Surah Al Maidah, yang berarti 'Hidangan', adalah salah satu surah Madaniyah yang diturunkan setelah hijrah Nabi Muhammad ﷺ. Ayat-ayat dalam surah ini banyak membahas penetapan hukum syariat, perjanjian, dan batasan-batasan dalam interaksi sosial dan ibadah. Di tengah perbincangan mengenai keadilan ilahi dan penegakan hukum, terselip sebuah ayat fundamental yang menetapkan prinsip pembalasan setimpal sekaligus membuka pintu ampunan, yaitu ayat ke-45.
Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai landasan hukum pidana Islam (Hukum Qisas) tetapi juga sebagai cerminan filosofi keadilan yang seimbang, menempatkan kemuliaan pengampunan di atas tuntutan balasan. Pemahaman yang komprehensif terhadap Al Maidah ayat 45 sangat esensial, sebab ia memadukan ketegasan hukum (deterrence) dengan etika moral tertinggi (rahmat dan kasih sayang).
Al Maidah ayat 45 sering kali dikutip sebagai dalil utama penetapan hukum Qisas, khususnya untuk kasus penganiayaan fisik yang mengakibatkan hilangnya fungsi anggota tubuh. Mari kita telaah teks Arab dan terjemahan standarnya.
Terjemahan Standard (Kemenag RI):
"Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya. Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."
Ayat ini merujuk kembali kepada hukum yang diturunkan dalam Taurat kepada Bani Israil. Meskipun secara eksplisit menyebutkan Taurat, Islam mengafirmasi dan menerapkannya dengan penyesuaian yang lebih adil dan manusiawi. Ketika ayat ini diturunkan di Madinah, kaum Muslimin berhadapan dengan masalah penegakan hukum di tengah masyarakat yang majemuk. Ayat 45, bersama ayat 44 dan 47, memperingatkan para hakim dan penguasa agar memutuskan perkara berdasarkan wahyu Allah, menegaskan bahwa keadilan sejati berasal dari sumber ilahi, bukan sekadar kesepakatan manusiawi.
Konteksnya juga erat kaitannya dengan masalah pembalasan dendam (vendetta) yang seringkali tidak proporsional. Sebelum Islam, sering terjadi praktik di mana satu nyawa bangsawan dibalas dengan sepuluh nyawa rakyat jelata. Ayat ini datang untuk menetapkan prinsip kesetaraan mutlak di hadapan hukum: satu jiwa dibalas satu jiwa, satu organ dibalas satu organ, tanpa memandang status sosial pelaku atau korban.
Untuk memahami kedalaman hukum yang terkandung dalam ayat ini, kita perlu membedah beberapa istilah kunci dalam bahasa Arab:
Ayat ini membagi Qisas menjadi dua kategori utama yang diatur dalam fiqh:
Prinsip dasarnya adalah nyawa dibayar nyawa. Ayat ini menegaskan kesakralan hidup manusia. Penetapan Qisas ini bertujuan utama untuk menyelamatkan kehidupan secara keseluruhan, sebagaimana ditegaskan dalam Al Baqarah [2]: 179, "Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal." Keadilan Qisas menghentikan siklus dendam tak berujung (vendetta) dan memberikan rasa aman bahwa kejahatan berat akan dibalas setimpal, sehingga masyarakat enggan melakukan pembunuhan.
Ayat 45 memberikan daftar spesifik: mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi. Prinsip di sini adalah al-mithl (kesetaraan). Jika satu organ dirusak, maka organ yang setara pada pelaku dapat dituntut untuk dibalas.
Hukum fiqh sangat teliti dalam menerapkan Qisas anggota tubuh. Terdapat beberapa syarat agar Qisas dapat dilaksanakan, yang diringkas oleh para fuqaha:
Bagian terpenting dari ayat ini yang menunjukkan rahmat Allah adalah frasa: "Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya."
Ayat 45 menyajikan dua pilihan bagi korban atau wali korban:
Pilihan kedua, memaafkan, dipromosikan sebagai tindakan yang memiliki nilai spiritual tertinggi (Kaffarah). Ini adalah etika Islam yang membedakannya dari sistem hukum lain. Memaafkan pelaku adalah sedekah yang besar yang diberikan oleh korban kepada dirinya sendiri, yang berfungsi menghapus dosa-dosa pribadinya di hadapan Allah.
Ketika korban atau walinya memilih Afw, Qisas gugur. Namun, hukum pidana Islam memberikan fleksibilitas:
Penghujung ayat ini memuat peringatan keras: "Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."
Peringatan ini ditujukan kepada pihak yang berwenang, yaitu para hakim, penguasa, dan pemimpin negara yang bertanggung jawab atas penegakan hukum. Tafsir mengenai frasa ini sangat luas dan mendalam, sering dikaitkan dengan perdebatan mengenai kekafiran (Kufur) atau kezaliman (Zulm).
Para ulama tafsir membagi makna kezaliman di sini menjadi beberapa tingkatan, bergantung pada niat dan keyakinan hakim:
Inti dari peringatan ini adalah bahwa hukum ilahi (termasuk Qisas dan Afw) adalah standar keadilan yang sempurna. Meninggalkannya adalah bentuk kezaliman karena ia menggantikan keadilan yang sejati dengan ketidakadilan, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat umum.
Penerapan Qisas adalah topik yang sangat detail dalam fiqh, membutuhkan perhatian pada ratusan kasus spesifik untuk memastikan kesetaraan mutlak. Empat Mazhab Fiqh utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) memiliki pandangan yang hampir seragam mengenai prinsip dasar Qisas, namun berbeda dalam detail implementasi.
Ayat 45 menyebutkan anggota tubuh yang jelas (mata, hidung, telinga, gigi). Namun, fiqh memperluas prinsip ini ke anggota tubuh lain, selama kesetaraan dapat dijamin:
Qisas tidak hanya berlaku untuk hilangnya fisik organ, tetapi juga hilangnya fungsi. Jika seseorang memukul orang lain hingga mata korban buta, meskipun mata fisik masih ada, Qisas tetap dapat diterapkan, karena fungsi penglihatan telah hilang. Namun, seringkali Qisas diganti Diyat dalam kasus fungsi, karena sulitnya menjamin kesetaraan hukuman balasan.
Para fuqaha sepakat bahwa Qisas diterapkan pada patah tulang yang memungkinkan kesetaraan, misalnya memotong jari. Namun, untuk tulang yang tidak mungkin di-Qisas tanpa risiko fatal (misalnya tulang iga atau tulang kepala), wajib diganti dengan Diyat yang berat.
Pelaksanaan Qisas harus dilakukan oleh otoritas yang berwenang (pemerintah/hakim) dan menggunakan alat yang meminimalkan rasa sakit (jika Qisas organ) atau cepat (jika Qisas jiwa). Tujuannya adalah keadilan, bukan penyiksaan.
Imam Syafi'i menegaskan bahwa Qisas anggota tubuh hanya wajib jika luka tersebut dapat dibalas tanpa menimbulkan bahaya fatal yang lebih besar. Jika membalas patah gigi akan menyebabkan rahang pelaku hancur, maka Qisas gugur dan wajib Diyat. Prinsipnya adalah 'tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari yang diupayakan diperbaiki'.
Diyat menjadi katup pengaman dalam sistem Qisas. Jika Qisas tidak mungkin diterapkan karena kesulitan medis, risiko fatal, atau jika korban memilih Afw, maka Diyat wajib dilaksanakan. Diyat memastikan bahwa pelaku tetap bertanggung jawab atas kejahatannya meskipun Qisas fisik tidak dilakukan, sekaligus memberikan kompensasi material kepada korban atau keluarganya. Diyat juga berfungsi sebagai jembatan yang harmonis antara tuntutan hukum dan nilai kasih sayang (Afw).
Ayat 45 Al Maidah bukan sekadar daftar sanksi; ia adalah manifestasi dari filosofi keadilan ilahi yang unik, yang menyeimbangkan *hak* dan *rahmat*.
Penetapan Qisas yang tegas (jiwa dibalas jiwa, mata dibalas mata) memberikan efek jera yang kuat. Masyarakat tahu bahwa melukai orang lain berarti mempertaruhkan anggota tubuhnya sendiri. Ketegasan ini adalah fondasi keamanan sosial, sebagaimana konsep yang diusung oleh ulama fiqh bahwa hukuman yang berat adalah pencegah terbesar dari kejahatan.
Ayat ini menetapkan bahwa Qisas adalah hak wali korban, bukan kewajiban mutlak hakim. Hakim tidak dapat memaksakan Qisas jika korban memilih memaafkan atau menuntut Diyat. Hal ini menunjukkan penghormatan Syariat terhadap otonomi dan emosi korban dalam proses peradilan. Korban diberdayakan untuk memilih antara keadilan formal (Qisas) dan keadilan spiritual (Afw/Kaffarah).
Pilihan untuk memaafkan, yang diidentifikasi sebagai Kaffarah, menunjukkan bahwa tujuan tertinggi hukum Islam bukanlah sekadar membalas dendam, melainkan menyucikan jiwa korban dan pelaku. Bagi korban, memaafkan adalah bentuk jihad spiritual. Bagi pelaku, Qisas atau Diyat yang ia jalani di dunia ini bisa menjadi penebus dosanya agar ia tidak menanggung beban yang sama di akhirat.
Ayat 45 secara eksplisit menyatakan "Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat)..." Ini mengindikasikan bahwa prinsip Qisas telah ada dalam syariat-syariat terdahulu, khususnya syariat Nabi Musa a.s.
Dalam Perjanjian Lama (Keluaran 21:23-25), terdapat frasa terkenal: "Nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki..."
Para mufassir menjelaskan bahwa Al-Qur'an (khususnya ayat 45) mengafirmasi dasar keadilan Taurat tetapi menyempurnakannya dalam dua aspek krusial:
Oleh karena itu, ketika ayat 45 diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, ia bukan menghapus hukum Taurat, melainkan menegaskan prinsip inti keadilannya sambil menambahkan dimensi rahmat yang sangat kuat.
Keseimbangan antara Qisas (Keadilan Setimpal) dan Afw (Kemuliaan Maaf) dalam Al Maidah 45.
Dalam konteks negara modern, perdebatan tentang penerapan Hukum Qisas, khususnya Al Maidah 45, sering muncul. Para sarjana hukum Islam kontemporer menyoroti bagaimana prinsip-prinsip ayat ini dapat diintegrasikan atau dipahami dalam sistem hukum yang ada, memastikan bahwa tujuan hukum (Maqasid Syariah) tercapai: perlindungan jiwa (Hifz an-Nafs).
Di luar implementasi harfiah (yang memerlukan struktur pengadilan Syariah khusus), ayat 45 mengajarkan prinsip fundamental yang relevan secara universal: proporsionalitas hukuman. Hukuman yang dijatuhkan harus sebanding dengan kejahatan yang dilakukan, sebuah prinsip yang diadopsi oleh sistem peradilan di seluruh dunia. Qisas mencegah hukuman yang terlalu ringan (yang mengabaikan korban) atau hukuman yang berlebihan (yang melampaui keadilan).
Dorongan untuk Afw (pemaafan dan Tasaddaqa) dalam ayat 45 adalah dasar filosofis bagi praktik mediasi dan keadilan restoratif dalam Islam. Daripada hanya menghukum, sistem hukum didorong untuk memfasilitasi rekonsiliasi antara pelaku dan korban/keluarga korban. Melalui Diyat, pelaku diminta mempertanggungjawabkan perbuatannya secara finansial, sementara korban diberi hak untuk mengakhiri perseteruan dan mendapatkan penebus dosa spiritual.
Peringatan keras terhadap Az-Zalimun (orang-orang zalim) berfungsi sebagai pengingat abadi bagi lembaga yudikatif. Setiap hakim atau pengambil kebijakan, terlepas dari sistem hukum apa yang mereka gunakan, wajib memastikan bahwa keputusan mereka mencerminkan keadilan sejati dan tidak didasarkan pada korupsi, bias, atau kepentingan pribadi. Kezaliman yudisial adalah salah satu kezaliman paling berbahaya karena ia merusak fondasi masyarakat.
Pemahaman mengenai Kaffarah yang diberikan kepada korban yang memilih Afw adalah titik puncak spiritual ayat 45. Ini menunjukkan kemurahan Allah dan nilai luar biasa dari pengorbanan emosional.
Ketika seorang wali korban memutuskan untuk memaafkan pembunuh atau penganiaya, ia secara sadar melepaskan haknya yang sah di dunia. Tindakan ini adalah manifestasi konkret dari kesabarannya (sabr) dan harapannya kepada pahala Allah. Dalam perspektif Islam, kerugian fisik yang dialami di dunia akan ditukar dengan keuntungan spiritual di akhirat, suatu transaksi yang dinilai sangat tinggi oleh Allah.
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Kaffarah ini mencakup pengampunan dosa-dosa kecil yang telah dilakukan oleh korban. Ini adalah rahmat yang diberikan Allah kepada orang yang berbuat baik, di mana kebaikan memaafkan tersebut berfungsi sebagai pembersih jiwa.
Qisas adalah 'keadilan yang statis'—setiap perbuatan memiliki balasan setimpal. Sementara Afw adalah 'keadilan yang bergerak'—ia menciptakan pahala yang melampaui balasan fisik. Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun menegakkan hukum adalah wajib, mengutamakan belas kasihan adalah jalan yang membuka peluang kebaikan dan pengampunan yang tak terbatas dari Allah.
Ayat 45 berfokus pada Qisas, yang merupakan salah satu dari tiga kategori utama hukuman dalam syariat:
Al Maidah 45 secara khusus menempatkan Qisas di bawah yurisdiksi yang mengutamakan hak korban, berbeda dengan Had yang menempatkannya di bawah hak Allah yang tidak dapat dinegosiasikan. Fleksibilitas ini adalah kunci dalam sistem hukum Islam yang berusaha mencari keseimbangan antara ketegasan dan rahmat.
Surah Al Maidah ayat 45 adalah salah satu ayat yang paling padat dan kaya makna dalam Al-Qur'an. Ia mengajarkan lebih dari sekadar hukum pidana; ia mengajarkan filosofi kehidupan yang berlandaskan keadilan mutlak dan belas kasihan yang tak terbatas.
Ayat ini menegaskan bahwa keadilan harus diterapkan tanpa memandang bulu, memastikan bahwa hukuman bagi penganiayaan fisik dan pembunuhan adalah setimpal. Jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, adalah janji keadilan untuk masyarakat yang tertindas. Pada saat yang sama, ia menawarkan jalan spiritual yang lebih tinggi, yaitu ampunan, yang berfungsi sebagai penebus dosa bagi orang yang memaafkan.
Peringatan di akhir ayat—bahwa mereka yang tidak memutuskan perkara sesuai dengan apa yang diturunkan Allah adalah orang-orang zalim—menggarisbawahi pentingnya integritas yudisial dan komitmen terhadap kebenaran ilahi. Ayat ini menjadi parameter moral bagi setiap penguasa dan hakim di segala zaman, bahwa keadilan tidak hanya harus ditegakkan secara formal, tetapi juga harus dilandasi oleh semangat rahmat dan menghindari kezaliman dalam bentuk apa pun.
Dengan demikian, Al Maidah 45 berfungsi sebagai cetak biru bagi sistem hukum yang kuat, adil, dan beretika, sebuah hukum yang melindungi hak individu sambil mendorong kemurahan hati kolektif, memastikan bahwa masyarakat tidak hanya aman tetapi juga mencapai ketinggian moral yang sejati.
Tuntutan atas kesetaraan absolut (Qisas) menjaga martabat korban dan mencegah anarki balas dendam tak berujung, sementara imbalan besar bagi pemaafan (Kaffarah) menawarkan peluang untuk kedamaian batin dan spiritualitas yang mendalam. Keseimbangan inilah yang menjadikan hukum Allah sebagai rahmat bagi semesta alam.
Pemahaman yang mendalam terhadap ayat ini membebaskan kita dari pandangan sempit tentang hukuman sebagai pembalasan murni. Sebaliknya, Qisas adalah alat untuk mencapai keselamatan di dunia dan akhirat, baik bagi pelaku maupun korban, asalkan dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian, integritas, dan di bawah panduan wahyu ilahi.
Hukum Qisas dalam ayat 45 adalah manifestasi dari nama-nama Allah: Al-Adl (Maha Adil) dalam penerapannya, dan Ar-Rahman (Maha Pengasih) dalam dorongan untuk pemaafan. Keduanya adalah sisi mata uang yang sama dalam membangun peradaban yang berkeadilan dan bermoral tinggi. Keadilan ditegakkan agar keteraturan tercipta, dan rahmat ditawarkan agar kezaliman spiritual dapat ditebus. Inilah inti ajaran yang terkandung dalam Surah Al Maidah ayat 45.
Pentingnya penerapan hukum ini secara cermat oleh otoritas yang berwenang tidak dapat dilebih-lebihkan. Setiap pelanggaran atau penyimpangan dari prinsip kesetaraan dalam Qisas adalah bentuk kezaliman. Kesalahan dalam pengukuran (misalnya, membalas luka yang tidak setara) dapat menghilangkan hak korban untuk mendapatkan keadilan dan hak pelaku untuk mendapatkan hukuman yang proporsional. Oleh karena itu, para fuqaha menekankan keharusan adanya pakar forensik dan medis yang kompeten dalam penentuan Qisas anggota tubuh.
Prinsip "mata dengan mata" telah menjadi metafora universal untuk keadilan restoratif, namun Islam menambah lapisan spiritual. Bukan hanya sekadar balasan, tapi juga ujian bagi keimanan. Ketika seseorang dihadapkan pada pilihan membalas atau memaafkan, ia diuji apakah ia lebih mencintai hak duniawinya (pembalasan) atau pahala akhirat (Kaffarah). Mayoritas ulama menyepakati bahwa Afw dalam kondisi yang tepat adalah pilihan yang lebih utama di sisi Allah, meskipun Qisas adalah hak yang diizinkan-Nya.
Terkait dengan Hukum Diyat, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat 45, ia merupakan mekanisme yang terintegrasi untuk melengkapi Qisas, terutama ketika Qisas murni tidak dapat diterapkan. Diyat berfungsi sebagai pengganti Qisas, yang nilainya telah ditentukan berdasarkan syariat, dan menjadi wajib ketika Afw dipilih, kecuali jika korban memilih memaafkan Diyat sepenuhnya (Afw Mutlaq).
Ayat ini juga memberikan pelajaran tentang pentingnya penegakan hukum dalam konteks perjanjian dan komitmen masyarakat. Surah Al Maidah secara umum berbicara kepada Ahlul Kitab (Kaum Yahudi dan Nasrani) dan juga kaum Muslimin, mengingatkan bahwa hukum ilahi adalah transenden dan berlaku untuk semua, menuntut kepatuhan universal terhadap standar moral dan etika. Hukum Qisas, yang dibawa dari Taurat dan disempurnakan dalam Al-Qur'an, menjadi bukti kesinambungan pesan keadilan dari Tuhan.
Dalam sejarah Islam, penerapan Qisas sering kali berfungsi sebagai penstabil sosial. Dengan menghilangkan ketidakpastian dalam hukuman, ia mengurangi potensi konflik antar suku atau antar keluarga. Ketika masyarakat mengetahui bahwa hukum yang adil dan setimpal akan ditegakkan oleh otoritas pusat, mereka tidak perlu mengambil hukum di tangan mereka sendiri, sehingga menjaga kohesi sosial dan menghindari kekacauan.
Para pengkaji kontemporer juga menyoroti bagaimana konsep Az-Zaalimun di akhir ayat dapat diterapkan pada sistem yang menciptakan diskriminasi dalam hukum. Jika suatu sistem hukum membedakan antara si kaya dan si miskin, atau antara etnis tertentu dalam penegakan Qisas, maka sistem tersebut telah jatuh ke dalam kezaliman yang dilarang oleh ayat ini. Keadilan harus buta terhadap status sosial; inilah esensi dari penerapan "jiwa dengan jiwa" tanpa pengecualian.
Kesimpulannya, Surah Al Maidah ayat 45 adalah salah satu batu penjuru Syariat Islam dalam ranah pidana. Ia memuat pedoman yang tegas untuk keadilan, sekaligus menyediakan ruang yang luas untuk rahmat dan pengampunan. Ayat ini adalah refleksi sempurna dari keseimbangan antara Jalal (Kebesaran dan Ketegasan Allah) dan Jamal (Keindahan dan Rahmat Allah). Umat diwajibkan untuk menjunjung tinggi keadilan ini, namun dianjurkan untuk mencapai kemuliaan spiritual tertinggi melalui tindakan maaf, demi penebusan dosa dan pahala yang abadi.
Tidak ada kontradiksi antara menuntut Qisas dan keutamaan memaafkan. Qisas adalah hak hukum yang diberikan Allah untuk menjamin keamanan dunia; Afw adalah undangan spiritual untuk meraih ganjaran akhirat. Seorang individu bebas memilih di antara kedua jalan yang sama-sama sah ini. Hakim harus menegakkan yang pertama, tetapi masyarakat diajak untuk mempraktikkan yang kedua.
Penghargaan terhadap hak untuk Qisas adalah penghormatan terhadap penderitaan korban, tetapi pengampunan adalah penghormatan terhadap kemuliaan ilahi. Kedua-duanya adalah jalan menuju keadilan dan kebajikan di bawah naungan wahyu Ilahi. Ayat 45 ini memastikan bahwa masyarakat Islam tidak pernah kehilangan pegangan pada keadilan, namun selalu memiliki kompas moral yang menunjuk pada rahmat dan kasih sayang, menjadikan hukum tidak hanya sebagai hukuman, tetapi juga sebagai sarana penyucian diri.
Pengkajian mendalam terhadap setiap kata dalam ayat 45, dari 'Katabna' (Kami tetapkan) yang menunjukkan kewajiban, hingga 'Kaffarah' (penebusan dosa) yang menjanjikan pahala, memperjelas bahwa hukum Islam adalah sistem yang komprehensif, bukan sekadar aturan, melainkan panduan hidup yang meliputi aspek legal, moral, dan spiritual secara utuh.
Penerapan Qisas yang benar adalah manifestasi ketaatan terhadap perintah Ilahi yang bertujuan untuk mengakhiri kejahatan secara proporsional. Hukuman yang tegas (Qisas) berfungsi sebagai pagar pelindung bagi masyarakat, sementara pintu maaf (Afw) berfungsi sebagai sarana individual untuk mencapai derajat kesalehan yang lebih tinggi. Kezaliman terbesar adalah ketika pagar pelindung ini diabaikan, atau ketika hak korban untuk mendapatkan keadilan atau memberikan maaf dihalangi oleh pihak yang berkuasa.
Dengan demikian, Surah Al Maidah ayat 45 merupakan fondasi yang kokoh, menjamin bahwa di tengah kekacauan duniawi, standar keadilan ilahi tetap tegak, menawarkan solusi yang adil bagi yang tertindas dan peluang penebusan bagi yang tertindas, serta peringatan keras bagi para penguasa yang cenderung menyimpang dari jalan kebenaran.
Ayat ini adalah mercusuar keadilan, mengingatkan bahwa setiap kejahatan memiliki konsekuensi setimpal, namun juga memberikan harapan bahwa belas kasihan selalu lebih kuat dari tuntutan darah. Inilah keindahan Syariat yang memadukan keadilan duniawi dengan pahala ukhrawi.
Lalu, bagaimana ulama tafsir menanggapi detail 'luka-luka pun ada Qisasnya' (وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ)? Para ulama sepakat bahwa ini merujuk pada luka yang memiliki batas yang jelas (Al-Juruh al-Qati'ah), seperti luka yang dapat diukur kedalamannya atau panjangnya, yang memungkinkan pembalasan setimpal tanpa membahayakan nyawa pelaku. Jika luka tersebut tidak dapat di-Qisas, misalnya luka yang tidak beraturan atau luka yang berisiko menyebabkan kematian saat dibalas, maka Diyat yang berlaku. Kehati-hatian dalam menentukan apakah suatu luka bisa di-Qisas atau tidak adalah indikasi betapa telitinya Syariat Islam dalam menjamin kesetaraan hukuman.
Aspek lain yang penting adalah peran niat. Qisas berlaku untuk kejahatan yang dilakukan secara sengaja (al-'Amd). Jika penganiayaan atau pembunuhan terjadi secara tidak sengaja (al-Khata'), Qisas gugur, dan hukuman yang wajib adalah Diyat dan Kaffarah (puasa atau pembebasan budak, meskipun praktik pembebasan budak sudah tidak relevan saat ini, prinsipnya tetap berupa penebusan dosa non-materiil). Ayat 45, meskipun didasarkan pada prinsip pembalasan, selalu ditafsirkan dalam kerangka niat pelaku, membedakan antara pelaku kriminalitas yang keji dengan pelaku yang lalai.
Akhirnya, penekanan pada kata Az-Zalimun (orang-orang zalim) berlaku tidak hanya bagi mereka yang mengganti hukum, tetapi juga bagi mereka yang menerapkannya dengan tidak adil. Hakim yang memihak, saksi yang berbohong, atau sistem yang memperlambat proses Qisas secara sengaja, semuanya dapat terjerumus dalam kategori kezaliman ini. Keadilan ilahi menuntut implementasi yang murni, tanpa cela, dan tepat waktu.
Semua elemen ini—keadilan setimpal, keutamaan ampunan, peran kaffarah, dan peringatan terhadap kezaliman—menjadikan Al Maidah 45 sebuah ajaran yang sempurna, menyeimbangkan tuntutan kemanusiaan akan pembalasan dengan ajakan ilahi menuju rahmat tertinggi.
Oleh karena itu, setiap diskusi mengenai keadilan dan hukum dalam Islam harus kembali pada poros ayat ini, yang mengajarkan bahwa kekuatan hukum harus selalu berjalan beriringan dengan keindahan moralitas. Tanpa Qisas, masyarakat akan jatuh ke dalam kekacauan; tanpa Afw, jiwa manusia akan mengering karena dendam. Al Maidah 45 menawarkan jalan tengah yang menyelamatkan keduanya.