Surah Al-Isra, khususnya ayat ke-23, menempati posisi sentral dalam pemahaman ajaran Islam mengenai struktur etika dan moralitas. Ayat ini bukan sekadar petunjuk praktis tentang tata krama; ia adalah deklarasi teologis yang menghubungkan pilar tauhid (keesaan Allah) secara langsung dengan prinsip berbakti (ihsan) kepada kedua orang tua. Penempatan perintah berbakti ini segera setelah perintah untuk menyembah Allah semata menunjukkan bahwa hak orang tua adalah hak yang paling utama di antara hak-hak makhluk, menjadikannya kewajiban yang bersifat fundamental dan tak terpisahkan dari keimanan.
Ketika seseorang memahami struktur ayat ini, ia akan menyadari bahwa hubungan vertikal dengan Sang Pencipta (Allah SWT) dan hubungan horizontal dengan kedua orang tua (manusia terdekat) adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kehancuran salah satu hubungan ini akan mengakibatkan keretakan pada fondasi keimanan dan kepribadian seorang Muslim. Ayat ini berfungsi sebagai konstitusi spiritual dan sosial, mengatur perilaku seorang anak sepanjang hidupnya, terutama ketika kedua orang tua memasuki fase usia lanjut, masa ketika mereka paling membutuhkan empati, kesabaran, dan penghormatan.
Pentingnya kajian mendalam terhadap Al-Isra ayat 23 terletak pada detail perintah dan larangan yang terkandung di dalamnya. Larangan yang sangat spesifik, yaitu mengucapkan kata “ah” (uff), memberikan batasan minimal perilaku yang dapat diterima, menekankan bahwa bahkan ekspresi ketidaknyamanan yang paling ringan pun dilarang jika ditujukan kepada orang tua. Ini menetapkan standar etika yang sangat tinggi, melampaui sekadar kepatuhan hukum, menuju kesempurnaan moral (ihsan) dalam interaksi sehari-hari.
Kajian ini akan membedah setiap frasa, menguraikan konteks teologis, makna linguistik yang mendalam, serta implikasi praktisnya dalam kehidupan modern, di mana konflik antar-generasi sering kali menjadi tantangan dalam menjaga pilar kehormatan ini.
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah melainkan hanya kepada-Nya, dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.
Ayat ini dibagi menjadi tiga bagian instruksi utama yang sangat jelas dan terstruktur, menunjukkan prioritas ilahi dalam etika kehidupan seorang Muslim. Struktur ini adalah kunci untuk memahami keseluruhan ajaran Islam tentang hak dan kewajiban.
Frasa awal, وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا إِلَّا إِيَّاهُ (Wa qadhā Rabbuka allā ta‘budū illā iyyāh), adalah penegasan kembali doktrin inti Islam: Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah. Kata قَضَىٰ (Qadha) di sini tidak hanya berarti "memerintahkan" tetapi juga "menetapkan" atau "menentukan" sebagai suatu ketetapan yang pasti dan wajib. Ini menegaskan bahwa kewajiban paling dasar dan utama bagi setiap hamba adalah mengesakan Allah dalam ibadah.
Penempatan Tauhid sebagai perintah pertama adalah peringatan bahwa semua amal perbuatan, termasuk berbakti kepada orang tua, harus didasarkan pada dan ditujukan untuk mencari keridaan Allah semata. Tanpa dasar tauhid yang kuat, bahkan kebaikan yang dilakukan kepada orang tua bisa menjadi amal yang sia-sia di mata syariat, karena ia tidak didasarkan pada perintah Ilahi.
Segera setelah tauhid, datanglah perintah kedua: وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا (wa bil-wālidaini iḥsānā). Ihsan di sini berarti kebaikan yang sempurna, bukan sekadar menunaikan kewajiban, tetapi memberikan yang terbaik melebihi standar minimum. Ihsan mencakup kebaikan materi, pelayanan, dan yang paling penting, kebaikan dalam perilaku, tutur kata, dan sikap mental.
Mengapa hak orang tua berada di samping hak Allah? Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ini karena orang tua adalah sebab eksistensi seseorang di dunia ini. Mereka adalah manifestasi pertama dari rahmat dan kasih sayang Allah yang dialami oleh seorang anak. Oleh karena itu, berterima kasih dan berbakti kepada mereka adalah bagian integral dari rasa syukur kepada Allah SWT.
Ayat kemudian menyempitkan fokus pada kondisi yang paling rentan: usia tua (al-kibara). إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا (Immā yablughanna ‘indakal-kibara aḥaduhumā au kilāhumā). Penekanan pada ‘di sisimu’ (‘indaka) menunjukkan bahwa tanggung jawab pemeliharaan beralih sepenuhnya kepada anak, apalagi jika orang tua tersebut sudah menjadi rentan, lemah, atau mengalami penurunan fungsi fisik dan mental.
Di sinilah datang larangan ganda yang sangat spesifik:
Untuk mencapai kedalaman pemahaman, penting untuk membedah terminologi Arab yang digunakan dalam Al-Isra ayat 23. Pilihan kata-kata oleh Allah SWT selalu tepat dan sarat makna, memberikan dimensi teologis yang lebih kaya daripada terjemahan literal.
Secara bahasa, qadha memiliki beberapa makna, termasuk memutuskan, menetapkan, menyelesaikan, dan memerintahkan. Dalam konteks ayat ini, penggunaannya mengindikasikan bahwa perintah Tauhid dan Ihsan kepada orang tua bukan sekadar anjuran (nasihat) melainkan suatu ketetapan yang mengikat (hukm shar’i).
Ketika Allah menggunakan qadha, ini menunjukkan bahwa ini adalah hukum kosmik dan ilahiah yang tidak dapat ditawar. Ini menekankan urgensi dan kedudukan perintah ini dalam hierarki syariat. Ini bukan hak opsional bagi orang tua; ini adalah kewajiban mutlak yang ditetapkan langsung oleh Sang Pencipta. Berbeda dengan kata kerja lain seperti amara (memerintahkan), qadha membawa konotasi penetapan takdir dan hukum yang universal dan kekal.
Kata Ihsan berasal dari akar kata husn, yang berarti indah atau baik. Ihsan adalah level tertinggi dari praktik keagamaan, melampaui Islam (kepatuhan) dan Iman (keyakinan). Rasulullah SAW mendefinisikan Ihsan sebagai ‘menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.’
Menerapkan Ihsan kepada orang tua berarti:
Dengan demikian, Al-Qur’an tidak hanya meminta kita ‘berbuat baik,’ tetapi menuntut kesempurnaan kebaikan (Ihsan). Ini adalah standar tertinggi dalam etika keluarga.
Kata Uff adalah interjeksi yang sangat ringkas dalam bahasa Arab, yang sering diartikan sebagai "ah," "cis," "hush," atau ungkapan kejengkelan, bosan, atau frustrasi yang sangat minim. Para ahli bahasa (lughah) dan mufassir (penafsir) telah menghabiskan banyak waktu untuk menganalisis betapa kecilnya kata ini, namun betapa besarnya larangannya.
Mengapa Allah melarang kata yang begitu kecil? Larangan ini bersifat simbolis dan pedagogis:
Jika larangan Uff adalah batasan minimum, maka perintah Qaulan Karima (perkataan yang mulia) adalah standar maksimal yang harus dicapai. Kata Karima (mulia, terhormat) menyiratkan beberapa dimensi:
Perintah Qaulan Karima menuntut lebih dari sekadar menghindari keburukan; ia menuntut keaktifan dalam memberikan kebaikan lisan.
Para mufassir klasik telah banyak membahas Al-Isra ayat 23, terutama tentang mengapa Allah menekankan kondisi usia lanjut (al-kibara).
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa penyebutan usia lanjut secara spesifik adalah karena pada fase inilah orang tua biasanya mencapai puncak kelemahan, baik fisik maupun mental. Mereka mungkin menjadi lebih rewel, pelupa, atau membutuhkan perhatian yang berlebihan. Pada saat inilah kesabaran anak diuji secara maksimal.
Sebelum usia lanjut, orang tua biasanya masih kuat dan mampu merawat diri sendiri, sehingga interaksi anak mungkin lebih didasarkan pada rasa terima kasih atas jasa masa lalu. Namun, saat usia lanjut, hubungan itu berubah menjadi totalitas pengabdian, di mana anak harus mengorbankan waktu, energi, dan bahkan kenyamanan pribadinya.
“Kelembutan dan kesabaran yang dituntut dari seorang anak ketika orang tua mencapai usia tua adalah bentuk pengembalian jasa. Sebab, dahulu orang tua telah merawat anaknya dalam keadaan yang sama: lemah, tak berdaya, dan sangat bergantung.” (Ringkasan dari Tafsir Ibn Katsir)
Larangan وَلَا تَنْهَرْهُمَا (wa lā tanharhumā - janganlah membentak keduanya) adalah langkah etika berikutnya setelah larangan Uff. Jika Uff adalah manifestasi hati, Tanhar adalah manifestasi lisan yang lebih agresif. Membentak mencakup:
Dalam konteks modern, Tanhar juga dapat diterjemahkan menjadi sikap meremehkan pandangan mereka, mengabaikan nasihat mereka, atau memperlakukan mereka sebagai individu yang tidak kompeten hanya karena usia mereka. Ayat ini menuntut agar komunikasi dengan orang tua selalu berlangsung dalam suasana damai dan penuh penghargaan, tanpa ada elemen intimidasi atau penolakan kasar.
Ketika orang tua berada 'di sisimu' (‘indaka), ini menuntut adanya kehadiran fisik dan mental dari anak. Ini bukan hanya tentang menyediakan dana, tetapi tentang menyediakan waktu, empati, dan kehadiran emosional. Anak harus siap mengesampingkan kepentingan pribadinya demi kenyamanan orang tua, meniru pengorbanan yang pernah dilakukan orang tua ketika anak masih kecil.
Ayat ini secara eksplisit menggeser peran: anak yang sebelumnya dilayani kini menjadi pelayan. Ini adalah ujian keimanan dan kesetiaan terbesar. Jika anak gagal dalam ujian ini, klaimnya tentang ketulusan ibadah kepada Allah pun patut dipertanyakan, karena ia telah gagal dalam hak yang ditetapkan Allah setelah hak-Nya sendiri.
Kaitan erat antara Tauhid dan Birrul Walidain (berbakti kepada orang tua) memiliki implikasi yang mendalam dalam teologi (Aqidah) dan hukum Islam (Fiqh).
Mengabaikan hak Allah (Tauhid) adalah Syirik Akbar (besar), dosa yang tidak diampuni. Mengabaikan hak orang tua (Birrul Walidain) dianggap sebagai salah satu dosa besar (al-Kaba’ir) setelah syirik. Beberapa ulama bahkan menafsirkan bahwa durhaka kepada orang tua adalah bentuk syirik yang tersembunyi, jika kepatuhan kepada makhluk lain (pasangan, anak, atasan) didahulukan secara mutlak melebihi kewajiban kepada orang tua yang diperintahkan Allah.
Keutamaan berbakti juga disandingkan dengan Jihad di jalan Allah. Ketika seorang pria meminta izin kepada Nabi SAW untuk ikut berjihad, Nabi bertanya, "Apakah engkau masih memiliki kedua orang tua?" Ketika dijawab 'ya,' Nabi bersabda, "Maka berjihadlah (berjuanglah) di dalam melayani mereka berdua." Ini menunjukkan bahwa melayani orang tua, terutama yang lemah, memiliki nilai spiritual yang setara, bahkan terkadang lebih utama, daripada jihad fisik.
Meskipun kewajiban berbakti sangat tinggi, ketaatan kepada orang tua bukanlah absolut. Ayat 23 dari Surah Al-Isra harus dibaca bersama dengan konteks Al-Qur'an lainnya. Ketaatan berhenti total ketika orang tua memerintahkan anak untuk melakukan syirik atau maksiat. Allah berfirman dalam Surah Luqman (31:15):
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik...”
Poin krusial di sini adalah bahwa bahkan ketika anak menolak perintah orang tua yang mengandung kemaksiatan, perintah untuk 'bergaul dengan baik' (wa shāḥibhumā fid-dunyā ma‘rūfā) tetap berlaku. Anak harus menolak perintah maksiat dengan tegas namun menggunakan Qaulan Karima, tanpa membentak atau menyakiti perasaan mereka. Ini menunjukkan betapa universalnya kewajiban etika dalam ayat 23.
Secara fiqih, mayoritas madzhab sepakat bahwa nafkah kepada orang tua yang miskin atau tidak mampu adalah wajib (fardhu kifayah jika ada saudara lain, atau fardhu 'ain jika anak tersebut satu-satunya yang mampu). Kewajiban ini mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal, dan perawatan medis yang layak. Kebutuhan ini tidak hanya terbatas pada kebutuhan dasar minimum; ia harus sesuai dengan standar hidup yang dimiliki anak yang berkewajiban memberi nafkah, selama tidak melanggar batasan syariat.
Pelaksanaan nafkah harus dilakukan dengan kerelaan hati dan tanpa sedikit pun ungkapan mengungkit-ungkit jasa atau pengorbanan yang telah diberikan. Mengungkit-ungkit kebaikan adalah salah satu penghapus pahala amal, dan dalam konteks Birrul Walidain, ini dapat dianggap setara dengan bentuk Uff secara non-verbal.
Tantangan dalam menerapkan ayat ini di era modern sering kali terkait dengan jarak geografis, kesibukan karier, dan perbedaan budaya antar-generasi yang kian lebar. Namun, prinsip-prinsip Ihsan tetap relevan dan menuntut adaptasi cerdas.
Bagi anak-anak yang tinggal jauh dari orang tua, Ihsan tidak dapat dicapai hanya dengan mengirimkan uang bulanan. Wajib hukumnya untuk menjaga komunikasi yang konsisten dan berkualitas. Ini berarti:
Perbedaan pandangan antara anak yang modern dan orang tua yang mungkin tradisional seringkali memicu ketegangan. Ketika orang tua memberikan nasihat yang tidak relevan atau bertentangan dengan pilihan hidup anak, ayat 23 menuntut strategi komunikasi yang cerdas:
Fase al-kibara seringkali melibatkan penyakit kronis, demensia, atau kebutuhan perawatan 24 jam. Ini adalah medan jihad terbesar bagi anak. Kesabaran adalah kunci.
Bagaimana jika orang tua itu sendiri kasar, toksik, atau secara emosional menyakiti anak? Ayat 23 tidak mencabut kewajiban Ihsan, bahkan dalam kondisi yang sulit. Para ulama sepakat:
Berbakti kepada orang tua menurut Al-Isra 23 bukan hanya tentang perbuatan fisik, tetapi juga tentang kesehatan jiwa dan spiritual. Kewajiban ini memiliki dampak timbal balik bagi pelakunya.
Sikap durhaka (‘Uquq al-Walidain) seringkali berakar pada kesombongan dan perasaan superioritas intelektual atau finansial anak terhadap orang tua. Ayat 23, terutama larangan Uff, secara efektif menyerang akar kesombongan ini. Dengan merendahkan diri dan melayani mereka yang lemah, anak diajarkan untuk bersikap rendah hati dan mengakui ketergantungan dirinya pada rantai sebab-akibat yang ditetapkan Allah melalui orang tua.
Salah satu perintah etika yang sering diulang setelah Al-Isra 23 adalah perintah untuk mendoakan kedua orang tua. Ayat berikutnya (Al-Isra: 24) memerintahkan:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’”
Doa ini adalah pengakuan bahwa Ihsan manusia tidak pernah bisa membalas jasa orang tua. Doa meminta rahmat Allah (rahmah) adalah bentuk Ihsan tertinggi, mengakui bahwa hanya Allah yang mampu membalas jasa mereka secara sempurna. Selain itu, doa orang tua untuk anak dan doa anak yang saleh untuk orang tua adalah doa yang dijamin dikabulkan (mustajab), menjadikannya investasi spiritual jangka panjang.
Sikap anak terhadap orang tuanya akan menjadi model bagi cucu (generasi penerus). Anak yang memperlakukan orang tuanya dengan Ihsan sedang mengajarkan cucunya cara memperlakukan dirinya kelak. Hukum sosial ini seringkali digambarkan dalam tradisi Islam sebagai karma sosial: apa yang ditanam akan dituai. Dengan demikian, penerapan Al-Isra 23 adalah cara terbaik untuk menjamin bahwa anak-anak kita sendiri akan tumbuh menjadi individu yang berbakti.
Kewajiban Ihsan dalam ayat 23 tidak hanya berfokus pada apa yang orang tua terima, tetapi juga pada apa yang anak capai secara spiritual—yaitu, kedekatan yang lebih dalam dengan Allah SWT, karena ia telah menunaikan perintah yang diletakkan berdampingan dengan perintah Tauhid itu sendiri.
Keterkaitan antara perintah Tauhid dan perintah berbakti ini mencerminkan sebuah keseimbangan kosmik. Keseimbangan ini mengajarkan bahwa spiritualitas yang sejati harus tercermin dalam interaksi sosial yang paling mendasar. Seseorang tidak dapat mengklaim mencintai Allah jika ia secara kasar memperlakukan orang yang menjadi sebab ia ada di dunia ini. Pelaksanaan Al-Isra 23 adalah barometer keimanan yang paling jujur.
Ketika Allah berfirman وَقَضَىٰ رَبُّكَ, ini adalah sebuah penetapan yang mengikat hati dan jiwa. Penetapan ini menuntut agar seluruh energi, waktu, dan harta anak diarahkan untuk menunaikan hak ini tanpa keluh kesah. Menghela napas berat saat dimintai tolong, memutar mata saat dinasihati, atau menunjukkan ekspresi bosan saat mereka berbicara—semua ini adalah bentuk-bentuk Uff modern yang harus dihindari dengan kesungguhan hati.
Ayat ini menegaskan kembali prinsip bahwa penuaan adalah proses alami yang harus dihadapi dengan martabat dan dukungan. Anak adalah tongkat penopang moralitas dan fisik orang tua mereka. Kegagalan dalam peran ini adalah kegagalan moralitas universal, bukan hanya kegagalan pribadi. Oleh karena itu, persiapan mental untuk fase al-kibara harus dimulai sejak dini. Anak harus belajar mengelola emosi dan kesibukan hidupnya agar memiliki cadangan energi dan kesabaran untuk melayani orang tua tanpa merasa terpaksa.
Konsep Ihsan dalam ayat ini menuntut keberlanjutan. Ini bukan perbuatan sekali jadi, melainkan sikap hidup yang berkelanjutan. Kebaikan harus konsisten, bahkan ketika orang tua tidak lagi ingat jasa anak, atau ketika mereka tidak mampu memberikan balasan. Motivasi harus murni hanya karena perintah Allah.
Dalam dimensi spiritual, Birrul Walidain adalah pemurnian diri. Setiap tindakan melayani yang sulit, setiap detik kesabaran yang dicurahkan, setiap pengekangan diri dari mengucapkan Uff, adalah latihan spiritual yang setara dengan ibadah sunnah yang paling utama. Ia membersihkan dosa-dosa masa lalu dan melapangkan rezeki, sebagaimana dijanjikan dalam banyak hadis.
Standar Qaulan Karima sangat tinggi. Ini menuntut kita untuk berbicara kepada orang tua sebagaimana seorang hamba berbicara kepada rajanya, atau sebagaimana seorang murid berbicara kepada gurunya yang paling dihormati, namun dengan sentuhan kehangatan dan keintiman yang hanya dimiliki oleh hubungan keluarga. Perkataan mulia mencakup:
Kesalahan umum di era modern adalah menganggap orang tua sebagai ‘teman’ sebaya, yang kemudian membenarkan penggunaan bahasa yang kurang formal dan batas-batas etika yang kendur. Qaulan Karima menolak pendekatan ini, menegaskan bahwa status orang tua selalu lebih tinggi dan menuntut formalitas kehormatan.
Aspek paling menantang dari Ihsan pada fase usia lanjut adalah kesabaran terhadap kelemahan fisik dan kognitif orang tua. Penyakit seperti Alzheimer atau demensia dapat mengubah kepribadian mereka secara drastis, membuat mereka agresif, curiga, atau lupa ingatan.
Dalam kondisi seperti ini, ayat 23 menuntut kita untuk melihat kelemahan ini sebagai ujian langsung dari Allah. Anak harus mampu memisahkan penyakit dari identitas orang tua mereka, dan memperlakukan mereka dengan kasih sayang yang sama seperti saat mereka sehat. Setiap bentakan (Tanhar) atau keluhan (Uff) dalam kondisi ini memiliki bobot dosa yang jauh lebih besar, karena ditujukan kepada jiwa yang sudah tidak berdaya.
Kesabaran yang ditunjukkan anak saat merawat orang tua yang sakit adalah bentuk ibadah yang tiada bandingnya. Rasulullah SAW bersabda bahwa keridaan Allah terletak pada keridaan orang tua, dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan orang tua. Mencari keridaan dalam kondisi sulit inilah yang menjadi puncak dari Birrul Walidain.
Kewajiban Ihsan tidak berakhir saat orang tua meninggal dunia. Bahkan setelah kematian mereka, anak tetap diwajibkan meneruskan Birrul Walidain, yang dilakukan melalui beberapa cara:
Ini menunjukkan bahwa Al-Isra 23 menetapkan sebuah hubungan yang bersifat abadi, melintasi batas kehidupan duniawi, dan terus membawa pahala bagi kedua belah pihak di akhirat.
Ketika kita kembali merenungkan frasa وَقَضَىٰ رَبُّكَ, kita menyadari bahwa ketetapan ilahi ini bukan beban, melainkan hadiah. Allah memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk meraih pahala tertinggi di dunia dengan cara yang paling dekat dan nyata: berbakti kepada orang yang melahirkan kita. Peluang ini harus disambut dengan sukacita dan pengorbanan, karena ia adalah jalan pintas menuju keridaan Ilahi dan pelengkap sempurna bagi Tauhid.
Ketentuan dalam ayat 23 ini menegaskan bahwa etika adalah inti dari agama. Islam tidak memisahkan ritual dari perilaku. Bagaimana seseorang memperlakukan orang tuanya adalah cerminan langsung dari bagaimana ia menghargai perintah Tuhannya. Jika Tauhid adalah fondasi, maka Ihsan kepada orang tua adalah dinding pertama yang harus dibangun di atas fondasi tersebut. Dinding ini harus kokoh, tanpa celah, dan mampu menahan ujian waktu dan kesulitan.
Sebagaimana Al-Isra 23 menjanjikan pahala agung bagi Birrul Walidain, syariat juga memperingatkan tentang dampak buruk dari durhaka (‘Uquq al-Walidain).
Durhaka kepada orang tua diklasifikasikan sebagai salah satu dosa besar (al-Kaba’ir). Nabi SAW menyebut durhaka secara eksplisit setelah syirik, menegaskan kembali hierarki yang terdapat dalam Al-Isra 23. Konsekuensi dari dosa besar ini bukan hanya siksa di akhirat, tetapi juga azab yang dipercepat di dunia.
Azab duniawi bagi durhaka seringkali termanifestasi dalam bentuk kesulitan rezeki, ketidakberkahan dalam rumah tangga, dan terutama, mendapatkan perlakuan yang sama dari anak-anaknya sendiri di masa tua. Ini adalah refleksi hukum timbal balik ilahi.
Durhaka tidak selalu berbentuk pemukulan atau pengusiran. Ayat 23 mengajarkan bahwa durhaka dapat terwujud dalam bentuk yang sangat halus dan terinternalisasi, yaitu:
Pengabaian emosional di era modern seringkali lebih menyakitkan daripada pengabaian fisik. Orang tua yang ditinggalkan dalam kesendirian, meskipun berada di rumah mewah, merasakan pengkhianatan yang mendalam, yang secara spiritual setara dengan durhaka yang parah.
Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa doa orang yang durhaka adalah doa yang tertolak. Durhaka menciptakan penghalang besar antara hamba dan Rabb-nya, karena ia telah melanggar perjanjian etika yang ditetapkan berdampingan dengan perjanjian Tauhid. Bagaimana mungkin seorang hamba mengharapkan belas kasihan Allah, sementara ia sendiri tidak mampu menunjukkan belas kasihan kepada orang yang paling berhak menerimanya?
Oleh karena itu, setiap Muslim yang ingin doanya dikabulkan dan rezekinya dilapangkan harus secara aktif memastikan bahwa tidak ada sedikitpun unsur Uff atau Tanhar dalam interaksinya sehari-hari dengan kedua orang tua.
Penting untuk dipahami bahwa keharusan Ihsan berlaku pada semua aspek kehidupan. Dalam urusan warisan, dalam urusan perkawinan, dalam urusan karier—orang tua harus dihormati dan dimintai nasihat (meskipun keputusannya tetap pada anak yang sudah baligh), tetapi proses komunikasinya harus selalu dibalut oleh Qaulan Karima. Tidak ada situasi, kecuali yang melibatkan kemaksiatan, yang membenarkan sikap kurang ajar atau kasar kepada mereka.
Kajian mendalam terhadap Al-Isra 23 membuka mata kita bahwa Islam bukan sekadar kumpulan ritual, tetapi sistem moral yang lengkap. Ayat ini adalah pedoman abadi yang mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari kekayaan atau kekuasaan, melainkan dari keindahan akhlaknya terhadap orang yang paling rentan dalam hidupnya: orang tua yang telah renta.
Setiap detail dalam ayat ini—mulai dari frasa penetapan (Qadha), standar kebaikan (Ihsan), batasan minimum (Uff), larangan agresi lisan (Tanhar), hingga standar lisan tertinggi (Qaulan Karima)—dirancang untuk membangun individu yang memiliki fondasi spiritual yang teguh dan moralitas sosial yang tak tercela.
Ketentuan ini menjamin bahwa masyarakat yang menjunjung tinggi Birrul Walidain adalah masyarakat yang sehat, saling menghargai, dan berkah. Sebaliknya, masyarakat yang mengabaikan hak orang tua akan cenderung individualistik, dingin, dan pada akhirnya, terpecah secara sosial dan spiritual.
Kewajiban berbakti, pada akhirnya, adalah manifestasi syukur. Syukur kepada Allah atas kehidupan, dan syukur kepada orang tua yang menjadi perantara kehidupan itu. Birrul Walidain adalah simpul yang mengikat takdir vertikal dan horizontal manusia, memastikan bahwa perjalanan spiritual seorang Muslim selalu seimbang antara ibadah ritual dan interaksi kemanusiaan yang mulia.
Dan hendaknya setiap anak merenungkan bahwa kesempatan untuk menunaikan Ihsan kepada orang tua yang masih hidup adalah jendela kesempatan yang terbatas. Ketika kesempatan itu hilang, penyesalan adalah satu-satunya yang tersisa. Oleh karena itu, percepatan dalam menunaikan hak ini dengan standar Qaulan Karima adalah kebutuhan mendesak, bukan pilihan yang dapat ditunda. Kehidupan orang tua yang renta adalah laboratorium Ihsan, tempat seorang Muslim menguji ketulusan dan kekuatan imannya yang sesungguhnya.
Ayat mulia ini terus bergema dalam sanubari umat, mengingatkan bahwa Tauhid adalah kepala agama, dan Birrul Walidain adalah lengan kanannya. Keduanya harus bergerak seirama, harmonis, menuju keridaan Allah SWT.