Keringanan, Fidyah, dan Hikmah Puasa dalam Syariat Islam
Surah Al-Baqarah ayat 184 merupakan pilar utama dalam pemahaman fikih puasa Ramadan, khususnya terkait konsep rukhsah (keringanan) dan fidyah (tebusan). Setelah ayat sebelumnya (183) menetapkan puasa sebagai kewajiban bagi orang-orang beriman, ayat 184 segera menyusul dengan memberikan pengecualian yang menunjukkan betapa tingginya nilai kemudahan dan rahmat dalam syariat Islam. Ayat ini memastikan bahwa kewajiban puasa tidak menjadi beban yang tak tertanggungkan, melainkan disesuaikan dengan kapasitas dan kondisi individu.
Ayat ini secara eksplisit membahas tiga kondisi utama: hari-hari puasa yang terbatas (*ayyam ma’dudat*), pengecualian bagi orang sakit dan musafir, serta ketentuan bagi mereka yang tidak mampu berpuasa secara permanen. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini memerlukan analisis linguistik, kajian historis (aspek *naskh* atau penghapusan hukum), dan tinjauan komparatif mazhab fikih.
Untuk memahami inti dari ayat 184, kita harus menelusuri makna spesifik dari beberapa frasa kunci, terutama yang terkait dengan sejarah penetapan hukum puasa (tasyri').
Frasa ini merujuk pada jumlah hari puasa yang ditetapkan. Sebelum diwajibkannya puasa Ramadan sebulan penuh, kaum Muslimin awalnya diberi pilihan untuk berpuasa tiga hari setiap bulan atau berpuasa Asyura. Ketika Ramadan diwajibkan, frasa ini digunakan untuk menekankan bahwa kewajiban puasa itu hanyalah dalam jumlah yang terbatas, yaitu satu bulan penuh, dan bukan selamanya. Ini adalah penekanan psikologis bahwa kewajiban yang tampak berat itu sebenarnya singkat dan terukur.
Ini adalah bagian yang jelas dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Orang yang sakit (yang puasanya akan memperburuk penyakit) atau sedang dalam perjalanan jauh (musafir) mendapatkan rukhsah untuk tidak berpuasa. Namun, keringanan ini diikuti dengan kewajiban qada’ (mengganti) di hari-hari lain di luar Ramadan. Ini menunjukkan bahwa meskipun syariat memberi keringanan, tujuan utama (puasa) tetap harus dipenuhi.
Ini adalah jantung dari kerumitan ayat 184 dan sumber perdebatan fiqih utama. Secara harfiah, 'Yutiqunahu' berarti "orang-orang yang mampu melakukannya." Jika diartikan secara harfiah tanpa melihat konteks historis, kalimat ini bisa diartikan bahwa pada awalnya, orang yang mampu berpuasa diberi pilihan: puasa atau membayar fidyah.
Para mufasir dan ahli fikih sepakat bahwa ketentuan ini, yang memberi pilihan antara puasa dan fidyah bagi yang mampu, telah dihapus (mansukh) oleh ayat selanjutnya, yaitu QS Al-Baqarah ayat 185: "Maka barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu."
Konsensus Ulama tentang Naskh:
Mayoritas ulama, termasuk Ibnu Abbas, Aisyah, Mujahid, dan Imam Asy-Syafi’i, menyatakan bahwa ayat 184 memiliki dua fase hukum:
Makna 'Yutiqunahu' Setelah Naskh:
Meskipun ketentuan pilihan telah dihapus, para ulama menafsirkan kembali frasa 'Yutiqunahu' yang tersisa di ayat 184 agar tetap relevan dan tidak sepenuhnya terbuang. Ibnu Abbas RA menafsirkan bahwa 'Yutiqunahu' di sini harus dimaknai sebagai 'Alladhina Laa Yutiqunahu' (orang-orang yang tidak mampu menunaikannya) setelah berjuang keras, atau merujuk pada kategori khusus orang tua renta dan orang sakit menahun yang memang tidak mungkin berpuasa lagi seumur hidupnya. Dengan demikian, ketentuan fidyah tetap berlaku untuk pengecualian permanen ini.
Simbol Keadilan dan Rahmat dalam Beribadah.
Setelah memahami konteks naskh, kita masuk pada penerapan hukum yang berlaku saat ini. Secara umum, kewajiban yang ditimbulkan dari tidak berpuasa di Ramadan terbagi menjadi tiga kategori utama, yang bersumber dari ayat 184 dan penjelasannya:
Ini berlaku untuk mereka yang memiliki harapan untuk pulih atau kondisi mereka bersifat sementara, sehingga mereka masih mampu mengganti puasa di luar bulan Ramadan.
Ini berlaku bagi mereka yang tidak mungkin lagi berpuasa karena kondisi permanen, dan ini adalah kategori yang ditujukan oleh penafsiran mutakhir dari 'Yutiqunahu' dalam ayat 184.
Kategori ini muncul bukan karena ayat 184 secara langsung, melainkan dari konsensus fiqih yang menggabungkan dua unsur kelalaian dan hak orang lain:
Ayat 184 menyebutkan secara jelas bentuk fidyah: فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ (fidyatun ta’am miskin), yaitu memberi makan seorang miskin. Perdebatan utama di kalangan ulama adalah mengenai jenis makanan, takaran, dan apakah boleh diganti dengan uang tunai.
Fidyah harus berupa makanan pokok yang umum dikonsumsi di wilayah tersebut. Di Indonesia, makanan pokoknya adalah beras.
Pilihan Praktis: Meskipun ada perbedaan, banyak lembaga amil modern mengikuti pandangan yang membolehkan konversi ke nilai uang (seperti Hanafi), untuk memudahkan distribusi, selama nilai uang tersebut setara atau lebih dari harga satu porsi makanan layak bagi seorang miskin.
Fidyah harus dibayar sejumlah hari puasa yang ditinggalkan. Jika seseorang meninggalkan puasa 30 hari karena sakit menahun, maka ia wajib memberi makan 30 orang miskin, atau memberikan 30 takaran fidyah (misalnya 30 x 700 gram beras) kepada satu atau beberapa orang miskin.
Waktu Pembayaran: Fidyah boleh dibayarkan setiap hari puasa yang ditinggalkan, dikumpulkan di akhir bulan Ramadan, atau bahkan dibayar di awal bulan Ramadan. Yang terpenting, pembayaran dilakukan sebelum berakhirnya kewajiban (sebelum datangnya Ramadan tahun berikutnya bagi yang menunda qada').
Penerima fidyah adalah miskin atau fakir, yakni mereka yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari. Fidyah tidak boleh diberikan kepada kerabat dekat yang wajib dinafkahi (seperti istri atau anak), tetapi boleh diberikan kepada kerabat jauh yang tergolong miskin.
Ilustrasi Pemberian Fidyah berupa makanan kepada yang membutuhkan.
Implementasi Al-Baqarah 184 sering kali menimbulkan pertanyaan rumit, terutama di kalangan perempuan dan mereka yang berada dalam kondisi kesehatan yang ambigu. Berikut adalah studi kasus mendalam berdasarkan pandangan mazhab-mazhab utama (Jumhur, Syafi'i, Hanafi).
Kasus ini adalah yang paling banyak melibatkan pertimbangan ganda (qada’ dan fidyah).
Dasar Khilafiyah: Kewajiban puasa gugur karena uzur (takut bahaya). Namun, apakah bahaya itu hanya untuk ibu, atau juga untuk bayi? Ulama membedakan:
Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Wajib Qada’ dan Fidyah. Alasan: Ibu yang khawatir terhadap janinnya telah meninggalkan kewajiban puasa demi menjaga hak makhluk lain (janin). Oleh karena itu, ia dikenakan fidyah sebagai tebusan atas hak puasa tersebut, selain kewajiban qada’. Fidyah ini wajib dibayarkan kepada fakir miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.
Mazhab Hanafi: Hanya wajib Qada’. Mereka menyamakan kondisi ini dengan orang sakit biasa. Tidak ada kewajiban fidyah.
Mazhab Maliki: Kewajiban fidyah hanya berlaku jika ibu menyusui meninggalkan puasa, bukan ibu hamil. Namun, banyak ulama Maliki kontemporer cenderung mewajibkan fidyah jika kekhawatiran tertuju pada anak.
Pilihan Praktis: Mengingat kehati-hatian (*ihtiyat*), banyak yang memilih mengikuti pandangan Syafi’i dengan membayar fidyah dan qada’ jika kekhawatiran tertuju pada janin/anak.
Jika seseorang meninggalkan puasa karena uzur yang bersifat sementara (sakit, musafir, haid), dan ia memiliki kemampuan untuk menggantinya, namun ia menunda qada’ tersebut hingga masuknya Ramadan berikutnya tanpa ada uzur syar’i (misalnya sakit yang berkelanjutan atau uzur baru), maka ia telah melanggar batas waktu qada’.
Catatan Penting: Jika penundaan qada’ disebabkan oleh uzur yang berkelanjutan (misalnya sakit yang belum sembuh hingga Ramadan berikutnya datang), maka tidak dikenakan fidyah, hanya qada’ saja.
Jika seseorang meninggal dunia dan ia memiliki hutang puasa Ramadan yang belum sempat diqada’, terdapat dua pandangan utama:
Apabila seseorang menunda qada’ secara sengaja hingga melewati dua, tiga, atau lebih Ramadan, apakah fidyahnya berlipat ganda?
Menurut Mazhab Syafi’i: Fidyah dikenakan setiap kali batas waktu (Ramadan berikutnya) dilewati. Jika hutang puasa 10 hari dari tahun 1, ia menunda hingga tahun 3, ia wajib membayar 10 hari qada’ + (10 hari fidyah tahun 2) + (10 hari fidyah tahun 3). Fidyah menjadi berlipat ganda sesuai jumlah tahun kelalaian.
Prinsip ini menekankan pentingnya disiplin dan komitmen untuk segera menunaikan hutang kepada Allah SWT.
Ayat 184 tidak hanya berfungsi sebagai dasar hukum, tetapi juga sebagai manifestasi agung dari rahmat Allah. Terdapat beberapa hikmah mendalam yang terkandung dalam ketentuan keringanan dan fidyah ini:
Ayat ini adalah salah satu bukti nyata dari prinsip umum syariat: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS. 2:185). Puasa, sebagai ibadah fisik yang berat, diberikan pengecualian agar tidak ada seorang pun yang terpaksa membahayakan diri demi menunaikan kewajiban. Keringanan ini mencegah keputusasaan dan memastikan ibadah dilakukan dengan kesadaran dan kemampuan penuh.
Ketika kewajiban puasa digantikan oleh Fidyah (memberi makan miskin), terjadi transfer kesejahteraan secara langsung. Mereka yang secara fisik tidak mampu berpuasa (orang tua renta, sakit kronis) menjalankan ibadah mereka dalam bentuk kontribusi sosial. Ibadah fisik mereka diubah menjadi ibadah harta. Ini mengintegrasikan ibadah vertikal (puasa) dan ibadah horizontal (kepedulian sosial), menjadikan Ramadan bukan hanya bulan menahan diri, tetapi juga bulan berbagi.
Memberi makan seorang miskin (ta’am miskin) bukan hanya sekadar pembayaran denda, tetapi merupakan tindakan yang mendidik jiwa untuk peka terhadap penderitaan sesama, sebuah inti dari spirit puasa itu sendiri.
Ayat 184 ditutup dengan penegasan: "Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Kalimat penutup ini berfungsi ganda:
Ayat ini mengajarkan bahwa ketika dihadapkan pada pilihan (sebelum naskh, atau saat musafir), memilih puasa, jika memungkinkan, adalah pilihan yang paling unggul karena manfaatnya kembali kepada diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.
Konsep *tatawwu'an khairan* (mengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati) juga ditekankan. Ini berarti jika seseorang membayar fidyah lebih dari takaran minimal (misalnya memberi makan dua orang miskin, atau memberi makanan yang lebih baik dan lebih mahal), itu adalah kebaikan tambahan yang akan dilipatgandakan pahalanya. Syariat selalu membuka pintu bagi peningkatan amal kebaikan di luar batas minimum kewajiban.
Dalam konteks masyarakat modern yang kompleks, penerapan fidyah seringkali harus disesuaikan tanpa menghilangkan esensi dari ‘ta’am miskin’. Beberapa implikasi kontemporer perlu dikaji secara rinci:
Seperti disebutkan, Mazhab Hanafi membolehkan pembayaran fidyah dalam bentuk nilai uang tunai setara makanan. Sementara Jumhur (Syafi’i, Maliki, Hanbali) bersikeras bahwa fidyah harus berupa makanan pokok.
Argumen Pro Uang Tunai (Hanafi dan Ulama Kontemporer):
Tujuan utama syariat (Maqashid Syariah) dari fidyah adalah mencukupi kebutuhan miskin. Uang tunai memiliki fleksibilitas lebih tinggi bagi fakir miskin untuk membeli apa yang mereka butuhkan (obat, pakaian, kebutuhan sekolah anak), yang mungkin lebih mendesak daripada hanya beras. Selain itu, pemberian uang tunai mempermudah pengelolaan fidyah dalam skala besar oleh lembaga amil.
Argumen Kontra Uang Tunai (Jumhur):
Mereka berpegangan pada teks eksplisit ‘طَعَامُ مِسْكِينٍ’ (makanan seorang miskin). Jika Allah menghendaki uang, Dia pasti akan menyebut ‘qimah’ (nilai) atau ‘dirham’. Dengan menentukannya sebagai makanan, ada hikmah khusus agar transfer kekayaan fokus pada jaminan pangan, yang merupakan kebutuhan primer paling mendasar.
Kesimpulan Praktis: Di Indonesia, yang mayoritas bermazhab Syafi’i, pilihan yang paling aman adalah memberikan makanan pokok. Namun, jika melalui lembaga resmi yang memastikan konversi nilai uang digunakan untuk menyediakan makanan siap saji atau sembako kepada miskin, hal itu dianggap memenuhi tujuan syariat.
Apakah fidyah harus berupa bahan mentah (beras) atau boleh berupa makanan siap saji?
Sebagian ulama Syafi’iyyah kontemporer berpendapat bahwa makanan siap saji lebih baik, karena ini yang disebut 'memberi makan' (*ta’am*). Jika diberikan beras mentah, si miskin mungkin harus menjualnya atau menghadapi kesulitan untuk memasaknya. Oleh karena itu, menyediakan satu porsi makanan lengkap yang mengenyangkan bagi seorang miskin per hari adalah bentuk fidyah yang paling ideal dan sesuai dengan makna ‘memberi makan’.
Apakah pekerja berat (seperti buruh bangunan di bawah terik matahari, atau penambang) yang puasanya sangat sulit dan hampir mustahil dapat membayar fidyah alih-alih berpuasa?
Jumhur ulama menolak keras hal ini. Kesulitan karena pekerjaan bukanlah uzur syar’i yang membolehkan meninggalkan puasa. Ayat 184 hanya menyebut sakit dan musafir (serta kasus yang tidak mampu secara permanen). Solusinya bagi pekerja berat adalah mengambil cuti, mengubah jam kerja, atau jika tidak memungkinkan, tetap wajib berpuasa. Jika ia terpaksa membatalkan, ia wajib qada’ dan dikenakan kaffarah (denda) jika tanpa uzur, atau hanya qada’ jika ia benar-benar jatuh sakit karena pekerjaan tersebut.
Kasus ini menegaskan bahwa fidyah hanya berlaku untuk ketidakmampuan fisik yang bersifat permanen atau karena uzur yang ditetapkan syariat, bukan karena pilihan profesi.
Pengumpulan dan pendistribusian fidyah oleh lembaga amil sangat membantu memastikan fidyah sampai kepada yang berhak. Lembaga tersebut dapat menghitung takaran (misalnya 700 gram beras per hari) dan mengumpulkannya menjadi paket sembako besar atau dana untuk dapur umum, yang kemudian disalurkan secara efisien kepada fakir miskin dalam jumlah besar.
Surah Al-Baqarah ayat 184 adalah landasan syariat yang mengandung toleransi, keadilan, dan kepedulian sosial yang luar biasa. Ayat ini, meskipun mengalami proses *naskh* (penghapusan hukum pilihan bagi yang mampu), tetap menjadi dalil kuat bagi penerapan rukhsah dan fidyah hingga hari kiamat.
Inti hukum yang berlaku saat ini adalah:
Dengan memahami Al-Baqarah 184 secara menyeluruh, umat Islam dapat menjalankan ibadah puasa dengan penuh kepastian hukum, menjamin bahwa ibadah tidak menjadi beban yang melumpuhkan, dan pada saat yang sama, memastikan bahwa hak-hak fakir miskin tetap terpenuhi melalui mekanisme Fidyah, sebuah jembatan kasih sayang antara orang yang beribadah dan orang yang membutuhkan.