*Simbol perlindungan harta anak yatim dan pemenuhan janji (amanah)*
Surah Al Isra, ayat 34, merupakan salah satu pilar utama dalam membangun fondasi etika dan moralitas Islam yang berkaitan erat dengan tanggung jawab sosial dan integritas individu. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang keadilan ekonomi, tetapi juga menyingkap betapa krusialnya konsep amanah dalam setiap dimensi kehidupan, baik itu amanah yang berkaitan dengan hak-hak orang yang lemah, maupun amanah yang terwujud dalam pemenuhan janji dan perjanjian. Dengan menggabungkan dua perintah penting—perlindungan harta anak yatim dan kewajiban menunaikan janji—Al-Qur’an memberikan sebuah kerangka komprehensif mengenai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT dan di tengah masyarakat.
Terjemahannya adalah: "Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa. Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al Isra [17]: 34).
Ayat ini berdiri sebagai pengingat abadi bahwa kekuasaan, kesempatan, dan sumber daya yang kita miliki harus digunakan untuk kebaikan, terutama bagi mereka yang rentan. Analisis mendalam terhadap ayat ini memerlukan pembedahan pada dua komponen utamanya, yaitu etika pengelolaan harta dan filosofi pemenuhan perjanjian, yang keduanya berujung pada satu konsep fundamental: pertanggungjawaban (Mas’ūlā).
Bagian pertama ayat ini memberikan instruksi yang sangat tegas dan berhati-hati mengenai bagaimana umat Islam harus memperlakukan aset atau kekayaan yang dimiliki oleh anak yatim. Frasa "وَلَا تَقْرَبُوا" (Janganlah kamu mendekati) mengandung makna larangan yang lebih kuat daripada sekadar "jangan mengambil." Ini menyiratkan bahwa seseorang harus menjaga jarak dari segala aktivitas yang berpotensi merugikan atau bahkan menimbulkan godaan untuk menyalahgunakan harta tersebut. Larangan ini adalah benteng moral yang melindungi kelompok masyarakat yang paling lemah dan tidak berdaya.
Dalam syariat Islam, anak yatim didefinisikan sebagai anak yang ayahnya meninggal sebelum ia mencapai usia balig (kedewasaan). Ayat ini diwahyukan dalam konteks masyarakat Arab di mana perlindungan terhadap anak yatim seringkali lemah, dan aset mereka rentan terhadap eksploitasi oleh wali atau kerabat dekat. Islam datang untuk mengubah tradisi ini menjadi sebuah kewajiban etis yang paling utama.
Pengecualian yang diberikan—"kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat)"—adalah kunci kebijaksanaan fikih dalam masalah ini. Ini bukan berarti harta anak yatim harus dibiarkan stagnan dan tidak terurus, melainkan harus dikelola sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat optimal bagi si anak yatim hingga ia dewasa. Para ulama menafsirkan 'cara yang lebih baik' meliputi beberapa aspek praktis:
Tugas pertama seorang wali adalah memastikan harta tersebut aman dari kehilangan, pencurian, atau kerusakan. Ini termasuk menyimpan uang di tempat yang aman dan mengurus aset fisik seperti tanah atau properti agar tidak terlantar.
Apabila harta tersebut dibiarkan tanpa dikelola, nilainya akan tergerus oleh inflasi atau bahkan zakat (jika berupa uang tunai). Oleh karena itu, 'cara yang lebih baik' seringkali menuntut wali untuk menginvestasikan harta tersebut dalam usaha yang aman dan halal (seperti mudharabah atau perdagangan yang minim risiko) agar harta tersebut dapat berkembang. Imam Syafi’i dan ulama lainnya menekankan bahwa mengembangkan harta adalah bagian dari perlindungan, karena membantu anak yatim tersebut ketika ia mencapai usia dewasa kelak.
Wali diperbolehkan menggunakan sebagian harta tersebut untuk kebutuhan dasar anak yatim (makan, pakaian, pendidikan), asalkan pengeluaran tersebut wajar, tidak berlebihan, dan dicatat dengan transparan. Pengeluaran harus murni demi kemaslahatan anak yatim itu sendiri.
Perlindungan wali atas harta anak yatim memiliki batas waktu yang jelas: hingga anak yatim tersebut mencapai kedewasaan (al-ashudd). Kedewasaan di sini memiliki dua dimensi penting yang harus dipenuhi secara simultan, sesuai dengan tafsir para fuqaha:
Titik di mana kedua syarat ini terpenuhi menandai berakhirnya perwalian. Wali wajib mengembalikan seluruh harta tersebut, termasuk keuntungan yang telah dihasilkan selama masa perwalian. Jika harta tersebut diserahkan sebelum adanya rusyd, dan ternyata anak tersebut memboroskan harta itu, wali yang bertanggung jawab atas penyerahan prematur tersebut mungkin dianggap melanggar amanah.
Ayat lain dalam Al-Qur’an (An Nisa [4]: 10) memberikan peringatan keras: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sesungguhnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." Penggabungan peringatan ini dengan Al Isra [17]: 34 menunjukkan bahwa isu harta anak yatim adalah isu keadilan sosial yang sangat sensitif di mata syariat. Pelanggaran terhadap amanah ini dianggap sebagai dosa besar yang memiliki konsekuensi spiritual yang setara dengan menelan api neraka.
Bagian kedua dari ayat 34, "وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا" (Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya), meluaskan cakupan etika dari urusan harta partikular menjadi prinsip moral yang universal: Integritas dalam perjanjian.
Integrasi dua perintah ini sangat instruktif. Jika seseorang bahkan tidak mampu menjaga amanah atas harta orang yang lemah (anak yatim), maka bagaimana mungkin ia dapat dipercaya dalam perjanjian yang ia buat dengan sesama manusia atau dengan Tuhannya? Ketaatan pada perjanjian adalah barometer tertinggi dari keimanan dan kejujuran seseorang.
Kata al-'Ahd (janji atau perjanjian) dalam bahasa Arab memiliki makna yang sangat luas, melampaui sekadar kontrak bisnis. Ia mencakup setiap ikatan atau komitmen yang dibuat oleh seseorang.
Ini adalah perjanjian utama antara hamba dan Penciptanya, yaitu komitmen untuk mengakui keesaan-Nya, beribadah kepada-Nya, dan mematuhi syariat-Nya. Setiap perintah dan larangan dalam agama adalah bagian dari perjanjian ini. Pemenuhan janji ini diukur melalui ketakwaan, pelaksanaan shalat, zakat, dan menjauhi maksiat.
Ini mencakup semua bentuk perjanjian formal maupun informal: kontrak kerja, perjanjian jual beli, sumpah, perjanjian damai, dan bahkan janji lisan antar teman. Dalam konteks ekonomi, ini adalah dasar dari sistem muamalah yang adil, memastikan bahwa perdagangan bebas dari penipuan (gharar) dan ketidakjujuran.
Komitmen pribadi untuk memperbaiki diri, disiplin dalam ketaatan, atau janji yang dibuat seseorang untuk melaksanakan amal kebaikan tertentu (seperti nazar yang sah). Meskipun kurang formal, pemenuhan janji ini mencerminkan kekuatan karakter dan integritas batin.
Perintah Aufū (Penuhilah/Tunaikanlah secara sempurna) menuntut pemenuhan janji secara total dan tanpa celah. Hal ini mencakup aspek-aspek berikut:
Ini adalah frasa yang paling menggugah dan menggarisbawahi urgensi pemenuhan janji. Kata Mas’ūlā (yang akan ditanya/dimintai pertanggungjawaban) membawa janji keluar dari ranah hukum perdata biasa dan menempatkannya langsung di bawah pengawasan Ilahi. Artinya, pelanggaran janji tidak hanya menyebabkan kerugian di dunia, tetapi juga akan menjadi topik interogasi di Hari Kiamat.
Pertanggungjawaban ini bersifat ganda:
Konsep pertanggungjawaban ini menjadi landasan etika dalam Islam, menjadikan integritas dan keandalan sebagai sifat fundamental seorang Muslim sejati. Rasulullah ﷺ bahkan mengaitkan ketidakjujuran dalam janji sebagai salah satu ciri kemunafikan, menunjukkan betapa seriusnya hal ini dalam perspektif keimanan.
Mengapa Allah SWT menggabungkan dua perintah yang tampaknya berbeda—perlindungan harta anak yatim (sebuah urusan partikular) dan pemenuhan janji (sebuah urusan universal)—dalam satu ayat? Para mufassir melihat adanya benang merah yang sangat kuat, yaitu konsep Amanah (Kepercayaan).
Melindungi harta anak yatim adalah ujian konkret atas amanah seseorang ketika ia memiliki kekuasaan atau kontrol penuh atas aset orang lain yang tidak berdaya. Dalam posisi perwalian, tidak ada kekuatan duniawi yang dapat mengontrol setiap tindakan wali kecuali hati nurani dan kesadaran akan pengawasan Ilahi. Jika wali lulus dalam ujian ini, ia membuktikan bahwa ia layak dipercaya dalam perjanjian yang lebih luas.
Sebaliknya, pemenuhan janji adalah manifestasi dari amanah dalam interaksi sosial. Janji adalah pertukaran kepercayaan. Ketika seseorang melanggar janji, ia merusak pondasi kepercayaan sosial, yang pada gilirannya akan merusak stabilitas masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, ayat ini mengajarkan bahwa integritas dimulai dari urusan kecil yang rentan (harta yatim) dan memancar keluar ke dalam semua interaksi (janji).
Ayat ini menuntut konsistensi moral yang total. Tidak bisa seseorang dianggap saleh jika ia jujur dalam beribadah tetapi curang dalam mengelola harta anak yatim, atau jika ia memenuhi kontrak bisnis besar tetapi melanggar janji kecil kepada keluarganya. Keadilan harus diterapkan di semua lini kehidupan.
Kesinambungan etika yang diajarkan oleh Al Isra 34 adalah: Sifat mulia yang diperlukan untuk melindungi hak-hak kelompok yang paling rentan (anak yatim) adalah sifat yang sama yang diperlukan untuk menjaga fondasi masyarakat (memenuhi perjanjian). Keduanya berakar pada kesadaran mendalam akan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.
Meskipun ayat ini diwahyukan berabad-abad yang lalu, relevansinya tetap mutlak dalam konteks masyarakat modern yang kompleks, terutama dalam isu tata kelola (governance), hukum perdata, dan etika bisnis.
Dalam konteks modern, harta anak yatim tidak hanya berupa ladang atau unta, tetapi bisa berupa saham, tabungan, warisan digital, atau polis asuransi. Prinsip 'illā billatī hiya aḥsanu' menuntut para wali (termasuk yayasan dan lembaga perwalian negara) untuk memiliki literasi keuangan yang memadai. Mereka wajib:
Kewajiban memenuhi janji memiliki implikasi besar dalam etika profesional. Dalam bisnis, al-'Ahd adalah kontrak yang mengikat, baik dalam perjanjian domestik maupun internasional. Kegagalan menunaikan janji (wanprestasi) merusak reputasi, tetapi di atas segalanya, merusak pertanggungjawaban spiritual.
Dalam politik dan pemerintahan, janji-janji kampanye, sumpah jabatan, dan perjanjian kenegaraan adalah bentuk al-'Ahd yang paling besar. Para pemimpin mengemban amanah masyarakat, dan kegagalan mereka memenuhi janji-janji tersebut dianggap sebagai pelanggaran amanah yang luas, dengan pertanggungjawaban yang lebih besar karena dampaknya terhadap kesejahteraan publik.
Ayat ini berfungsi sebagai basis teologis untuk seluruh sistem hukum kontrak Islam. Fiqh Muamalah dibangun di atas prinsip bahwa kontrak harus dihormati (Prinsip *Iltizam*). Pelanggaran janji adalah pengecualian, bukan aturan. Hal ini memastikan stabilitas pasar dan mendorong kepercayaan antara pelaku ekonomi.
Untuk memahami kedalaman ayat 34, penting untuk merujuk pada ayat-ayat pelengkapnya, terutama Surah An Nisa ayat 6, yang secara spesifik membahas mekanisme pengembalian harta anak yatim. Proses mencapai Al-Ashudd bukanlah sekadar peristiwa biologis, tetapi sebuah proses edukatif dan evaluatif.
Surah An Nisa [4]: 6 menyatakan: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”
Ujian ini menuntut wali untuk melakukan pengamatan dan evaluasi yang jujur terhadap kemampuan manajemen anak yatim. Bentuk ujian ini bisa bermacam-macam, seperti memberikan mereka modal kecil untuk dikelola, mengizinkan mereka melakukan transaksi sederhana, atau mengajukan pertanyaan tentang bagaimana mereka akan menangani aset besar. Tujuannya adalah memastikan bahwa harta yang telah dilindungi selama bertahun-tahun tidak akan musnah karena ketidakdewasaan mental atau pemborosan.
Para ulama sangat berhati-hati dalam menentukan titik penyerahan harta. Jika seorang anak yatim telah mencapai usia balig tetapi belum memiliki *rusyd*, harta tersebut harus tetap berada di bawah pengawasan wali, meskipun wali tersebut harus melanjutkan pengeluaran yang wajar untuk kebutuhan anak yatim tersebut. Menyerahkan harta kepada orang yang boros adalah sama buruknya dengan menyalahgunakan harta tersebut, karena hasilnya sama: kemusnahan aset yang seharusnya menjadi penopang masa depan anak tersebut.
Seorang wali yang menjalankan amanah dengan cara yang terbaik memiliki kewajiban untuk mencatat semua transaksi secara rinci. Meskipun Al-Qur’an tidak secara eksplisit menyebutkan format pelaporan, penekanan pada "cara yang lebih baik" secara implisit menuntut transparansi maksimal. Ketika waktu penyerahan tiba, laporan keuangan yang jelas menjadi bukti bahwa wali telah menjalankan amanahnya tanpa cela. Ini melindungi wali dari tuduhan dan melindungi hak anak yatim dari kerugian yang tidak tercatat.
Ayat 34 ditutup dengan penekanan pada pertanggungjawaban ilahi (*kāna mas'ūlā*). Penekanan ini berfungsi sebagai penangkal utama terhadap kezaliman, baik dalam urusan harta maupun janji.
Konsep *Mas’ūlā* menunjukkan bahwa janji bukan sekadar kesepakatan antar manusia, tetapi sebuah persaksian yang dicatat oleh Allah SWT. Pada Hari Kiamat, setiap jiwa akan ditanya tentang ikrar, sumpah, dan komitmen yang pernah dibuatnya. Ini mencakup janji yang terlupakan, janji yang disepelekan, dan janji yang dilanggar karena keserakahan atau kelalaian.
Dalam hadis, disebutkan bahwa orang-orang yang paling banyak ditanya pada hari kiamat adalah mereka yang menjadi pemimpin (mereka yang paling banyak memegang janji publik) dan mereka yang mengemban amanah harta.
Kesadaran bahwa janji akan dimintai pertanggungjawaban adalah mekanisme pencegahan (deterrence) yang paling efektif. Ketika seseorang dihadapkan pada godaan untuk mengambil harta anak yatim atau melanggar perjanjian demi keuntungan sesaat, ingatan akan *Mas’ūlā* akan membentengi dirinya. Ini adalah pengingat bahwa keuntungan duniawi yang diperoleh dari pengkhianatan amanah hanyalah ilusi yang akan lenyap, namun konsekuensi di akhirat adalah abadi dan tak terhindarkan.
Ayat ini menegaskan prinsip keadilan Ilahi yang tidak terlampaui. Mungkin di dunia, wali yang zalim dapat lolos dari hukuman manusia, atau pelanggar janji dapat menghindari tuntutan hukum. Namun, di hadapan Allah, tidak ada detail yang terlewatkan. Harta yang diambil secara zalim dan janji yang diingkari akan diperhitungkan dengan seadil-adilnya, bahkan jika harus dibayar dengan amal kebaikan yang telah dikumpulkan sepanjang hidup.
Kajian mendalam terhadap Al Isra ayat 34 mengungkapkan bahwa Islam bukan hanya agama ritual, melainkan sistem etika sosial yang menuntut integritas menyeluruh. Ayat ini memberikan tiga pelajaran fundamental yang harus dipegang teguh oleh setiap Muslim:
Bagian pertama ayat ini mengajarkan empati dan tanggung jawab khusus terhadap kelompok marjinal. Perlindungan harta anak yatim adalah cerminan dari seberapa besar kepedulian masyarakat terhadap mereka yang tidak memiliki pelindung. Keadilan sosial dimulai dari melindungi hak-hak yang paling lemah, bukan hanya dari menuntut hak-hak sendiri.
Bagian kedua ayat ini menetapkan kejujuran sebagai standar mutlak. Ketaatan pada janji menunjukkan kekuatan karakter yang konsisten, baik dalam hubungan horizontal (antar manusia) maupun vertikal (dengan Allah). Integritas adalah prasyarat untuk keimanan yang sejati.
Kesadaran bahwa segala tindakan, janji, dan pengelolaan aset akan diminta pertanggungjawabannya berfungsi sebagai motivasi terbesar untuk bertindak lurus. Ini menjadikan setiap keputusan bukan sekadar pilihan legal, tetapi sebuah keputusan moral yang berimplikasi pada kehidupan abadi.
Pada akhirnya, Al Isra ayat 34 adalah peta jalan menuju masyarakat yang adil dan beradab. Masyarakat yang menghormati dan melindungi yang lemah, dan yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dan pemenuhan komitmen, adalah masyarakat yang dibangun di atas fondasi takwa. Dengan mengamalkan makna mendalam ayat ini, umat Islam diundang untuk menjadi duta keadilan dan amanah di dunia ini, mempersiapkan diri untuk pertanggungjawaban yang menanti di akhirat.
Prinsip *wa aufū bil-'ahd* telah menjadi dasar bagi seluruh kerangka *fiqh muamalat* (hukum interaksi dan transaksi). Dalam syariat, kontrak (akad) tidak hanya dilihat sebagai dokumen legal, tetapi sebagai komitmen moral yang bersifat sakral. Beberapa implikasi hukum yang muncul dari perintah ini meliputi:
Meskipun Islam menghargai kebebasan pihak-pihak untuk menyusun kontrak, prinsip *al-'ahd* memastikan bahwa kebebasan ini tidak boleh melanggar batasan etika. Kontrak harus halal (tidak mengandung riba, gharar/ketidakpastian berlebihan, atau maysir/judi) dan adil. Pemenuhan janji dalam konteks ini adalah mematuhi bukan hanya huruf kontrak, tetapi juga semangat keadilannya.
Ingkar janji dianggap sebagai pengkhianatan (khianat). Dalam hukum Islam, ingkar janji tanpa alasan syar’i yang kuat dapat menimbulkan tuntutan ganti rugi (dhaman). Hukum pidana Islam (jinayah) juga menempatkan pelanggaran amanah yang melibatkan penipuan besar dalam kategori kejahatan yang serius, mencerminkan beratnya pertanggungjawaban yang disebutkan dalam ayat ini.
Dalam beberapa jenis kontrak, Islam memberikan hak kepada pihak-pihak untuk membatalkan kontrak dalam periode tertentu (*khiyar*). Namun, hak ini harus digunakan secara etis. Setelah *khiyar* berakhir, kontrak menjadi mengikat secara mutlak, dan kewajiban *aufū bil-'ahd* berlaku penuh. Ini menunjukkan keseimbangan antara fleksibilitas awal dan keketatan dalam pemenuhan setelah komitmen dibuat.
Meluasnya makna harta anak yatim dan janji dalam konteks modern juga mencakup perlindungan terhadap harta publik dan janji kolektif. Meskipun ayat 34 secara spesifik menyebut anak yatim, spirit perlindungan tersebut berlaku untuk semua harta yang berada dalam pengawasan seseorang tetapi dimiliki oleh pihak lain yang rentan, seperti harta wakaf, dana amal, atau bahkan kekayaan negara.
Pengelola yayasan amal, nadzir wakaf, atau bendahara lembaga sosial berada dalam posisi yang analog dengan wali anak yatim. Mereka mengelola harta yang bukan milik pribadi, tetapi milik pihak-pihak yang lemah atau kolektif. Prinsip *illā billatī hiya aḥsanu* menjadi pedoman wajib: dana harus dikelola dengan cara yang paling efisien, transparan, dan memberikan manfaat maksimal sesuai dengan tujuan wakaf atau amal tersebut. Menyalahgunakan dana publik atau amal adalah kezaliman yang setara atau bahkan lebih besar daripada menyalahgunakan harta individu, karena melibatkan hak banyak orang.
Seorang pejabat publik, yang mengelola anggaran negara dan sumber daya alam, mengemban amanah atas kekayaan seluruh rakyat (yang dalam perspektif spiritual adalah 'harta bersama' di mana hak setiap warga negara, termasuk anak yatim dan fakir miskin, melekat padanya). Janji yang diucapkan saat pelantikan, serta janji untuk melayani dengan adil, adalah bentuk *al-'Ahd* yang paling serius. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang merupakan pelanggaran ganda terhadap amanah dan janji, yang akan menghasilkan pertanggungjawaban paling berat di hadapan Allah.
Ayat ini berfungsi sebagai konstitusi moral bagi tata kelola yang baik. Ia menolak praktik nepotisme, kolusi, dan korupsi karena semua itu adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan (kontrol atas harta yang bukan milik pribadi) dan pelanggaran terhadap janji untuk berbuat adil.
Untuk memastikan bahwa generasi mendatang mampu mengemban amanah Al Isra 34, pendidikan karakter harus diutamakan. Pengajaran tentang amanah harus dimulai sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah.
Anak-anak perlu diajarkan nilai kepemilikan, tanggung jawab atas barang orang lain, dan pentingnya mencatat serta mempertanggungjawabkan pengeluaran, meskipun itu hanyalah uang saku. Ini adalah langkah awal untuk menanamkan *rusyd* (kecerdasan finansial) yang dibutuhkan untuk mengelola aset di masa depan.
Budaya di mana janji lisan pun dihargai setara dengan kontrak tertulis harus ditegakkan. Jika seseorang terbiasa mengabaikan janji kecil, ia akan lebih mudah mengabaikan janji besar. Al-Qur’an menuntut kebenaran (Siddiq) dalam setiap perkataan dan perbuatan. Pemenuhan janji adalah manifestasi fisik dari sifat *siddiq* ini.
Seorang ulama pernah berkata, "Jika seseorang datang kepadamu meminta bantuan, dan ia adalah anak yatim, maka berikan bantuan itu seolah kamu memberikannya kepada dirimu sendiri. Jika kamu membuat perjanjian, penuhilah seolah itu adalah tali keselamatanmu menuju surga." Perkataan ini merangkum esensi dari ayat 34: meletakkan standar perlakuan tertinggi dalam interaksi sosial dan menjadikannya sebagai timbangan amal di Hari Akhir.
Kesimpulannya, Al Isra ayat 34 bukan sekadar nasihat moral yang baik, melainkan perintah ilahi yang mengikat, merangkum dua aspek krusial kehidupan beriman: keadilan ekonomi terhadap yang rentan dan integritas dalam hubungan sosial. Pemahaman dan penerapan ayat ini adalah fondasi bagi terciptanya masyarakat yang berlandaskan amanah, keadilan, dan ketaatan yang menyeluruh. Setiap langkah yang diambil dalam mengelola harta, dan setiap kata yang diucapkan sebagai janji, adalah jejak yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta.