Al-Mulk Ayat 15: Perintah Eksplorasi, Rezeki, dan Refleksi Kebangkitan

Pendahuluan: Integrasi Kehidupan Dunia dan Akhirat

Surah Al-Mulk (Kerajaan) adalah surah Makkiyah yang sangat sentral dalam menegaskan kekuasaan mutlak Allah SWT atas alam semesta dan kehidupan. Ia dimulai dengan penegasan bahwa kekuasaan berada di tangan-Nya, yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara manusia yang paling baik amal perbuatannya.

Di tengah rangkaian ayat-ayat yang menekankan keagungan penciptaan langit, bintang-bintang, dan ancaman bagi orang-orang kafir yang mengingkari, muncullah sebuah ayat yang menjadi poros penting dalam etika kerja, ekonomi, dan tanggung jawab manusia di bumi. Ayat ini, yakni Surah Al-Mulk ayat 15, tidak hanya berbicara tentang ibadah ritual, tetapi secara eksplisit memerintahkan manusia untuk beraktivitas, bergerak, dan memanfaatkan anugerah yang telah disediakan.

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
"Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (Q.S. Al-Mulk: 15)

Ayat mulia ini mengandung tiga pilar ajaran yang saling terhubung: anugerah ilahi (bumi yang tunduk), perintah aksi (berjalan dan mencari rezeki), dan pengingat tujuan akhir (kebangkitan). Memahami kedalaman setiap frasa dalam ayat ini adalah kunci untuk menjalankan kehidupan yang seimbang, produktif, dan penuh kesadaran akan hari pertanggungjawaban.

Analisis Tafsir Kata Kunci: Bumi yang Dzalūlan

Frasa pembuka ayat ini adalah: "هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا" (Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi/tunduk). Kata kunci di sini adalah "Dzalūlan" (ذَلُولًا).

Makna Leksikal Dzalūlan

Secara leksikal, dzalūlan berasal dari akar kata *dzalla* (ذَلَّ) yang berarti tunduk, jinak, mudah diatur, atau taat. Dalam konteks ayat ini, ia merujuk pada kuda atau unta yang telah dijinakkan sehingga mudah dinaiki dan ditunggangi. Ketika kata ini dilekatkan pada bumi, ia memiliki makna yang sangat luas:

  1. Kesiapan Fisik: Bumi diciptakan dalam keadaan yang memudahkan manusia untuk berinteraksi dengannya. Gravitasinya tidak terlalu lemah sehingga kita melayang, dan tidak terlalu kuat sehingga kita tertekan. Atmosfernya bertekanan pas.
  2. Kesiapan Geologis: Permukaan bumi tidak seluruhnya keras dan berbatu, melainkan ada bagian yang lunak dan dapat diolah (tanah) untuk ditanami atau dibangun. Manusia dapat menggali, menambang, dan mendirikan bangunan di atasnya.
  3. Kesiapan Navigasi: Meskipun luas, bumi dapat dilalui. Allah tidak menjadikannya penuh dengan rintangan yang mustahil ditembus dari ujung ke ujung. Lautan, sungai, dan daratan semuanya memiliki jalur yang dapat dieksplorasi.

Implikasi Kosmologis Dzalūlan

Para mufassir kontemporer, seperti Syeikh Mutawalli Asy-Sya’rawi, sering mengaitkan makna *Dzalūlan* ini dengan penemuan ilmiah. Bumi adalah planet yang ‘tunduk’ karena faktor-faktor berikut:

Pertama, adanya medan magnet yang melindungi kita dari radiasi kosmik berbahaya. Jika medan magnet ini tidak ada, bumi akan menjadi tempat yang mematikan, jauh dari predikat ‘tunduk’ untuk kehidupan. Kedua, pergerakan lempeng tektonik, meskipun kadang menyebabkan bencana, justru memastikan bahwa sumber daya mineral dan kesuburan tanah terus diperbarui. Tanpa dinamika ini, bumi akan menjadi planet mati seperti Mars.

Tafsir atas *Dzalūlan* menegaskan bahwa kemudahan ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil rancangan ilahi yang sempurna, semata-mata demi kenyamanan dan kelangsungan hidup umat manusia sebagai khalifah di bumi.

Eksplorasi dan Tunduknya Bumi

Perintah Dinamis: Berjalanlah di Segala Penjurunya

Setelah menegaskan anugerah bumi yang tunduk, ayat ini melanjutkan dengan perintah langsung: "فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا" (maka berjalanlah di segala penjurunya). Kata *Famshū* (فَامْشُوا) adalah kata kerja imperatif yang berarti 'berjalan', 'bergerak', atau 'melangkah'.

Makna dan Implikasi Famshū

Perintah 'berjalan' ini jauh melampaui sekadar berjalan kaki. Dalam konteks keimanan dan sosial, ia mencakup:

1. Eksplorasi dan Perjalanan Ilmiah: Perintah ini mendorong manusia untuk tidak stagnan, tetapi menjelajahi bumi, baik untuk tujuan perdagangan, penelitian, atau pengambilan pelajaran dari peradaban masa lalu (sebagaimana perintah dalam ayat-ayat lain, *sirū fil ardh*). Penjelajahan ini membuka wawasan, memahami keragaman alam, dan memperkuat keimanan melalui pengamatan langsung atas tanda-tanda kebesaran Allah.

2. Etos Kerja dan Produktivitas: Ini adalah penolakan tegas terhadap sikap pasif dan fatalisme. Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun rezeki sudah ditetapkan, ia tidak akan datang sendiri. Manusia harus bergerak mencari. Ini adalah fondasi etos kerja Islam yang menyeimbangkan tawakal (keyakinan) dengan ikhtiar (usaha).

Fī Manākibihā: Menggali Kedalaman Ruang

Frasa "فِي مَنَاكِبِهَا" (di segala penjurunya) secara literal merujuk pada bahu atau sisi-sisi bumi. Makna ini sangat mendalam karena menunjukkan bahwa eksplorasi tidak terbatas pada satu titik saja. Ia mencakup:

Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa *manākibihā* merujuk pada 'jalandan jalur di bumi', yang meliputi jalan darat, laut, dan udara. Ayat ini adalah seruan universal bagi umat manusia untuk menjadi makhluk yang proaktif, memanfaatkan segala potensi yang ada di berbagai 'bahu' dan sisi planet ini. Kelalaian dalam menggunakan anugerah eksplorasi ini dianggap sebagai penyia-nyiaan nikmat *dzalūlan* yang telah diberikan oleh Sang Pencipta.

Hubungan Usaha dan Nikmat: Wakulū Mir Rizqih

Perintah eksplorasi (*Famshū*) segera diikuti oleh tujuan utama dari eksplorasi tersebut: "وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ" (dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya). Ini adalah validasi bahwa kerja keras manusia di dunia adalah sah dan dihargai, selama dilakukan dalam kerangka syariat.

Rezeki sebagai Hasil dari Aktivitas

Ayat ini menyajikan formula yang jelas: Usaha (berjalan) menghasilkan Rezeki (makan). Islam tidak pernah memisahkan antara perjuangan spiritual dengan perjuangan ekonomi. Seseorang yang hanya beribadah tanpa bekerja dianggap melanggar keseimbangan yang diajarkan oleh ayat ini. Rezeki yang dimaksud di sini sangat luas, mencakup makanan, harta, ilmu, kesehatan, dan segala sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan.

Penggunaan kata "Rizqih" (Rezeki-Nya) mengingatkan kita bahwa meskipun kita berusaha keras, sumber akhir dari rezeki itu tetaplah dari Allah SWT. Ini menjaga manusia dari kesombongan, bahwa kesuksesan bukan murni hasil kehebatan individu, tetapi anugerah yang difasilitasi oleh Allah.

Pentingnya Bekerja Secara Halal

Konteks perintah ‘makanlah dari rezeki-Nya’ selalu dipahami dalam batas-batas yang halal (*thayyiban*). Mencari rezeki melalui eksplorasi (*famshū*) haruslah dilakukan dengan cara yang etis, tidak merugikan orang lain, dan tidak merusak bumi yang telah dijadikan *dzalūlan* (tunduk).

Sejumlah ulama tafsir menekankan bahwa ayat ini memberikan legitimasi tertinggi terhadap profesi yang bersifat produktif dan berorientasi pasar, seperti pedagang, petani, pelaut, dan industriwan, selama mereka menjaga kesadaran akan sumber rezeki Ilahi. Dalam sejarah Islam, ayat ini menjadi salah satu pendorong bagi perkembangan sains geografi, pelayaran, dan sistem ekonomi yang maju.

Keseimbangan Abadi: Wa Ilayhin Nushūr

Ayat 15 ditutup dengan frasa yang mendalam dan tajam: "وَإِلَيْهِ النُّشُورُ" (Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan). Frasa penutup ini berfungsi sebagai jangkar spiritual, mengikat seluruh aktivitas duniawi (berjalan dan mencari rezeki) kepada tujuan akhirat.

Makna Nushūr

Kata "Nushūr" (النُّشُورُ) berarti kebangkitan atau penyebaran (kembali) setelah kematian. Ini adalah inti dari iman Islam, yaitu Hari Kebangkitan. Penempatan frasa ini setelah perintah mencari rezeki memberikan pesan moral yang sangat kuat:

1. Penjaga Niat (Tujuan): Semua eksplorasi, kerja keras, dan kenikmatan rezeki yang kita dapatkan di dunia harus dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa ini hanyalah perjalanan sementara. Manusia akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan bagaimana ia menggunakan bumi yang *dzalūlan*, dan bagaimana ia mencari serta membelanjakan rezeki-Nya.

2. Menghindari Materialisme Murni: Jika ayat ini hanya berakhir pada ‘makanlah dari rezeki-Nya’, manusia mungkin jatuh ke dalam materialisme. Namun, dengan adanya *Wa Ilayhin Nushūr*, Allah memastikan bahwa fokus manusia tidak hanya pada perut dan harta, tetapi pada persiapan menuju kehidupan abadi. Kerja keras harus dibingkai dalam ibadah dan amal shaleh.

Hubungan Tiga Pilar

Hubungan ketiga pilar dalam ayat 15 ini membentuk siklus kehidupan yang ideal:

Tanpa kesadaran *Nushūr*, perintah *Famshū* bisa berubah menjadi eksploitasi, dan bumi yang tunduk bisa hancur oleh keserakahan. Kebangkitan adalah rem dan kendali bagi semua tindakan manusia di muka bumi.

Keadilan dan Kebangkitan

Elaborasi Kontemporer: Al-Mulk 15 dalam Kehidupan Modern

1. Relevansi Dzalūlan dengan Ilmu Pengetahuan

Di era modern, pemahaman kita terhadap 'bumi yang tunduk' semakin mendalam. Bumi memungkinkan adanya kehidupan karena ia berada dalam zona Goldilocks (tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh dari matahari), memiliki orbit stabil, rotasi yang menghasilkan siang dan malam, serta siklus air yang memungkinkan pertanian. Keajaiban ini—bahwa bumi secara fundamental mendukung pergerakan dan kehidupan manusia—adalah bukti langsung dari *dzalūlan* yang disebutkan dalam ayat 15.

Jika bumi tidak *dzalūlan*, kita tidak akan bisa membangun infrastruktur, menanam makanan, atau melakukan perjalanan. Kelembutan tanah untuk digarap, keberadaan minyak dan gas di bawahnya yang bisa dieksplorasi (energi untuk perjalanan), dan stabilitas atmosfer yang memungkinkan penerbangan, semuanya adalah manifestasi dari penundukan ilahi ini. Ayat ini mengajak ilmuwan dan insinyur untuk melihat keajaiban alam bukan sebagai kebetulan, tetapi sebagai karunia yang harus dimanfaatkan dengan penuh rasa syukur dan tanggung jawab.

2. Perluasan Makna Famshū: Mobilitas dan Digitalisasi

Saat ini, *Famshū fī manākibihā* tidak hanya berarti berjalan di darat, tetapi juga mencakup pergerakan pengetahuan dan informasi. Perintah eksplorasi ini dapat diterjemahkan ke dalam konteks digital:

Seorang muslim yang pasif secara intelektual atau ekonomi, yang hanya menunggu rezeki datang, dianggap tidak memenuhi seruan dinamis dari ayat ini. Ayat 15 memposisikan umat Islam sebagai umat yang bergerak, berinovasi, dan mendominasi kebaikan di setiap penjuru yang dimungkinkan oleh teknologi.

3. Menghindari Kerusakan (Fasad) Saat Mencari Rezeki

Konsep mencari rezeki (*Wakulū Mir Rizqih*) tidak boleh dipisahkan dari konsep *Ihsan* (berbuat baik). Bumi yang tunduk adalah amanah, bukan objek eksploitasi tanpa batas. Jika manusia mencari rezeki dengan cara merusak ekosistem, mencemari air, atau menghabiskan sumber daya tanpa memikirkan generasi mendatang, maka ia telah mengkhianati amanah *dzalūlan*.

Keseimbangan lingkungan adalah bagian integral dari menjalankan perintah *Famshū*. Jika bumi dirusak, ia berhenti menjadi *dzalūlan* yang nyaman bagi manusia. Ini adalah peringatan etis yang mendalam bagi semua aktivitas industri dan ekonomi modern, menekankan pembangunan berkelanjutan yang menghormati sumber asal rezeki (Allah) dan cara mendapatkannya (bumi yang tunduk).

Refleksi Filosofis dan Implikasi Praktis

Membedah Keseimbangan Tawakal dan Ikhtiar

Ayat Al-Mulk 15 adalah manifesto spiritual tentang tawakal dan ikhtiar. Tawakal adalah kepercayaan bahwa rezeki berasal dari Allah (*Mir Rizqih*), sementara ikhtiar adalah usaha aktif (*Famshū fī manākibihā*). Tidak ada tawakal tanpa ikhtiar, dan tidak ada ikhtiar yang benar tanpa tawakal.

Sebagian orang sering salah memahami tawakal sebagai pasrah total tanpa bergerak. Ayat ini menyanggah pemahaman tersebut. Allah menyediakan panggung yang sempurna (*dzalūlan*), tetapi manusialah yang harus menjadi aktor utama di panggung itu (*famshū*). Rezeki diletakkan 'di segala penjuru' bumi, dan kewajiban kita adalah 'berjalan' untuk mencarinya. Jika seseorang hanya duduk diam di rumah sambil menunggu rezeki turun, ia mengabaikan perintah eksplisit dalam ayat ini.

Imam Al-Ghazali, dalam membahas etika kerja, sering menggunakan ayat ini sebagai dasar bahwa pekerjaan yang paling mulia adalah pekerjaan yang memerlukan pergerakan dan interaksi dengan ciptaan Allah. Pekerjaan bukan hanya sarana penghidupan, tetapi juga sarana ibadah dan manifestasi syukur atas anugerah *dzalūlan*.

Ketidaksetiaan Manusia terhadap Nikmat Dzalūlan

Meskipun bumi telah dijadikan mudah dan tunduk bagi kita, sejarah manusia dipenuhi dengan ketidaksetiaan terhadap nikmat ini. Ketidaksetiaan tersebut muncul dalam dua bentuk ekstrem:

1. Kemalasan Absolut: Gagal memanfaatkan potensi diri dan potensi bumi yang disediakan. Ini adalah bentuk kufur nikmat karena menolak perintah *famshū*.

2. Eksploitasi Berlebihan: Mencari rezeki tanpa batas etika, merusak lingkungan, dan menindas sesama manusia demi keuntungan pribadi. Ini adalah bentuk pengabaian terhadap *Nushūr* (kebangkitan) dan menganggap bumi sebagai milik mutlak, bukan amanah.

Keseimbangan yang ditawarkan oleh ayat 15 adalah solusi untuk kedua ekstrem tersebut. Bergeraklah, bekerja keraslah, nikmatilah, tetapi jangan lupa bahwa semua ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Hubungan dengan Ayat Sebelumnya dan Sesudahnya

Ayat 15 tidak berdiri sendiri. Ia dikelilingi oleh ayat-ayat yang menguatkan kekuasaan Allah dan ancaman Hari Akhir. Ayat 14 mengingatkan bahwa Allah mengetahui apa yang tersembunyi di dalam dada. Ayat 16 dan 17 mengancam mereka yang merasa aman dari azab Allah, serta mempertanyakan apakah manusia merasa aman dari bencana langit.

Dalam konteks ini, Ayat 15 memberikan kontras yang menyegarkan: di satu sisi ada keagungan Allah dan ancaman azab, di sisi lain ada peluang yang ditawarkan di dunia (bumi yang tunduk). Ini adalah panggilan untuk menggunakan peluang duniawi (Famshū) sebagai bekal untuk menghadapi ancaman ukhrawi (Nushūr). Kesadaran bahwa Allah mengawasi (Ayat 14) seharusnya mendorong kita untuk bergerak dengan jujur saat mencari rezeki (Ayat 15).

Detailasi Lebih Lanjut Mengenai Rezeki (Rizqih)

Perintah *Wakulū Mir Rizqih* tidak hanya terbatas pada kebutuhan primer. Rezeki mencakup segala bentuk kemajuan peradaban. Ketika manusia berjalan dan menjelajah, mereka menemukan ilmu, teknologi, dan sistem sosial yang lebih baik. Semua penemuan ini, yang mempermudah hidup manusia, pada hakikatnya adalah bagian dari 'rezeki-Nya' yang tersembunyi di penjuru bumi.

Misalnya, penemuan listrik, energi terbarukan, atau obat-obatan. Semua bahan dasar dan prinsip ilmiahnya sudah ada di bumi yang *dzalūlan*. Yang dituntut dari manusia hanyalah usaha (*famshū*), yaitu eksplorasi intelektual dan praktis, untuk mengekstrak dan memanfaatkannya. Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan, penelitian, dan pengembangan adalah bentuk ketaatan terhadap perintah *Famshū*.

Penguatan Pesan Moral dan Eksistensial

1. Keunikan Istilah Dzalūlan dalam Konteks Bumi

Pilihan kata *dzalūlan* (tunduk) sangat spesifik. Ada banyak kata dalam bahasa Arab untuk mendeskripsikan kerendahan atau kemudahan, namun *dzalūlan* membawa konotasi tunduk atas kehendak. Ini berbeda dengan 'mudah' dalam arti kebetulan. Bumi tunduk karena Allah memerintahkannya demikian, bukan karena ia secara intrinsik lemah. Bumi memiliki kekuatan dahsyat—gempa, letusan—namun Allah menundukkan mayoritas perilakunya agar stabil untuk kehidupan manusia.

Sebagai contoh, para ahli geologi menjelaskan betapa tipisnya batas antara keseimbangan dan bencana di bumi. Jika sumbu rotasi bumi sedikit saja bergeser, atau jika komposisi atmosfer berubah sedikit, kehidupan akan musnah. Keseimbangan presisi ini adalah makna terdalam dari *dzalūlan*. Manusia, dengan segala kelemahannya, diberikan rumah yang sempurna, yang menuntut rasa syukur yang tinggi.

2. Perintah Berjalan sebagai Identitas Umat

Perintah *Famshū* merupakan ciri khas umat yang beraktivitas. Umat Islam tidak ditakdirkan untuk menjadi umat yang hanya menerima atau mengemis. Mereka harus bergerak dan berinteraksi dengan lingkungan. Gerakan ini menciptakan dinamika sosial dan ekonomi yang sehat.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menekankan bahwa perintah berjalan ini mencakup mencari rezeki di berbagai tempat dan melalui berbagai cara yang halal. Ini menolak regionalisme fanatik atau isolasi. Seorang muslim dianjurkan untuk berinteraksi dengan dunia, mempelajari peradaban lain, dan membawa manfaat dari satu tempat ke tempat lain—baik itu barang dagangan, ilmu, atau ajaran moral.

3. Nushūr sebagai Motivasi Tertinggi

Mengapa Allah perlu menutup perintah ekonomi dan eksplorasi yang sangat duniawi dengan pengingat tentang Kebangkitan? Jawabannya terletak pada esensi keberadaan manusia. Jika motivasi tertinggi manusia hanyalah mencari kekayaan dunia, maka ia akan berhenti bekerja setelah merasa cukup atau akan melanggar batas etika saat ia serakah.

Namun, dengan adanya *Nushūr*, setiap langkah (*Famshū*) yang kita ambil di bumi ini dicatat. Rezeki yang kita makan (*Wakulū*) adalah sumber energi yang akan digunakan untuk beribadah dan berbuat baik, yang semuanya akan dihisab. Pengingat ini membuat pencarian rezeki menjadi ibadah yang berkelanjutan.

Bayangkan seorang pekerja atau pengusaha. Ketika dia menyadari bahwa keringatnya dalam mencari nafkah halal, usahanya untuk memastikan karyawannya sejahtera, dan kepeduliannya terhadap dampak lingkungan, semuanya akan dihadapkan pada timbangan *Nushūr*, maka kualitas kerjanya akan meningkat secara spiritual.

4. Integrasi Tugas Khalifah

Ayat 15 memperkuat peran manusia sebagai khalifah fil ardh (mandataris di bumi). Tugas khalifah bukan hanya beribadah di masjid, tetapi juga mengelola sumber daya, membangun peradaban, dan menjaga keseimbangan. Bumi yang *dzalūlan* adalah perangkat manajemen yang diberikan kepada khalifah. Perintah *Famshū* adalah instruksi operasional. *Wakulū* adalah hak imbalan. Dan *Nushūr* adalah mekanisme audit.

Gagal dalam salah satu fase ini berarti gagal dalam tugas kekhalifahan. Jika manusia hanya fokus pada ritual tanpa *Famshū* yang produktif, ia meninggalkan tugas duniawinya. Jika ia hanya fokus pada *Famshū* dan *Wakulū* tanpa mengingat *Nushūr*, ia akan menjadi tiran atau perusak.

5. Tafsir Kontemporer: Menanggapi Tantangan Global

Dalam menghadapi tantangan global seperti kemiskinan, perubahan iklim, dan kesenjangan ekonomi, Surah Al-Mulk ayat 15 menawarkan peta jalan yang relevan:

Ayat ini mengajarkan bahwa solusi bagi masalah duniawi terletak pada kombinasi antara aksi nyata (gerakan) dan kesadaran spiritual (akuntabilitas abadi).

Sintesis dan Kesimpulan Abadi

Surah Al-Mulk ayat 15 adalah salah satu ayat terpenting dalam Al-Qur'an yang menjelaskan hubungan tripartit antara Tuhan, Manusia, dan Alam. Ia memproklamasikan bahwa Allah telah menundukkan bumi—menjadikannya nyaman untuk ditinggali, kaya akan sumber daya, dan memiliki hukum fisika yang memungkinkan pergerakan dan pembangunan.

Tunduknya bumi (*Dzalūlan*) menjadi dasar bagi perintah eksplorasi dan mobilitas (*Famshū fī manākibihā*), yang bertujuan untuk mendapatkan karunia materi dan spiritual (*Wakulū Mir Rizqih*). Seluruh proses ini haruslah diikat oleh kesadaran yang tak terpisahkan dari pertanggungjawaban di Hari Akhir (*Wa Ilayhin Nushūr*).

Dengan demikian, Al-Mulk 15 berfungsi sebagai konstitusi bagi aktivitas sosio-ekonomi seorang muslim. Ia mendorong kita untuk menjadi pelaut, penjelajah, ilmuwan, petani, dan pengusaha yang aktif, namun pada saat yang sama, ia menuntut kita untuk tetap rendah hati dan beretika, karena setiap langkah yang kita ambil di bumi yang tunduk ini akan menjadi bukti yang memberatkan atau meringankan kita saat kita dibangkitkan.

Ayat ini adalah seruan untuk hidup sepenuhnya: bekerja keras dengan segala kemampuan, menikmati karunia Allah dengan rasa syukur, dan selalu menjaga pandangan mata tertuju pada tujuan akhir, yaitu kembali kepada Sang Pencipta. Ia menawarkan model kehidupan yang utuh, dinamis, dan penuh makna, menolak kemalasan dan keserakahan, dan merangkul tanggung jawab sebagai khalifah di bumi yang telah dijadikan-Nya tunduk, semata-mata demi kita.

Setiap butir padi yang kita tanam, setiap perjalanan yang kita tempuh, setiap ilmu yang kita pelajari, adalah pengejawantahan dari perintah *Famshū fī manākibihā* dan semua itu akan berujung pada *Wa Ilayhin Nushūr*. Ini adalah pesan abadi Surah Al-Mulk ayat 15.

🏠 Kembali ke Homepage