Analisis Komprehensif Larangan Kesombongan dalam Al-Qur'an
Surah Al-Isra' (Bani Israil) dikenal sebagai surah yang memuat fondasi etika dan moralitas dalam Islam, sering disebut sebagai "Sepuluh Perintah" versi Al-Qur'an (walaupun jumlahnya lebih dari sepuluh, namun mencakup poin-poin fundamental). Ayat 37 dari surah ini merupakan penegasan keras terhadap sifat buruk yang paling berbahaya bagi spiritualitas dan tatanan sosial: kesombongan atau keangkuhan. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang tata krama berjalan fisik, tetapi merangkum seluruh perilaku batin dan sikap mental manusia di hadapan kekuasaan Allah dan di tengah-tengah ciptaan-Nya.
Ayat ini datang setelah serangkaian instruksi etis yang mencakup tauhid, kewajiban terhadap orang tua, larangan membunuh, hingga larangan mendekati harta anak yatim. Setelah membangun dasar-dasar interaksi yang adil dan benar, Al-Qur'an kemudian menargetkan penyakit hati yang dapat merusak semua kebaikan tersebut: *al-marah* (keangkuhan yang berlebihan).
"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung."
Untuk memahami kedalaman pesan Al-Isra' ayat 37, perlu dilakukan analisis terhadap diksi yang dipilih Allah SWT. Pilihan kata dalam Al-Qur'an selalu presisi dan sarat makna, terutama dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan akhlak.
Kata kerja *tamshi* berarti berjalan. Larangan ini ditujukan pada cara berjalan. Berjalan adalah manifestasi paling dasar dari keberadaan fisik manusia. Cara seseorang berjalan seringkali mencerminkan kondisi batinnya. Ini adalah perintah yang sangat spesifik, menunjukkan bahwa Islam mengatur perilaku dari hal yang paling tampak hingga yang paling tersembunyi. Perintah ini mencakup semua bentuk pergerakan, baik fisik maupun metaforis (pergerakan dalam interaksi sosial dan karier).
Kata kunci dalam ayat ini adalah *maraḥā* (مَرَحًا). Kata ini berarti kegembiraan atau kebanggaan yang berlebihan, yang kemudian melahirkan keangkuhan, kesombongan, dan rasa superioritas. Ini bukan sekadar rasa bangga yang sehat, tetapi kebanggaan yang didasarkan pada anggapan bahwa seseorang memiliki kelebihan mutlak yang membuat orang lain menjadi lebih rendah. Para ulama tafsir sepakat bahwa *maraḥ* adalah sikap sombong yang ditampakkan melalui tingkah laku, gaya berjalan yang diayun-ayunkan, atau membusungkan dada seolah-olah menguasai bumi.
Sifat *maraḥ* ini terkait erat dengan sikap lupa diri, di mana manusia lupa akan asal-usulnya yang lemah dan sementara. Ia bertingkah laku seolah-olah ia abadi dan memiliki kekuatan tak terbatas, padahal semua yang dimilikinya adalah pinjaman dari Sang Pencipta.
Argumen pertama yang digunakan Allah untuk menyanggah kesombongan adalah: *“sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi.”* Frasa *lan takhriqa* menggunakan kata *lan*, yang dalam Bahasa Arab menunjukkan peniadaan mutlak di masa depan. Artinya, manusia, dengan segala kekuatannya, tidak akan pernah bisa membuat lubang yang menembus ke dalam bumi hanya dengan langkah kakinya yang sombong.
Metafora ini menunjukkan batasan fisik manusia. Meskipun seseorang berjalan dengan hentakan kaki yang paling keras, ia tidak akan mampu melukai atau mempengaruhi permukaan bumi secara signifikan. Bumi (alam semesta) jauh lebih besar dan kuat daripada individu yang paling angkuh sekalipun. Ayat ini mengembalikan manusia pada skala yang benar: ia adalah makhluk kecil di hadapan ciptaan Allah yang agung.
Argumen kedua adalah: *“dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”* Frasa *lan tablugha* juga menggunakan peniadaan mutlak. Gunung melambangkan ketinggian, keagungan, dan keabadian relatif. Manusia yang sombong mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, mencoba meniru keagungan gunung.
Namun, gunung tetaplah ciptaan Allah yang paling kokoh dan menjulang. Seberapa pun tingginya seseorang berjalan, seberapa pun angkuhnya ia mengangkat dagu, ia tidak akan pernah mencapai ketinggian atau keagungan alamiah gunung. Ini adalah pengingat bahwa keagungan sejati (Al-Kibriya’) hanya milik Allah semata. Manusia hanya debu jika dibandingkan dengan ciptaan-Nya yang statis sekalipun.
Ayat 37 tidak berdiri sendiri. Ia adalah penutup dari serangkaian perintah etika yang dimulai dari ayat 23. Rangkaian perintah ini (dari Tauhid, Birrul Walidain, larangan berzina, larangan membunuh, hingga keadilan dalam timbangan) membangun kerangka moral bagi masyarakat ideal.
Sangat menarik bahwa larangan kesombongan (ayat 37) diletakkan di bagian akhir dari ajaran-ajaran moral ini. Ini menunjukkan bahwa kesombongan adalah puncak dari kegagalan akhlak, atau virus yang dapat merusak semua amal ibadah yang telah dilakukan sebelumnya.
Namun, jika semua perbuatan baik itu dibarengi dengan kesombongan, ia akan merusak ketulusan (ikhlas) dan menyebabkan keruntuhan spiritual. Kesombongan menghalangi seseorang untuk melihat bahwa amal perbuatannya adalah semata-mata anugerah (taufik) dari Allah, bukan hasil dari kejeniusan atau kehebatan dirinya sendiri. Oleh karena itu, larangan ini berfungsi sebagai benteng terakhir yang melindungi hati dari kehancuran diri.
Dalam pandangan Islam, kesombongan bukan hanya sekadar cacat kepribadian, melainkan merupakan dosa yang sangat mendasar dan berbahaya, karena ia bersinggungan langsung dengan prinsip Tauhid (keesaan Allah).
Dalam hadis Qudsi, Allah berfirman: *“Keagungan (Al-Kibriya’) adalah selendang-Ku, dan kebesaran (Al-‘Aẓamah) adalah pakaian-Ku. Barangsiapa yang berusaha merebut salah satunya dari-Ku, maka Aku akan menyiksanya.”*
Ayat 37 menegaskan kembali hakikat ini. Ketika seorang manusia berjalan sombong, ia secara implisit mengklaim hak atas keagungan yang hanya dimiliki oleh Allah. Ia mencoba menandingi sifat *Al-Mutakabbir* (Yang Maha Besar/Sombong dalam artian sempurna). Ini adalah bentuk *shirk khofi* (syirik tersembunyi), di mana ego diletakkan sejajar dengan kehendak Ilahi.
Kesombongan menjadikan hati tertutup. Orang yang sombong (mutakabbir) merasa dirinya sudah mengetahui segala sesuatu dan tidak perlu belajar atau menerima nasihat. Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa Allah memalingkan ayat-ayat-Nya dari orang-orang yang bersikap angkuh tanpa alasan yang benar:
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku…” (QS. Al-A’raf [7]: 146).
Ayat 37 mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki batasan (tidak bisa menembus bumi atau mencapai gunung). Pengakuan terhadap batasan ini adalah kunci menuju kerendahan hati (*tawadhu’*), yang merupakan pintu gerbang menuju ilmu dan kebijaksanaan Ilahi.
Alt Text: Ilustrasi visualisasi Al-Isra ayat 37, menunjukkan sosok manusia yang berjalan sombong (maraha) namun dikelilingi oleh gunung yang menjulang tinggi dan lapisan bumi yang tebal, menyimbolkan batasan manusia dan keagungan ciptaan Allah.
Kesombongan yang dilarang oleh Al-Isra' 37 tidak hanya terbatas pada gaya berjalan. Para ulama telah mengidentifikasi berbagai bentuk manifestasi *maraḥ* dalam kehidupan sehari-hari. Kesombongan adalah sifat multidimensi yang dapat muncul dalam empat aspek utama kehidupan manusia: penampilan fisik, ucapan, harta, dan ilmu.
Inilah bentuk yang paling literal dan langsung dilarang oleh ayat 37. Gaya berjalan yang sombong (membusungkan dada, mengangkat dagu, menghentakkan kaki) menunjukkan bahwa individu tersebut merasa lebih unggul dari orang lain. Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa berjalan haruslah dengan tenang, damai, dan penuh kesopanan, seolah-olah berjalan di atas tanah yang lembut.
Kesombongan dalam berpakaian juga termasuk kategori ini, yaitu menggunakan pakaian mewah, berlebihan, atau memamerkan kekayaan dengan tujuan merendahkan orang lain, bukan sekadar menutupi aurat atau bersyukur atas nikmat.
Ini adalah bentuk kesombongan yang paling sering terjadi di masyarakat modern. Ia termanifestasi dalam:
Orang yang sombong karena harta atau jabatan lupa bahwa semua itu bersifat sementara. Ia mulai memandang dirinya sebagai pemilik mutlak kekayaan tersebut, padahal ia hanyalah pengelola (khalifah) yang diamanahi sementara. Ayat 37 secara halus menyinggung hal ini. Mengapa manusia sombong? Karena ia merasa kaya, kuat, atau berkuasa. Ayat tersebut memotong akar ilusi ini dengan mengingatkan bahwa bahkan alam fisik—bumi dan gunung—jauh lebih abadi dan agung daripada pencapaian materi manusia.
Ini adalah bentuk kesombongan spiritual yang paling berbahaya, sering disebut sebagai ‘ujub (kekaguman diri) yang berlanjut menjadi sombong. Ini terjadi ketika seorang hamba:
Jika kesombongan fisik merusak interaksi sosial, kesombongan spiritual merusak hubungan langsung antara hamba dan Rabb-nya. Kesombongan menghapus rasa butuh (faqr) kepada Allah, yang merupakan esensi dari ibadah itu sendiri.
Secara psikologis, kesombongan adalah mekanisme pertahanan diri yang rapuh. Orang yang sombong sering kali adalah orang yang memiliki rasa tidak aman yang mendalam. Mereka membutuhkan pengakuan eksternal yang terus-menerus untuk menutupi kekurangan atau ketakutan internal. Al-Isra' 37 menawarkan obat psikologis dengan memberikan perspektif kosmik:
Ayat ini memaksa manusia untuk menghadapi kenyataan bahwa ia adalah makhluk yang terbatas, lemah, dan fana. Kaki manusia tidak dapat menembus bumi (kekuatan horizontal) dan kepala manusia tidak dapat mencapai gunung (kekuatan vertikal). Keterbatasan ini seharusnya memunculkan rasa rendah hati, bukan keangkuhan.
Kesadaran akan keterbatasan ini membawa kedamaian. Ketika seseorang menyadari bahwa ia tidak perlu menjadi yang terkuat, terpandai, atau terkaya, ia dibebaskan dari beban persaingan egoistik. Kehormatan sejati terletak pada ketaatan, bukan pada klaim keagungan diri.
Dalam konteks sosial, kesombongan adalah racun yang menghancurkan persatuan (*ukhuwah*). Masyarakat yang terdiri dari individu-individu sombong akan dipenuhi dengan konflik, persaingan destruktif, dan ketidakadilan. Kesombongan menciptakan hierarki palsu yang melanggar prinsip kesetaraan fundamental dalam Islam.
Sikap *maraḥā* merusak empati. Ketika seseorang merasa dirinya lebih tinggi, ia tidak akan mampu merasakan penderitaan atau kebutuhan orang lain. Ini bertentangan dengan semangat gotong royong dan kepedulian sosial yang ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur'an, termasuk ayat-ayat sebelumnya dalam Surah Al-Isra' yang menekankan keadilan dan berbagi.
Para mufassir (ahli tafsir) dari berbagai generasi memberikan penekanan yang sedikit berbeda pada ayat ini, meskipun inti pesannya tetap sama.
Ar-Razi menekankan aspek filosofis dan teologis. Ia menafsirkan *maraḥā* sebagai kondisi jiwa yang melupakan asal-usulnya dan tujuan akhir keberadaannya. Ia melihat dua metafora dalam ayat 37 sebagai bukti kelemahan mutlak manusia di hadapan Pencipta. Jika manusia tidak mampu mengalahkan bumi yang ia pijak dan gunung yang ia lihat, bagaimana mungkin ia merasa sombong di hadapan Allah yang menciptakan keduanya?
Menurut Ar-Razi, larangan ini berfungsi untuk mengendalikan nafsu dan ilusi ego, mengajarkan bahwa keagungan yang dirasakan hanyalah keagungan semu, yang akan lenyap seketika kematian menjemput.
Ibnu Katsir lebih fokus pada aspek praktis dan etika. Beliau mengutip riwayat-riwayat dan hadis yang menjelaskan gaya berjalan yang sombong. Ia mengaitkan ayat ini dengan kisah Qorun yang sombong karena hartanya, dan bagaimana Allah menenggelamkannya ke dalam bumi (QS. Al-Qasas: 76-82), sebuah kontras yang ironis terhadap frasa "kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi."
Ibnu Katsir mengajarkan bahwa berjalan dengan *tawadhu’* (rendah hati) adalah sunnah yang harus dijaga, mencontoh Nabi SAW yang berjalan dengan langkah yang pasti namun tenang, seolah-olah menurun dari tempat yang tinggi.
Sayyid Qutb melihat ayat ini dalam konteks perjuangan ideologis. Ia berpendapat bahwa kesombongan adalah ciri khas peradaban yang jauh dari petunjuk Ilahi. Masyarakat yang sombong akan selalu berusaha menentang hukum alam dan hukum Tuhan. Ketika ayat ini diturunkan, ia berfungsi sebagai koreksi terhadap budaya Arab pra-Islam yang menghargai keangkuhan, fanatisme kesukuan, dan kebanggaan yang berlebihan.
Bagi Qutb, larangan kesombongan adalah pembebasan bagi jiwa manusia dari ilusi kekuatan fana, menempatkan manusia sebagai hamba yang bertawadhu’ di hadapan Tuhannya.
Jika Al-Isra’ ayat 37 adalah larangan terhadap kesombongan, maka lawan katanya, *tawadhu’* (kerendahan hati), adalah sikap yang diperintahkan. Tawadhu’ bukan berarti merendahkan diri secara palsu, melainkan mengakui posisi diri yang sebenarnya sebagai hamba Allah, tanpa memandang rendah orang lain.
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidaklah seseorang merendahkan diri (tawadhu’) karena Allah melainkan Allah akan mengangkat derajatnya." Pernyataan ini menunjukkan bahwa kerendahan hati adalah investasi spiritual, sedangkan kesombongan adalah kerugian total.
Konsep yang diangkat dalam Al-Isra' 37 diperkuat di banyak tempat lain dalam Al-Qur'an, menegaskan bahwa kesombongan adalah dosa besar yang konsisten dilarang.
Ayat ini secara eksplisit mengulangi larangan berjalan sombong, tetapi menambahkan larangan berbicara sombong:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Dalam Luqman, larangan berjalan sombong diapit oleh larangan memalingkan wajah (sikap meremehkan) dan larangan membanggakan diri (*fakhur*). Ini menunjukkan bahwa larangan dalam Al-Isra' 37 mencakup keseluruhan perilaku, baik gerak tubuh maupun ekspresi wajah.
Kisah Qorun adalah studi kasus tentang akibat kesombongan harta. Qorun, yang diberi kekayaan melimpah, menjadi sombong dan berkata bahwa kekayaan itu diperoleh karena ilmunya sendiri. Akibatnya, Allah membenamkan Qorun beserta hartanya ke dalam bumi. Ini adalah interpretasi literal dan hukuman atas klaim sombong: manusia yang merasa bisa menembus bumi dengan kekuasaannya justru ditelan oleh bumi itu sendiri, membuktikan ketidakberdayaannya.
Ayat ini menghubungkan kesombongan dengan kekafiran: *“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.”* Ayat ini menggarisbawahi bahwa kesombongan bukanlah sekadar kebiasaan buruk, melainkan sifat yang dimurkai oleh Allah, yang dapat menghantarkan pelakunya pada kekufuran dan penolakan terhadap kebenaran Ilahi.
Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks masyarakat padang pasir, relevansinya tetap utuh, bahkan semakin mendesak di era digital dan globalisasi. Kesombongan modern mengambil bentuk-bentuk baru yang memerlukan kewaspadaan spiritual.
Di media sosial, kesombongan (*maraḥā*) termanifestasi sebagai pamer kekayaan, pamer prestasi, dan sikap meremehkan (*ghamt an-nas*) melalui komentar atau unggahan. Individu berusaha mencapai "ketinggian gunung" (jumlah pengikut, validasi publik) dan merasa "menembus bumi" (berkuasa di dunia maya) hanya berdasarkan ilusi digital.
Ayat 37 mengajarkan bahwa nilai sejati seorang Muslim tidak terletak pada validasi virtual, tetapi pada kualitas ketakwaannya yang tersembunyi. Penggunaan media sosial harus dilandasi oleh *tawadhu’*, yaitu berbagi manfaat tanpa niat mendominasi atau merendahkan orang lain.
Di kalangan akademisi atau profesional, kesombongan dapat berupa anggapan bahwa ilmu pengetahuan yang dikuasai telah membuat seseorang setara dengan Pencipta. Ini melahirkan sekularisme ekstrim yang menolak segala sesuatu yang tidak dapat diukur secara empiris.
Al-Isra' 37 berfungsi sebagai koreksi bagi ilmuwan dan cendekiawan: Seberapa pun banyaknya ilmu yang dikumpulkan, manusia tetap tidak dapat mengontrol hukum alam secara mutlak, apalagi menembus bumi atau mencapai gunung. Ilmu seharusnya menumbuhkan *khashyah* (rasa takut dan hormat) kepada Allah, bukan kesombongan.
Dalam konteks politik dan struktural, kesombongan terwujud dalam tirani dan korupsi. Para pemimpin yang sombong menggunakan kekuasaan untuk menindas dan merampas hak orang lain, berjalan angkuh di atas penderitaan rakyat. Ayat ini adalah pengingat keras bagi setiap pemegang kekuasaan: Anda hanyalah khalifah sementara yang memiliki batasan. Kekuatan sejati ada pada Yang Maha Kuasa.
Kesimpulan dari kajian mendalam Al-Isra' ayat 37 adalah bahwa kehidupan seorang Muslim harus dihiasi dengan keseimbangan dan kerendahan hati. Larangan berjalan sombong adalah representasi dari larangan memiliki hati yang sombong.
Ayat ini menempatkan kembali manusia pada tempatnya yang benar: mulia karena ketaatan, tetapi lemah dan terbatas di hadapan alam semesta. Semangat *tawadhu’* yang diajarkan oleh ayat ini adalah kunci untuk memelihara amal kebaikan, memperkuat persaudaraan, dan meraih derajat yang tinggi di sisi Allah SWT.
Sejatinya, ketika manusia menyadari bahwa ia tidak dapat menembus bumi dan tidak dapat mencapai gunung, ia akan berhenti mencoba merebut keagungan Ilahi dan sebaliknya, ia akan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya, berjalan di muka bumi dengan langkah yang tenang, rendah hati, dan penuh syukur.
Melaksanakan pesan Al-Isra' 37 berarti menjalani hidup dengan kesadaran penuh bahwa segala puji hanya milik Allah, dan segala daya upaya kita adalah atas izin-Nya. Hanya dengan demikian, hati seorang hamba dapat bersih dari penyakit kesombongan yang membinasakan.
Pelajaran dari Al-Isra' 37 adalah abadi dan berlaku universal. Ia mengajak kita semua untuk merefleksikan diri, memeriksa niat di balik setiap langkah, dan memastikan bahwa kita berjalan di muka bumi ini sebagai hamba yang bersyukur, bukan sebagai penguasa yang angkuh.
Nilai-nilai luhur yang disampaikan dalam Al-Isra' 37, yang melarang kesombongan dalam setiap bentuk manifestasinya, baik fisik maupun spiritual, merupakan pilar utama dalam membangun pribadi Muslim yang berakhlak mulia. Kedalaman makna dari "tidak dapat menembus bumi" dan "tidak akan sampai setinggi gunung" adalah pengingat kosmik yang senantiasa relevan, mengajak kita kembali kepada fitrah kerendahan hati.
Kesombongan, sebagaimana disimpulkan oleh para ulama tafsir, adalah pangkal dari segala dosa, karena ia adalah dosa pertama yang dilakukan Iblis ketika menolak sujud kepada Adam. Maka, menjauhi kesombongan adalah langkah pertama untuk meneladani ketaatan murni yang hanya ditujukan kepada Sang Pencipta semesta alam.