QS. Al-Maidah ayat 3 sering disebut sebagai ayat terakhir yang diturunkan, menandai klimaks kenabian.
Surah Al-Maidah ayat 3 merupakan salah satu ayat paling fundamental dan sarat makna dalam keseluruhan Al-Qur'an. Ayat ini tidak hanya menetapkan beberapa hukum syariat yang esensial, khususnya terkait makanan, tetapi juga memuat proklamasi agung mengenai selesainya misi kenabian dan ditetapkannya Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan yang diridhai Allah SWT. Penetapan ini memiliki implikasi teologis, hukum, dan historis yang sangat luas, menjadikannya subjek kajian tafsir mendalam selama berabad-abad.
Melalui tulisan ini, kita akan menyelami setiap frasa dari ayat yang mulia ini, membahas konteks penurunannya (Asbabun Nuzul), implikasi doktrinal dari penyempurnaan agama, serta rincian hukum fiqh terkait ketentuan halal dan haram yang termaktub di dalamnya.
Ayat ketiga dari Surah Al-Maidah berbunyi:
Terjemahan Standar (Kementerian Agama RI):
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (karena) itu adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu menjadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa bermaksud berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Konsensus ulama, terutama berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab RA dan Ibn Abbas RA, menunjukkan bahwa bagian kedua dari ayat ini—yang memuat proklamasi penyempurnaan agama—diturunkan pada waktu dan tempat yang sangat spesifik, yaitu pada hari Arafah, saat Nabi Muhammad SAW melaksanakan Haji Wada' (Haji Perpisahan).
Penurunan ayat ini terjadi pada hari Jumat, Hari Arafah, tahun ke-10 Hijriah. Hari Arafah adalah hari di mana umat Islam berkumpul di padang Arafah, merupakan rukun terpenting dalam ibadah haji. Penurunannya pada hari mulia ini menggarisbawahi urgensi dan keagungan pesan yang dibawa.
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab RA, seorang Yahudi pernah berkata kepadanya, "Wahai Amirul Mukminin, ada satu ayat dalam Kitab kalian yang jika diturunkan kepada kami, kaum Yahudi, niscaya akan kami jadikan hari penurunannya sebagai hari raya." Umar bertanya, "Ayat apakah itu?" Ia menjawab, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu menjadi agama bagimu." Umar kemudian berkata, "Sungguh kami tahu hari dan tempat diturunkannya ayat itu kepada Nabi SAW. Yaitu pada hari Jumat, saat beliau sedang berdiri di Arafah."
Konteks historis ini sangat vital karena menandakan bahwa semua landasan syariat, baik ibadah, muamalah, maupun akhlak, telah selesai diturunkan. Tidak ada lagi yang perlu ditambahkan atau dikurangi dari struktur dasar Islam. Setelah ayat ini turun, Nabi SAW hidup hanya selama kurang lebih 81 malam, dan tidak ada hukum syariat lain yang turun setelahnya.
Bagian kedua ayat, yang merupakan deklarasi teologis, memuat tiga klausa utama yang saling terkait dan mengukuhkan status definitif Islam:
Para mufassir sepakat bahwa "Al-Yaum" di sini merujuk pada hari Arafah di tahun kesepuluh hijriah, momen penegasan bahwa syariat telah final. Penggunaan kata "Al-Yaum" (dengan alif lam ta’rif) memberikan penekanan dan kekhususan, menandakan bahwa hari tersebut bukan sekadar hari biasa, melainkan hari bersejarah yang memiliki bobot teologis setara dengan fondasi agama itu sendiri.
Dalam bahasa Arab, terdapat perbedaan halus antara kata kerja أَكْمَلْتُ (Akmaltu), yang berasal dari kata *Kamala* (sempurna), dan أَتْمَمْتُ (Atmantu), yang berasal dari kata *Tamma* (cukup/selesai).
Kata *Kamal* (sempurna) merujuk pada penyempurnaan kualitas dan substansi. Ini berarti bahwa Islam telah mencapai bentuknya yang paling paripurna, tidak memerlukan tambahan aturan, hukum, atau prinsip dasar lagi. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW telah mencakup seluruh kebutuhan manusia dari segala aspek kehidupan—ibadah, muamalah, politik, ekonomi, sosial, dan etika—tanpa celah atau kekurangan yang perlu ditambal oleh ajaran lain.
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa penyempurnaan ini memiliki dua makna utama: Pertama, penyempurnaan dari segi syariat, di mana semua hukum *furu'* (cabang) telah dijelaskan, dan kaidah *ushul* (pokok) telah ditetapkan. Kedua, penyempurnaan dari segi keamanan, di mana umat Islam telah mencapai kekuatan dominan di jazirah Arab, sehingga ibadah haji dapat dilakukan tanpa gangguan dari musyrikin.
Kata *Itmam* (penyelesaian/pencukupan) merujuk pada pemenuhan jumlah dan kuantitas. Nikmat di sini mencakup seluruh karunia ilahi yang diberikan kepada umat Islam, puncaknya adalah:
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa nikmat telah dicukupkan karena Allah telah menjamin kemenangan atas musuh, mengamankan jalan ke Makkah, dan memberikan hukum-hukum yang akan membimbing umat hingga Hari Kiamat.
Klausa ketiga ini adalah kesimpulan dari kedua klausa sebelumnya. Karena agama telah sempurna (Kamal) dan nikmat telah dicukupkan (Itmam), maka hanya Islam yang diridhai oleh Allah SWT sebagai sistem kehidupan (*Din*). Kata *Din* di sini tidak hanya berarti ibadah ritual, tetapi mencakup keseluruhan cara hidup, hukum, etika, dan tata kelola masyarakat.
Hal ini menegaskan prinsip fundamental dalam akidah Ahlussunnah wal Jamaah bahwa Islam adalah agama terakhir dan final. Pintu kenabian telah tertutup, dan tidak ada jalan lain menuju keridhaan Allah kecuali melalui Syariat yang sempurna ini. Klausa ini secara implisit menolak klaim-klaim agama atau ideologi lain yang muncul setelah kenabian Muhammad SAW sebagai jalan keselamatan yang absah di sisi Allah.
Ayat ini menyisipkan sebuah pernyataan yang bersifat penguatan mental dan politik bagi umat Muslim:
Artinya: "Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku."
Keputusasaan orang kafir (musyrikin Quraisy dan para penentang Islam lainnya) terjadi karena dua faktor utama yang terjadi menjelang dan saat Haji Wada':
Makna putus asa ini adalah putus asa untuk menghancurkan agama Islam dari akarnya. Mereka tidak lagi berharap dapat mengembalikan masyarakat Muslim ke masa Jahiliyah atau memadamkan cahaya Islam sepenuhnya.
Lanjutan ayat, فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ (Sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku), adalah perintah yang muncul setelah janji kemenangan. Karena musuh telah putus asa, kaum Muslimin diperintahkan untuk mengalihkan fokus ketakutan mereka dari ancaman eksternal (musuh) kepada ancaman internal (melanggar perintah Allah). Ayat ini mengajarkan bahwa tantangan terbesar bagi umat Islam setelah kemenangan bukanlah kekuatan musuh, melainkan ketaatan kepada Allah; takutlah untuk bermaksiat kepada-Nya, karena itulah yang akan menyebabkan kejatuhan sejati.
Bagian pertama dari ayat Al-Maidah 3 menetapkan larangan-larangan makanan yang mendetail. Ini adalah rincian dari hukum yang sebelumnya disebutkan secara umum dalam Surah Al-Baqarah 173. Tujuan dari penyebutan yang sangat rinci ini adalah untuk menutup semua celah yang mungkin digunakan orang pada masa Jahiliyah untuk melegalkan praktik penyembelihan yang haram.
Al-Maytah (Bangkai): Didefinisikan sebagai hewan yang mati tanpa disembelih secara syar'i. Larangan ini didasarkan pada alasan higienis dan spiritual. Hewan yang mati sendiri mengandung darah kotor dan racun dalam tubuhnya, dan kematiannya tanpa penyembelihan tidak mengeluarkan kotoran tersebut secara maksimal.
Para ulama menyepakati pengecualian (yang tidak disebutkan secara langsung di ayat ini namun melalui hadis sahih): bangkai ikan dan belalang adalah halal. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW: "Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai adalah ikan dan belalang, dan dua darah adalah hati dan limpa."
Ad-Dam (Darah): Yang diharamkan adalah darah yang mengalir (*Ad-Dam Masfuh*), sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-An'am: 145. Darah yang tersisa di pembuluh darah atau yang melekat pada daging setelah penyembelihan (seperti hati dan limpa) adalah halal karena tidak termasuk darah yang mengalir. Larangan darah ini terkait erat dengan kebersihan dan menjauhkan diri dari kebiasaan Jahiliyah yang sering mengonsumsi darah yang dibekukan.
Larangan ini bersifat mutlak dan abadi. Larangan babi disebutkan di beberapa tempat dalam Al-Qur'an (seperti Al-Baqarah 173, Al-An'am 145, dan An-Nahl 115), menunjukkan betapa tegasnya hukum ini. Para ulama fiqh sepakat bahwa larangan ini mencakup seluruh bagian babi, bukan hanya dagingnya, termasuk lemak, kulit, dan tulang. Hikmah pelarangan ini, di samping bersifat ketaatan murni (ta'abbudi), juga dikuatkan oleh temuan ilmiah yang menunjukkan adanya risiko penyakit tertentu yang dapat ditularkan melalui konsumsi babi.
Ini adalah larangan yang terkait dengan aspek tauhid. Hewan yang disembelih harus diniatkan untuk Allah, dengan menyebut nama-Nya. Jika penyembelihan dilakukan sambil menyebut nama berhala, patung, atau dewa lain, maka dagingnya haram dimakan, meskipun cara penyembelihannya mungkin benar. Hal ini karena esensi penyembelihan dalam Islam adalah ibadah dan pengakuan terhadap kekuasaan tunggal Allah atas kehidupan.
Ayat ini merinci lima jenis bangkai yang spesifik, yang mana hewan-hewan ini mati akibat perbuatan manusia atau kecelakaan, tetapi bukan karena penyembelihan yang benar. Penyebutan rinci ini bertujuan untuk membatalkan praktik jahiliyah yang menganggap hewan-hewan ini halal jika sempat mati sebelum disembelih secara benar.
Semua kategori di atas haram, kecuali yang sempat kamu sembelih (إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ). Pengecualian ini sangat penting dalam fiqh. Jika salah satu hewan di atas ditemukan masih hidup (memiliki tanda-tanda kehidupan yang stabil, seperti gerakan kuat atau darah yang mengalir deras) sebelum mati sepenuhnya, dan sempat disembelih sesuai syariat (dengan menyebut nama Allah, memotong urat leher, dan tenggorokan), maka ia menjadi halal.
Nushub adalah batu-batu yang didirikan di sekitar Ka'bah pada masa Jahiliyah, tempat orang-orang menyembelih korban sebagai bentuk persembahan kepada berhala mereka. Larangan ini kembali menekankan larangan *syirik* (mempersekutukan Allah) dalam ibadah kurban. Jika Ma Uhilla Li Ghairillah adalah larangan mengucapkan nama selain Allah saat menyembelih, maka Ma Dzubiha 'Alannushub adalah larangan melakukan penyembelihan di lokasi atau atas nama objek yang disembah selain Allah.
Larangan ini berpindah dari kategori makanan ke kategori muamalah yang haram. Al-Azlam adalah anak panah yang digunakan pada masa Jahiliyah untuk meramal nasib atau menentukan keputusan (misalnya, apakah harus bepergian, menikah, atau membagi daging). Larangan ini adalah pelarangan keras terhadap praktik perdukunan dan segala bentuk penentuan nasib yang tidak berdasarkan pada akal sehat, syariat, dan tawakal kepada Allah. Ayat menutup larangan-larangan ini dengan pernyataan: ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ (demikian itu adalah kefasikan), menunjukkan bahwa melanggar hukum-hukum ini adalah tindakan keluar dari ketaatan kepada Allah.
Penyempurnaan agama dalam Al-Maidah 3 memiliki konsekuensi besar bagi metodologi hukum (Ushul Fiqh) dan teologi (Aqidah).
Ayat "Akmaltu Lakum Dinakum" menjadi dalil utama (hujjah) bagi ulama bahwa semua dasar hukum agama telah selesai. Ini berarti:
Prinsip ini sangat penting dalam menanggapi inovasi dalam ibadah (*bid'ah*). Jika ibadah ritual telah sempurna, maka menambahkan ritual baru yang tidak pernah dicontohkan Nabi SAW dianggap sebagai penambahan terhadap agama yang sudah sempurna, dan oleh karenanya tertolak.
Meskipun agama telah sempurna, kehidupan manusia terus berkembang. Para fuqaha (ahli hukum Islam) menjelaskan bahwa kesempurnaan agama tidak berarti bahwa setiap detail hukum telah disebutkan secara eksplisit. Sebaliknya, kesempurnaan terletak pada penyediaan kaidah dan metodologi (seperti *Qiyas* - analogi, *Istihsan* - pertimbangan kebaikan, dan *Istishab* - keberlakuan hukum asal) yang memungkinkan umat Islam untuk mengambil keputusan hukum (berijtihad) terhadap kasus-kasus kontemporer baru, selalu dalam kerangka dan prinsip Syariat yang telah ditetapkan.
Ayat ini juga memperkuat kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum. Penyempurnaan agama mencakup Al-Qur'an dan penjelasannya yang dilakukan oleh Nabi SAW melalui Sunnah. Mustahil memahami atau mengamalkan Al-Maidah 3 hanya dari teks Qur'an saja. Contohnya, pengecualian bangkai ikan dan belalang, atau rincian tata cara penyembelihan, semuanya datang dari Sunnah. Dengan demikian, penyempurnaan agama mencakup kesempurnaan wahyu yang *matlu* (dibaca, yaitu Al-Qur'an) dan wahyu yang *ghairu matlu* (tidak dibaca, yaitu Sunnah).
Ayat Al-Maidah 3 ditutup dengan klausul yang menunjukkan kemudahan dan rahmat Allah SWT dalam penetapan hukum, yaitu ketentuan darurat:
Artinya: "Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa bermaksud berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Kondisi darurat (*Dharurah*) adalah keadaan di mana seseorang berada dalam ancaman kematian akibat kelaparan, dan tidak ada makanan halal yang tersedia. Dalam kondisi ini, Syariat Islam memberikan keringanan (*rukhshah*) untuk mengonsumsi makanan yang asalnya diharamkan (seperti bangkai atau daging babi) sebatas untuk mempertahankan nyawa.
Ayat ini menetapkan dua syarat penting agar keringanan darurat ini berlaku:
Implikasi dari klausul penutup ini adalah bahwa Islam adalah agama yang realistis, yang menyeimbangkan antara idealisme hukum (ketegasan haram) dan kebutuhan primer manusia (melindungi jiwa). Ini adalah manifestasi dari nama Allah الغَفُورُ الرَّحِيمُ (Al-Ghafur Ar-Rahim), yang menunjukkan pengampunan-Nya bagi mereka yang melanggar larangan karena keterpaksaan, bukan karena kesengajaan atau nafsu.
Bagian ayat tentang penyempurnaan agama adalah yang paling banyak memicu diskusi teologis. Bagaimana para mufassir besar memahaminya?
Ath-Thabari memfokuskan tafsirnya pada makna penyempurnaan hukum. Ia berpendapat bahwa yang dimaksud dengan *Dinakum* (Agama kalian) adalah Syariat, hukum, dan batasan-batasan (hudud) yang diperlukan manusia dalam ibadah dan muamalah. Penurunan ayat ini menegaskan bahwa tidak ada lagi yang perlu ditambahkan dalam kewajiban dan larangan. Beliau mengaitkan penyempurnaan ini dengan hilangnya rasa takut terhadap musuh, karena saat ayat ini turun, kaum Musyrikin telah sepenuhnya dipinggirkan dari prosesi haji, menandakan kesempurnaan kekuasaan Islam.
Al-Qurthubi, seorang mufassir dari mazhab Maliki, mengemukakan perdebatan seputar apakah "Penyempurnaan Agama" berarti selesainya semua wahyu Al-Qur'an. Ia mengutip pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini hanya mengakhiri hukum terkait halal-haram, sementara ayat lain (terutama mengenai utang dan *kalalah*) turun setelahnya. Namun, beliau kembali kepada pendapat mayoritas yang menyatakan bahwa ayat ini adalah penanda *klimaks* dan *inti* dari Syariat. Ia juga menekankan bahwa kesempurnaan ini adalah dalil keras melawan bid'ah, karena segala penambahan pada ibadah ritual dianggap merusak kesempurnaan yang telah Allah nyatakan.
Dalam *Fi Zhilalil Qur'an*, Sayyid Qutb melihat ayat ini dari perspektif gerakan dan ideologi. Ia menafsirkan "Penyempurnaan Agama" sebagai penetapan Islam sebagai sistem hidup yang utuh, yang mampu berfungsi sebagai dasar negara dan masyarakat. Baginya, keputusasaan orang kafir adalah karena mereka sadar bahwa Islam adalah sistem yang komprehensif, tidak hanya sekadar ritual. Kesempurnaan ini menuntut umat Islam untuk menerapkan sistem ini secara totalitas, tanpa mencampuradukkannya dengan ideologi buatan manusia.
Meskipun diturunkan 14 abad yang lalu, ayat ini tetap memiliki relevansi yang sangat kuat dalam isu-isu kontemporer umat Islam.
Ayat tentang kesempurnaan agama menuntut pendekatan yang seimbang. Bagi kelompok ekstremis yang sering menafsirkan syariat secara harfiah tanpa mempertimbangkan maqashid syariah (tujuan syariat), ayat ini mengingatkan bahwa Syariat telah sempurna dan membawa kemudahan (rukhshah), termasuk dalam kondisi darurat. Sementara bagi kelompok yang terlalu liberal, ayat ini berfungsi sebagai peringatan bahwa pondasi agama tidak dapat diubah atau dimodifikasi berdasarkan tren modern; hukum-hukum Allah mengenai halal dan haram adalah final dan absolut.
Prinsip *ghaira mutajaanifin li itsmin* (tanpa bermaksud berbuat dosa) dalam konteks darurat mengajarkan etika kepatuhan; bahkan dalam krisis, niat seseorang harus tetap bersih, yaitu hanya untuk memenuhi kebutuhan primer, bukan mengambil keuntungan dari situasi atau meremehkan hukum haram.
Rincian mendalam mengenai *Maytah, Dam*, dan metode penyembelihan menjadi fondasi bagi industri halal modern. Ayat ini menjadi dasar hukum dalam menentukan kriteria penyembelihan yang benar (*Dzakka*). Perdebatan kontemporer mengenai penyembelihan mekanis, *stunning* (pemingsanan), dan penggunaan bahan aditif yang berasal dari babi atau bangkai (misalnya gelatin, enzim, atau emulsifier) semuanya merujuk kembali kepada ketentuan ketat dalam Al-Maidah 3.
Misalnya, penentuan apakah *stunning* sebelum penyembelihan membuat hewan menjadi *Mauqudhah* (dipukul/mati karena pukulan) atau apakah ia tetap hidup untuk disembelih, merupakan masalah fiqh kontemporer yang berakar pada pengecualian إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ (kecuali yang sempat kamu sembelih).
Penutup ayat, ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ (demikian itu adalah kefasikan), terhadap praktik mengundi nasib dengan anak panah (Al-Azlam), memiliki padanan kontemporer. Praktik-praktik modern seperti perjudian, ramalan bintang, dan segala bentuk takhayul yang mencoba meramalkan masa depan atau menentukan keputusan penting tanpa merujuk pada prinsip syariat dan tawakal, dapat dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran tauhid. Ayat ini secara universal menolak segala upaya manusia untuk mencari petunjuk selain dari sumber ilahi yang telah ditetapkan secara sempurna.
Kesempurnaan agama menjamin bahwa Allah telah memberikan segala yang diperlukan untuk kehidupan yang sukses. Oleh karena itu, mencari panduan dari sumber-sumber yang tidak sah adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap kesempurnaan tersebut, yang digolongkan sebagai kefasikan.
Surah Al-Maidah ayat 3 adalah permata Al-Qur'an yang memancarkan cahaya keagungan Islam. Ini adalah deklarasi resmi bahwa Allah telah menuntaskan kurikulum spiritual dan hukum bagi seluruh umat manusia. Dari aspek teologis, ia menguatkan posisi Islam sebagai agama pamungkas dan satu-satunya yang diridhai. Dari aspek hukum, ia memberikan rincian yang sangat diperlukan untuk menjaga kebersihan fisik dan spiritual melalui ketentuan makanan dan larangan praktik-praktik Jahiliyah.
Penyempurnaan yang diproklamasikan pada Hari Arafah itu bukanlah akhir dari pekerjaan, melainkan penyerahan tongkat estafet kepada umat. Tugas umat Islam setelah menerima "kurikulum yang sempurna" ini adalah mempraktikkannya, menjaganya dari penambahan (*bid'ah*) dan pengurangan (*tark*), serta mengimplementasikannya dalam setiap aspek kehidupan. Dengan mematuhi hukum yang telah disempurnakan, dan hanya takut kepada Allah SWT, umat akan mencapai kesejahteraan abadi yang dijanjikan dalam ayat ini.
Ayat ini adalah fondasi kebanggaan dan keyakinan bagi setiap Muslim, menegaskan bahwa mereka memegang warisan ilahi yang paling lengkap dan paling lurus, sebuah karunia yang tidak tertandingi: الإِسْلاَمَ دِينًا (Islam sebagai agama).
Kesempurnaan ini menuntut ketaatan total. Setiap detail, mulai dari etika terkecil hingga larangan makanan, adalah bagian integral dari sistem yang tidak dapat dipisahkan. Keagungan ajaran ini tidak hanya terletak pada keutuhan prinsipnya, tetapi juga pada fleksibilitasnya dalam menghadapi kondisi darurat, menegaskan bahwa Islam adalah agama rahmat yang tidak pernah bertujuan untuk menyulitkan penganutnya.
Dengan demikian, QS. Al-Maidah ayat 3 berdiri sebagai monumen keimanan, sebuah pengingat abadi akan janji Allah dan tanggung jawab besar yang diemban oleh umat Muhammad SAW untuk memelihara dan menyampaikan ajaran yang telah sempurna ini kepada seluruh alam.
—
Memahami hikmah atau tujuan di balik setiap larangan yang disebutkan dalam Al-Maidah ayat 3 menambah dimensi spiritual dalam ketaatan. Larangan-larangan ini bukan sekadar tes kepatuhan, melainkan jaminan perlindungan bagi individu dan masyarakat.
Secara medis, bangkai adalah sumber bakteri dan toksin yang sangat berbahaya. Ketika hewan mati secara alami, darah kotor dan produk sisa metabolisme yang seharusnya dikeluarkan melalui penyembelihan tetap berada di dalam tubuh. Penyembelihan syar’i (Dzakka) memastikan darah mengalir keluar seoptimal mungkin, membuat daging lebih bersih dan aman untuk dikonsumsi. Darah, sebagai media pengangkut nutrisi dan sisa metabolisme, juga mengandung patogen tinggi jika dikonsumsi dalam keadaan mentah atau mengalir. Larangan ini adalah manifestasi perlindungan Allah terhadap kesehatan fisik hamba-Nya.
Selain alasan kesehatan (misalnya, risiko cacing pita dan trikinosis, meskipun teknologi pengolahan modern mengurangi risiko ini), larangan babi memiliki dimensi spiritual yang kuat. Dalam banyak tradisi tafsir, babi dianggap sebagai simbol ketidakbersihan dan rakus. Kepatuhan terhadap larangan ini adalah ujian spiritual yang memisahkan Muslim dari praktik makanan masyarakat lain. Ini adalah bentuk *tanzih* (pembersihan) spiritual bagi mukmin.
Larangan terkuat dalam ayat ini adalah yang terkait dengan syirik—menyembelih atas nama berhala atau di tempat berhala. Ini menegaskan bahwa sumber kehidupan dan kematian, termasuk makanan, harus dikaitkan hanya dengan Allah. Jika niat penyembelihan tidak ditujukan kepada Allah, maka ia menjadi ritual kekafiran, dan hasil penyembelihannya haram, bahkan jika disembelih oleh seorang Muslim. Hal ini menjaga batas tegas antara tauhid murni dan segala bentuk politeisme.
Larangan terhadap *Munkhaniqah*, *Mauqudhah*, *Mutaraddiyah*, dan lainnya mengajarkan bahwa hewan harus disembelih dalam kondisi hidup dan sehat. Jika hewan menderita sebelum mati (tercekik, jatuh, dipukul), kematiannya dianggap buruk dan dagingnya tidak murni. Syariat menuntut bahwa tindakan terakhir yang dilakukan terhadap hewan adalah tindakan penyembelihan yang cepat dan manusiawi, untuk memastikan kualitas daging terbaik dan mengurangi penderitaan hewan.
Ini mencerminkan prinsip Islam mengenai ihsan (berbuat baik) bahkan kepada hewan. Dengan kata lain, Islam menolak praktik mengonsumsi daging hewan yang mati karena kekejaman, kecelakaan, atau kondisi yang tidak layak.
Kesempurnaan agama yang diproklamasikan dalam Al-Maidah 3 memiliki dampak sosiologis yang mengubah lanskap Jazirah Arab secara permanen.
Ayat ini diturunkan pada saat komunitas Muslim telah bertransisi penuh menjadi negara yang berdaulat (*Madinah*). Penyempurnaan agama menandai penyelesaian kodifikasi hukum yang diperlukan untuk mengatur sebuah negara, termasuk hukum pidana (*hudud*), hukum perdata (*muamalah*), dan sistem ekonomi (*zakat, riba*). Ini berarti Islam tidak hanya mengatur hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal antar manusia dalam konteks tata negara.
Dengan adanya rincian haram yang sangat spesifik (termasuk *Al-Azlam* dan *Nushub*), ayat ini secara efektif menghapus sisa-sisa praktik Jahiliyah yang masih mungkin dilakukan oleh kaum Muslimin yang baru masuk Islam. Larangan mengundi nasib dengan anak panah (Al-Azlam) misalnya, adalah larangan terhadap praktik yang menciptakan ketidakpastian dan ketidakadilan dalam pembagian, menggantinya dengan sistem hukum waris dan pembagian yang adil dan transparan.
Kesempurnaan hukum ini memberikan rasa aman dan keadilan yang belum pernah ada sebelumnya. Para musuh putus asa karena mereka melihat bahwa umat Islam tidak hanya memiliki kekuatan militer, tetapi juga sistem etika dan hukum yang superior dan mandiri, yang tidak bisa lagi dipengaruhi oleh adat istiadat paganisme.
Meskipun Al-Maidah 3 sering disebut sebagai "ayat terakhir" yang mengatur hukum, perlu diklarifikasi bahwa istilah ini memiliki nuansa. Beberapa ulama berpendapat bahwa secara kronologis, mungkin ada ayat-ayat lain yang turun lebih dekat dengan wafatnya Nabi SAW, seperti QS. Al-Baqarah 281 (tentang Hari Kiamat) atau QS. An-Nisa 176 (tentang *Kalalah* / warisan tanpa ahli waris langsung).
Namun, konsensus ulama tafsir menyatakan bahwa Al-Maidah 3 adalah ayat terakhir yang berbicara mengenai *penyempurnaan syariat dan penetapan hukum halal-haram secara umum*. Artinya, inilah proklamasi final mengenai status doktrin Islam. Ayat-ayat yang mungkin turun setelahnya adalah ayat yang bersifat peringatan, teguran, atau penjelasan rinci terhadap kasus tertentu, bukan penetapan pondasi hukum baru. Dengan demikian, Al-Maidah 3 tetap memegang gelar sebagai *Ayatul Kamal* (Ayat Kesempurnaan) yang menandai penutupan babak legislasi ilahi.
Penyempurnaan Islam, sebagaimana dijelaskan dalam ayat ini, adalah keadilan sejati yang harus diperjuangkan oleh umat Islam di setiap masa dan tempat. Ketegasan dalam ketentuan haram, dipadukan dengan rahmat dalam kondisi darurat, membentuk karakteristik unik Syariat Islam: teguh pada prinsip, lentur pada aplikasi, dan selalu bertujuan pada kemaslahatan manusia.
Melalui pengkajian mendalam terhadap setiap kata dalam Al-Maidah ayat 3, tampak jelas bahwa warisan yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah sebuah mahakarya ilahi yang utuh, yang tidak memerlukan revisi. Ia adalah petunjuk yang sempurna bagi manusia yang ingin meraih keridhaan Allah di dunia dan akhirat.