I. Gerbang Keajaiban: Menggali Makna Al-Isra
Al-Isra, atau "Perjalanan Malam," adalah salah satu mukjizat terbesar yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebuah peristiwa yang melampaui batas-batas logika dan fisika, menegaskan kedudukan beliau sebagai utusan terakhir Allah SWT. Perjalanan ini, yang termaktub dalam Surah Al-Isra' (Ayat 1), menggambarkan perpindahan fisik dan spiritual Rasulullah SAW dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Yerusalem (Baitul Maqdis) dalam rentang waktu yang sangat singkat, hanya satu malam.
Peristiwa ini terjadi pada masa yang sangat kritis dalam sejarah kenabian, yang dikenal sebagai 'Amul Huzn (Tahun Kesedihan). Pada masa itu, Nabi Muhammad SAW baru saja kehilangan dua pilar utama penyokongnya: pamannya, Abu Thalib, yang melindunginya dari ancaman fisik kaum Quraisy, dan istrinya tercinta, Khadijah binti Khuwailid, yang memberikannya dukungan emosional dan spiritual tak terbatas. Kehilangan ini, ditambah dengan penolakan keras dan penganiayaan yang semakin intensif dari penduduk Makkah, menciptakan titik terendah dalam dakwah beliau. Al-Isra dan Mi’raj hadir bukan sekadar sebagai hiburan, melainkan sebagai pengukuhan ilahi, suntikan kekuatan rohani, dan validasi universal atas risalah yang dibawanya.
Perjalanan ini secara fundamental memisahkan dua fase krusial dalam dakwah Nabi: fase penindasan di Makkah dan fase pembangunan peradaban di Madinah. Sebelum hijrah, Isra menjadi penegasan bahwa meskipun manusia menolak beliau di dunia, langit dan segenap kerajaan Allah menyambutnya. Mukjizat ini bukan hanya sebuah kisah perjalanan geografis, melainkan sebuah kurikulum spiritual yang mengajarkan tentang hakikat ketuhanan, hierarki kosmos, dan pentingnya koneksi melalui ibadah shalat.
Konteks Historis: Penderitaan dan Pengasingan
Untuk memahami kedalaman mukjizat Al-Isra, kita harus menilik kembali kondisi Makkah saat itu. Kaum Quraisy telah melancarkan boikot ekonomi dan sosial yang kejam terhadap Bani Hasyim. Makanan dan perdagangan diputus, menciptakan kelaparan dan isolasi. Setelah kematian Abu Thalib, perlindungan suku yang selama ini memagari Nabi hampir sepenuhnya hilang. Beliau menghadapi ejekan, pelemparan kotoran, dan ancaman pembunuhan. Bahkan upaya dakwah ke Thaif pun berakhir tragis, di mana beliau dilempari batu hingga terluka parah. Dalam keputusasaan manusiawinya, hanya pertolongan surgawi yang dapat memulihkan semangat juang beliau. Al-Isra adalah jawaban tuntas atas doa dan kesabaran beliau yang tak terhingga.
Surah Al-Isra’ dimulai dengan: "Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." Ayat ini dengan jelas menempatkan peristiwa ini sebagai sebuah demonstrasi kekuatan ilahi, sebuah perjalanan yang dilakukan oleh "hamba-Nya" (abd) dalam keadaan terjaga, menegaskan bahwa meskipun ia diangkat ke derajat tertinggi, Nabi Muhammad tetaplah seorang hamba yang tunduk kepada kehendak Pencipta.
II. Detail Eksplisit Perjalanan: Dari Bumi ke Cahaya
Peristiwa Al-Isra dimulai ketika Nabi Muhammad SAW sedang beristirahat, kemungkinan di rumah Ummu Hani' binti Abi Thalib, atau di dekat Ka’bah, tergantung riwayat yang digunakan. Malaikat Jibril mendatangi beliau, melakukan pembersihan hati (pembedahan dada) sekali lagi, memastikan kesucian dan kesiapan beliau untuk menerima penampakan agung.
Kendaraan Cahaya: Al-Buraq
Kendaraan yang digunakan untuk menempuh perjalanan ini adalah Al-Buraq, sebuah makhluk surgawi yang deskripsinya seringkali melampaui pemahaman manusia. Secara harfiah, Buraq berkaitan dengan kata barq (kilat). Ia digambarkan sebagai makhluk putih, ukurannya lebih besar dari keledai namun lebih kecil dari bagal, dan mampu menapakkan kakinya sejauh pandangannya mencapai. Kecepatan Buraq bukan kecepatan linier yang kita kenal di bumi, melainkan kecepatan yang dipengaruhi dimensi ilahi, memungkinkan perjalanan ribuan kilometer hanya dalam sekejap mata.
Buraq adalah metafora sempurna untuk mukjizat ini. Kecepatannya melambangkan percepatan waktu dan ruang yang hanya bisa dicapai melalui intervensi langsung dari Allah SWT. Ia juga menunjukkan bahwa Nabi dihormati dengan kendaraan yang paling mulia, sebuah isyarat penghormatan atas kesabarannya selama bertahun-tahun berdakwah tanpa henti.
Titik-Titik Pemberhentian Sepanjang Isra
Dalam perjalanan menuju Baitul Maqdis, Nabi Muhammad SAW diperintahkan oleh Jibril untuk berhenti dan melaksanakan shalat di beberapa lokasi yang memiliki signifikansi historis dan kenabian. Pemberhentian ini bukan sekadar istirahat, melainkan penegasan bahwa risalah Nabi Muhammad SAW adalah kesinambungan dari ajaran para nabi sebelumnya. Lokasi-lokasi utama tersebut meliputi:
- Thaibah (Madinah): Tempat di mana Nabi kelak akan berhijrah dan membangun peradaban Islam pertama. Shalat di sini menegaskan pentingnya Madinah sebagai pusat Islam di masa depan.
- Thur Sina (Gunung Sinai): Tempat di mana Nabi Musa AS menerima wahyu Taurat dan berbicara langsung dengan Allah. Ini mengaitkan risalah Islam dengan fondasi tauhid Bani Israil.
- Bethlehem (Bait Lahm): Tempat kelahiran Nabi Isa AS. Shalat di sini menegaskan status Isa sebagai nabi yang dihormati dalam Islam, sekaligus membantah klaim ketuhanan yang disematkan kepadanya oleh sebagian kaum.
- Madyan: Kota Nabi Syu’aib AS.
Setiap shalat di lokasi tersebut merupakan pengakuan atas kesinambungan ajaran monoteistik (Tauhid) yang dibawa oleh setiap nabi. Nabi Muhammad SAW adalah penyempurna dari seluruh rangkaian kenabian tersebut.
Masjidil Aqsa: Pertemuan Para Nabi
Puncak dari perjalanan Al-Isra adalah kedatangan Nabi Muhammad SAW di Masjidil Aqsa (Haram Mulia) di Yerusalem. Masjidil Aqsa adalah kiblat pertama umat Islam dan merupakan situs suci ketiga setelah Makkah dan Madinah. Di tempat inilah, terjadi peristiwa yang sangat monumental: Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai imam dalam shalat berjamaah yang diikuti oleh seluruh arwah para nabi dan rasul yang pernah diutus, dari Adam hingga Isa.
"Kepemimpinan shalat ini bukan hanya kehormatan, tetapi juga penobatan resmi Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin terakhir dan paling utama dalam silsilah kenabian. Beliau memegang kunci penyempurnaan risalah, sebuah isyarat simbolis bahwa semua nabi sebelum beliau mengakui otoritas dan kebenaran ajaran yang beliau bawa."
Para ulama tafsir menekankan bahwa shalat ini menandakan persatuan akidah (Tauhid) meskipun syariat yang dibawa berbeda-beda. Ini mematahkan klaim eksklusivitas agama tertentu dan menegaskan bahwa Islam adalah kelanjutan dari pesan universal yang sama sejak awal penciptaan.
III. Puncak Tertinggi: Eksplorasi Al-Mi'raj
Setelah selesai memimpin shalat di Masjidil Aqsa, dimulailah bagian kedua dari mukjizat ini, yaitu Al-Mi'raj (Kenaikan). Mi'raj adalah perjalanan vertikal dari bumi (Masjidil Aqsa) menuju lapisan-lapisan langit, melintasi batas-batas dimensi fisik, hingga mencapai Sidratul Muntaha—pohon batas akhir alam semesta yang dapat dijangkau makhluk ciptaan.
Perjalanan Melalui Tujuh Langit
Dalam perjalanan ini, Nabi Muhammad SAW ditemani oleh Jibril AS. Di setiap lapisan langit, beliau bertemu dengan para nabi terdahulu, yang mana setiap pertemuan memiliki makna dan hikmah mendalam:
- Langit Pertama: Bertemu dengan Nabi Adam AS, bapak seluruh umat manusia. Adam menyambut beliau sebagai putranya yang saleh. Pertemuan ini melambangkan akar kemanusiaan dan asal-usul kita.
- Langit Kedua: Bertemu dengan Nabi Yahya AS dan Nabi Isa AS. Keduanya adalah nabi yang memiliki hubungan erat dengan Bani Israil dan melambangkan masa transisi sebelum kedatangan Islam.
- Langit Ketiga: Bertemu dengan Nabi Yusuf AS. Yusuf dikenal karena ketampanan dan kemuliaan akhlaknya. Pertemuan ini melambangkan keindahan dan kesempurnaan moral yang dimiliki Nabi Muhammad SAW.
- Langit Keempat: Bertemu dengan Nabi Idris AS (Enoch). Beliau adalah nabi yang diangkat ke tempat yang tinggi, mencerminkan peningkatan status spiritual.
- Langit Kelima: Bertemu dengan Nabi Harun AS, saudara Nabi Musa AS, seorang pembantu utama dalam dakwah. Harun melambangkan dukungan dan kesatuan dalam misi kenabian.
- Langit Keenam: Bertemu dengan Nabi Musa AS. Pertemuan ini sangat krusial, menunjukkan perdebatan bijak dan rasa hormat yang mendalam antara Muhammad dan Musa, yang dikenal sebagai salah satu nabi Ulul Azmi yang paling gigih.
- Langit Ketujuh: Bertemu dengan Nabi Ibrahim AS, Khalilullah (Kekasih Allah), yang sedang bersandar di Baitul Ma'mur, Ka’bah di langit. Ibrahim adalah bapak para nabi dan simbol Tauhid murni, menegaskan posisi Muhammad sebagai pewaris utama tradisi Ibrahim.
Setiap lapisan langit bukan sekadar tempat, tetapi juga representasi spiritual. Langit ketujuh, khususnya, adalah tempat kedudukan Baitul Ma’mur, sebuah bangunan surgawi yang menjadi kiblat para malaikat, menunjukkan bahwa seluruh kosmos tunduk pada perintah Allah.
Sidratul Muntaha dan Batas Ilahi
Setelah melewati ketujuh lapisan langit, Nabi Muhammad SAW sampai pada Sidratul Muntaha, sebuah pohon yang menandai batas pengetahuan dan batas terakhir bagi makhluk ciptaan, termasuk Malaikat Jibril. Jibril tidak mampu melampaui batas ini, sementara Nabi Muhammad SAW diperkenankan melangkah lebih jauh, sendirian, menuju hadirat Ilahi.
Pohon batas ini diselimuti cahaya yang luar biasa (Nur). Keindahan dan keagungan tempat ini digambarkan sedemikian rupa sehingga tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata manusia. Di sinilah terjadi dialog langsung antara Nabi Muhammad SAW dan Allah SWT. Peristiwa ini dikenal sebagai Qab Qausain, 'jarak dua busur panah atau lebih dekat lagi,' melambangkan kedekatan yang tak tertandingi antara hamba yang paling dicintai dengan Tuhannya.
Inti Mukjizat: Perintah Shalat
Hadiah terbesar dan paling abadi yang dibawa Nabi Muhammad SAW dari Mi'raj adalah perintah untuk melaksanakan shalat. Awalnya, perintah shalat diwajibkan sebanyak 50 waktu dalam sehari semalam. Namun, atas saran Nabi Musa AS—yang memiliki pengalaman panjang dalam mendidik Bani Israil—Nabi Muhammad SAW kembali menghadap Allah beberapa kali untuk memohon keringanan, hingga akhirnya ditetapkan menjadi lima waktu sehari semalam.
Dialog antara Muhammad dan Musa ini mengandung hikmah yang luar biasa. Musa, mengetahui kelemahan manusiawi dan beratnya kewajiban syariat, menyarankan keringanan. Allah pun mengabulkannya. Namun, janji ilahi menegaskan bahwa pahala dari lima waktu shalat tersebut tetap dihitung setara dengan 50 kali shalat. Hal ini menekankan rahmat Allah dan menempatkan shalat sebagai tiang agama, sebuah koneksi langsung (Mi'raj) yang dapat dilakukan oleh setiap Muslim, lima kali sehari, tanpa harus melakukan perjalanan fisik ke langit.
IV. Dampak Sosial: Ujian Keimanan di Makkah
Ketika Nabi Muhammad SAW kembali ke Makkah sebelum fajar menyingsing, beliau menceritakan peristiwa yang baru dialaminya. Reaksi yang muncul terbagi menjadi dua kelompok ekstrem: penolakan total dan penerimaan yang teguh.
Sikap Kaum Quraisy: Cemoohan dan Permintaan Bukti
Kaum Quraisy, yang sudah membenci dan mencemooh ajaran Islam, menggunakan kisah Al-Isra sebagai amunisi utama untuk mendiskreditkan Nabi. Mereka menganggap kisah perjalanan ke Yerusalem dalam semalam—perjalanan yang biasanya memakan waktu karavan selama sebulan penuh—sebagai kebohongan yang absurd. Mereka menuntut bukti fisik.
Nabi Muhammad SAW, dengan pertolongan ilahi, mampu memberikan deskripsi detail mengenai Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa), meskipun beliau belum pernah melihatnya sebelumnya. Beliau menjelaskan jumlah tiangnya, tata letak bangunannya, bahkan mendeskripsikan karavan Quraisy yang sedang dalam perjalanan menuju Makkah dan kapan karavan itu akan tiba. Ketika karavan tersebut tiba dan membenarkan deskripsi Nabi, sebagian kaum Quraisy tetap menolaknya, menganggapnya sebagai sihir yang ulung.
Penolakan Quraisy ini memperkuat pemahaman bahwa mukjizat tidak selalu berfungsi sebagai alat pemaksa keimanan, melainkan sebagai ujian bagi hati yang sudah condong kepada kebenaran. Bagi mereka yang hatinya keras, mukjizat hanyalah sihir; bagi mereka yang mencari petunjuk, ia adalah tanda yang jelas.
Ketegasan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Kontras dengan Quraisy, reaksi para sahabat menjadi penanda iman sejati. Yang paling menonjol adalah reaksi Abu Bakar. Ketika orang-orang datang kepadanya dan menceritakan kisah Nabi yang dianggap gila, Abu Bakar hanya menjawab dengan tenang: "Jika dia yang mengatakannya, maka itu benar."
Keimanan tak tergoyahkan inilah yang membuatnya dianugerahi gelar Ash-Shiddiq (Yang Membenarkan). Logika Abu Bakar sangat sederhana: jika ia percaya Muhammad menerima wahyu dari langit setiap hari, mengapa ia harus ragu bahwa Muhammad dapat melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis dan naik ke langit dalam semalam? Pengakuan Abu Bakar menjadi tonggak penting dalam sejarah Islam, menegaskan bahwa keimanan sejati berada di atas batas-batas rasionalitas material.
V. Analisis Mendalam: Dimensi Jasmani, Ruhani, dan Hukum Kosmik
Peristiwa Isra dan Mi'raj telah melahirkan diskusi teologis dan filosofis yang mendalam selama berabad-abad, khususnya mengenai sifat perjalanannya: apakah ia sepenuhnya spiritual, atau fisik dan spiritual secara bersamaan?
Perdebatan Klasik: Fisik (Jasmani) vs. Spiritual (Ruhani)
Mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) berpendapat bahwa Isra dan Mi'raj adalah perjalanan fisik dan spiritual (bil-jasad wa ar-ruh) dalam keadaan sadar. Argumen utama didasarkan pada:
- Teks Al-Qur'an: Ayat pertama Surah Al-Isra' menyebutkan "memperjalankan hamba-Nya (abd)". Dalam bahasa Arab klasik, istilah abd (hamba) merujuk pada keseluruhan diri manusia, mencakup raga dan jiwa. Jika hanya ruhani, tentu Al-Qur'an akan menggunakan kata ruh atau ru'ya (mimpi).
- Reaksi Quraisy: Jika Nabi hanya bermimpi, kaum Quraisy tidak akan menolak dan mencemoohnya sedemikian rupa, karena mimpi adalah hal biasa. Penolakan mereka membuktikan bahwa Nabi mengklaim telah melakukan perjalanan fisik yang melanggar hukum alam.
- Ujian Keimanan: Mukjizat adalah demonstrasi kekuatan Allah yang melampaui logika material. Jika hanya mimpi, ia kehilangan fungsi utamanya sebagai ujian berat bagi keimanan.
Sebagian kecil ulama (termasuk beberapa tokoh Mu'tazilah dan beberapa riwayat awal Aisyah RA) berpendapat bahwa perjalanan tersebut adalah spiritual atau mimpi visioner. Mereka berargumen bahwa tidak mungkin tubuh fisik dapat melintasi ruang angkasa dengan kecepatan cahaya tanpa rusak, dan bagaimana mungkin Nabi kembali tepat waktu. Namun, pandangan mayoritas menegaskan bahwa jika Allah, Pencipta alam semesta, ingin memperjalankan tubuh fisik hamba-Nya, hukum fisika material tidak lagi relevan, karena Allah berada di luar batasan hukum yang diciptakan-Nya sendiri.
Melampaui Hukum Fisika Material
Mukjizat Al-Isra mengajarkan umat Islam tentang konsep ketiadaan batas bagi kekuasaan Allah (qudrah). Dalam perspektif ilmiah modern, perjalanan tersebut melibatkan konsep teleportasi, kecepatan superluminal, dan mungkin melintasi dimensi waktu-ruang yang berbeda. Bagi ilmuwan Muslim, kisah ini bukan bertentangan dengan sains, tetapi menunjukkan dimensi sains yang lebih tinggi—sains ilahi—yang mana hukum-hukum alam dapat ditangguhkan atau diubah sesuai kehendak Pencipta.
Perjalanan ini adalah demonstrasi bahwa Allah memiliki kekuatan absolut untuk menyingkat ruang dan waktu. Ia memperlihatkan bahwa alam semesta ini, meskipun sangat luas, hanyalah ciptaan yang berada dalam kendali penuh-Nya. Ini memberikan kedamaian spiritual, bahwa seberapa besar pun masalah duniawi yang dihadapi Nabi saat itu, ia hanyalah sebagian kecil dari realitas kosmik yang lebih besar.
Hikmah Persatuan Kenabian
Peristiwa Isra dan Mi'raj secara teologis mengukuhkan bahwa risalah Islam bukanlah agama baru yang terpisah, melainkan puncak penyempurnaan dari semua agama Tauhid sebelumnya. Penggabungan Masjidil Haram (pusat Islam) dan Masjidil Aqsa (pusat kenabian Bani Israil) dalam satu rangkaian perjalanan menandakan persatuan kiblat spiritual. Ini memberikan pemahaman geopolitik yang mendalam, bahwa Yerusalem memiliki peran sentral dalam narasi kenabian yang harus dihormati dan dipertahankan.
VI. Warisan dan Relevansi Kontemporer Al-Isra
Pesan yang dibawa pulang Nabi dari Mi'raj—terutama shalat—memiliki relevansi abadi yang melampaui konteks historis abad ke-7. Peristiwa ini mengajarkan serangkaian pelajaran moral, spiritual, dan etika yang menjadi fondasi kehidupan Muslim.
Shalat sebagai Mi'raj Harian
Jika Nabi Muhammad SAW diberikan kesempatan naik ke langit untuk berbicara langsung dengan Allah, maka shalat lima waktu adalah kesempatan mi'raj bagi setiap Muslim. Shalat adalah satu-satunya rukun Islam yang diwajibkan langsung di hadapan Allah tanpa melalui perantara Jibril. Ini menekankan keistimewaan shalat sebagai komunikasi langsung, sarana untuk melepaskan diri sejenak dari kekacauan duniawi, dan mencari ketenangan spiritual di hadapan Sang Pencipta.
Di masa kini, di tengah hiruk pikuk teknologi dan kegelisahan eksistensial, shalat berfungsi sebagai jangkar. Ia mengingatkan individu akan tujuan hidupnya, menyediakan jeda reflektif, dan membangun disiplin diri yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Pentingnya Masjidil Aqsa
Al-Isra’ secara permanen menempatkan Masjidil Aqsa dalam hati umat Islam. Statusnya sebagai kiblat pertama (awwalul qiblatain) dan titik transit Nabi ke langit menjadikan tempat ini situs suci yang tak tergantikan. Dalam konteks modern, hal ini mempertegas tanggung jawab umat Islam untuk menjaga kesucian dan kedaulatan situs suci ini, serta mengakui sejarah kenabian yang terukir di sana.
Kubah Batu (Dome of the Rock), yang didirikan di area Haram Mulia, seringkali diyakini berada tepat di atas batu tempat Nabi Muhammad SAW memulai kenaikan (Mi'raj). Arsitektur Islam yang indah di Yerusalem menjadi bukti fisik atas warisan Isra dan Mi'raj, sebuah pengingat yang monumental tentang koneksi antara Makkah dan Yerusalem, antara risalah Ibrahim dan risalah Muhammad.
Filsafat Sabar dan Kemenangan Spiritual
Al-Isra terjadi setelah Tahun Kesedihan, sebuah titik nadir emosional dan fisik Nabi. Pesan utamanya adalah bahwa setelah kesulitan yang paling pahit, akan datang pertolongan dan kehormatan yang paling agung. Ini adalah pelajaran universal tentang kesabaran (sabr). Allah menguji hamba-Nya hingga batas maksimal, dan ketika hamba tersebut lulus ujian, ia diangkat ke kedudukan yang lebih tinggi.
Bagi umat Muslim kontemporer, ini adalah pengingat bahwa penderitaan dan penindasan yang dihadapi dalam mempertahankan keimanan akan dihargai dengan penghargaan yang jauh melampaui apa yang dapat ditawarkan oleh dunia fana. Kemenangan sejati bukanlah kemenangan materi di medan perang, melainkan kemenangan spiritual dalam ketaatan mutlak kepada kehendak Ilahi.
VII. Kedalaman Naratif: Mengurai Simbolisme dan Pertemuan
Kisah Al-Isra dan Mi'raj kaya akan simbolisme yang memerlukan interpretasi yang mendalam. Setiap detail, mulai dari pembersihan hati hingga warna Buraq, memiliki makna teologis.
Pembersihan Hati (Syadd al-Shaqr)
Pembersihan hati yang dilakukan Jibril sebelum Isra adalah yang kedua kalinya dalam hidup Nabi (yang pertama terjadi saat masa kecil beliau di Bani Sa'ad). Tindakan ini secara simbolis membersihkan hati Nabi dari segala sisa pengaruh duniawi dan menyiapkan wadah batin beliau untuk menerima pengalaman transenden dan rahasia ilahi yang akan disaksikan di langit. Pembersihan ini menegaskan bahwa untuk mendekati hadirat Allah, diperlukan kesucian spiritual yang paripurna, sesuatu yang secara inheren dimiliki oleh para nabi, namun ditekankan melalui tindakan fisik mukjizat.
Simbolisme Langit dan Para Nabi
Pertemuan dengan para nabi di setiap lapisan langit bukanlah kebetulan; ia adalah susunan hierarki spiritual yang terencana. Para ahli tafsir menafsirkan penempatan nabi-nabi ini berdasarkan karakteristik utama mereka dan relevansinya dengan dakwah Nabi Muhammad:
- Musa di Langit Keenam: Musa adalah nabi yang paling banyak menghadapi Bani Israil yang keras kepala, dan syariat yang dibawanya sangat detail dan berat. Oleh karena itu, Musa paling memahami beban syariat, dan dia yang paling bijaksana memberi saran mengenai keringanan shalat.
- Ibrahim di Langit Ketujuh: Ibrahim adalah Hanif (penganut Tauhid murni) sebelum agama-agama formal terbentuk. Posisi beliau sebagai ayah spiritual menunjukkan bahwa risalah Islam kembali ke akar murni Tauhid Ibrahim.
- Isa dan Yahya di Langit Kedua: Keduanya adalah nabi yang menekankan keasketisan (zuhd) dan kesucian, penting sebagai pengingat akan tuntutan moral yang tinggi dalam Islam.
Susunan ini menunjukkan bahwa setiap nabi memiliki peran, tetapi Muhammad adalah sintesis dari seluruh kekuatan kenabian tersebut, yang menggabungkan keteguhan Musa, kesucian Isa, dan kemurnian Ibrahim.
Lampu dan Sungai di Langit
Nabi Muhammad SAW juga menyaksikan tanda-tanda kebesaran lainnya, termasuk sungai-sungai di surga dan keberadaan Nur (cahaya) yang menyelimuti Sidratul Muntaha. Beliau melihat Sungai Kautsar dan sungai-sungai utama lainnya. Deskripsi sungai-sungai di surga yang bersumber dari Sidratul Muntaha sering ditafsirkan sebagai mata air ilmu, berkah, dan rahmat ilahi yang mengalir ke alam semesta.
Penglihatan ini, yang melampaui mata telanjang, memberikan gambaran sekilas tentang realitas akhirat, menanamkan keyakinan mutlak dalam diri Nabi mengenai janji surga dan neraka, yang pada gilirannya memperkuat semangat beliau untuk berdakwah di dunia fana yang penuh tantangan.
VIII. Epilog: Pesan Universal Al-Isra
Al-Isra dan Mi'raj lebih dari sekadar cerita ajaib tentang perjalanan kosmik. Ini adalah sebuah narasi transformatif yang merangkum inti ajaran Islam: pentingnya ketaatan, kekuatan iman di atas keraguan rasional, dan kedudukan istimewa shalat sebagai jembatan antara dunia dan akhirat.
Peristiwa ini memastikan bahwa Nabi Muhammad SAW, meskipun menghadapi penolakan yang paling keras dari kaumnya, mendapatkan konfirmasi mutlak dari Yang Maha Kuasa. Ketika Makkah menutup pintunya bagi beliau, langit terbuka lebar. Perjalanan ini memberikan jaminan bahwa kesabaran dalam menghadapi kesulitan pasti akan menghasilkan kemuliaan dan kedekatan dengan Allah.
Melalui Isra dan Mi'raj, setiap Muslim diajak untuk merenungkan sejauh mana koneksi spiritual mereka. Shalat adalah undangan abadi untuk melakukan "perjalanan malam" pribadi, sebuah mi'raj harian yang memungkinkan kita meninggalkan hiruk pikuk dunia dan kembali ke fitrah, memperbarui janji kita kepada Allah SWT.
Dalam sejarah peradaban Islam, Al-Isra dan Mi'raj tetap menjadi sumber inspirasi tak terbatas, mendorong para ilmuwan untuk merenungkan ruang dan waktu, dan para sufi untuk mencari kedekatan spiritual yang sejati. Mukjizat ini adalah bukti nyata, dahulu, kini, dan selamanya, bahwa bagi Allah SWT, tidak ada yang mustahil, dan bahwa hamba-Nya yang paling tulus akan selalu diangkat derajatnya.
Kisah ini adalah penegasan final akan kebenaran risalah Islam dan batu pijakan utama bagi umat untuk melangkah maju, dari fase lemah di Makkah menuju pembentukan peradaban madani yang gemilang, dengan membawa hadiah termulia dari langit: shalat.
A. Fiqih dan Hikmah Shalat: Warisan Mi’raj yang Terperinci
Perintah shalat yang diterima langsung dari hadirat Allah melalui Mi’raj menjadikannya ibadah yang unik. Hukum-hukum fiqih yang mengelilingi shalat didasarkan pada keinginan untuk mereplikasi kondisi spiritual dan kedekatan yang dialami Nabi. Para fukaha (ahli fiqih) secara ekstensif membahas setiap rukun dan sunnah shalat, menafsirkan bagaimana gerakan fisik dan bacaan lisan dapat mencerminkan dimensi spiritual yang diterima di Sidratul Muntaha.
Misalnya, posisi berdiri (Qiyam) melambangkan kehadiran yang tegak di hadapan Raja Semesta Alam. Rukuk, membungkuk dan mengagungkan Allah, adalah bentuk kerendahan hati. Sujud adalah puncak ketundukan, meletakkan bagian tubuh paling mulia (wajah/dahi) di tempat yang paling rendah (tanah), melambangkan penyerahan total. Setiap gerakan bukan sekadar rutinitas, melainkan ritual yang dibangun di atas fondasi Mi’raj.
Hikmah dari lima waktu shalat juga sangat ditekankan. Shalat Subuh menyucikan permulaan hari; Dhuhur memberikan istirahat spiritual di tengah kesibukan; Ashar menyeimbangkan aktivitas sebelum petang; Maghrib menandai akhir hari dengan rasa syukur; dan Isya’ menutup hari dengan permohonan ampun sebelum tidur. Pembagian waktu ini memastikan bahwa seorang Muslim senantiasa terhubung dengan Tuhannya, memecah belenggu duniawi secara berkala, dan mencegah hati menjadi beku oleh materi. Shalat menjadi alat pengontrol moral dan spiritual, sebuah pengingat bahwa tujuan hidup lebih tinggi daripada sekadar urusan dunia.
B. Signifikansi Arsitektural dan Geopolitik Masjidil Aqsa
Keterlibatan Baitul Maqdis dalam Al-Isra mengangkatnya dari sekadar situs suci lokal menjadi situs universal yang terhubung dengan Makkah. Dalam sejarah Islam, Yerusalem memegang peranan krusial. Setelah Mi'raj, meskipun kiblat akhirnya dipindahkan ke Ka’bah di Makkah (peristiwa Tahwilul Qiblat), status Masjidil Aqsa sebagai awwalul qiblatain (dua kiblat pertama) dan tsalitsul haramain (tiga tanah suci) tetap abadi.
Secara geopolitik, Mi'raj memberikan landasan teologis bagi klaim Islam atas Yerusalem, bukan sebagai klaim penaklukan belaka, tetapi sebagai klaim warisan kenabian yang sah. Ketika Umar bin Khattab menaklukkan Yerusalem dan menjamin perlindungan bagi semua agama di sana, ia bertindak berdasarkan prinsip yang ditanamkan oleh Isra dan Mi'raj: menghormati kesinambungan kenabian. Arsitektur Muslim yang berdiri tegak di Haram Mulia, terutama Kubah Batu (dibangun oleh Khalifah Abdul Malik), berfungsi sebagai monumen peringatan yang monumental atas titik kenaikan Nabi, memperkuat identitas spiritual Yerusalem dalam Islam.
C. Filsafat Waktu dan Kecepatan
Salah satu aspek paling menantang dari Mi’raj adalah konsep waktu. Bagaimana mungkin perjalanan kosmik yang begitu luas dan kompleks, yang melibatkan lintasan galaksi dan dimensi spiritual, terjadi dalam sekejap mata? Para filosof dan ilmuwan Muslim (seperti Al-Ghazali dan Ibnu Sina, meskipun mereka mungkin tidak membahas Mi'raj secara langsung dalam konteks fisika modern) telah lama bergulat dengan sifat waktu. Al-Isra memberikan bukti teologis bahwa waktu adalah relatif dan tunduk pada kehendak Allah.
Konsep kecepatan Buraq yang melampaui cahaya (jika dianalogikan dengan fisika modern) menunjukkan bahwa terdapat lapisan realitas di mana dimensi ruang-waktu yang kita alami di bumi tidak berlaku. Ini adalah esensi dari mukjizat—peristiwa yang tidak hanya melanggar hukum alam, tetapi mengungkapkan hukum alam yang lebih tinggi. Bagi umat Islam, ini adalah pengingat bahwa keterbatasan manusia dalam memahami waktu dan ruang tidak boleh membatasi keyakinan pada kemahakuasaan Allah. Pemahaman ini mendorong refleksi mendalam tentang konsep keabadian dan ketidakterbatasan ilahi.
Al-Isra’ adalah perjalanan kebenaran total, sebuah pengalaman yang mempersiapkan Nabi untuk memimpin umat manusia dari kegelapan menuju cahaya, membawa pulang hadiah tak ternilai yang hingga kini menjadi inti kehidupan setiap Muslim.
D. Penguatan Spiritual Melalui Penglihatan Akhirat
Selama Mi'raj, Nabi Muhammad SAW tidak hanya bertemu dengan para nabi, tetapi juga diperlihatkan kondisi surga (Jannah) dan neraka (Jahannam), serta menyaksikan berbagai pemandangan yang menggambarkan ganjaran dan hukuman bagi berbagai jenis perbuatan. Penglihatan ini memiliki fungsi ganda:
- Penguatan Kepribadian Nabi: Dengan menyaksikan realitas akhirat secara langsung, keyakinan beliau menjadi mutlak, membuatnya tidak gentar sedikit pun terhadap ancaman atau godaan duniawi.
- Peringatan kepada Umat: Deskripsi yang beliau sampaikan setelah kembali menjadi pelajaran moral yang tajam. Beliau melihat orang yang memakan harta anak yatim, orang yang bergosip (menggunjing) digambarkan seperti memakan bangkai saudaranya, dan berbagai gambaran hukuman bagi mereka yang melanggar hukum syariat.
Pemandangan surga, sebaliknya, memberikan motivasi yang luar biasa. Beliau menyaksikan kemewahan dan kebahagiaan yang menanti orang-orang saleh, yang pada gilirannya mendorong umatnya untuk bersabar dan berjuang di jalan Allah. Realitas akhirat yang disaksikan Nabi menjadi penyeimbang kuat terhadap penderitaan dan penolakan yang beliau alami di Makkah. Hal ini memperkuat prinsip bahwa dunia ini hanyalah ladang ujian, dan fokus sejati haruslah pada kehidupan abadi.
E. Peran Malaikat Jibril dan Batas-Batas Makhluk
Peran Jibril dalam Mi'raj sangat penting. Jibril, sebagai malaikat pembawa wahyu dan roh suci, adalah pendamping Nabi hingga batas tertinggi yang bisa dijangkau makhluk ciptaan, yaitu Sidratul Muntaha. Keterbatasan Jibril untuk melampaui batas tersebut (di mana ia berkata: "Jika aku melangkah setapak lagi, aku akan terbakar") adalah penegasan teologis yang penting:
Ia menunjukkan bahwa bahkan makhluk yang paling mulia di antara malaikat memiliki batas dalam kedekatan dengan Allah. Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia, diizinkan melampaui batas yang tidak bisa dilampaui malaikat. Ini adalah bukti nyata keunggulan kedudukan Nabi Muhammad SAW dibandingkan seluruh makhluk, baik malaikat maupun manusia, ketika beliau mencapai puncak Qab Qausain. Kehormatan ini diberikan kepada seorang hamba yang sangat rendah hati dan tunduk, menegaskan bahwa derajat tertinggi di sisi Allah dicapai melalui kehambaan (ubudiyah) yang sempurna.
Secara keseluruhan, Al-Isra dan Mi'raj adalah ensiklopedia spiritual. Ia menguraikan kosmologi Islam, hierarki kenabian, dan fondasi ibadah. Ia mengubah shalat dari sekadar ritual menjadi jembatan spiritual, dan Yerusalem dari sebuah kota menjadi poros kenabian global. Mukjizat ini tetap relevan karena ia mengajarkan bahwa bahkan dalam keputusasaan terbesar, terdapat penghiburan terbesar dari Allah SWT, menanti mereka yang teguh dalam keimanan.