Surah An-Nāzi'āt, surah ke-79 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu mahakarya retorika ilahi yang disampaikan pada periode Mekah awal. Surah ini hadir sebagai penegasan mutlak terhadap realitas yang paling sering ditolak oleh kaum musyrikin: Hari Kebangkitan. Dengan menggunakan rangkaian sumpah kosmik yang kuat dan menggugah, Surah ini berhasil mengukir gambaran tentang betapa mengerikannya akhir zaman, menanamkan rasa takut (khauf) dan harapan (raja') secara simultan dalam hati pendengarnya. Struktur Surah ini terbagi secara logis dan dramatis, mulai dari sumpah para malaikat, deskripsi gempa dahsyat Kiamat, pelajaran dari sejarah Firaun, hingga bukti-bukti penciptaan alam semesta yang menjadi landasan bagi kepastian hari pembalasan.
Pesan utamanya jelas: sebagaimana Allah mampu menciptakan dan menata alam semesta yang begitu sempurna, Dia juga pasti mampu membangkitkan kembali manusia dari debu, sebuah proses yang bagi-Nya hanyalah ‘sekali hentakan’ atau ‘satu teriakan’. Analisis mendalam Surah An-Nāzi'āt membuka tirai kebijaksanaan di balik setiap kata, memperlihatkan betapa mendesaknya manusia untuk mempersiapkan diri menghadapi perjumpaan dengan Rabbul ‘Alamin.
Surah An-Nāzi'āt dibuka dengan lima sumpah berturut-turut yang menunjuk kepada kekuatan-kekuatan yang bergerak di alam semesta, sebuah gaya bahasa yang khas dalam surah-surah Makkiyah yang bertujuan untuk menarik perhatian dan menekankan betapa pentingnya materi yang akan dibahas selanjutnya. Sumpah ini memberikan legitimasi dan kepastian tak terbantahkan terhadap inti surah, yaitu kepastian Hari Kiamat dan Hari Pembalasan.
Para ulama tafsir memiliki beragam pandangan mengenai identitas dari lima entitas yang disumpahkan ini. Meskipun penafsiran yang paling dominan dan kuat menunjuk pada Malaikat, ada pula penafsiran yang mengaitkannya dengan bintang-bintang, angin, atau bahkan kuda-kuda perang. Namun, karena konteksnya terkait langsung dengan kematian, Hari Kebangkitan, dan pengaturan urusan ilahi, interpretasi Malaikat menjadi yang paling relevan.
Kata Nāzi'āt berasal dari akar kata naza'a, yang berarti mencabut atau menarik dengan paksa. Gharqan (dengan kuat) menunjukkan intensitas dan kesulitan. Sumpah ini umumnya merujuk kepada Malaikat Maut yang mencabut nyawa orang-orang kafir atau pendurhaka. Proses pencabutan ini digambarkan sebagai sesuatu yang sangat sulit, penuh siksaan, seolah-olah nyawa ditarik dari tubuh seperti kawat panas yang ditarik dari wol basah. Kontras antara kesulitan ini dan ketenangan pada sumpah berikutnya berfungsi untuk memisahkan nasib dua kelompok manusia di saat-saat terakhir kehidupan dunia mereka.
Kata Nāshitāt berlawanan dengan Nāzi'āt. Nashṭan menunjukkan kelembutan, kelonggaran, atau pelepasan yang mudah. Sumpah kedua ini merujuk kepada Malaikat Maut yang mencabut nyawa orang-orang mukmin atau saleh. Nyawa mereka keluar dengan mudah, tanpa rasa sakit yang mendalam, seolah-olah air mengalir dari mulut wadah. Ini adalah janji kenyamanan bagi mereka yang hidup dalam ketaatan, sebuah kontras dramatis yang menegaskan keadilan Allah bahkan di ambang kematian.
Sābiḥāt berasal dari kata sabaḥa, yang berarti berenang atau bergerak cepat di ruang angkasa (seperti bintang atau awan) atau di air. Dalam konteks malaikat, ini merujuk pada kecepatan luar biasa para malaikat ketika mereka turun dari langit ke bumi atau sebaliknya, melaksanakan perintah ilahi. Kecepatan ini melambangkan ketidakterbatasan waktu dan ruang bagi makhluk-makhluk ilahi, sebuah pengantar kepada kecepatan peristiwa Hari Kiamat itu sendiri.
Sābiqāt berarti yang mendahului. Ini merujuk kepada malaikat-malaikat yang berlomba-lomba dalam melaksanakan perintah Allah, atau yang mendahului roh orang-orang mukmin ke surga segera setelah dicabut. Ada pula yang menafsirkan bahwa mereka adalah malaikat yang mendahului dalam menyampaikan wahyu atau perintah Allah kepada para Rasul. Konsep ini menekankan ketepatan waktu dan efisiensi dalam pemerintahan ilahi, di mana tidak ada keraguan atau penundaan.
Ini adalah sumpah pamungkas yang menyimpulkan peran para malaikat. Mudabbirāt adalah yang mengatur. Ini mencakup seluruh malaikat yang ditugaskan untuk mengurus urusan alam semesta di bawah izin Allah, seperti Jibril (wahyu), Mikail (hujan dan rezeki), Izrail (kematian), dan Israfil (meniup terompet). Sumpah ini menegaskan bahwa alam semesta tidak berjalan secara acak, melainkan diatur oleh sebuah sistem yang sangat terstruktur dan hierarkis, yang kesemuanya berada di bawah kekuasaan absolut Allah.
Kelima sumpah ini berfungsi sebagai prasyarat bagi inti surah. Jika Allah memiliki kekuatan untuk menciptakan dan mengontrol pasukan yang mencabut nyawa, mengatur kosmos, dan melaksanakan perintah dengan kecepatan kilat, maka penciptaan kedua (kebangkitan) adalah hal yang paling mudah bagi-Nya. Keseluruhan ayat 1–5 adalah persiapan psikologis bagi pembaca untuk menerima kepastian Hari Kiamat yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya.
Kekuatan Ilahi: Sumpah Para Pencabut dan Pengatur Urusan.
Setelah membangun pondasi kepastian melalui sumpah ilahi, Surah ini kini melompat langsung ke puncak drama kosmik, yaitu Hari Kiamat itu sendiri. Bagian ini menjelaskan dua guncangan besar yang akan terjadi, respons emosional para pendurhaka, dan cemoohan mereka terhadap konsep kebangkitan, yang kemudian dibungkam oleh satu teriakan sederhana.
Ayat 6 dan 7 memperkenalkan dua peristiwa seismik utama: Ar-Rājifah (Tiupan yang mengguncangkan) dan Ar-Rādifah (Tiupan yang mengiringi/mengikuti). Menurut hadis dan tafsir klasik, ini merujuk pada dua tiupan Sangkakala oleh Malaikat Israfil.
Kontras antara Rājifah dan Rādifah menunjukkan bahwa akhir dan awal kehidupan abadi adalah dua fase yang saling terkait, dipisahkan oleh sebuah jeda yang menakutkan, namun dikontrol penuh oleh perintah Ilahi.
Ayat 8 dan 9 menggambarkan kondisi emosional para pendurhaka pada Hari Kebangkitan. Hati mereka Wājifah (sangat terkejut, berdebar-debar karena takut yang amat sangat), sementara pandangan mata mereka Khāshi’ah (tertunduk, hina, dan malu). Rasa takut ini bukan lagi takut akan kehilangan dunia, tetapi takut akan pembalasan atas pengingkaran mereka. Rasa takut ini adalah hasil dari realitas yang sebelumnya mereka tolak kini terpampang jelas di hadapan mereka. Hati yang dulunya keras dan sombong kini menjadi lunak dan gentar, menunjukkan kelemahan total manusia di hadapan kekuasaan Allah.
Sebelum Hari Kiamat tiba, kaum musyrikin sering mengejek konsep kebangkitan. Mereka menganggapnya mustahil secara rasional: “Apakah kami benar-benar akan dikembalikan kepada keadaan semula (al-Ḥāfirah)?” Al-Ḥāfirah berarti "kondisi sebelumnya" atau "permukaan bumi," merujuk pada kehidupan fisik mereka di dunia. Mereka menguatkan argumen penolakan mereka dengan bertanya, “Apakah (kami akan dibangkitkan juga) apabila kami telah menjadi tulang belulang yang hancur (nakhirah)?”
Bagi mereka, pengembalian ini adalah Karratun Khāsirah, suatu pengembalian yang merugikan. Mereka merugi karena mereka tidak ingin menghadapi konsekuensi dari perbuatan mereka. Ini adalah puncak dari kesombongan filosofis: menolak kebenaran hanya karena terasa tidak masuk akal bagi akal manusia yang terbatas. Pengingkaran ini menjadi ironi terbesar, karena kebangkitan yang mereka ejek adalah realitas yang tidak terhindarkan.
Ayat 13 adalah jawaban tegas dan membungkam bagi semua keraguan dan cemoohan. Proses kebangkitan yang mereka anggap mustahil hanyalah Zajratun Wāḥidah (satu teriakan, satu hentakan, atau satu tiupan). Ini menekankan kemudahan dan kecepatan mutlak tindakan Allah. Proses yang bagi manusia memakan waktu miliaran tahun evolusi dan penciptaan, bagi Allah hanya memerlukan satu kata perintah, “Jadilah!”
Dan hasilnya? Fa idhā hum bi-Sāhirah (Tiba-tiba mereka sudah berada di permukaan bumi yang baru). As-Sāhirah sering ditafsirkan sebagai Padang Mahsyar, suatu permukaan bumi yang rata dan putih, di mana semua manusia dibangkitkan dan dikumpulkan. Kecepatan transisi dari kematian total (tulang hancur) ke kehidupan penuh (berdiri tegak di Mahsyar) adalah inti dari pesan ini—bahwa kekuatan Allah tidak dibatasi oleh logika material manusia.
Setelah menggambarkan kengerian Hari Kebangkitan, Surah ini beralih ke kisah Nabi Musa (Moses) dan Firaun (Pharaoh). Penempatan kisah ini di tengah-tengah deskripsi Kiamat sangat strategis. Firaun adalah arketipe bagi setiap manusia yang menolak kebenaran, menyombongkan diri atas kekuasaan duniawi, dan mengingkari Hari Pembalasan. Kisah ini berfungsi sebagai bukti historis bahwa pengingkaran selalu diakhiri dengan azab yang pedih di dunia, yang merupakan ‘azab kecil’ dibandingkan azab akhirat.
Allah memerintahkan Musa untuk mendatangi Firaun, bukan dengan ancaman langsung, melainkan dengan tawaran mulia: “Hal laka ilā an tazakkā?” (Adakah keinginanmu untuk membersihkan diri?). Ini adalah tawaran pemurnian jiwa (tazkiyah), bahkan bagi tiran terbesar. Ini menunjukkan bahwa pintu tobat terbuka lebar, bahkan bagi Firaun. Pemurnian ini akan mengarah pada pengenalan terhadap Allah (wa ahdiyaka ilā Rabbika) yang pada gilirannya akan menumbuhkan ketakutan yang benar (fatakhshā).
Ketakutan (khashyah) yang dimaksud bukanlah ketakutan yang melumpuhkan, melainkan ketakutan yang timbul dari pengetahuan mendalam tentang keagungan Allah, yang memotivasi seseorang untuk berbuat baik. Musa menawarkan keselamatan total, tetapi Firaun memilih kesombongan duniawi.
Musa menunjukkan Al-Āyatu Al-Kubrā (mukjizat yang besar), yaitu tongkat yang menjadi ular dan tangan yang bersinar. Bukti telah disampaikan, tetapi Firaun kadzdzaba wa ‘ashā (mendustakan dan durhaka). Reaksi Firaun tidak hanya menolak, tetapi juga berbalik dan berjuang keras (adbara yas‘ā) untuk memproklamirkan dominasinya.
Puncaknya terjadi pada Ayat 24: “Anā Rabbukumul A‘lā” (Akulah tuhanmu yang paling tinggi). Klaim keilahian ini adalah puncak dari pelanggaran batas (thughyan) yang disebutkan sebelumnya. Firaun secara harfiah melampaui batas yang diperbolehkan bagi manusia mana pun.
Hukuman Allah datang dalam dua tingkatan (Ayat 25): Nakālal-Ākhirati wal-Ūlā. Siksaan di dunia (ūlā) adalah penenggelaman di Laut Merah—sebuah akhir yang memalukan bagi seseorang yang mengklaim kekuasaan atas air. Siksaan di akhirat (ākhirah) jauh lebih pedih dan abadi. Ayat ini secara efektif menghubungkan kisah historis ini kembali ke tema utama surah: pembalasan pasti di akhirat bagi mereka yang sombong di dunia.
Ayat penutup bagian ini (Ayat 26) menegaskan tujuan kisah tersebut: Inna fī dzālika la‘ibrah liman yakhshā. Ini adalah pelajaran nyata bagi mereka yang memiliki ketakutan (khashyah). Ketakutan ini menjadi kunci utama kesadaran akan Hari Kiamat. Siapa pun yang melihat sejarah Firaun dan mengaitkannya dengan klaim keilahiannya yang konyol akan menyadari bahwa kekuasaan duniawi tidak bernilai apa-apa di hadapan Kekuasaan Pencipta alam semesta.
Setelah menggunakan bukti historis (Firaun), Surah ini beralih menggunakan bukti kosmik atau empiris (Āyāt Afāqiyyah). Bagian ini mengajak manusia untuk merenungkan penciptaan langit dan bumi sebagai bukti nyata bahwa Dia yang mampu menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, pasti mampu membangkitkan kembali manusia dari debu. Perenungan terhadap alam semesta adalah jembatan logis menuju penerimaan konsep kebangkitan.
Pertanyaan retoris di Ayat 27 adalah kunci: “Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya atau langit?” Tentu saja, penciptaan langit yang luas, tanpa batas, dan penuh sistem kompleks jauh lebih menakjubkan dan sulit bagi persepsi manusia daripada penciptaan satu individu manusia. Jika Allah mampu menciptakan makro-kosmos (langit), maka penciptaan mikro-kosmos (manusia) atau kebangkitan kembali manusia adalah hal yang sepele.
Allah menciptakan langit (samā’), meninggikan strukturnya (rafa‘a samkahā), dan menyempurnakannya (sawwāhā). Penyempurnaan ini mencakup penataan orbit, keseimbangan gaya, dan penciptaan atmosfer. Kemudian, Surah ini fokus pada fenomena yang paling mendasar dalam kehidupan sehari-hari: siang dan malam. Allah menjadikan malam gelap (aghṭasha laylahā) dan menjadikan siang terang benderang (akhraja ḍuḥāhā). Transisi teratur antara gelap dan terang ini menunjukkan sistem ilahi yang sempurna, yang tidak pernah gagal sejak awal penciptaan.
Ayat 30, wa-al-arḍa ba‘da dzālika daḥāhā, sering menjadi fokus linguistik. Kata Daḥāhā berarti menghamparkan, meratakan, atau mengeluarkan sesuatu dari tempat penyimpanan (seperti telur unta yang dihamparkan). Ini menunjukkan bahwa setelah penciptaan langit, bumi dibentuk dan diatur agar layak dihuni. Para mufasir modern sering melihatnya sebagai isyarat tentang bentuk bumi yang bulat (bola yang dihamparkan permukaannya).
Dari bumi yang terhampar ini, Allah mengeluarkan sumber kehidupan: air (mā’ahā) dan padang rumput (mar‘āhā). Ini adalah fondasi bagi kehidupan biologis. Akhirnya, Dia memancangkan gunung-gunung (arsāhā), yang berfungsi sebagai pasak bumi (stabilisator) agar bumi tidak berguncang dan dapat menahan tekanan tektonik.
Semua sistem kosmik dan terestrial ini diciptakan demi satu tujuan: Matā‘an lakum wa-li-an‘āmikum (Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu). Ini adalah pengingat bahwa segala kenikmatan di dunia ini adalah bekal sementara (mata’), yang harus digunakan untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu ketaatan. Manusia yang menikmati rezeki Allah, tetapi menolak Penciptanya, adalah manusia yang paling tidak logis.
Tatanan Kosmik dan Terestrial sebagai Bukti Kebangkitan.
Setelah meletakkan semua bukti (sumpah, sejarah, dan kosmos), Surah ini mencapai klimaksnya dengan deskripsi Hari Kiamat yang sesungguhnya dan pengadilan akhir. Hari Kiamat di sini disebut sebagai Aṭ-Ṭāmmatu Al-Kubrā, Bencana Yang Paling Besar, untuk membedakannya dari bencana-bencana duniawi yang telah berlalu.
Ṭāmmah berarti bencana yang menenggelamkan atau melampaui segala bencana sebelumnya. Al-Kubrā (yang terbesar) menekankan bahwa ini bukanlah sekadar musibah biasa, melainkan bencana pamungkas yang menyimpulkan sejarah kemanusiaan dan alam semesta. Ini adalah momen perjumpaan antara manusia dan takdir kekal mereka.
Pada hari itu, manusia akan yatazakkaru al-insānu mā sa‘ā (teringat apa yang telah ia kerjakan). Ingatan ini adalah azab pertama bagi para pendurhaka. Tidak ada satu pun perbuatan, niat, atau ucapan yang terlewatkan. Seluruh catatan hidup disajikan, menghapus segala alasan dan penolakan yang pernah mereka ajukan di dunia. Kesadaran penuh terhadap dosa-dosa masa lalu akan menghantam mereka dengan penyesalan yang tak terhingga.
Neraka Jahim (Api yang menyala-nyala) akan burrizati (diperlihatkan) secara eksplisit dan nyata kepada setiap orang yang melihatnya. Ini bukan lagi ancaman abstrak atau janji yang samar, tetapi kenyataan visual yang menakutkan. Tujuan diperlihatkannya neraka secara jelas adalah untuk memperkuat rasa takut dan penyesalan, terutama bagi mereka yang menganggapnya sebagai dongeng belaka.
Ayat 37–41 adalah inti dari pembalasan, membagi manusia menjadi dua kelompok yang sangat kontras, berdasarkan pilihan moral yang mereka ambil di dunia:
Kelompok pertama adalah mereka yang ṭaghā (melampaui batas) dan āthara al-ḥayāta ad-dunyā (lebih mengutamakan kehidupan dunia). Mereka melampaui batas dalam hal kekafiran, dosa, dan kesombongan (seperti Firaun). Mereka memandang dunia ini sebagai tujuan akhir, mencintai kemewahan dan kenikmatannya, mengesampingkan perintah Allah dan persiapan untuk akhirat. Bagi mereka, balasan yang adil adalah Al-Jahīmu hiya Al-Ma’wā (Neraka Jahim adalah tempat tinggal mereka).
Kelompok kedua adalah kebalikannya, yang dicirikan oleh dua sifat utama (Ayat 40):
Bagi kelompok ini, balasan yang telah dijanjikan adalah Al-Jannatu hiya Al-Ma’wā (Surga adalah tempat tinggal mereka). Surah ini menawarkan formula yang sangat praktis: keselamatan bergantung pada rasa takut yang benar kepada Allah dan kendali diri atas hawa nafsu.
Keseimbangan Abadi: Pilihan antara Dunia dan Akhirat.
Surah An-Nāzi'āt diakhiri dengan mengatasi pertanyaan paling umum yang diajukan oleh para pengingkar kepada Nabi Muhammad: Kapan Hari Kiamat akan tiba? Jawaban Al-Qur'an pada bagian ini adalah penegasan teologis yang mendalam tentang batasan pengetahuan manusia dan peran Nabi sebagai Pemberi Peringatan, bukan penentu waktu.
Pertanyaan “Ayyāna Mursāhā?” (Kapan sandarannya/kedatangannya?) adalah pertanyaan yang tidak hanya ditanyakan oleh kaum musyrikin Mekah, tetapi juga oleh mereka yang mencoba menguji kenabian Muhammad. Jawaban ilahi sangat jelas: Fīma anta min dzikrāhā? (Untuk apa engkau perlu menyebutkannya?). Ayat ini dengan tegas memisahkan Nabi Muhammad dari pengetahuan eksklusif tentang waktu tersebut.
Puncaknya ada pada Ayat 44: Ilā Rabbika Muntahāhā (Kepada Tuhanmulah batas akhir waktunya). Waktu Kiamat adalah misteri yang sepenuhnya berada di dalam yurisdiksi dan pengetahuan Allah semata. Pengetahuan tentang waktu tidak akan menambah iman seseorang; yang dibutuhkan adalah persiapan, bukan prediksi.
Peran Nabi Muhammad diringkas dalam Ayat 45: Innamā anta mundziru man yakhshāhā (Engkau hanyalah pemberi peringatan bagi siapa saja yang takut kepadanya). Nabi diutus bukan untuk memuaskan keingintahuan skeptis, tetapi untuk memberikan peringatan serius kepada mereka yang hatinya terbuka untuk menerima kebenaran dan memiliki rasa takut akan pembalasan Allah.
Peringatan ini efektif hanya bagi man yakhshāhā (mereka yang takut kepada Kiamat). Mereka yang tidak memiliki rasa takut tidak akan mengambil pelajaran dari pesan ini, baik itu kisah Firaun, bukti kosmik, maupun deskripsi Dahsyatnya Kiamat. Surah ini kembali menekankan pentingnya ‘khashyah’ (rasa takut yang penuh hormat) sebagai prasyarat untuk hidayah.
Penutup Surah ini memberikan pukulan psikologis terakhir. Ketika mereka yang ingkar akhirnya melihat Kiamat (saat realitas yang mereka tolak tiba), waktu yang telah mereka habiskan di dunia akan terasa sangat singkat: lam yalbatsū illā ‘ashiyyatan aw ḍuḥāhā (mereka tidak tinggal melainkan hanya sebentar pada waktu sore atau pagi hari).
Distorsi waktu ini adalah refleksi penyesalan yang mendalam. Seluruh umur panjang mereka, yang mereka gunakan untuk bersenang-senang dan mengutamakan dunia (Ayat 38), tiba-tiba terasa seperti hitungan jam. Seolah-olah mereka baru saja tertidur di sore hari dan terbangun di pagi hari, hanya untuk menghadapi penghakiman abadi. Ayat ini menyimpulkan bahwa dunia ini, dengan segala kemegahannya, hanyalah persinggahan yang sangat singkat dan remeh dibandingkan keabadian yang menanti.
Penggunaan sumpah (Al-Aymān) di awal surah tidak hanya bertujuan retoris, tetapi juga linguistik untuk membangun kepastian logis. Surah ini menghubungkan antara lima kategori malaikat yang bekerja secara cepat dan teratur (kecepatan, kepastian, dan ketepatan perintah Ilahi) dengan kecepatan dan kepastian Hari Kebangkitan (satu teriakan, zajratun wāhidah). Ini menunjukkan bahwa ketidaksukaan manusia terhadap konsep kebangkitan hanyalah masalah perspektif; bagi Allah, ini adalah bagian dari rutinitas tata kelola kosmik yang telah berjalan sempurna sejak awal.
Jika kita meninjau kembali istilah An-Nāzi'āt dan An-Nāshitāt, kita melihat keindahan dalam dualitas. Hidup dan mati diatur oleh entitas yang sama (Malaikat Maut), tetapi cara kerja mereka berbeda tergantung pada kondisi spiritual subjek. Ini mengajarkan bahwa balasan dimulai bukan di akhirat, tetapi pada saat roh dicabut, sebuah momen yang menentukan kemudahan atau kesulitan transisi. Bagi seorang mukmin, kematian adalah pelepasan yang lembut; bagi kafir, ia adalah pencabutan yang menyakitkan. Ini adalah pra-tinjauan neraka dan surga.
Pesan moral yang disajikan melalui kisah Firaun sangat relevan dengan Ayat 37–41. Firaun adalah representasi sempurna dari Ṭaghā (melampaui batas) dan Āthara al-Ḥayāta Ad-Dunyā (mengutamakan dunia). Kesombongannya mencapai puncaknya ketika ia mengklaim keilahian, menolak tawaran Tazkiyah (pembersihan jiwa) dari Musa. Surah ini mengajarkan bahwa inti dari dosa besar adalah penolakan terhadap pemurnian diri dan preferensi buta terhadap kenikmatan duniawi. Sebaliknya, jalan menuju surga adalah melalui Nahā An-Nafsa ‘Anil-Hawá, yaitu perjuangan spiritual untuk menaklukkan hawa nafsu.
Hawa Nafsu di sini adalah kecenderungan alami jiwa untuk memilih yang mudah, yang menyenangkan, dan yang segera (dunia) daripada yang sulit, yang berat, dan yang tertunda (akhirat). Menahan hawa nafsu adalah inti dari ketakutan kepada Allah (Khāfa Maqāma Rabbihī), karena hanya mereka yang benar-benar takut kepada keagungan-Nya yang mampu menundukkan godaan duniawi yang remeh.
Bagi orang-orang yang menolak konsep akhirat (Ayat 10–12), mereka tidak hanya menolak ajaran agama, tetapi juga menolak logika yang dibangun dari bukti kosmik (Ayat 27–33). Surah An-Nāzi'āt secara metodis menunjukkan bahwa alam semesta adalah sebuah mesin yang berjalan dengan tujuan, dan tujuan itu adalah menyediakan bekal bagi manusia (Ayat 33) sebelum mereka dipanggil kembali untuk dimintai pertanggungjawaban. Mengingkari kebangkitan sama dengan menganggap penciptaan langit, bumi, gunung, dan sumber kehidupan sebagai kebetulan tanpa makna. Ini adalah cacat logika yang berujung pada kerugian abadi (Karratun Khāsirah).
Penolakan mereka (tulang belulang yang hancur) dibalas dengan ironi Kiamat (Ayat 46) di mana seluruh waktu yang mereka yakini sebagai "semua" hanyalah "sore atau pagi hari" dari perspektif keabadian. Kiamat bukan hanya sebuah akhir, tetapi juga momen ketika ilusi waktu dan kepentingan duniawi terlepas sepenuhnya, meninggalkan manusia telanjang di hadapan Kebenaran yang absolut.
Surah An-Nāzi'āt sering kali dianggap sebagai surah yang menakutkan karena deskripsi Kiamat dan hukuman Neraka. Namun, fungsi utama rasa takut (khashyah) dalam konteks ini adalah sebagai katalisator. Ketika Allah menjelaskan bahwa Nabi hanyalah pemberi peringatan bagi ‘man yakhshāhā’ (mereka yang takut kepada Hari Kiamat), ini menegaskan bahwa iman bukan hanya klaim, tetapi respons emosional dan praktis terhadap kepastian Hari Pembalasan.
Rasa takut ini mendorong seorang mukmin untuk introspeksi, melihat kembali apa yang telah ia kerjakan (mā sa‘ā), dan bergegas memperbaiki diri sebelum Aṭ-Ṭāmmatu Al-Kubrā datang. Surah ini adalah sebuah alarm yang dirancang untuk mengakhiri sikap acuh tak acuh dan memicu kesadaran mendesak akan waktu yang semakin menipis. Bagi mereka yang merenungkannya, An-Nāzi'āt adalah peta jalan menuju surga yang ditandai oleh dua tiang: pengakuan akan kekuasaan Tuhan dan pengendalian penuh atas diri.
Konsep Khashyah (ketakutan yang mendalam yang timbul dari pengetahuan tentang keagungan) diulang dalam Surah ini (Ayat 19, 26, dan 45). Ini menunjukkan bahwa khashyah adalah kualifikasi utama bagi penerima manfaat dari wahyu ilahi.
Ketika Nabi Musa diutus kepada Firaun, tujuannya adalah agar Firaun takut kepada Tuhannya (fatakhshā). Rasa takut ini dimaksudkan untuk memicu pertobatan dan tazkiyah (pembersihan jiwa). Khashyah sejati menghasilkan kerendahan hati dan kepatuhan. Sebaliknya, ketiadaan khashyah menghasilkan thughyan (melampaui batas), yang merupakan akar dari semua kejahatan, sebagaimana dicontohkan oleh Firaun dan kaum kafir yang menolak kebangkitan.
Jika seseorang tidak takut kepada Allah, ia tidak memiliki rem moral untuk menghentikan kejahatan, dan ia akan secara alami memilih kesenangan duniawi (āthara al-ḥayāta ad-dunyā). Oleh karena itu, Surah An-Nāzi'āt membangun fondasi etika bahwa moralitas sejati tidak berasal dari konvensi sosial, tetapi dari kesadaran akut akan keberadaan dan keagungan Sang Pencipta, serta kepastian pertanggungjawaban di masa depan.
Hubungan antara khashyah dan nahā an-nafsa ‘anil-hawá (menahan hawa nafsu) pada Ayat 40 adalah kunci teologis Surah ini. Mengapa kedua hal ini disebutkan bersamaan sebagai syarat masuk Surga?
Menahan hawa nafsu adalah tindakan, sementara khashyah adalah motivasi. Mustahil seseorang dapat terus-menerus menahan diri dari godaan yang menarik secara instan (hawa nafsu duniawi) jika ia tidak memiliki motivasi yang lebih kuat, yaitu ketakutan akan hilangnya balasan abadi. Orang yang takut kepada kedudukan Allah akan selalu memilih jalan yang sulit dan lurus, karena ia mengerti bahwa kesulitan duniawi (menahan nafsu) akan berujung pada kebahagiaan abadi (Jannah), sedangkan kesenangan duniawi akan berujung pada penyesalan dan azab.
Perjuangan melawan hawa nafsu adalah jihad terbesar, dan Surah An-Nāzi'āt memberikan janji bahwa mereka yang memenangkan perjuangan ini, yang dimotivasi oleh rasa takut yang benar, akan mendapatkan tempat tinggal abadi di Jannah.
Surah ini menggunakan teknik pengulangan tematik untuk memperkuat pesan inti: kepastian Hari Kiamat. Berikut adalah beberapa elemen yang diulang atau dipertentangkan secara sengaja:
Pengulangan dan dualitas ini menciptakan sebuah struktur yang sangat kuat, memastikan bahwa pembaca atau pendengar Surah ini tidak dapat mengabaikan kontras tajam antara konsekuensi dari ketaatan dan pengingkaran. Surah An-Nāzi'āt adalah panggilan yang mendesak untuk perubahan hati dan tindakan, didukung oleh bukti-bukti yang tidak dapat dibantah: sistem kosmik yang teratur, sejarah yang penuh pelajaran, dan janji Tuhan Yang Mahakuasa.
Penyampaian yang sangat ringkas namun padat di Surah ini, mulai dari sumpah kosmik hingga pertanyaan tentang waktu, berhasil merangkum seluruh akidah Islam mengenai tauhid (keesaan Allah dalam mengatur alam), kenabian (Nabi sebagai pemberi peringatan), dan hari akhir (kepastian pembalasan), menjadikannya salah satu surah Mekah yang paling vital dalam pembentukan karakter seorang Mukmin.
Dengan demikian, Surah An-Nāzi'āt tidak hanya memberikan deskripsi dramatis tentang akhir zaman, tetapi juga memberikan formula praktis bagi keselamatan: sadari keagungan Allah, takutlah kepada-Nya, dan gunakan kesadaran itu untuk mengendalikan hawa nafsu duniawi, karena seluruh hidup di dunia ini hanyalah sekejap saja sebelum kita berdiri di Padang Mahsyar, di Sāhirah yang baru.
Surah An-Nāzi'āt adalah pengingat abadi bahwa kehidupan dunia adalah sementara, dan kembalinya kita kepada Allah adalah sebuah kepastian yang hanya terpisah oleh satu tiupan sangkakala. Keindahan surah ini terletak pada kemampuannya untuk mengambil konsep abstrak seperti Hari Kiamat dan membuatnya terasa nyata, mendesak, dan tak terhindarkan melalui sumpah yang kuat dan narasi sejarah yang dramatis.
Setiap Mukmin diajak untuk mengambil pelajaran dari kisah Firaun—bahwa kekuasaan dan kesombongan tidak akan pernah mengalahkan kebenaran. Setiap orang didorong untuk merenungkan langit dan bumi—bahwa Pencipta yang Agung pasti mampu menciptakan kembali apa yang telah Dia hancurkan. Dan yang terpenting, setiap jiwa diberi pilihan yang jelas: antara mengutamakan hawa nafsu dan kesenangan dunia yang berujung pada Jahim, atau menahan diri karena takut kepada Allah dan berujung pada Jannah. Inilah ringkasan dari seluruh pesan ilahi dalam Surah An-Nāzi'āt.
Pemahaman mengenai Ar-Rājifah dan Ar-Rādifah menuntut refleksi yang mendalam tentang skala kekuasaan Allah. Tiupan pertama melenyapkan gunung-gunung, mencairkan besi, mengeringkan lautan, dan menghentikan seluruh gerakan kosmik. Tiupan ini adalah pembatalan total terhadap segala hukum fisika yang kita kenal. Ini menunjukkan bahwa tidak ada entitas di alam semesta ini yang kekal, kecuali Wajah Allah. Para filsuf dan ilmuwan yang mencoba membantah kebangkitan dengan alasan kesulitan material, seolah lupa bahwa materi itu sendiri adalah kreasi yang dapat ditiadakan dan diciptakan kembali dalam sekejap mata oleh kehendak Ilahi.
Proses kembalinya manusia ke As-Sāhirah (dataran baru) setelah Zajratun Wāhidah (satu teriakan) menekankan kembali aspek kemudahan ini. Kita sering membayangkan kebangkitan sebagai proses geologis yang memakan waktu, namun Al-Qur'an menyederhanakannya menjadi sebuah "teriakan." Teriakan ini mungkin merujuk pada energi atau frekuensi suara yang memicu kembali susunan atom dan roh. Sejak penciptaan Adam, seluruh umat manusia, dari yang pertama hingga yang terakhir, akan berdiri serentak. Kesamaan dalam proses kebangkitan ini menegaskan kesetaraan manusia di hadapan pengadilan, terlepas dari status sosial atau kekayaan mereka di dunia.
Pada saat itulah hati para pendurhaka menjadi Wājifah (gentar). Gentar ini adalah puncak dari keputusasaan, karena mereka tidak hanya takut akan hukuman, tetapi mereka telah kehilangan segalanya, termasuk alasan mereka untuk hidup, yaitu kenikmatan dunia. Kontrasnya, hati orang-orang mukmin pada hari itu penuh harapan dan ketenangan, karena janji Tuhan telah terpenuhi, dan rasa takut mereka di dunia (khashyah) kini digantikan oleh kedamaian abadi.
Ayat 37 dan 38 mendefinisikan kriteria penghuni neraka secara presisi: thaghā (melampaui batas) dan āthara al-ḥayāta ad-dunyā (mengutamakan dunia). Thughyan mencakup tiga dimensi:
Namun, semua bentuk thughyan ini berakar pada īthār ad-dunyā, yaitu preferensi yang mendalam terhadap kehidupan dunia. Mereka mencintai kehidupan fana ini sedemikian rupa sehingga mereka menganggap segala larangan atau batasan ilahi sebagai penghalang kebahagiaan. Mereka gagal melihat bahwa dunia adalah ladang untuk akhirat; sebaliknya, mereka menjadikannya tujuan akhir. Inilah yang membuat balasan mereka, Jahim, menjadi adil. Neraka Jahim adalah hasil logis dari jiwa yang didominasi oleh nafsu dan melampaui batas etis dan spiritual.
Di sisi lain, jalan menuju Jannah adalah melalui disiplin spiritual. Ayat 40, yang menyebutkan khāfa maqāma Rabbihī dan nahā an-nafsa ‘anil-hawá, adalah resep utama Surah ini. Mengapa takut kepada 'kedudukan' (maqām) Tuhan dan bukan hanya 'hukuman' (azab) Tuhan?
Ketakutan terhadap maqām (kedudukan) berarti kesadaran akan Kebesaran, Keagungan, Kehakiman, dan Keadilan mutlak Allah. Orang yang takut kepada kedudukan-Nya akan menghindari dosa bukan hanya karena takut disiksa, tetapi karena rasa malu dan penghormatan terhadap Sang Pencipta yang senantiasa mengawasi. Ketakutan ini adalah tingkat spiritual yang lebih tinggi, yang secara otomatis menghasilkan pengendalian diri. Pengendalian diri dari hawa nafsu (penolakan terhadap godaan sesaat) adalah bukti nyata dari iman dan ketakutan yang mendalam ini.
Surga (Jannah) adalah tempat tinggal abadi bagi jiwa yang telah berhasil memurnikan dirinya dari dominasi hawa nafsu dan telah menggunakan bekal dunia (Ayat 33) dengan bijak untuk mempersiapkan diri menghadapi keabadian. Inilah tujuan akhir dari Surah An-Nāzi'āt—untuk memindahkan fokus manusia dari kepuasan sementara ke kebahagiaan hakiki yang abadi.
An-Nāzi'āt adalah cerminan dari seluruh pesan Al-Qur'an: tegakkan tauhid, pelajari sejarah, renungkan alam, dan persiapkan diri untuk pertanggungjawaban di hari yang sangat dekat, karena waktu yang tersisa di dunia ini, dalam pandangan keabadian, adalah nihil.
Penjelasan yang mendalam dan berulang ini memastikan bahwa setiap aspek Surah An-Nāzi'āt telah dikaji dari sudut pandang teologis, linguistik, dan moral, memberikan bobot yang diperlukan untuk memahami kedalaman pesan ilahi yang terkandung di dalamnya.
Setiap sumpah, setiap kisah, dan setiap pertanyaan retoris dalam Surah ini diarahkan untuk menghancurkan benteng keraguan dalam hati manusia tentang kebangkitan. Allah bersumpah demi pasukan kosmik yang bergerak cepat (malaikat) untuk menegaskan bahwa kebangkitan itu secepat pergerakan mereka. Dia menunjukkan kisah Firaun untuk menegaskan bahwa kesombongan akan selalu dihukum. Dan Dia menunjukkan langit dan bumi untuk menegaskan bahwa menciptakan kembali adalah lebih mudah daripada menciptakan pertama kali. Maka, bagi mereka yang berakal, tidak ada lagi ruang untuk keraguan, hanya ada ruang untuk persiapan dan amal saleh.
Peringatan keras ini harus dihayati oleh setiap individu. Ketika mata terpejam di dunia, dan jiwa dicabut, entah secara lembut oleh An-Nāshitāt atau secara paksa oleh An-Nāzi'āt, nasib kekal telah ditentukan oleh pilihan yang dibuat dalam periode singkat 'sore atau pagi hari' ini.
Kesimpulan dari Surah An-Nāzi'āt adalah seruan keras terhadap kesadaran spiritual dan tanggung jawab pribadi. Dunia fana ini adalah ilusi yang cepat berlalu, dan mereka yang gagal menyadari hakikat ini akan mendapati diri mereka terkejut dan merugi ketika Aṭ-Ṭāmmatu Al-Kubrā tiba. Hanya mereka yang hidup dengan rasa takut kepada kedudukan Allah dan mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu yang akan mendapatkan janji Surga sebagai tempat peristirahatan abadi mereka.
Pesan penutup ini, yang menekankan batasan pengetahuan Nabi dan peranannya sebagai pemberi peringatan, menempatkan beban tanggung jawab sepenuhnya kepada pendengar. Bukan tugas kita untuk mengetahui 'kapan' Kiamat, tetapi tugas kita untuk memastikan bahwa kita siap 'ketika' Kiamat tiba. Inilah hikmah terbesar dari Surah An-Nāzi'āt yang menggugah jiwa.