konteks ayat ini jauh lebih luas daripada shalat, puasa, atau haji. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ibadah adalah sebuah nama جامع (jami'/komprehensif) untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir). Ini mencakup:
- Ibadah Hati: Rasa takut (Khauf), harapan (Raja'), kecintaan (Mahabbah), tawakal, dan niat.
- Ibadah Lisan: Zikir, membaca Al-Qur’an, dan berkata jujur.
- Ibadah Fisik: Shalat, puasa, dan jihad.
Perintah "U'budullaha" adalah seruan untuk memurnikan seluruh aspek eksistensi manusia agar terikat hanya kepada Sang Pencipta. Jika manusia menyembah Allah, maka seluruh hidupnya (politik, ekonomi, sosial) harus diselaraskan dengan kehendak Ilahi. Ibadah menjadi manifestasi dari pengakuan bahwa hanya Allah yang memiliki hak mutlak untuk mengatur dan dipatuhi.
Tauhid sebagai Pembebasan
Tauhid yang terkandung dalam perintah ini adalah pembebasan sejati. Ketika seseorang menyatakan hanya Allah yang layak disembah, ia secara otomatis membebaskan dirinya dari perbudakan kepada makhluk, hawa nafsu, sistem yang zalim, atau harta benda. Ini adalah revolusi spiritual dan sosial terbesar yang ditawarkan oleh setiap utusan.
Dalam konteks dakwah para rasul terdahulu, perintah ini selalu berhadapan langsung dengan struktur kekuasaan yang mapan dan berhala-berhala yang dihormati secara kultural. Baik itu Fir’aun yang mengklaim diri sebagai tuhan, maupun patung-patung yang disembah kaum Nabi Ibrahim, perintah 'U'budullaha' berfungsi sebagai garis pemisah yang tajam antara kebenaran dan kebatilan.
Para ulama tafsir menegaskan bahwa perintah ini adalah titik awal risalah. Tidak ada ajaran moral, hukum, atau etika yang dapat tegak lurus tanpa terlebih dahulu menetapkan fondasi bahwa ketaatan tertinggi adalah milik Allah semata. Tanpa Tauhid, syariat hanyalah rangkaian aturan tanpa ruh, dan keberhasilan dakwah tidak mungkin terwujud.
III. Pilar Kedua: Larangan Mutlak (وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ)
Pilar kedua dari An-Nahl 36 adalah sisi negatif yang melengkapi sisi positif Tauhid: "Dan jauhilah Taghut." (وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ). Dua perintah ini (worship dan avoid) selalu berjalan beriringan. Tidak mungkin Tauhid itu sempurna tanpa menolak Taghut.
Definisi Taghut: Sebuah Eksplorasi Linguistik dan Syar'i
Kata 'Taghut' berasal dari akar kata 'thagha', yang berarti melampaui batas atau melampaui ukuran yang semestinya. Secara terminologi syar'i, Taghut didefinisikan secara luas oleh para ulama, namun intinya adalah: segala sesuatu yang disembah, ditaati, atau diikuti selain Allah, padahal ia rela dengan penyembahan atau kepatuhan tersebut.
Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah mendefinisikan Taghut sebagai segala sesuatu yang dijadikan batas oleh hamba (manusia) melebihi batas yang semestinya, baik yang disembah, diikuti, atau ditaati. Ini mencakup lima kategori utama:
- Setan (Iblis), yang menjadi pemimpin segala kejahatan.
- Penguasa zalim yang mengubah hukum Allah dan memerintah dengan hukum selain hukum-Nya.
- Orang yang berhukum (menetapkan aturan) selain dengan hukum yang diturunkan Allah.
- Orang yang mengklaim mengetahui hal gaib.
- Sesuatu yang disembah selain Allah dan ia ridha dengan penyembahan itu (termasuk berhala, kuburan, atau bahkan manusia yang diagungkan secara tidak wajar).
Oleh karena itu, menjauhi Taghut ('ijtanibu') bukan hanya berarti tidak menyembah berhala batu. Ia menuntut penolakan total terhadap semua sistem, ideologi, hukum, atau otoritas yang bertentangan dengan Tauhid dan mengklaim hak ilahi untuk mengatur manusia.
Manifestasi Taghut di Era Modern
Penting untuk dicatat bahwa Taghut tidak hanya bersifat spiritual murni (penyembahan berhala), tetapi juga bersifat sistemik dan intelektual. Di era kontemporer, Taghut bisa menjelma dalam bentuk:
- Sekularisme Ekstrem: Yang mengklaim bahwa hukum manusia lebih utama daripada hukum Ilahi dalam urusan publik.
- Materialisme: Menjadikan uang, kekayaan, atau status sebagai tujuan tertinggi yang dipatuhi melebihi perintah agama.
- Ego Pribadi: Hawa nafsu yang dijadikan ilah (Tuhan) oleh seseorang, sebagaimana disinggung dalam Surah Al-Jatsiyah 23: "Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya?"
- Ideologi Totaliter: Sistem politik yang menuntut ketaatan absolut kepada pemimpin atau partai, mengorbankan kebebasan dan kebenaran.
Perintah 'ijtanibu' (jauhi) menuntut pemisahan total secara keyakinan dan sikap dari segala bentuk Taghut ini. Inilah yang membedakan Islam dari sekadar etika humanis; Islam menuntut pemurnian sumber otoritas.
IV. Konsekuensi Respons Manusia dan Kehendak Ilahi
Setelah menyatakan misi para rasul, ayat 36 segera beralih membahas respons umat manusia: "Kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang telah pasti kesesatan atasnya." (فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ).
Hidayah dan Pertanggungjawaban
Ayat ini menyajikan realitas kemanusiaan yang terbelah menjadi dua kubu setelah mendengar seruan kenabian. Frasa 'man hada Allahu' (orang yang diberi petunjuk oleh Allah) menunjukkan bahwa hidayah adalah anugerah murni dari Allah, namun anugerah ini diberikan berdasarkan kesediaan dan upaya manusia untuk mencarinya. Manusia memiliki kehendak bebas (ikhtiyar) untuk menerima atau menolak pesan rasul.
Di sisi lain, 'man haqqat 'alaihil dhalalah' (orang yang telah pasti kesesatan atasnya) merujuk pada mereka yang menolak pesan kebenaran dengan kesombongan, kedengkian, atau penentangan yang keras. Kesesatan mereka bukanlah paksaan, melainkan konsekuensi logis dari pilihan mereka sendiri untuk menutup hati dan pikiran terhadap Hujjah yang telah tegak melalui para rasul.
Penyebutan kedua kelompok ini menegaskan prinsip penting dalam teologi Islam: bahwa pengutusan rasul tidak menjamin konversi massal. Tugas rasul hanyalah menyampaikan (balagh), sedangkan hasil (hidayah atau kesesatan) sepenuhnya milik Allah, yang diberikan berdasarkan hikmah dan keadilan-Nya atas pilihan hamba tersebut.
Urgensi Hidayah: Analisis Kata Kunci
Kata 'hidayah' di sini mencakup setidaknya dua jenis:
- Hidayah Al-Bayan (Petunjuk Penjelasan): Inilah yang dibawa oleh para rasul—penjelasan tentang jalan yang benar.
- Hidayah At-Taufiq (Petunjuk Taufik): Kemampuan dan kekuatan internal yang diberikan Allah kepada hati seseorang untuk benar-benar mengikuti jalan yang telah dijelaskan.
Mereka yang menolak Taghut dan beribadah kepada Allah telah menunjukkan kesiapan hati mereka, sehingga Allah memberikan mereka Hidayah At-Taufiq. Sedangkan mereka yang bersikukuh pada Taghut, Allah membiarkan mereka dalam kesesatan sebagai balasan atas penolakan mereka yang disengaja.
V. Studi Sejarah dan Peringatan (فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ)
Ayat 36 ditutup dengan perintah yang sangat praktis dan empiris: "Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (ajaran rasul)." (فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ).
Ini adalah seruan eksplisit untuk melakukan perjalanan sejarah, baik secara fisik maupun intelektual. Perintah ini mengaitkan teologi Tauhid dengan realitas sejarah peradaban. Islam bukanlah agama yang hanya hidup dalam ruang ritual, melainkan agama yang menuntut observasi atas dunia nyata dan pelajaran dari masa lalu.
Sejarah sebagai Laboratorium Kebenaran
Allah meminta umat Islam untuk melihat 'aqibatul mukadzdzibin' (kesudahan para pendusta). Siapakah pendusta ini? Mereka adalah kaum-kaum yang menolak misi inti para rasul: menolak Tauhid dan memeluk Taghut. Sejarah peradaban dipenuhi dengan kisah-kisah kaum Ad, Tsamud, kaum Nabi Luth, dan Fir’aun, yang dihancurkan setelah mereka mencapai puncak kesombongan, zalim, dan pengagungan diri sendiri atau sistem selain Allah.
Perjalanan di bumi (siruu fil ardh) berfungsi sebagai dua hal:
- Bukti Eksistensial: Reruntuhan peradaban zalim adalah bukti nyata kebenaran janji dan ancaman Allah. Mereka yang mendustakan rasul tidak hanya akan menghadapi hukuman di akhirat, tetapi juga kehancuran di dunia.
- Peringatan Moral: Perintah ini adalah alat pencegah. Dengan melihat kejatuhan para pendahulu, umat masa kini didorong untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, yaitu bersandar pada kekuatan Taghut atau mengabaikan seruan Tauhid.
Integrasi Akal dan Wahyu
Bagian penutup ini menunjukkan pentingnya akal dan observasi dalam Islam. Akal tidak ditiadakan, melainkan diarahkan untuk mengamati bukti-bukti empiris (reruntuhan, sisa-sisa peradaban) untuk menguatkan iman pada kebenaran wahyu. Ini adalah metodologi berpikir yang kokoh: iman yang didukung oleh bukti historis dan kosmik.
VI. Relevansi An-Nahl 36 dalam Kehidupan Kontemporer
Meskipun ayat ini diwahyukan di Makkah ribuan tahun yang lalu, pesan Tauhid dan larangan Taghut tetap menjadi isu sentral yang paling relevan bagi umat manusia di abad modern. Teks ini memberikan peta jalan yang jelas bagi setiap Muslim yang ingin menegakkan keimanan yang murni.
Ibadah sebagai Sikap Hidup Total
Di era di mana ibadah sering kali direduksi hanya menjadi urusan individu di ruang tertutup (sekularisasi), An-Nahl 36 mengingatkan bahwa ibadah (U'budullaha) harus mencakup seluruh aspek kehidupan. Bagaimana umat Muslim berinteraksi dengan ekonomi, politik, dan teknologi harus diatur oleh prinsip Tauhid. Jika sistem ekonomi menuntut riba yang bertentangan dengan syariat, maka sistem itu, dalam konteks tertentu, mulai mengambil karakteristik Taghut yang harus dijauhi.
Perjuangan Melawan Taghut Internal (Hawa Nafsu)
Jika Taghut eksternal meliputi penguasa zalim dan ideologi sesat, Taghut internal adalah hawa nafsu yang menyesatkan. Perjuangan terbesar yang digambarkan dalam ayat ini adalah perjuangan jiwa individu melawan bisikan internal yang menyuruhnya untuk mengutamakan ego, keinginan hedonis, atau kepuasan diri di atas perintah Allah. Seorang Muslim yang berhasil mengendalikan nafsunya telah menjauhi salah satu Taghut yang paling halus dan berbahaya.
Ulama dan Tanggung Jawab Mengingatkan
Para ulama pewaris tugas kenabian memiliki tanggung jawab besar untuk terus menjelaskan makna 'U'budullaha' dan 'Ijtanibut Taghut'. Dalam masyarakat yang kompleks, penjelasan Taghut tidak boleh terbatas pada berhala fisik, tetapi harus mencakup analisis kritis terhadap sistem-sistem sosial, media, dan arus pemikiran yang secara halus mengalihkan ketaatan manusia dari Allah.
VII. Tauhid Al-Uluhiyah: Manifestasi Praktis dalam Ayat Ini
Ayat An-Nahl 36 merupakan teks yang sangat kaya mengenai Tauhid Al-Uluhiyah (Tauhid ibadah), yaitu pengesaan Allah dalam segala bentuk peribadatan dan ketaatan. Para ulama akidah menempatkan ayat ini sebagai salah satu dalil primer yang menetapkan bahwa tujuan penciptaan manusia terangkum dalam dua kutub tersebut.
Tiga Pilar Tauhid Uluhiyah dalam An-Nahl 36
- Ithbat (Penetapan): Penetapan bahwa hanya Allah yang disembah (U'budullaha). Ini adalah sisi positif keimanan yang mewajibkan penyerahan diri total.
- Nafy (Penolakan): Penolakan terhadap segala sesuatu yang disembah selain Allah (Wajtanibut Taghut). Ini adalah sisi negatif yang menghilangkan syirik dari akidah.
- Mizan (Keseimbangan): Ayat ini menciptakan keseimbangan antara harapan dan takut. Dengan beribadah kepada Allah, ada harapan (Raja’) akan Hidayah, dan dengan menjauhi Taghut, ada ketakutan (Khauf) terhadap kesesatan dan hukuman yang menimpa para pendusta.
Pentingnya kombinasi Ithbat dan Nafy ini selaras dengan makna syahadat: La ilaha illallah. "La ilaha" (Tidak ada tuhan) adalah penolakan (Nafy) terhadap Taghut dan segala ilah palsu, sementara "illallah" (kecuali Allah) adalah penetapan (Ithbat) terhadap Tauhid Uluhiyah. An-Nahl 36 adalah penjabaran teologis dari dua unsur syahadat tersebut.
VIII. Kontinuitas Tugas Dakwah Setelah Kenabian
Setelah rantai kenabian ditutup dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW, tugas menyampaikan pesan Tauhid yang terkandung dalam An-Nahl 36 ini tidak berakhir, melainkan berpindah tangan kepada umat Islam (Umat Muhammad). Umat ini menjadi "Khairu Ummah" (umat terbaik) karena mereka melanjutkan misi fundamental ini: mengajak kepada makruf dan mencegah dari mungkar, yang puncaknya adalah mengajak kepada Tauhid dan melarang Syirik/Taghut.
Peran Umat Islam sebagai Saksi
Umat Muslim mengemban tanggung jawab untuk menjadi saksi (syuhada' 'ala an-naas) atas kebenaran risalah ini, memastikan bahwa Hujjah Allah terus ditegakkan di setiap generasi. Ini melibatkan bukan hanya dakwah lisan, tetapi juga implementasi nilai-nilai Tauhid dalam kehidupan sosial, politik, dan moral mereka, sehingga kehidupan mereka menjadi model penolakan terhadap Taghut.
Kesimpulan Metodologis
Metodologi dakwah yang ditarik dari An-Nahl 36 bersifat progresif dan integral. Dimulai dengan pemurnian akidah, diikuti dengan penolakan sistem-sistem yang bertentangan, dan diakhiri dengan peringatan empiris dari sejarah. Ini memastikan bahwa dakwah adalah proses holistik yang menyentuh aspek spiritual (hati), intelektual (hujjah), dan historis (observasi).
Ketaatan kepada Allah menuntut pemahaman yang utuh terhadap perintah-Nya, dan perintah paling mendasar yang diwariskan dari seluruh nabi adalah kemurnian Tauhid. Setiap penyimpangan dari Tauhid, sekecil apa pun, membuka pintu kepada Taghut. Oleh karena itu, pengajaran akidah Tauhid murni harus menjadi prioritas utama dalam pendidikan umat, mulai dari keluarga hingga lembaga pendidikan tertinggi.
Mempertahankan kemurnian Tauhid di tengah gempuran ideologi yang didominasi oleh sekularisme, relativisme, dan materialisme adalah wujud nyata dari menjalankan perintah "Wajtanibut Taghut" di masa kini. Tantangan tidak lagi berupa berhala yang terlihat, melainkan kerancuan pemikiran dan penyimpangan hukum yang mengklaim otoritas di luar kehendak Allah SWT.
Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan kembali seluruh prioritas hidup. Apakah kita mendahulukan ketaatan kepada Allah, ataukah ketaatan kepada Taghut—baik dalam bentuk tirani politik, tekanan sosial, atau keinginan pribadi? Jawaban atas pertanyaan inilah yang menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok yang 'diberi petunjuk oleh Allah' atau kelompok yang 'telah pasti kesesatan atasnya'.
Inti dari Surah An-Nahl ayat 36 adalah pesan abadi yang merupakan pembeda antara iman dan kekafiran, antara kebenaran dan kesesatan. Ia adalah seruan kebebasan sejati yang hanya ditemukan dalam penyerahan total kepada Sang Pencipta semesta alam.