Ilustrasi visual koneksi Mekah dan Baitul Maqdis yang melambangkan Isra Mi'raj.
Surah Al-Isra, yang menempati urutan ke-17 dalam mushaf Al-Quran, adalah sebuah mahakarya ilahiah yang berfungsi sebagai jembatan antara mukjizat terbesar yang dialami Rasulullah ﷺ dan fondasi etika sosial universal bagi umat manusia. Namanya sendiri, yang berarti "Perjalanan Malam," secara eksplisit merujuk pada mukjizat agung Isra Mi'raj, sebuah peristiwa yang melampaui batas logika ruang dan waktu.
Namun, keagungan surah ini tidak hanya terletak pada kisah perjalanan fisik dan spiritual tersebut. Setelah pembukaan yang merangkum mukjizat itu, Surah Al-Isra membentangkan serangkaian instruksi moral dan hukum yang begitu rinci dan mendasar, sehingga ia sering disebut sebagai "Piagam Etika Universal" dalam tradisi Islam. Surah ini diturunkan pada masa-masa sulit di Mekah, ketika Rasulullah dan para sahabat mengalami penganiayaan hebat, menandakan bahwa sebelum kemenangan militer atau politik diraih, umat harus terlebih dahulu membangun kemuliaan spiritual dan moral yang kokoh. Ini adalah pemurnian batin sebelum penegasan ajaran di dunia luar.
Ayat pertama Surah Al-Isra adalah inti dari keseluruhan perjalanan ini, sekaligus kunci untuk memahami kekuatan tak terbatas Sang Pencipta. Allah berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Terjemahannya: "Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Pembukaan dengan kata "Subhana" (Maha Suci) bukanlah sebuah kebetulan. Ini adalah penegasan teologis yang tegas. Dalam literatur tafsir, penggunaan kata ini di awal sebuah pernyataan besar biasanya berfungsi untuk menghilangkan segala keraguan atau keheranan yang mungkin timbul di benak pendengar terhadap peristiwa yang akan diuraikan. Peristiwa Isra adalah sesuatu yang secara logis mustahil terjadi dalam waktu semalam. Oleh karena itu, Allah memulai dengan memproklamasikan bahwa Dia berada di atas segala keterbatasan yang diterapkan oleh hukum fisika dan logika manusia. Peristiwa ini adalah manifestasi langsung dari kekuasaan ilahiah, sebuah tindakan yang hanya mampu dilakukan oleh Zat yang Maha Agung dan Maha Suci dari segala kekurangan.
Kata kunci kedua yang memiliki bobot teologis luar biasa adalah penggunaan frasa "Bi-'Abdihi" (dengan hamba-Nya). Allah tidak menyebut Rasulullah dengan gelar kenabiannya (An-Nabi) atau gelar kerasulannya (Ar-Rasul), tetapi menggunakan gelar tertinggi yang mungkin diraih oleh manusia: 'Abd (Hamba). Pilihan terminologi ini mengandung pelajaran mendalam. Status hamba (penyerahan diri total) adalah puncak dari hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Hanya ketika seseorang mencapai kesempurnaan dalam penghambaannya, ia layak menerima karunia dan mukjizat terbesar. Perjalanan agung ini bukanlah tentang kemuliaan pribadi, melainkan tentang penegasan status spiritual Rasulullah sebagai hamba yang paling tulus dan paling dicintai.
Hubungan antara Isra (perjalanan horizontal dari Mekah ke Yerusalem) dan Mi'raj (perjalanan vertikal naik ke langit) adalah integral. Isra adalah persiapan fisik dan spiritual, pengakuan terhadap Baitul Maqdis sebagai pusat kenabian masa lalu, sementara Mi'raj adalah puncak pertemuan dengan Ilahi, penerimaan perintah Salat lima waktu, yang menjadi Mi'raj bagi setiap mukmin.
Perjalanan malam ke Masjidil Aqsa (Masjid yang Paling Jauh) menegaskan kesinambungan pesan Ilahi. Baitul Maqdis, di Yerusalem, adalah kiblat pertama umat Islam dan merupakan tempat para nabi terdahulu seperti Ibrahim, Musa, dan Isa menjalankan misi mereka. Dengan mengakhiri Isra di sana, Rasulullah ﷺ mengambil alih tongkat estafet kenabian, menjadi imam bagi semua nabi dalam Salat sebelum beliau naik ke langit. Ini bukan hanya perjalanan geografis, tetapi deklarasi bahwa Islam adalah penyempurna dan kesinambungan dari semua wahyu yang diturunkan sebelumnya. Kawasan sekitarnya yang diberkahi (barakna haulahu) merujuk pada kesuburan spiritual dan banyaknya nabi yang diutus ke wilayah Syam tersebut.
Setelah mengisahkan mukjizat yang terjadi di luar dimensi manusia, Surah Al-Isra beralih secara drastis dari narasi gaib menuju fondasi moral yang sangat praktis dan membumi. Ayat 23 hingga 40 menyajikan seperangkat pedoman etika yang komprehensif, dikenal sebagai "Sepuluh Perintah" versi Al-Quran, yang bertujuan membentuk individu dan masyarakat yang beradab dan berakhlak mulia. Keindahan penempatan ayat-ayat ini adalah bahwa setelah menyaksikan keagungan Allah melalui Isra Mi’raj, kaum muslimin diperintahkan untuk mengaplikasikan keagungan itu dalam perilaku sehari-hari mereka.
Perintah pertama dan terpenting setelah penegasan tauhid (keesaan Allah) adalah perlakuan terhadap orang tua. Ayat 23 meletakkan dasar hubungan manusia yang paling suci:
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik (ihsan) kepada ibu bapak."
Penyandingan perintah Tauhid dengan Ihsan kepada orang tua menunjukkan betapa fundamentalnya peran orang tua dalam struktur moral Islam. Terdapat beberapa lapisan makna yang mendalam dari perintah ini:
Larangan menggunakan kata sekecil dan seringan apapun seperti 'Ah' atau 'Uff' (ungkapan ketidakpuasan atau kejengkelan) menunjukkan tuntutan kesabaran dan kelembutan yang ekstrem. Ini bukan hanya larangan lisan, tetapi larangan terhadap ekspresi emosi negatif sekecil apapun di hadapan mereka. Jika kata 'Uff' saja dilarang, maka perbuatan yang lebih buruk, seperti membentak atau memukul, secara otomatis dan jauh lebih dilarang.
Perintah untuk "merendahkan dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang" menyiratkan bahwa seberapa pun tinggi jabatan atau tingkat pendidikan seseorang, di hadapan orang tua, ia harus tetap menjadi anak yang patuh. Ini adalah pengakuan atas pengorbanan masa lalu mereka, serta hak mereka atas rasa hormat abadi.
Kajian mendalam para ahli tafsir menekankan bahwa berbuat baik kepada orang tua adalah ujian nyata dari keimanan seseorang. Jika seseorang gagal dalam menghormati dua pintu surga terdekat ini, klaimnya atas keimanan kepada Allah mungkin dipertanyakan, karena Allah menghubungkan syukur kepada-Nya dengan syukur kepada orang tua. Kebaikan ini harus terus menerus, tidak hanya saat mereka tua dan lemah, tetapi sepanjang hidup. Bahkan setelah mereka wafat, ihsan dilanjutkan melalui doa, melunasi janji mereka, dan menjaga silaturahmi dengan sahabat-sahabat mereka.
Ayat-ayat berikutnya memperluas cakupan etika dari keluarga inti menuju masyarakat yang lebih luas, menekankan distribusi kekayaan yang adil dan menjauhi perilaku boros.
Surah ini menetapkan hak yang jelas bagi tiga kelompok: kaum kerabat (silaturahmi), orang miskin yang membutuhkan, dan musafir yang terputus bekalnya. Ini menegaskan bahwa kekayaan bukanlah milik pribadi semata, melainkan amanah yang memiliki hak bagi orang lain yang termaktub di dalamnya. Pengabaian hak-hak ini dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap perjanjian sosial dan ilahiah.
Allah melarang pemborosan yang berlebihan (tabzir) dan menyandingkan para pemboros dengan saudara-saudara setan. Definisi tabzir di sini adalah mengeluarkan harta bukan pada jalan yang benar, bahkan jika jumlah yang dikeluarkan itu sedikit. Ini mengajarkan keseimbangan ekonomi: tidak kikir (seperti disebutkan dalam Ayat 29) dan tidak boros, melainkan jalan tengah yang bijaksana. Pemborosan dianggap merusak karena ia mengalihkan sumber daya dari kebutuhan orang yang berhak dan menunjukkan ketidakmampuan individu untuk menghargai nikmat Allah.
Surah Al-Isra kemudian menetapkan prinsip-prinsip fundamental dalam hukum pidana dan etika seksual, yang bertujuan melindungi lima kebutuhan dasar (Maqashid Syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Pada masa jahiliyah, pembunuhan anak, terutama anak perempuan, sering terjadi karena alasan kemiskinan atau aib. Surah ini secara tegas melarang praktik ini, memberikan jaminan bahwa rezeki mereka (anak-anak) dan rezeki orang tua ditanggung oleh Allah. Ayat ini menanamkan kepercayaan mutlak kepada rezeki Allah, menghilangkan rasa takut akan kemiskinan yang sering mendorong tindakan keji tersebut.
Ayat ini unik karena ia tidak hanya melarang perbuatan zina itu sendiri, tetapi melarang *mendekati* segala jalan yang dapat mengarah ke sana. Ini menunjukkan pentingnya sadd adz-dzari'ah (menutup pintu kerusakan). Zina disebut sebagai perbuatan keji (fahisyah) dan seburuk-buruknya jalan, karena ia merusak silsilah keturunan, tatanan keluarga, dan kehormatan masyarakat.
Jiwa manusia memiliki kehormatan yang tinggi. Pembunuhan yang tidak disengaja (kecuali berdasarkan hak) sangat dilarang. Hak membunuh hanya diberikan oleh hukum yang sah (qishas) dan harus dijalankan oleh pihak berwenang, bukan main hakim sendiri. Ayat ini menekankan bahwa Islam adalah agama yang melindungi jiwa secara absolut, menegakkan keadilan dan memberikan hak kepada ahli waris korban.
Dalam transaksi ekonomi, keadilan dan kejujuran diwajibkan. Perintah untuk menyempurnakan takaran dan timbangan adalah perintah yang bersifat metaforis dan literal. Secara literal, ia memastikan keadilan dalam perdagangan. Secara metaforis, ia menuntut kejujuran dalam setiap janji dan hubungan. Melakukan kecurangan dalam timbangan merusak kepercayaan sosial dan merampas hak orang lain secara halus.
Bagian penutup dari piagam etika ini berfokus pada pemurnian karakter pribadi, mengajarkan kesadaran diri, kerendahan hati, dan tanggung jawab individu.
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya."
Ayat ini adalah fondasi epistemologi Islam. Ia melarang berbicara tanpa dasar pengetahuan (ilmu), menyebarkan rumor, atau bersaksi palsu. Manusia diperintahkan untuk menggunakan indera dan akal yang dianugerahkan Allah (pendengaran, penglihatan, dan hati) secara bertanggung jawab. Ini adalah peringatan keras terhadap budaya 'katanya' (desas-desus) dan mendorong pentingnya verifikasi (tabayyun), sebuah prinsip yang sangat relevan dalam era informasi yang cepat dan seringkali menyesatkan.
Kesombongan dan keangkuhan adalah penyakit hati yang paling berbahaya. Surah Al-Isra melarang berjalan di muka bumi dengan angkuh dan sombong. Seseorang tidak akan mampu menembus bumi atau mencapai ketinggian gunung hanya dengan kesombongannya. Ini adalah sindiran keras terhadap kelemahan manusia yang mencoba menandingi keagungan Sang Pencipta. Kerendahan hati (tawadhu') adalah sifat yang wajib dikembangkan, sebagai pengakuan bahwa semua kekuatan dan kemuliaan berasal dari Allah, dan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas.
Kajian mendalam tentang ayat ini sering menghubungkannya kembali dengan peristiwa Isra Mi’raj. Rasulullah, meskipun baru saja menyaksikan alam semesta dan bertemu dengan Allah di Sidratul Muntaha, tetap kembali sebagai 'Hamba' yang tunduk. Ini menunjukkan bahwa pengalaman spiritual tertinggi harus menghasilkan kerendahan hati terbesar, bukan arogansi spiritual.
Selain fokus pada etika, Surah Al-Isra juga membahas sejarah umat terdahulu, terutama Bani Israil, sebagai cermin dan peringatan bagi umat Islam. Terdapat dua kali peringatan akan kerusakan besar yang akan mereka timbulkan di muka bumi, dan konsekuensi hukuman yang mengikutinya. Ini berfungsi sebagai pengajaran tentang sunnatullah (hukum Allah) yang abadi: kerusakan moral dan sosial pasti akan dibalas dengan kehancuran dan dominasi musuh.
Surah ini menegaskan bahwa setiap zaman memiliki tantangan dan bentuk kerusakan yang berbeda, namun prinsip keadilan Allah tetap sama. Pengulangan kisah Bani Israil adalah peringatan bahwa keimanan hanya melalui garis keturunan tidak menjamin keselamatan; yang menjamin adalah ketaatan dan akhlak yang benar. Ketika Bani Israil mencapai titik kerusakan moral dan penyelewengan syariat, mereka dihukum. Ini mengajarkan bahwa umat Muhammad harus berhati-hati agar tidak jatuh ke dalam jurang keangkuhan dan penyelewengan yang sama, sekalipun mereka adalah umat terbaik yang pernah diciptakan.
Konteks historis penurunan Surah Al-Isra di Mekah, tepat setelah tahun duka cita (Amul Huzn) dan penolakan keras dari penduduk Tha'if, menunjukkan bahwa mukjizat dan instruksi etika ini adalah suntikan semangat dan penegasan status kenabian Rasulullah. Ketika manusia menolak beliau, Allah meninggikan status beliau di langit.
Surah Al-Isra juga memuat ayat-ayat yang menantang akal manusia untuk menandingi kemukjizatan Al-Quran. Allah menyatakan bahwa seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul untuk membuat tandingan Al-Quran, mereka tidak akan mampu melakukannya, meskipun mereka saling membantu. Ini bukan hanya tantangan linguistik, tetapi tantangan terhadap konsep keberadaan dan wahyu itu sendiri. Al-Quran adalah bukti abadi, tidak hanya sebagai petunjuk moral, tetapi sebagai keajaiban retoris dan informatif yang tidak tertandingi.
Dalam konteks Isra Mi’raj, yang merupakan mukjizat fisik, ayat-ayat tentang Al-Quran menjadi mukjizat intelektual. Keduanya, baik perjalanan fisik yang melampaui logika, maupun keajaiban tekstual Al-Quran, berfungsi untuk memperkuat keyakinan kaum mukmin di tengah tekanan dan keraguan kaum Quraish. Al-Quran adalah bukti yang terus menerus; Isra Mi’raj adalah bukti sesaat yang bersifat konfirmatif.
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Isra, penting untuk mengidentifikasi tujuh pilar utama yang menyatukan mukjizat, etika, dan sejarah dalam surah ini. Setiap pilar menjadi landasan bagi konstruksi masyarakat yang ideal:
Semua perintah moral dan larangan etika dalam surah ini berakar pada pengakuan Tauhid. Kebaikan kepada orang tua, kejujuran, keadilan – semuanya adalah manifestasi dari penyerahan diri kepada Allah. Tanpa Tauhid, etika menjadi relatif dan mudah berubah. Di sini, moralitas bersifat absolut karena ia merupakan perintah dari sumber kekuasaan tertinggi.
Pemilihan kata 'Hamba-Nya' dalam Ayat 1 menunjukkan penghargaan tertinggi terhadap potensi manusia ketika ia berada dalam kondisi kepasrahan. Kehormatan spiritual ini menuntut pertanggungjawaban moral yang tinggi. Manusia dihormati bukan karena kekuasaan, melainkan karena ketaatan dan akhlaknya.
Surah ini secara eksplisit melarang dua ekstrem: kikir dan boros. Ia menyerukan jalan tengah (wasathiyyah) dalam hal ekonomi, emosi, dan ibadah. Keseimbangan adalah kunci stabilitas masyarakat. Individu harus menjadi pribadi yang produktif, berbagi, tetapi tidak merusak diri dengan pemborosan yang tidak perlu.
Dengan menempatkan hak orang tua setelah hak Allah, surah ini menegaskan bahwa keluarga adalah unit terkecil dan paling penting dalam pembentukan karakter. Jika unit keluarga rusak, masyarakat secara keseluruhan akan runtuh. Perlindungan terhadap anak yatim dan hak kerabat memperkuat jaring pengaman sosial yang dimulai dari ikatan darah.
Ayat 36, yang melarang mengikuti sesuatu tanpa ilmu, adalah seruan untuk berpikir kritis dan verifikasi. Ini adalah penekanan pada penggunaan akal sebagai alat yang diamanahkan, bukan hanya untuk duniawi, tetapi untuk memahami wahyu. Prinsip ini sangat penting untuk menjaga kebenaran dari polusi takhayul dan fitnah.
Isra Mi’raj sendiri adalah mukjizat waktu dan ruang. Perjalanan yang mustahil secara fisik menegaskan bahwa ada dimensi lain dari realitas. Hal ini mengajarkan kaum mukmin untuk tidak membatasi pemahaman mereka hanya pada dimensi materi, melainkan membuka diri terhadap keajaiban metafisik yang diatur oleh kehendak Allah. Ini adalah fondasi bagi optimisme spiritual di tengah keputusasaan duniawi.
Setiap larangan (pembunuhan, penipuan, zina) didasarkan pada prinsip keadilan. Surah ini menetapkan hak bagi setiap pihak, mulai dari orang miskin hingga ahli waris korban pembunuhan. Keadilan ini harus ditegakkan tanpa kompromi, memastikan bahwa masyarakat berfungsi berdasarkan hukum yang melindungi yang lemah dan menghukum yang zalim.
Perjalanan Isra Mi'raj bukanlah sekadar kisah nostalgia historis; ia adalah peristiwa transformatif yang menghasilkan perintah ibadah sentral: Salat (shalat).
Di Sidratul Muntaha, Rasulullah menerima perintah Salat. Awalnya, perintah itu adalah 50 kali dalam sehari, yang kemudian diringankan menjadi lima waktu melalui negosiasi dengan izin Allah, atas saran Nabi Musa. Meringankan perintah tersebut menunjukkan rahmat dan kasih sayang Allah terhadap umat manusia, yang mengakui keterbatasan dan kelemahan mereka.
Salat lima waktu kemudian menjadi Mi'raj bagi setiap mukmin. Setiap kali seorang muslim berdiri dalam Salat, ia secara spiritual melakukan perjalanan vertikal, meninggalkan hiruk pikuk dunia untuk berkomunikasi langsung dengan Rabb-nya. Ini adalah pembersihan spiritual yang diulang lima kali sehari, memastikan bahwa fondasi etika yang ditetapkan dalam Surah Al-Isra (keadilan, kerendahan hati, kejujuran) terus diperbaharui dalam hati mukmin.
Tanpa Salat, fondasi etika Surah Al-Isra akan mudah goyah. Salat memberikan kekuatan spiritual dan disiplin batin yang diperlukan untuk secara konsisten menerapkan perintah-perintah moral yang berat, seperti menahan amarah terhadap orang tua, atau menolak godaan pemborosan dan kecurangan. Salat adalah jangkar yang menahan kapal kehidupan agar tidak terseret oleh arus keduniaan yang merusak.
Isra Mi'raj juga memainkan peran penting dalam pembentukan identitas politik dan geografis umat Islam. Penggabungan Masjidil Haram (Mekah) dan Masjidil Aqsa (Yerusalem) menjadikan kedua tempat tersebut sebagai pusat spiritual abadi. Hal ini menempatkan umat Islam di tengah panggung sejarah agama, tidak hanya sebagai pengikut Nabi Muhammad, tetapi sebagai pewaris warisan Ibrahim, Musa, dan Isa. Masjidil Aqsa menjadi simbol tanggung jawab global umat Islam terhadap tempat-tempat suci dan warisan kenabian.
Peristiwa ini juga memisahkan barisan kaum mukminin yang tulus (seperti Abu Bakar yang langsung membenarkan, sehingga dijuluki As-Siddiq) dari kaum munafik dan orang-orang yang hanya mencari celah untuk mencemooh. Mukjizat ini berfungsi sebagai pembersih iman; hanya mereka yang memiliki tingkat keyakinan yang luar biasa yang mampu menerimanya tanpa keraguan, bahkan ketika akal rasional menolaknya.
Untuk mencapai volume pemahaman yang komprehensif, perlu diuraikan lebih lanjut bagaimana setiap perintah etika dalam Surah Al-Isra dihubungkan dengan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Surah ini menetapkan sebuah sistem di mana moralitas tidak terpisah dari spiritualitas, tetapi justru merupakan ekspresi praktisnya.
Konsep tidak boros dan tidak kikir adalah perintah manajemen harta yang ideal. Kekikiran (bukhul) menyebabkan stagnasi ekonomi dan merusak solidaritas sosial. Seseorang yang kikir menahan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada masyarakat. Sebaliknya, pemborosan (israf/tabzir) menghabiskan sumber daya secara tidak bertanggung jawab, merusak lingkungan, dan dapat membawa pelakunya pada keterpurukan finansial. Surah Al-Isra menggariskan sebuah etika finansial di mana harta digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan spiritual dan sosial, bukan sebagai tujuan akhir yang disembah atau disia-siakan. Penggunaan harta yang tepat adalah cerminan dari pengakuan atas kedaulatan Allah atas rezeki.
Perintah perlindungan jiwa, yang mencakup larangan membunuh anak, dan larangan mendekati zina, secara fundamental bertujuan untuk melindungi keturunan. Perlindungan terhadap nasab (garis keturunan) sangat penting untuk menjaga integritas keluarga dan masyarakat. Ketika nasab dihormati, hak waris jelas, tanggung jawab pengasuhan terdefinisi, dan stabilitas emosional anak terjamin. Zina adalah pelanggaran etika karena ia mengaburkan garis-garis ini, sementara pembunuhan anak adalah penghancuran masa depan yang keji karena ketidakpercayaan terhadap janji rezeki Allah.
Meskipun tidak secara eksplisit diulang-ulang, perintah untuk memenuhi janji (ahd) dan amanah sangat tersirat dalam tuntutan untuk menyempurnakan timbangan dan takaran (Ayat 35). Memenuhi perjanjian adalah fondasi kepercayaan sosial. Di era Mekah, ketika kekuatan fisik mendominasi, Surah Al-Isra menegaskan bahwa kekuatan sejati terletak pada integritas dan kejujuran dalam berinteraksi. Janji yang dikhianati dan timbangan yang dicurangi adalah bentuk kezaliman yang tidak kasat mata, yang merusak fondasi komunitas yang adil.
Studi tentang peringatan terhadap Bani Israil (Ayat 4–8) mengajarkan umat Islam tentang pentingnya konsistensi dalam ketaatan. Kerusakan besar pertama dan kedua yang disebutkan dalam surah adalah akibat dari penyimpangan spiritual yang diikuti dengan kezaliman sosial. Surah ini dengan jelas mengaitkan penegasan Tauhid (Ayat 1-2) dengan penghukuman atas penyimpangan (Ayat 4-8), menunjukkan bahwa penyimpangan dari ajaran etika universal akan selalu berujung pada bencana kolektif. Ini adalah hukum alam (sunnatullah) yang tak terhindarkan bagi setiap peradaban yang memilih kesombongan dan kezaliman di atas keadilan dan kerendahan hati.
Intinya, Surah Al-Isra menyajikan sebuah cetak biru, di mana pengalaman spiritual tertinggi (Isra Mi'raj) diintegrasikan langsung ke dalam praktik moral sehari-hari. Mukjizat hanyalah pengantar yang megah; isinya adalah tentang bagaimana manusia harus hidup dalam dimensi etis dan sosial. Ini adalah surah yang mengajarkan bahwa manifestasi keimanan sejati terletak pada keindahan perilaku dan ketaatan terhadap perintah-perintah moral yang detail.
Surah ini memiliki prinsip realisme yang tinggi. Ketika Allah memerintahkan ihsan kepada orang tua, Dia mengakui bahwa konflik dan kejengkelan adalah bagian dari hubungan manusia. Itulah sebabnya larangan 'Uff' harus ditegakkan melalui doa (Ayat 24: "Ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku sewaktu aku kecil"). Allah memberikan solusi spiritual untuk kesulitan emosional, menunjukkan bahwa etika harus didukung oleh kekuatan doa dan kesadaran spiritual. Ini adalah contoh bagaimana Islam tidak menuntut kesempurnaan emosional yang mustahil, tetapi memberikan alat spiritual untuk mengelola kelemahan manusia.
Semua larangan dalam surah—terutama yang berkaitan dengan rezeki dan harta—didasarkan pada konsep bahwa Allah adalah pemilik mutlak (Al-Malik) dan pemberi rezeki (Ar-Razzaq). Ketika manusia takut miskin sehingga membunuh anaknya atau berlaku kikir, itu adalah manifestasi dari kegagalan Tauhid. Surah Al-Isra berulang kali mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat bergantung, dan oleh karena itu, harus meninggalkan kesombongan (Ayat 37) dan keputusasaan atas rezeki (Ayat 31). Kemandirian sejati hanya terletak pada kebergantungan total kepada Allah.
Surah Al-Isra (QS 17) berdiri sebagai monumen spiritual yang kompleks dan mendalam. Ia memulai dengan demonstrasi kekuasaan ilahiah yang tidak terbatas melalui perjalanan malam yang menakjubkan—sebuah pembukaan yang menegaskan bahwa Allah mampu melakukan apa pun di luar batas pemikiran manusia. Namun, energi yang dihasilkan dari mukjizat ini kemudian dialirkan ke dalam saluran praktis kehidupan sehari-hari.
Pesannya jelas dan tak terbantahkan: keagungan spiritual sejati tidak diukur dari pengalaman metafisik luar biasa yang dialami oleh para nabi, tetapi dari ketekunan kita dalam menerapkan prinsip-prinsip moralitas universal yang telah ditetapkan. Mulai dari penghormatan tertinggi kepada orang tua, pengelolaan harta yang bijaksana, perlindungan atas kehidupan dan kehormatan, hingga tanggung jawab intelektual untuk tidak berbicara tanpa ilmu—semua ini adalah pilar-pilar yang harus didirikan oleh setiap individu yang mengaku sebagai 'Hamba' Allah.
Surah Al-Isra adalah panduan yang tak lekang oleh waktu, menawarkan solusi bagi kekacauan sosial dan moral. Dengan menetapkan etika sebagai kembaran Tauhid, surah ini memastikan bahwa iman bukan hanya klaim lisan, melainkan komitmen hidup yang tercermin dalam setiap tindakan, perkataan, dan sikap kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta dan sesama manusia.