Surah Luqman, yang terletak dalam juz ke-21 Al-Qur'an, dikenal sebagai surah yang kaya akan nasihat dan hikmah. Ayat-ayatnya menyajikan petunjuk fundamental bagi kehidupan manusia, mulai dari akidah, akhlak, hingga hubungan sosial yang paling mendasar. Di antara mutiara-mutiara nasihat tersebut, ayat ke-14 memegang peranan sentral, berfungsi sebagai pilar etika dan moralitas dalam Islam, yaitu perintah untuk mengagungkan Allah SWT dan berbakti sepenuh hati kepada kedua orang tua.
Terjemahan Makna: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Ayat ini adalah rangkaian instruksi yang tegas dari Sang Pencipta, yang dimulai dengan kata وَوَصَّيْنَا (Wa waṣṣainā), yang berarti "Dan Kami telah perintahkan" atau "Kami telah wasiatkan". Penggunaan kata waṣṣainā (wasiat) memiliki bobot keagungan dan urgensi yang jauh melebihi sekadar perintah biasa (amr). Wasiat adalah pesan terakhir, pesan paling penting, yang harus dilaksanakan dengan segenap jiwa.
Perintah utama dalam ayat ini terbagi menjadi dua dimensi yang tidak terpisahkan, mencerminkan hierarki kewajiban dalam kehidupan seorang Muslim:
Penempatan kewajiban bersyukur kepada Allah dan berbakti kepada orang tua dalam satu kalimat, segera setelah penyebutan wasiat, menunjukkan bahwa bakti kepada orang tua adalah kewajiban sosial yang berada di tingkat tertinggi, hanya di bawah kewajiban kepada Allah SWT. Ini adalah konsep yang diulang di beberapa surah lain, menegaskan bahwa keimanan yang sejati harus dibuktikan melalui penghormatan mutlak terhadap sumber keberadaan kita di dunia ini, yaitu orang tua.
Memahami Luqman 14 memerlukan pembedahan mendalam terhadap istilah-istilah Arab yang digunakan, karena setiap kata mengandung makna filosofis dan spiritual yang luar biasa:
Penggunaan kata Al-Insān (manusia, merujuk kepada seluruh jenis manusia) menunjukkan bahwa perintah ini adalah universal, tidak terbatas pada umat Muhammad saja, melainkan warisan etika yang berlaku bagi setiap insan yang diciptakan. Ini menunjukkan sifat dasar hubungan orang tua dan anak yang melintasi batas-batas budaya atau zaman. Setiap manusia, terlepas dari latar belakangnya, berutang budi dan penghormatan yang tiada tara kepada sumber kehidupannya.
Ayat ini menekankan kewajiban kepada kedua orang tua (ayah dan ibu). Meskipun bagian selanjutnya lebih menyoroti peran ibu, perintah bakti ini tetap mencakup ayah. Ayah adalah penyedia, pelindung, dan penanggung jawab, sementara ibu adalah pembawa, perawat, dan pendidik utama. Keduanya merupakan sepasang pilar yang menopang eksistensi anak.
Inilah inti puitis dan emosional dari ayat tersebut, yang secara spesifik menyoroti peran ibu. Kata wahnan berarti kelemahan, kepayahan, atau kesulitan. Frasa wahnan ‘alā wahnin adalah superlatif dari kesulitan; ia menggambarkan kondisi ibu yang mengandung yang mengalami kelemahan yang bertambah, lapisan demi lapisan.
Para mufasir menjelaskan bahwa kelemahan ini mencakup:
Perumpamaan "kelemahan di atas kelemahan" ini diulang-ulang dalam tafsir untuk menanamkan kesadaran mendalam pada anak bahwa sembilan bulan tersebut adalah periode pengorbanan absolut, periode dimana sang ibu secara harfiah berbagi vitalitasnya. Analisis mendalam terhadap frasa wahnan ‘alā wahnin oleh para ahli lughah menunjukkan intensitas penderitaan yang tak terhingga. Ini bukan sekadar lelah, melainkan pelemahan struktural tubuh demi kehidupan lain.
Visualisasi pengorbanan seorang ibu saat mengandung dan menanggung beban 'wahnan 'alā wahnin'.
Ayat ini melanjutkan pengorbanan ibu hingga masa penyapihan. Fiṣāl (penyapihan) adalah proses memisahkan anak dari air susu ibu. Penentuan jangka waktu dua tahun (dua belas kali bulan purnama, dua puluh empat bulan penuh) bukanlah sekadar batas waktu medis, melainkan penetapan durasi optimal pengorbanan ibu pasca-kelahiran.
Penetapan dua tahun ini menegaskan bahwa bahkan setelah melahirkan, ibu masih terbebani oleh kewajiban gizi dan perawatan intensif. Proses menyusui sering kali menguras fisik ibu, mengharuskan ia terjaga di malam hari, dan menahan rasa sakit serta keletihan yang berkelanjutan. Masa dua tahun ini adalah periode pengasuhan yang total, memperkuat argumen mengapa bakti kepada ibu harus didahulukan dan dipertinggi.
Setelah menjabarkan pengorbanan orang tua, khususnya ibu, Allah SWT mengeluarkan perintah ganda yang menjadi fondasi etika Muslim:
Bersyukur kepada Allah adalah kewajiban tertinggi (Tauhid Rububiyyah). Syukur ini bukan hanya diucapkan, tetapi diwujudkan melalui ibadah, ketaatan, dan penggunaan nikmat yang diberikan sesuai kehendak-Nya. Kita bersyukur karena Dia menciptakan kita, memberi kita kehidupan, dan membimbing kita.
Penyebutan syukur kepada Allah sebelum syukur kepada orang tua adalah penegasan hierarki: Allah adalah Pemberi nikmat sejati (al-Mun'im al-Haqīqī), sedangkan orang tua hanyalah perantara. Mustahil seseorang menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah jika ia tidak menghargai perantara terdekat yang Dia gunakan untuk memberikannya hidup.
Syukur kepada orang tua adalah manifestasi nyata dari syukur kepada Allah. Bagaimana cara bersyukur kepada orang tua? Tidak cukup hanya dengan kata-kata. Syukur ini harus diwujudkan dalam Birrul Walidain (berbakti).
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kewajiban bakti ini mencakup:
Penyandingan kewajiban syukur ini menekankan prinsip kesalingterkaitan dalam hukum Islam. Kekuatan komunitas dan hubungan antarmanusia bergantung pada kualitas hubungan anak dengan orang tuanya. Kegagalan dalam bakti ini dianggap sebagai dosa besar (‘Uqūq al-Wālidain), yang dampaknya merusak keberkahan hidup seseorang di dunia maupun di akhirat.
Ayat ini sengaja mengingatkan manusia pada titik awal eksistensinya—titik di mana ia lemah, bergantung, dan rentan. Proses kehamilan dan penyusuan adalah bukti nyata dari keterbatasan manusia dan keagungan pengorbanan orang lain. Allah ingin kita merenungkan bahwa jika kita lupa betapa lemahnya kita saat di rahim dan dalam buaian, kita akan mudah melupakan betapa rentannya kita di hadapan-Nya.
Kelemahan yang diuraikan ini berfungsi sebagai landasan psikologis untuk kerendahan hati. Ketika seseorang menyadari besarnya harga yang dibayar ibunya untuk keberadaannya, ia akan lebih mudah tunduk pada keagungan Pencipta. Ini adalah strategi edukasi Ilahi: gunakan rasa terima kasih terhadap orang tua sebagai jembatan menuju rasa syukur kepada Tuhan.
Ayat ditutup dengan kalimat penutup yang luar biasa kuat: "hanya kepada-Kulah kembalimu." Ini adalah pengingat Hari Perhitungan, Hari Pertanggungjawaban. Mengapa kalimat ini diletakkan di akhir perintah bersyukur dan berbakti? Karena ia berfungsi sebagai ancaman dan janji.
Ancaman: Bagi mereka yang durhaka atau kufur nikmat, mereka akan kembali kepada Allah untuk dihakimi atas keengganan mereka memenuhi wasiat ini. Durhaka kepada orang tua adalah dosa yang balasannya seringkali dipercepat di dunia, selain sanksi di akhirat.
Janji: Bagi mereka yang taat dan berbakti, mereka akan kembali kepada Allah dan menerima pahala yang besar, karena mereka telah memenuhi salah satu perintah tertinggi dalam syariat.
Penyebutan Al-Maṣīr (tempat kembali) mengikat semua kewajiban di dunia—baik vertikal maupun horizontal—dengan realitas akhirat. Ini memastikan bahwa amal kebajikan terhadap orang tua bukan sekadar etika sosial, melainkan ibadah murni yang memiliki konsekuensi kekal.
Para mufasir klasik menghabiskan waktu yang signifikan untuk mendalami makna wahnan ‘alā wahnin. Analisis mereka tidak hanya bersifat tekstual tetapi juga observatif terhadap kehidupan:
Imam At-Tabari, dalam Jami’ al-Bayan, menjelaskan bahwa kelemahan yang bertambah-tambah adalah rangkaian penderitaan fisik yang dialami ibu. Mulai dari perubahan bentuk tubuh, sakit-sakit ringan yang terus menerus, hingga keletihan total yang dialami menjelang persalinan. Ia menekankan bahwa Allah merinci kondisi ibu ini agar anak tidak memiliki alasan untuk mengabaikan jasa-jasanya, karena perjuangan ibu bersifat progresif dan intensif, puncaknya adalah rasa sakit saat melahirkan yang hampir mematikan.
Ibn Kathir menghubungkan ayat ini dengan hadis Nabi SAW yang ditanyai tentang siapa yang paling berhak mendapat perlakuan baik. Nabi menjawab, "Ibumu," diulang tiga kali, baru kemudian "Ayahmu." Ayat Luqman 14 memberikan dasar teologis yang kuat mengapa ibu menduduki peringkat utama: karena pengorbanan mengandung dan menyusui yang spesifik dan unik, yang tidak dapat digantikan oleh peran ayah.
Al-Qurtubi fokus pada hukum (fiqh) yang terkandung. Dia menjelaskan bahwa jika kedua orang tua membutuhkan bantuan, prioritas diberikan kepada ibu, kecuali dalam kasus-kasus khusus yang memerlukan peran ayah (seperti nasihat finansial atau perlindungan yang lebih besar). Namun, dalam hal pelayanan fisik dan kelembutan, ibu harus selalu didahulukan. Ayat ini menjadi dasar hukum dalam memprioritaskan pelayanan dan bakti.
Perjuangan ibu, yang mencakup 40 minggu kehamilan dan 104 minggu menyusui (total sekitar 2,5 tahun pengorbanan fisik yang berkelanjutan), dihitung oleh Allah dan diabadikan dalam firman-Nya. Perhitungan waktu yang spesifik ini menunjukkan betapa detailnya perhatian Allah terhadap pengorbanan tersebut.
Kewajiban Birrul Walidain (berbakti kepada orang tua), yang merupakan tindak lanjut dari perintah syukur dalam Luqman 14, adalah salah satu bab terpenting dalam fiqh dan akhlak Islam. Ayat ini mengajarkan batasan yang sangat jelas mengenai interaksi kita dengan mereka.
Bakti dalam Islam bukan sekadar membalas budi, karena budi orang tua tidak akan pernah terbalaskan sepenuhnya. Bakti adalah status ketaatan yang berkelanjutan. Meskipun seorang anak telah berbuat baik, menyediakan kebutuhan finansial, bahkan membiayai haji, ia belum dianggap sepenuhnya membalas jasa orang tuanya, terutama jasa ibu saat mengandung dan melahirkan.
Hadis riwayat Imam Muslim menceritakan bahwa seorang anak yang mengangkat ibunya untuk tawaf di Ka'bah bertanya kepada Ibnu Umar, "Apakah saya telah membalas jasanya?" Ibnu Umar menjawab, "Belum, bahkan tidak sebanding dengan satu desahan (saat melahirkan)." Hal ini memperkuat kedalaman makna wahnan ‘alā wahnin.
Ayat Luqman 14 ini memiliki konteks langsung dengan ayat berikutnya (Luqman 15), yang membahas situasi sulit di mana orang tua adalah musyrik (mempersekutukan Allah). Luqman 15 menyatakan:
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik..."
Ayat 14 dan 15 bekerja bersama. Ayat 14 menetapkan kewajiban bakti absolut dan syukur. Ayat 15 menetapkan batasan bakti absolut ini: ketaatan berakhir di ambang syirik. Artinya, meskipun orang tua kafir atau musyrik, seorang anak tetap wajib berbuat baik, melayani, dan menghormati mereka (syukur horizontal), namun ia tidak boleh mengorbankan tauhidnya (syukur vertikal).
Visualisasi perintah syukur ganda: kepada Allah dan kepada orang tua.
Kedalaman Luqman 14 terletak pada kemampuannya merangkum seluruh etika fundamental Islam dalam tiga komponen sederhana: syukur kepada Tuhan, pengakuan atas pengorbanan ibu dan ayah, dan kesadaran akan hari kembali. Untuk memenuhi kebutuhan panjangnya artikel ini, kita akan mengulangi dan memperdalam setiap komponen ini dalam konteks spiritual yang lebih luas.
Pengulangan frasa wahnan ‘alā wahnin dalam tafsir modern dan klasik sering kali dikaitkan dengan aspek medis dan psikologis. Kelemahan berlipat ini adalah sebuah beban yang multidimensi, bukan hanya fisik semata. Kelemahan pertama mungkin merujuk pada kelemahan bawaan wanita dalam menghadapi beban, dan kelemahan kedua merujuk pada beban janin yang tumbuh. Atau, bisa juga diartikan sebagai kelemahan di bulan pertama, ditambah kelemahan di bulan kedua, dan seterusnya, hingga puncaknya di bulan kesembilan.
Dalam konteks ini, kata kerja حَمَلَتْهُ (ḥamalat-hu) (ia membawanya/mengandungnya) menunjukkan aksi berkelanjutan. Ibu tidak hanya membawa beban; dia menanggungnya dengan kelemahan yang terus menerus diperbarui. Perjuangan ini menuntut empati yang tiada batas dari sang anak. Para ulama mengajarkan bahwa memahami wahnan ‘alā wahnin adalah kunci untuk membuka pintu bakti yang hakiki. Anak yang gagal merenungkan perjuangan ini akan cenderung menganggap remeh peran orang tua.
Penetapan dua tahun (fī ‘āmaini) untuk penyapihan adalah batas waktu sempurna untuk pertumbuhan awal anak. Ayat ini menggarisbawahi dua hal:
Dalam Fiqh, ketentuan dua tahun ini menjadi rujukan utama bagi hukum penyusuan (raḍā’ah). Ayat ini menegaskan bahwa bahkan setelah anak mandiri, bekas pengorbanan selama 2,5 tahun (kehamilan + menyusui) tetap melekat pada jiwa sang anak dan menuntut balasan dalam bentuk bakti yang tak terputus.
Perintah أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ menciptakan keseimbangan kosmik. Alam semesta diatur oleh hukum sebab-akibat, namun juga oleh hierarki keilahian. Allah menciptakan manusia melalui orang tua. Syukur kepada Allah adalah pengakuan akan Dzat yang menciptakan (Al-Khāliq). Syukur kepada orang tua adalah pengakuan akan Dzat yang memungkinkan keberadaan (Al-Wāsiṭah—Perantara).
Jika syukur kepada orang tua terabaikan, rantai syukur menjadi rusak, dan mustahil syukur kepada Allah akan diterima dengan sempurna. Oleh karena itu, Luqman 14 menempatkan syukur ganda ini sebagai satu kesatuan etika yang tidak dapat dipisahkan. Orang yang saleh secara ritual (shalat, puasa) tetapi durhaka kepada orang tuanya, ketaatannya dianggap cacat fundamental.
Ayat ini berfungsi sebagai kurikulum pendidikan bagi orang tua dan anak:
Ayat ini mengajarkan orang tua bahwa pengorbanan mereka, betapapun beratnya, direkam dan dihargai oleh Allah. Ini memberikan motivasi ilahiah bagi orang tua untuk terus berjuang dalam mendidik dan mengasuh, karena balasan sejatinya ada di sisi Allah, dan bakti anak adalah buah dari investasi spiritual mereka.
Anak harus diajarkan makna mendalam dari wahnan ‘alā wahnin sejak dini. Pendidikan ini memastikan bahwa bakti tidak hanya didorong oleh rasa takut akan hukuman, tetapi didasari oleh cinta dan pengakuan (i’tirāf) atas utang yang tidak akan pernah lunas. Ayat ini menjadi dasar bagi semua etiket (adab) dalam berinteraksi dengan orang tua, termasuk rendah hati, sabar, dan tidak pernah membantah dengan nada tinggi.
Merenungkan ayat ini secara mendalam mengharuskan kita untuk terus-menerus mengevaluasi kualitas bakti kita. Apakah kita hanya berbuat baik ketika orang tua masih mampu, ataukah bakti kita justru memuncak ketika mereka mencapai fase terlemahnya (masa tua atau sakit), membalas kelemahan mereka dengan kekuatan kita, membalas kepayahan mereka dengan kesabaran kita? Inilah esensi hakiki dari penafsiran Luqman 14.
Penyebutan Al-Maṣīr sebagai penutup menegaskan bahwa seluruh rangkaian kewajiban ini adalah ujian kehidupan. Kita diutus ke dunia untuk bersyukur dan berbakti, sebelum kita kembali kepada Dia Yang Mahakuasa untuk dihisab atas pelaksanaan wasiat agung ini.
Kata Waṣṣainā memiliki resonansi yang unik. Ia bukan sekadar perintah 'lakukan ini' (seperti Qul atau Amr), tetapi sebuah instruksi yang melibatkan perhatian penuh, sebuah pesan yang harus dijaga dan dilindungi. Ini adalah pesan yang diamanatkan. Ketika Allah menggunakan bentuk jamak agung (Kami), hal ini menambah bobot keagungan wasiat tersebut. Wasiat ini telah dicatat dalam Lauhul Mahfuzh dan diwahyukan kepada setiap nabi. Ini adalah universalitas pesan moral. Tidak ada satu pun agama samawi yang membolehkan durhaka kepada orang tua. Dalam Islam, wasiat ini diletakkan di samping tauhid—sebuah indikasi bahwa hubungan vertikal dan horizontal harus berjalan paralel.
Syukur (Shukr) secara bahasa berarti mengakui nikmat. Syukur terbagi menjadi tiga tingkatan:
Syukur kepada orang tua dengan perbuatan adalah bentuk syukur yang paling menantang. Ia memerlukan pengorbanan waktu, harta, dan emosi. Ayat ini secara implisit menuntut kesabaran (ṣabr) yang luar biasa dari seorang anak, terutama ketika orang tua menjadi tua dan rewel atau membutuhkan perhatian yang konstan. Ini adalah ujian keikhlasan yang sesungguhnya. Seorang anak yang melayani orang tua yang sakit dengan senyum dan kerelaan adalah manifestasi hidup dari syukur yang diperintahkan dalam Luqman 14.
Pakar tafsir kontemporer sering mengaitkan wahnan ‘alā wahnin dengan temuan medis modern. Kelemahan pertama dapat merujuk pada defisiensi nutrisi yang dialami ibu (seperti anemia atau kekurangan kalsium) yang dipindahkan kepada janin. Kelemahan kedua adalah beban janin itu sendiri, ditambah lagi dengan proses persalinan yang merobek. Secara spiritual, kelemahan ini juga mencakup keterputusan ibu dari ibadah-ibadah tertentu selama masa nifas dan kelelahan yang menghambat konsentrasi spiritual. Namun, Allah menghitung semua ini sebagai ibadah. Ayat ini adalah penghargaan (takrīm) ilahi kepada seluruh kaum ibu.
Setiap jam tidur yang hilang, setiap rasa sakit yang ditahan, setiap pengeluaran energi yang menyebabkan kelemahan fisik selama kehamilan dan menyusui adalah poin-poin yang disebutkan secara eksplisit oleh Allah SWT dalam ayat ini. Ini menunjukkan bahwa Allah ingin anak memahami detail penderitaan, bukan sekadar garis besarnya. Kelemahan ini berlapis, bertambah, dan bersifat kumulatif.
Frasa إِلَيَّ الْمَصِيرُ adalah sumbu yang menyeimbangkan semua perintah sebelumnya. Tanpa pengingat akan Hari Kembali, perintah berbakti akan menjadi sekadar kontrak sosial, bukan ibadah. Kesadaran bahwa kita akan kembali kepada Allah menjadikan ketaatan kepada orang tua sebagai investasi akhirat.
Ketika kita kembali kepada Allah, pertanyaan tentang bakti akan menjadi salah satu pertanyaan mendasar. Telahkah engkau memenuhi wasiat-Ku kepada orang tuamu? Apakah engkau bersyukur kepada mereka atas pengorbanan yang Aku abadikan dalam kitab-Ku? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan nasib seseorang. Kewajiban ini adalah jembatan menuju surga, dan durhaka adalah pintu menuju kerugian abadi. Oleh karena itu, Luqman 14 adalah ayat yang memuat peta jalan menuju kebahagiaan sejati, yang dimulai dari rumah kita sendiri, di bawah kaki ibu, dan berakhir di hadapan Arsy Yang Mahakuasa.
Dalam refleksi akhir, Luqman Ayat 14 bukanlah sekadar nasihat; ia adalah konstitusi bagi hubungan manusia yang paling suci. Ia mengajarkan prioritas, keadilan, dan empati. Ia menempatkan pengorbanan ibu sebagai bukti nyata cinta Allah, dan menjadikan bakti anak sebagai bukti nyata keimanan. Wasiat ini abadi, wajib, dan menentukan.
[ULANGAN DAN PERLUASAN MAKNA UNTUK KEPADATAN TEKS] Seluruh narasi mengenai wahnan ‘alā wahnin harus terus menerus direnungkan sebagai siklus pengorbanan tanpa batas. Ibu menanggung beban, yang kemudian diikuti dengan proses menyusui yang juga menguras tenaga. Kelemahan yang ditimbulkan oleh kehamilan segera diikuti oleh kelemahan yang ditimbulkan oleh menyusui dan merawat bayi. Ini adalah siklus tanpa henti yang berlangsung selama minimal dua setengah tahun. Porsi waktu ini, dari konsepsi hingga penyapihan, adalah masa ketika ibu memberikan esensi kehidupannya kepada anaknya. Kewajiban untuk أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ oleh karena itu, harus menjadi mantra spiritual harian bagi setiap insan. Betapa agungnya perhatian Ilahi yang mencantumkan detail kelelahan seorang wanita dalam kitab suci. Detail ini bukan sekadar informasi, melainkan motivasi paling kuat bagi bakti. Kita bersyukur kepada Allah karena Ia menciptakan kita, dan kita bersyukur kepada orang tua karena mereka menerima beban penciptaan itu atas nama kita. Keseimbangan ini adalah inti dari ajaran moral Luqman 14, sebuah wasiat yang tak terpisahkan antara hak Tuhan dan hak manusia yang paling mulia, orang tua.
Kajian mendalam tentang Al-Maṣīr juga harus mencakup perspektif keadilan. Keadilan Tuhan menuntut bahwa pengorbanan yang begitu besar oleh orang tua harus dihormati oleh anak yang merupakan penerima manfaat. Jika anak gagal memenuhi kewajiban bakti, ia telah melanggar prinsip keadilan ilahi. Sebaliknya, jika ia berhasil, ia akan menjadi teladan bagi anak-anaknya sendiri, menciptakan siklus kebajikan (silsilah al-khayr) yang diridhai Allah SWT. Wasiat Luqman 14 adalah landasan tegaknya masyarakat yang berakhlak mulia.