Surah Al Maidah (Hidangan) merupakan salah satu surah Madaniyah yang tergolong panjang, diturunkan pada periode akhir kenabian Rasulullah Muhammad SAW. Surah ini kaya akan hukum-hukum syariat, etika bermasyarakat, dan panduan interaksi dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Ayat-ayat di dalamnya menetapkan batasan-batasan hukum yang jelas dan menyeluruh, mencakup masalah makanan, sumpah, persaksian, hingga hukum pidana.
Di antara ayat-ayat yang memiliki implikasi teologis dan sosial paling mendalam adalah Ayat 48. Ayat ini tidak hanya menegaskan status Al-Qur'an sebagai kitab suci terakhir, tetapi juga memberikan kerangka filosofis mengenai mengapa Allah SWT menciptakan keragaman hukum (syariat) di antara umat-umat terdahulu. Inti dari ayat ini adalah sebuah perintah universal yang melampaui sekat-sekat mazhab dan agama: berlomba-lomba dalam kebaikan.
Ayat 48 berfungsi sebagai jembatan antara ajaran Nabi Muhammad SAW dengan risalah nabi-nabi sebelumnya. Ia menjelaskan bahwa meskipun sumber wahyu itu tunggal, manifestasi hukumnya dapat beragam sesuai kondisi zaman dan umat. Pemahaman yang benar terhadap ayat ini sangat krusial dalam membangun toleransi, menghargai pluralitas, dan mengarahkan energi umat manusia dari perselisihan teologis menuju aksi nyata yang bermanfaat.
Kata kunci pertama yang harus dipahami adalah Muhaymin (مُهَيْمِنًا). Secara bahasa, kata ini berasal dari akar kata yang berarti menjaga, mengawasi, menyaksikan, atau menguasai. Para mufassir memberikan beberapa interpretasi mengenai peran Al-Qur'an sebagai Muhaymin atas kitab-kitab sebelumnya (Taurat, Injil, Zabur):
Al-Qur'an menjaga keaslian ajaran tauhid yang dibawa oleh semua nabi. Ia memelihara inti sari ajaran ilahi dari perubahan dan penyimpangan yang dilakukan manusia. Dengan kata lain, Al-Qur'an berfungsi sebagai tolok ukur (standard) kebenaran. Apa pun yang ada dalam Taurat dan Injil yang sesuai dengan prinsip dasar Al-Qur'an adalah benar, dan apa pun yang bertentangan dengannya dianggap telah diubah atau dihapuskan (mansukh) hukumnya.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa Muhaymin berarti Al-Qur'an adalah saksi atas semua kitab sebelumnya, membenarkan mana yang benar-benar berasal dari Allah dan menolak mana yang telah dimasuki unsur manusia. Ini memberikan otoritas tertinggi kepada Al-Qur'an dalam menetapkan kebenaran agama.
Dalam konteks hukum, Al-Qur'an berperan sebagai hakim. Ketika terjadi perselisihan antara umat terdahulu—misalnya, antara umat Yahudi dan Nabi Muhammad SAW mengenai hukum rajam—Al-Qur'anlah yang memberikan keputusan akhir. Oleh karena itu, ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad SAW (dan umatnya) untuk memutuskan perkara berdasarkan wahyu Allah yang baru (Al-Qur'an), dan tidak mengikuti hawa nafsu atau keinginan umat lain yang bertentangan dengan kebenaran yang telah turun.
Status Muhaymin juga berarti Al-Qur'an adalah kitab penutup yang menyempurnakan syariat. Hukum-hukum yang dibawa oleh syariat Islam adalah yang paling komprehensif, sesuai untuk setiap zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan), sehingga syariat sebelumnya secara otomatis terbatalkan (dinasakh) dalam hal hukum praktik, meskipun esensi keimanan dan moralitasnya tetap diakui.
Bagian ayat ini, "Li kullin ja’alna minkum shir’atan wa minhajan," (Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan syariat dan jalan terang), adalah dasar teologis Islam mengenai pluralitas hukum.
Shir’ah (Syariat) berarti sumber air atau jalan menuju sumber air. Dalam konteks agama, ia merujuk pada aturan praktis yang rinci, seperti cara salat, puasa, ketentuan nikah, warisan, atau hukum pidana (hudud). Hukum-hukum ini bisa berbeda antar-nabi. Misalnya, dalam syariat Musa (Taurat), ada beberapa jenis makanan yang diharamkan secara khusus untuk Bani Israil sebagai hukuman, yang kemudian dihalalkan dalam syariat Muhammad SAW.
Perbedaan dalam Syariat ini adalah manifestasi rahmat Allah. Hukum disesuaikan dengan kapasitas, lingkungan, dan kebutuhan spesifik umat pada masanya. Namun, perbedaan ini bersifat partikular (furu’iyah), bukan fundamental.
Minhaj (Jalan Terang) merujuk pada metodologi atau jalan yang jelas. Ini bisa diartikan sebagai prinsip-prinsip dasar moralitas, etika, dan tujuan utama agama (Maqashid Syariah). Meskipun hukum praktis (Syariat) bisa berbeda, semua nabi membawa Minhaj yang sama: Tauhid (keesaan Allah), keadilan, kejujuran, dan kewajiban berbuat baik. Minhaj adalah visi dan misi umum, sedangkan Shir’ah adalah perangkat operasional untuk mencapai visi tersebut.
Imam Ar-Razi menafsirkan bahwa Syariat adalah hukum-hukum wajib dan larangan yang ditetapkan (al-wajibatu wal-muharramat), sedangkan Minhaj adalah jalan yang terang benderang yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya melalui prinsip-prinsip universal. Keragaman ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan desain Ilahi yang mengandung hikmah besar.
Ayat 48 secara eksplisit menolak pandangan bahwa keragaman syariat adalah kegagalan ilahi. Sebaliknya, ayat ini menyatakan: “Walakin liyabluwakum fi ma atakum” (tetapi Dia hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia berikan kepadamu).
Ilustrasi Keadilan Ilahi dan fungsi Al-Qur'an sebagai Muhaymin.
Jika Allah menghendaki, Dia bisa saja menurunkan satu syariat tunggal untuk semua manusia sejak Nabi Adam hingga hari Kiamat. Namun, keragaman hukum adalah ujian: Ujian bagi umat terdahulu untuk patuh pada syariat mereka, dan ujian bagi umat Muhammad SAW untuk menerima syariat baru yang menyempurnakan dan membatalkan sebagian hukum yang lama, meskipun bertentangan dengan tradisi yang sudah mendarah daging. Ujian ini adalah tentang bagaimana manusia menyikapi amanah yang diberikan, apakah mereka mencari-cari pembenaran untuk mempertahankan tradisi lama yang bertentangan dengan wahyu terbaru, ataukah mereka tunduk sepenuhnya kepada kehendak Ilahi yang disampaikan melalui Al-Qur'an.
Ayat ini mengajarkan bahwa fokus kita seharusnya bukan pada keragaman hukum itu sendiri, melainkan pada respons kita terhadap hukum yang diberikan kepada kita. Apakah kita sungguh-sungguh mempraktikkannya? Apakah kita memegang teguh amanah syariat yang telah diberikan kepada umat Islam?
Puncak dan kesimpulan dari Al Maidah 48 adalah perintah agung: “Fas-tabiqul khairat” (maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan). Setelah menjelaskan bahwa perbedaan syariat adalah takdir Ilahi yang berfungsi sebagai ujian, Allah mengarahkan perhatian manusia dari perselisihan hukum menuju aksi positif yang menyatukan.
Perintah ini adalah solusi atas potensi konflik yang ditimbulkan oleh keragaman syariat. Alih-alih menghabiskan waktu dan energi untuk memperdebatkan mana syariat yang lebih unggul atau menyalahkan praktik ibadah umat lain, manusia diperintahkan untuk mengarahkan semangat kompetitif mereka pada hal-hal yang tidak dapat diperdebatkan: amal saleh, kejujuran, keadilan, dan pemberian manfaat kepada sesama.
Ibnu Abbas RA menafsirkan bahwa berlomba dalam kebaikan ini berarti melaksanakan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan secara optimal. Para ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradawi meluaskan makna ini menjadi kompetisi dalam pembangunan peradaban, ilmu pengetahuan, dan kontribusi sosial.
Dalam konteks pluralisme, Fas-tabiqul khairat adalah landasan etika sosial Islam. Ketika berhadapan dengan perbedaan, baik antar-mazhab dalam Islam maupun antar-agama, titik temu terbaik adalah ranah kebajikan. Setiap individu dan komunitas diuji bukan berdasarkan syariat mana yang mereka anut, melainkan seberapa baik mereka mengimplementasikan nilai-nilai universal kebaikan dalam syariat yang mereka terima.
Ayat ini ditutup dengan janji hari Kiamat: “Ila Allahi marji'ukum jami'an fayunabbi'ukum bima kuntum fihi takhtalifun” (Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan).
Penutup ini menegaskan bahwa segala perbedaan teologis, perselisihan hukum, dan perdebatan tentang kebenaran yang mutlak, akan diselesaikan secara definitif oleh Allah sendiri pada Hari Penghakiman. Tugas manusia di dunia adalah menjalankan syariat yang diturunkan kepadanya dan, yang terpenting, fokus pada amal saleh.
Implikasinya, manusia tidak memiliki otoritas untuk menghakimi syariat umat lain secara keseluruhan; penilaian akhir sepenuhnya milik Tuhan. Hal ini menumbuhkan sikap rendah hati (tawadhu') dan menahan diri dari klaim kebenaran yang eksklusif hingga merendahkan pihak lain, kecuali yang secara eksplisit telah ditegaskan Al-Qur'an.
Surah Al Maidah diturunkan di Madinah, saat komunitas Muslim telah menjadi negara berdaulat dan berinteraksi secara intensif dengan komunitas Yahudi dan Nasrani. Interaksi ini sering kali melibatkan perselisihan hukum. Salah satu Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat) yang paling terkenal terkait dengan Ayat 48 adalah kisah permintaan hukum kepada Nabi Muhammad SAW.
Diriwayatkan bahwa sekelompok Yahudi datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa kasus perselisihan di antara mereka, khususnya mengenai hukum zina (pezinah). Hukum Taurat yang asli menetapkan hukuman rajam bagi pezina yang sudah menikah. Namun, pada masa itu, komunitas Yahudi di Madinah sering melanggar atau meringankan hukuman ini demi orang-orang terhormat mereka. Mereka berharap Nabi Muhammad SAW akan memberikan putusan yang lebih ringan, agar mereka bisa menggunakan keputusan beliau sebagai dasar pembenaran untuk menghilangkan hukum rajam dari syariat mereka.
Ketika Rasulullah SAW menyarankan mereka kembali kepada Taurat mereka, mereka ragu-ragu. Akhirnya, Nabi SAW meminta dibacakan isi Taurat, dan di dalamnya terkonfirmasi adanya hukum rajam. Saat itu turunlah ayat 48 (bersama ayat-ayat sebelumnya, 42-47) yang menegaskan bahwa Nabi harus menghakimi berdasarkan wahyu yang diturunkan kepada beliau, yaitu Al-Qur'an, yang menjadi Muhaymin atas kitab-kitab sebelumnya. Ini adalah perintah tegas untuk menghentikan praktik 'memilih-milih' hukum Ilahi.
Konteks ini mengajarkan bahwa meskipun ada toleransi terhadap keberadaan agama lain, dalam wilayah kekuasaan Islam, hukum yang diterapkan haruslah bersumber dari syariat Islam, karena syariat itulah yang menjadi ‘pengawal’ (Muhaymin) kebenaran hukum. Ini menjelaskan bagian ayat: "Fahkum bainahum bima anzala Allah" (Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah).
Ayat 48 adalah landasan utama bagi konsep Naskh dalam Ushul Fiqh (Prinsip Hukum Islam). Naskh adalah penghapusan atau penggantian hukum syariat yang lama oleh hukum syariat yang baru. Status Al-Qur'an sebagai Muhaymin memberinya hak prerogatif untuk membatalkan hukum-hukum praktis (furu’iyat) dalam syariat sebelumnya. Namun, perlu dicatat bahwa Naskh tidak pernah berlaku pada prinsip-prinsip dasar keimanan, moralitas, atau hukum universal (Minhaj).
Oleh karena itu, ketika hukum lama bertentangan dengan Al-Qur'an, umat Islam wajib mengikuti Al-Qur'an. Ini bukan sikap anti-kitab suci lain, melainkan kepatuhan pada wahyu Ilahi yang paling mutakhir dan final.
Pemahaman bahwa keragaman syariat adalah kehendak Allah ("Liyabluwakum") menempatkan syariat bukan sebagai beban, tetapi sebagai anugerah dan rahmat. Keragaman ini memastikan bahwa setiap generasi dan komunitas menerima seperangkat aturan yang paling sesuai dengan kapasitas mereka untuk menjalankan keadilan dan ketertiban sosial.
Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa perbedaan ini memastikan bahwa manusia tidak merasa terlalu terbebani. Jika Syariat Musa, yang terkenal sangat ketat, diterapkan secara universal, banyak umat yang mungkin gagal memenuhinya. Syariat Muhammad SAW, dengan prinsip kemudahan dan penghapusan beberapa kesulitan, mencerminkan puncak rahmat Ilahi, sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat lain: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185).
Meskipun terdapat perbedaan dalam Shir’ah (ritual dan hukum), Al Maidah 48 mengukuhkan kesatuan fundamental dari semua agama samawi. Semua risalah berasal dari sumber yang sama (Allah) dan memiliki tujuan etis yang sama (Minhaj). Fokus pada kesatuan sumber ini mencegah umat beragama terjerumus ke dalam perselisihan yang tidak berujung. Semua pihak sejatinya sedang menuju tujuan yang sama: kembali kepada Allah (Marji'ukum Jamii'an).
Pandangan ini memperkuat konsep Ummatan Wahidah (Satu Umat) yang disinggung di tengah ayat. Meskipun Allah bisa saja menjadikan semua manusia satu umat dengan satu syariat, Dia memilih keragaman sebagai ujian, yang justru menegaskan kebebasan berkehendak (ikhtiyar) manusia dan tanggung jawab moral untuk memilih jalan kebaikan.
Al Maidah 48 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam merumuskan konsep toleransi Islam. Toleransi yang diajarkan di sini bukan hanya sekadar membiarkan orang lain berbeda, tetapi toleransi yang aktif, yang menuntut adanya kompetisi dalam kebaikan.
Dalam masyarakat majemuk, umat Islam tidak diperintahkan untuk mengabaikan perbedaan syariat (Shir’ah). Namun, mereka diperintahkan untuk mengalihkan energi dari perbedaan tersebut ke ranah kebajikan universal (Minhaj). Ketika masyarakat menghadapi isu kemiskinan, lingkungan, atau pendidikan, semua pihak memiliki kewajiban moral untuk bekerja sama, didorong oleh perintah Fas-tabiqul khairat.
Ayat ini mengajarkan bahwa identitas sejati suatu komunitas beragama tidak diukur dari seberapa keras mereka mengklaim diri sebagai satu-satunya pemilik kebenaran, tetapi dari seberapa besar kontribusi nyata mereka terhadap kesejahteraan umum.
Perintah Fas-tabiqul khairat berlaku tidak hanya dalam hubungan antar-agama, tetapi juga dalam hubungan internal umat Islam (antar-mazhab). Perbedaan dalam fiqih (hukum praktis) sering kali menjadi sumber perpecahan. Ayat 48 mengingatkan bahwa perbedaan metodologi (Shir’ah) adalah hal yang alamiah dan telah diizinkan oleh Allah sebagai ujian.
Oleh karena itu, perselisihan fiqih tidak boleh menjadi alasan untuk saling membenci atau mengkafirkan. Kompetisi yang sehat harus diarahkan pada ibadah, sedekah, penyebaran ilmu, dan inovasi sosial, bukan pada penjatuhan pihak lain yang memiliki perbedaan dalam interpretasi hukum partikular. Fokus harus selalu pada kesamaan tujuan etis dan moral.
Ilustrasi Fas-tabiqul Khairat: Berlomba dalam Kebaikan.
Perintah berlomba dalam kebaikan secara implisit mendikte Fiqh Prioritas. Dalam menghadapi keterbatasan sumber daya, waktu, dan energi, umat Islam harus memprioritaskan tindakan yang memberikan dampak kebaikan terbesar (khairat) bagi masyarakat. Prioritas harus diberikan pada: menjaga iman, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta (Maqashid Syariah).
Ayat 48 memberikan petunjuk bahwa debat teologis yang tidak produktif harus ditempatkan di bawah prioritas aksi sosial. Ketika perbedaan muncul, solusi terbaik adalah mengarahkan fokus ke hal yang diyakini bermanfaat bersama, hingga tibalah hari di mana Allah akan mengklarifikasi semua perselisihan.
Jika Allah menjadikan manusia satu umat dengan satu hukum (syariat), maka pilihan manusia untuk taat atau ingkar akan menjadi sangat terbatas. Keragaman Syariat (Shir’ah) dan Jalan (Minhaj) adalah wujud nyata dari ikhtiyar (kehendak bebas) manusia. Manusia diberikan akal dan pilihan untuk memilah mana yang terbaik dan mana yang harus diikuti berdasarkan wahyu yang paling jelas dan sempurna, yaitu Al-Qur'an.
Kondisi ‘ujian’ (liyabluwakum) hanya relevan jika ada pilihan dan keragaman. Manusia diuji dalam menerima dan menjalankan syariat yang diturunkan kepada mereka, serta diuji dalam menghadapi syariat pihak lain. Ujian ini mencakup kesabaran, keadilan, dan kemampuan beradaptasi tanpa mengorbankan prinsip Tauhid.
Sebagai Muhaymin, Al-Qur'an tidak hanya mengawasi teks kitab-kitab sebelumnya, tetapi juga kesadaran kosmik manusia. Ia mengajarkan bahwa sejarah kenabian adalah satu rangkaian kesatuan. Nabi Muhammad SAW tidak datang untuk menghancurkan agama-agama sebelumnya, melainkan untuk menyempurnakan dan mengembalikannya ke kemurnian Tauhid yang sering kali terkikis oleh interpretasi manusia.
Filosofi ini mengharuskan umat Islam memiliki kesadaran historis dan penghargaan terhadap Taurat dan Injil sebagai wahyu ilahi yang asli (walaupun teksnya saat ini mungkin telah bercampur dengan interpretasi). Penghargaan ini bukan berarti mengikuti hukumnya, tetapi mengakui peran historisnya dalam membimbing umat manusia menuju kebenaran.
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, seorang ahli fiqih kontemporer, menjelaskan bahwa status Muhaymin memastikan bahwa Syariat Islam (Shir'ah yang dibawa oleh Al-Qur'an) adalah yang paling fleksibel dan paling komprehensif, mampu menangani perubahan zaman. Syariat Islam mencakup hukum yang sifatnya tetap (tsawabit), yang tidak bisa diubah (misalnya Tauhid, larangan zina), dan hukum yang sifatnya fleksibel (mutaghayyirat), yang memungkinkan ijtihad dan adaptasi hukum praktis sesuai dengan kondisi dan kemaslahatan (maslahah).
Inilah yang membuat Al-Qur'an layak menjadi standar Muhaymin hingga akhir zaman, karena ia menyediakan Syariat (Shir’ah) yang sempurna dan Jalan (Minhaj) yang abadi.
Untuk memahami kedalaman ayat 48, kita harus membedah contoh nyata dari perbedaan Syariat (Shir’ah) dan kesamaan Jalan (Minhaj) di antara nabi-nabi:
Keragaman ini membuktikan bahwa perbedaan hukum bukanlah perselisihan mengenai kebenaran inti (Minhaj), melainkan variasi dalam metode pelaksanaan yang ditetapkan oleh Allah untuk menguji dan memimpin umat-Nya di berbagai era sejarah.
Bagi umat Islam kontemporer, ujian terbesar dari Ayat 48 terletak pada bagaimana kita menerapkan perintah Fas-tabiqul khairat. Di era globalisasi, di mana informasi dan perbedaan tersebar luas, godaan untuk fokus pada perselisihan (fihi takhtalifun) sangat besar. Ayat ini menuntut agar energi umat Islam diarahkan pada solusi global, ilmu pengetahuan, keadilan ekonomi, dan etika lingkungan. Kita harus menjadi yang terdepan dalam kebaikan, sebagai bukti nyata bahwa syariat kita adalah Muhaymin yang unggul, bukan sekadar klaim teologis.
Sikap mental yang benar yang diajarkan oleh Ayat 48 adalah: "Kami yakin syariat kami yang paling benar (karena ia adalah Muhaymin dan penutup), tetapi kami harus membuktikannya melalui kualitas amal kami. Mari kita lihat siapa yang paling baik dalam berbuat kebaikan, bukan siapa yang paling pandai menghakimi pihak lain."
Untuk lebih memperkuat pemahaman, penting melihat interpretasi dari ulama tafsir terkemuka:
Keseluruhan tafsir klasik menekankan otoritas tertinggi Al-Qur'an, tetapi mereka juga mengakui dasar teologis bagi koeksistensi, yang berujung pada perintah universal kompetisi dalam kebajikan.
Pada akhirnya, Al Maidah 48 mengembalikan semua hukum (Shir’ah) dan semua jalan (Minhaj) kepada poros utama Tauhid. Keragaman syariat adalah mekanisme yang Allah gunakan untuk memupuk Akhlak. Jika perselisihan selalu berujung pada kekerasan, maka tujuan Syariat (yaitu menciptakan ketertiban dan keadilan) tidak akan tercapai.
Dengan mengarahkan fokus pada 'Khairat' (kebaikan), ayat ini mengajarkan bahwa manifestasi tertinggi dari iman adalah tindakan nyata yang memberi manfaat. Seorang Muslim yang memahami Ayat 48 akan lebih sibuk membangun sekolah, memberi makan fakir miskin, atau meneliti ilmu pengetahuan, daripada berdebat mengenai legalitas praktik ibadah yang berbeda di kalangan umat lain.
Perintah Fas-tabiqul khairat adalah pencerahan bagi kemanusiaan, menyerukan persatuan kerja meski ada perbedaan pandangan. Kebaikan adalah bahasa universal yang melampaui batas-batas hukum, dan merupakan satu-satunya ranah kompetisi yang diizinkan dan dianjurkan oleh Allah SWT.
Surah Al Maidah Ayat 48 adalah pilar utama dalam pemahaman Islam mengenai hubungan antara wahyu, hukum, dan pluralisme. Ia menetapkan Al-Qur'an sebagai Muhaymin, otoritas akhir yang mengawasi kebenaran ilahi. Ayat ini menjelaskan bahwa keragaman syariat (Shir’ah dan Minhaj) adalah keniscayaan yang telah ditetapkan Allah sebagai ujian bagi hamba-Nya.
Namun, keragaman ini bukanlah izin untuk perpecahan, melainkan dorongan untuk sebuah kompetisi yang mulia. Pesan inti yang harus dipegang teguh oleh setiap Muslim, dan setiap manusia yang beriman, adalah: berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Kebaikan inilah yang akan menjadi mata uang sejati di hadapan Allah pada Hari Perhitungan, ketika semua perselisihan mengenai hukum dan keyakinan akan diungkapkan dan diselesaikan oleh Sang Penguasa Tunggal.
Dengan mengamalkan semangat Ayat 48, umat beragama dapat hidup berdampingan secara harmonis, menyumbangkan yang terbaik dari syariat mereka demi kemaslahatan bersama, sambil menanti keputusan final Allah SWT.
Ayat ini adalah peta jalan menuju keadilan universal dan kedamaian sosial, dibangun di atas fondasi bahwa sumber segala kebenaran adalah satu, meskipun jalan menuju manifestasi kebenaran itu beragam.
Kita kembali kepada Allah. Kita semua diuji dalam hidup ini. Oleh karena itu, mari kita pastikan bahwa ketika kita kembali kepada-Nya, catatan amal kita penuh dengan kebaikan dan kebajikan yang kita capai melalui semangat berlomba-lomba dalam kebaikan.
***