Kedudukan Ayat 23 dan 24 Surah Al-Isra
Surah Al-Isra, yang dikenal pula sebagai Surah Bani Israel, memuat landasan-landasan etika dan syariat yang fundamental. Di antara rangkaian perintah dan larangan yang dijelaskan, terdapat dua ayat yang menempati posisi yang sangat tinggi dan strategis dalam tatanan moralitas Islam: ayat 23 dan 24. Kedua ayat ini secara langsung membahas kewajiban seorang anak terhadap kedua orang tuanya, sebuah kewajiban yang ditempatkan segera setelah perintah untuk mengesakan Allah (Tauhid).
Penempatan kewajiban berbakti kepada orang tua, yang dikenal sebagai *Birr al-Walidain*, pada urutan kedua setelah Tauhid, bukanlah sebuah kebetulan linguistik atau struktural. Ini adalah deklarasi tegas dari Tuhan yang menunjukkan bahwa hak-hak orang tua memiliki bobot yang paling besar setelah hak Allah SWT. Implikasi dari penempatan ini sangat mendalam, membentuk fondasi masyarakat yang beradab dan beretika.
Perintah ini mencakup dimensi spiritual dan sosial. Secara spiritual, berbuat baik kepada orang tua adalah jalan menuju keridaan ilahi. Secara sosial, ia menjamin keharmonisan keluarga, yang merupakan unit dasar pembangun peradaban. Tanpa penghormatan yang tulus dan pengorbanan yang ikhlas terhadap mereka yang telah menjadi sebab keberadaan kita, maka klaim keimanan seseorang dapat dipertanyakan kedalamannya.
Tafsir Ayat 23: Perintah Tauhid dan Ihsan yang Mutlak
Ayat 23 dimulai dengan fondasi keimanan dan kemudian bertransisi langsung kepada etika praktis. Kalimat pertama ayat ini berfungsi sebagai penegasan kembali inti ajaran Islam:
۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ
Artinya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik (ihsan) kepada ibu bapak." (QS. Al-Isra: 23, bagian awal).
1. Pondasi Tauhid (Mengapa Tauhid Diletakkan Pertama)
Perintah untuk tidak menyembah selain Allah adalah poros sentral seluruh syariat. Ia adalah hak Allah yang paling besar. Dengan menyandingkan hak Allah (Tauhid) dengan hak orang tua (*Ihsan*), Al-Qur'an mengajarkan bahwa manusia memiliki dua kewajiban utama: kewajiban vertikal (kepada Sang Pencipta) dan kewajiban horizontal (kepada mereka yang menjadi perantara penciptaan, yaitu orang tua).
Para ulama tafsir menjelaskan, hikmah penyandingan ini terletak pada kenyataan bahwa Allah adalah Pencipta yang hakiki, sedangkan orang tua adalah penyebab yang nyata dari keberadaan dan pertumbuhan fisik manusia di dunia ini. Keduanya memiliki andil dalam penciptaan dan pemeliharaan, sehingga rasa syukur harus ditujukan kepada keduanya. Jika seseorang gagal menunaikan rasa syukur kepada orang tua, yang merupakan nikmat yang terlihat, maka bagaimana mungkin ia mampu menunaikan syukur kepada Allah, Pencipta yang ghaib?
2. Perintah Ihsan: Melampaui Kebaikan Biasa
Kata kunci dalam ayat ini adalah *Ihsan* (إِحْسَٰنًا). *Ihsan* secara bahasa berarti "melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya" atau "kesempurnaan dalam berbuat baik." Ia lebih tinggi tingkatannya daripada sekadar *al-birr* (kebaikan). Jika *birr* adalah menunaikan kewajiban, maka *ihsan* adalah menunaikan kewajiban disertai dengan kesempurnaan, ketulusan, dan sikap proaktif.
Ihsan kepada orang tua mencakup tiga dimensi utama:
- Ihsan Materi: Menyediakan kebutuhan fisik, sandang, pangan, dan papan, terutama saat mereka memasuki usia renta.
- Ihsan Perbuatan: Membantu pekerjaan mereka, melayani kebutuhan mereka, dan memastikan mereka hidup dalam kenyamanan dan kemudahan.
- Ihsan Emosional/Verbal: Berbicara dengan lemah lembut, menghindari setiap kata atau isyarat yang dapat melukai perasaan mereka.
Perintah *Ihsan* ini bersifat universal dan wajib, berlaku mutlak, baik orang tua tersebut dalam kondisi yang ideal, beriman, atau bahkan jika mereka memiliki kekurangan atau melakukan kesalahan. Kecuali dalam satu hal: ketaatan kepada mereka yang menyuruh melakukan kemaksiatan atau syirik. Di luar itu, sikap *Ihsan* tetap wajib dijaga.
3. Larangan Mengucapkan ‘Uff’ (Kata yang Paling Ringan)
Ayat ini kemudian beralih kepada larangan spesifik yang menunjukkan sensitivitas etika Islam yang luar biasa:
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّۢ
Artinya: "maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ (atau ‘uff’)." (QS. Al-Isra: 23, bagian tengah).
Kata *‘Uff’* (أُفٍّ) adalah kata seru yang paling ringan dalam bahasa Arab yang menunjukkan rasa jengkel, bosan, atau tidak sabar. Dalam terjemahan, ia sering diterjemahkan sebagai "ah", "cis", atau "huh". Larangan mengucapkan kata yang paling ringan ini menyiratkan larangan yang jauh lebih besar terhadap segala bentuk ucapan yang lebih keras atau menyakitkan.
Larangan ini mengajarkan prinsip syariat yang dikenal sebagai *saddu adz-dzarā'i* (menutup pintu menuju keburukan). Jika kata sekecil ‘uff’ dilarang, maka tindakan mengomel, membentak, atau menyakiti fisik sudah pasti diharamkan. Ini bukan hanya soal menghindari kata-kata buruk, tetapi menghindari kondisi batin yang menghasilkan kata-kata itu—yaitu rasa kesal dan tidak sabar.
4. Larangan Membentak: *Walā Tanharhumā*
Setelah melarang ekspresi ketidakpuasan yang paling halus, ayat tersebut melarang tindakan yang lebih tegas:
وَلَا تَنْهَرْهُمَا
Artinya: "dan janganlah engkau membentak keduanya." (QS. Al-Isra: 23, bagian tengah).
Kata *An-Nahr* (النهر) berarti menghardik, membentak, atau mengucapkan kata-kata kasar yang mengandung unsur penolakan atau penghinaan. Larangan ini sangat relevan terutama ketika orang tua memasuki usia senja, di mana fungsi fisik dan mental mereka mungkin menurun, sehingga mereka menjadi lebih lambat, lebih banyak bertanya, atau mengulangi permintaan.
Dalam kondisi kelemahan orang tua, kesabaran anak diuji secara maksimal. Islam memerintahkan agar anak menahan diri dari respons yang spontan dan emosional, karena membentak bukan hanya melukai hati, tetapi merampas harga diri mereka di hadapan anak-anak mereka sendiri.
5. Perintah Berkata Mulia: *Qawlan Karima*
Ayat 23 ditutup dengan perintah yang menunjukkan bagaimana seharusnya komunikasi yang ideal dilakukan:
وَقُل لَّهُمَا قَوْلًۭا كَرِيمًۭا
Artinya: "dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia." (QS. Al-Isra: 23, bagian akhir).
*Qawlan Karima* (قَوْلًۭا كَرِيمًۭا) adalah ucapan yang mulia, terhormat, penuh kasih sayang, dan sopan. Karakteristik *Qawlan Karima* mencakup aspek makna, intonasi, dan tujuan. Makna ucapan haruslah baik, intonasinya harus lembut dan merendah, dan tujuannya haruslah menyenangkan hati orang tua.
Ulama tafsir menekankan bahwa perkataan mulia ini harus mencerminkan rasa hormat yang mendalam. Bukan sekadar perkataan sopan yang kita gunakan untuk berinteraksi dengan orang asing, tetapi kata-kata yang memancarkan rasa cinta dan penghargaan atas jasa-jasa mereka. Ini adalah standar komunikasi yang tidak boleh diturunkan, bahkan dalam situasi perbedaan pendapat yang signifikan.
Tafsir Ayat 24: Sayap Kerendahan Hati dan Doa yang Tak Terputus
Jika ayat 23 berfokus pada larangan (apa yang tidak boleh dilakukan) dan perintah verbal (bagaimana berbicara), maka ayat 24 berfokus pada sikap batin (bagaimana bersikap) dan kewajiban spiritual (bagaimana mendoakan).
1. Sikap Merendahkan Sayap Kerendahan Hati
Ayat 24 diawali dengan perintah yang sangat puitis dan mendalam:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحْمَةِ
Artinya: "Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang (sayap kerendahan hati karena rahmat)." (QS. Al-Isra: 24, bagian awal).
Frasa *Wakhfiḍ lahumā janāḥa adh-dhull* (rendahkanlah sayap kerendahan hati) adalah metafora yang kuat. Secara tradisional, metafora "merendahkan sayap" digunakan untuk menggambarkan burung yang merendahkan sayapnya saat ia melindungi anaknya. Namun, dalam konteks ini, anaklah yang diperintahkan untuk merendahkan sayapnya di hadapan orang tua, menunjukkan penyerahan diri total, kepatuhan tanpa paksaan, dan kerendahan hati yang ekstrem.
*Adz-Dhull* (الذُّلِّ) di sini tidak diartikan sebagai kehinaan, tetapi sebagai kerelaan untuk tunduk dan mengalah kepada orang tua, mengesampingkan keangkuhan dan ego pribadi. Seorang anak mungkin memiliki kedudukan sosial yang tinggi, kekayaan, atau ilmu yang melampaui orang tuanya, namun di hadapan mereka, ia harus selalu berperan sebagai hamba yang melayani dan penurut.
2. Motivasi Utama: Berlandaskan Rahmat (*Min ar-Raḥmah*)
Kerendahan hati ini diperintahkan untuk didasari oleh *ar-Raḥmah* (ٱلرَّحْمَةِ), yaitu kasih sayang dan belas kasihan. Artinya, tindakan melayani dan tunduk bukan dilakukan karena kewajiban yang terpaksa, melainkan karena didorong oleh rasa kasih sayang yang tulus dan pengakuan atas kelemahan mereka yang semakin menua.
Rahmat ini harus menjadi pengingat bahwa dahulu, orang tua sendirilah yang telah merendahkan sayap mereka untuk melindungi dan memelihara anak. Kini, saat peran berbalik dan anak menjadi kuat, rahmat itu harus dibalas dengan rahmat yang sama, bahkan lebih besar.
3. Doa Abadi: Pengakuan Jasa dan Permintaan Rahmat Ilahi
Ayat 24 ditutup dengan doa yang menjadi inti dari bakti spiritual yang harus dilakukan seorang anak:
وَقُل رَّبِّ ٱرْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًۭا
Artinya: "Dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil." (QS. Al-Isra: 24, bagian akhir).
Doa ini adalah pengakuan otentik atas jasa-jasa orang tua dan penyerahan total kepada Allah sebagai sumber rahmat sejati. Anak mengakui bahwa ia tidak akan pernah mampu membalas tuntas semua jasa yang telah diberikan, terutama pengorbanan mereka di masa kanak-kanak yang penuh ketidakberdayaan.
Frasa *kamā rabbayānī ṣaghīrā* (sebagaimana mereka telah mendidik aku pada waktu kecil) menekankan periode vital di mana anak benar-benar lemah dan membutuhkan pengorbanan tanpa batas, baik secara fisik maupun emosional, dari orang tua. Doa ini adalah janji abadi, yang wajib diucapkan selama orang tua masih hidup dan bahkan setelah mereka meninggal dunia.
Implikasi dan Penerapan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-hari
Ayat 23 dan 24 bukanlah sekadar nasihat moral, melainkan perintah syariat yang membawa konsekuensi duniawi dan ukhrawi. Untuk mencapai kadar *Ihsan* yang diperintahkan, seorang muslim harus memperhatikan detail-detail interaksi yang sering terabaikan.
1. Prioritas Kebutuhan Orang Tua
Hak orang tua harus didahulukan di atas hak pasangan, anak-anak, bahkan di atas hak pribadi, selama tidak melanggar batasan syariat. Dalam masalah harta, seorang anak tidak boleh merasa memiliki sepenuhnya hartanya jika orang tua membutuhkan, bahkan jika orang tua tersebut berada dalam keadaan yang cukup. Kepemilikan harta seorang anak secara moral adalah juga milik orang tua sejauh yang dibutuhkan.
Ketika orang tua berada di usia yang sangat lanjut (*arḍalul 'umur*), mereka mungkin memerlukan perawatan yang intensif. Kewajiban berbakti pada fase ini menuntut kerelaan untuk mengorbankan waktu, karier, dan kenyamanan pribadi. Ini adalah puncak ujian *Ihsan*, di mana kesabaran menjadi mahkota kebaktian.
2. Menjaga Perasaan dalam Keadaan Khilaf (Perbedaan Pendapat)
Perbedaan pandangan antara generasi tua dan muda seringkali tidak terhindarkan, terutama dalam hal-hal duniawi seperti gaya hidup, teknologi, atau pilihan karier. Dalam menghadapi perbedaan ini, *Qawlan Karima* (perkataan mulia) harus tetap menjadi pedoman.
Jika seorang anak harus menolak permintaan orang tua karena permintaan itu bertentangan dengan syariat—misalnya, jika mereka meminta anak meninggalkan kewajiban agama—penolakan tersebut harus disampaikan dengan kelembutan, hormat, dan jauh dari kata-kata yang menghakimi. Penolakan yang sopan ini adalah bentuk ketaatan kepada Allah, namun harus tetap diiringi dengan *Ihsan* dalam tindakan non-maksiat lainnya.
3. Bentuk-bentuk Rahmat Setelah Kematian
Kewajiban *Ihsan* tidak gugur setelah orang tua meninggal dunia. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa ada beberapa cara untuk meneruskan bakti:
- Mendoakan Mereka: Meneruskan doa yang diabadikan dalam ayat 24, memohon rahmat dan ampunan bagi keduanya secara konsisten.
- Memenuhi Janji dan Wasiat: Melaksanakan janji atau wasiat yang belum sempat mereka tunaikan (selama tidak melanggar syariat).
- Menghubungkan Silaturahmi: Menjaga hubungan baik dengan kerabat dan teman-teman dekat almarhum orang tua sebagai penghormatan kepada mereka.
- Membayar Utang: Segera melunasi utang-utang mereka, baik utang material maupun utang kewajiban (misalnya, nazar atau haji yang belum tertunaikan).
Melalui tindakan-tindakan ini, seorang anak memastikan bahwa aliran pahala (*sadaqah jariyah*) terus mengalir kepada orang tua di alam kubur, yang merupakan puncak dari *Birr* (kebaktian).
Kedalaman Bahasa dan Kekuatan Emosional dalam Pilihan Kata
Untuk memahami mengapa ayat-ayat ini memiliki daya sentuh yang begitu kuat, kita perlu menggali analisis linguistik terhadap beberapa kata kunci yang digunakan dalam konteks hubungan orang tua dan anak, yang menjadi penopang utama mencapai 5000 kata kajian mendalam.
1. Perbedaan Mendasar antara 'Uff' dan 'Qawlan Karima'
Kontras tajam antara larangan "Uff" dan perintah "Qawlan Karima" menggambarkan spektrum komunikasi yang harus dihindari dan diwujudkan. 'Uff' adalah manifestasi dari keputusasaan atau kejengkelan yang bersifat internal dan spontan. Ia seringkali tidak ditujukan kepada orang lain, melainkan sebagai luapan emosi. Larangan ini menunjukkan bahwa bahkan emosi batin yang negatif pun harus dikendalikan demi menjaga hati orang tua.
Sebaliknya, 'Qawlan Karima' menuntut tindakan sadar, terstruktur, dan terpilih. Karomah (kemuliaan) ucapan tidak hanya terletak pada isi, tetapi juga pada cara penyampaian, pemilihan waktu, dan niat yang menyertainya. Ucapan yang mulia adalah cerminan dari hati yang memuliakan. Ini berarti ketika anak berbicara, ia harus berpikir, "Apakah kata-kata ini mencerminkan penghormatan yang layak bagi mereka yang telah mengorbankan segalanya untukku?"
2. Makna 'Dhull' (Tunduk) dalam Konteks Kekuatan
Sebagian besar budaya menghargai kekuatan, keberanian, dan independensi. Namun, Al-Qur'an secara spesifik memerintahkan anak untuk menunjukkan 'Adz-Dhull' (kerendahan) di hadapan orang tua. Ini adalah konsep yang revolusioner. Kerendahan hati di sini bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan moral yang mampu mengalahkan keangkuhan ego.
Tunduk kepada orang tua adalah ujian terbesar bagi anak yang telah mencapai kemandirian dan kesuksesan. Seringkali, anak yang sukses cenderung bersikap menggurui atau meremehkan nasihat orang tua yang dianggap kolot. Ayat 24 secara tegas menolak sikap ini, menuntut kerendahan yang aktif, di mana anak secara sukarela memilih posisi melayani, bahkan ketika ia berada dalam posisi otoritas di masyarakat.
3. Pengulangan Akar Kata 'R-H-M' (Rahmat)
Ayat 24 menekankan kata ‘Rahmat’ sebanyak dua kali dalam satu nafas: *min ar-Raḥmah* (kerendahan hati karena rahmat) dan *Rabbi irḥamhumā* (Ya Tuhanku, rahmatilah mereka). Pengulangan ini mengikat seluruh tindakan bakti kepada motif ilahiah.
Jika kerendahan hati kita kepada orang tua didorong oleh rahmat, maka doa kita untuk mereka pun harus memohon Rahmat Ilahi. Kita memohon kepada Allah Rahmat yang Mutlak untuk mereka, sebagai balasan atas rahmat terbatas yang mereka curahkan kepada kita di masa lalu. Ini adalah siklus rahmat yang sempurna: Rahmat orang tua kepada anak, dibalas dengan Rahmat anak kepada orang tua, yang pada akhirnya mendatangkan Rahmat Allah kepada ketiganya.
Tinjauan Fiqh: Batasan Ketaatan dan Konsekuensi Durhaka
1. Batasan Ketaatan (Ketaatan Mutlak Kecuali Syirik)
Ketaatan kepada orang tua dianggap sebagai wajib mutlak (fardu 'ain), namun terdapat satu batasan tegas yang dijelaskan dalam Al-Qur'an: tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Pencipta. Jika orang tua menyuruh anak melakukan syirik, meninggalkan kewajiban agama (seperti salat atau puasa), atau melakukan kejahatan, anak wajib menolak.
Meskipun penolakan wajib dilakukan, cara penolakan tetap harus memenuhi standar *Qawlan Karima* dan *Ihsan*. Anak tidak boleh menolak dengan kasar atau membentak. Penolakan harus disertai dengan penjelasan yang lembut dan terus menjaga layanan dan hubungan baik dalam urusan duniawi.
Para ahli fikih sepakat bahwa dalam perkara-perkara mubah (diperbolehkan) yang tidak ada unsur maksiat, seperti pemilihan tempat tinggal, jurusan kuliah, atau pekerjaan, ketaatan kepada orang tua umumnya diwajibkan jika penolakan dapat menyebabkan kesulitan atau kesedihan yang nyata bagi mereka.
2. Konsekuensi Durhaka (*'Uquq al-Walidain*)
Durhaka kepada orang tua (*'Uquq al-Walidain*) adalah salah satu dosa besar (*Al-Kaba'ir*) yang disebutkan langsung oleh Rasulullah SAW sebagai dosa yang dipercepat sanksinya di dunia sebelum sanksi di akhirat. Ayat 23 menjadi dasar penetapan hukum ini. Setiap pelanggaran terhadap larangan 'Uff' dan 'Nahr' dianggap sebagai bentuk durhaka.
Durhaka tidak hanya mencakup tindakan fisik (memukul, menelantarkan), tetapi juga meliputi aspek verbal dan emosional, seperti melukai perasaan mereka, mengabaikan mereka saat membutuhkan, atau menunjukkan wajah cemberut. Menangisnya orang tua karena perbuatan atau ucapan anak sudah cukup menjadi indikator beratnya dosa durhaka.
3. Menanggulangi Konflik Modern: Perawatan Jangka Panjang
Dalam konteks modern, salah satu isu terbesar adalah penempatan orang tua di panti jompo (rumah perawatan). Dalam pandangan syariat, penempatan ini dianggap bertentangan dengan semangat *Ihsan* dan *Birr al-Walidain* kecuali dalam kondisi ekstrem di mana anak benar-benar tidak mampu memberikan perawatan yang diperlukan di rumah, atau orang tua secara sukarela dan tulus memilih opsi tersebut.
Prinsip dasarnya adalah: Orang tua berhak mendapatkan pelayanan terbaik di bawah naungan dan pengawasan langsung anak-anak mereka. Jika mereka ditempatkan di tempat lain, anak wajib memastikan bahwa standar pelayanan, kunjungan, dan interaksi melampaui standar normal, sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban *Ihsan* yang melekat.
Pengorbanan Masa Kecil: Titik Sentral Doa Ayat 24
Inti emosional dari doa "Rabbi irhamhumā kamā rabbayānī ṣaghīrā" terletak pada pengakuan atas keadaan "ṣaghīrā" (kecil/lemah). Fase ini adalah masa ketidakberdayaan total, di mana anak tidak mampu melakukan apa pun untuk dirinya sendiri. Seluruh kehidupan, nutrisi, dan keamanan anak bergantung mutlak pada kerelaan dan kasih sayang orang tua.
1. Makna Hakiki Pengasuhan
Pengasuhan (*tarbiyah*) yang dilakukan orang tua di masa kecil jauh melampaui sekadar menyediakan makanan. Ia mencakup kehilangan tidur, pengorbanan kesehatan, rasa khawatir yang konstan, dan penyediaan pendidikan dasar yang membentuk karakter. Pengorbanan ini dilakukan tanpa mengharapkan imbalan, tanpa adanya kontrak, dan seringkali dalam keadaan sulit dan penuh keterbatasan.
Ketika anak mengucapkan doa ini, ia tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga menarik pelajaran spiritual: Ia telah menerima rahmat tak bersyarat. Oleh karena itu, ia harus memohon Rahmat Ilahi yang tak bersyarat bagi orang tuanya, karena hanya Allah yang mampu membalas pengorbanan yang begitu besar.
2. Membalas Jasa yang Tak Terbayar
Para ulama menyatakan bahwa tidak ada seorang anak pun yang mampu membalas jasa orang tua seutuhnya. Bahkan jika seorang anak merawat ibunya yang sakit di usia tua dan melayani setiap kebutuhannya, ia tetap tidak bisa menyamai satu kali tarikan nafas dan rasa sakit yang dirasakan sang ibu saat melahirkannya.
Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk melengkapi bakti material dan emosional adalah dengan bakti spiritual, yaitu melalui doa. Doa adalah pengakuan akan keterbatasan diri sendiri dan penyerahan urusan balasan kepada Dzat Yang Maha Mampu membalas segala kebaikan.
Kewajiban Ihsan yang terkandung dalam Al-Isra 23 dan 24 adalah undangan untuk mencapai kesempurnaan etika. Ia menuntut lebih dari sekadar kepatuhan, melainkan transformasi hati yang diisi dengan rasa syukur, kerendahan hati, dan kasih sayang yang abadi. Ayat-ayat ini bukan hanya landasan hukum, melainkan peta jalan menuju kemuliaan diri melalui pengabdian kepada kedua orang tua.
Elaborasi Mendalam: Setiap Sudut Kehidupan dan Implementasi Ihsan yang Berkelanjutan
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai kewajiban *Ihsan* dalam Surah Al-Isra 23-24, perlu dilakukan telaah mendalam terhadap setiap situasi yang mungkin dihadapi, yang menegaskan bahwa *Ihsan* adalah praktik yang berkelanjutan, tidak mengenal kata henti, dan meliputi seluruh spektrum interaksi sosial anak dengan orang tuanya.
1. Ihsan dalam Konteks Ekonomi dan Harta
Dimensi ekonomi seringkali menjadi sumber gesekan utama. *Ihsan* menuntut anak untuk menjaga martabat finansial orang tua. Ini bukan hanya tentang memberi uang saku, tetapi memastikan bahwa mereka tidak perlu meminta-minta, atau merasa bergantung. Tindakan *Ihsan* adalah memberi sebelum diminta, dan memberi dengan cara yang paling mulia.
Dalam fikih, bahkan jika orang tua memiliki sumber pendapatan yang cukup, memberikan dukungan finansial secara teratur tetap merupakan bentuk *Ihsan*, sebagai ungkapan terima kasih, bukan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar semata. Jika orang tua memiliki utang, kewajiban anak untuk segera melunasinya—bahkan jika harus berkorban besar—merupakan prioritas, menempatkannya di atas kebutuhan pribadi yang bersifat sekunder.
Ketika orang tua meminta sebagian harta anak untuk kebutuhan pribadi mereka, anak wajib memberikannya. Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa orang tua memiliki hak penuh atas harta anak jika mereka membutuhkannya. Sikap terbaik adalah memberi dengan sukacita dan tanpa mengungkit-ungkit, jauh dari mentalitas perhitungan dagang atau balasan jasa.
2. Ihsan dalam Konteks Sosial dan Representasi
Seorang anak harus menjadi representasi terbaik dari didikan orang tuanya di mata masyarakat. *Ihsan* di sini berarti menjaga kehormatan dan nama baik keluarga. Ketika anak berhasil dan dihormati, kehormatan itu secara otomatis menjadi kehormatan bagi orang tua.
Sebaliknya, jika anak melakukan perbuatan yang memalukan atau tercela, hal itu tidak hanya merusak citra dirinya tetapi juga melukai hati orang tua secara mendalam. Oleh karena itu, menghindari hal-hal yang dapat memicu gosip atau celaan yang mungkin sampai ke telinga orang tua adalah bagian integral dari *Ihsan* sosial.
Selain itu, *Ihsan* menuntut kita untuk memuliakan dan menghormati teman-teman dan kerabat dekat orang tua. Menjaga silaturahmi dengan paman, bibi, dan sahabat karib mereka, terutama setelah orang tua wafat, dianggap sebagai salah satu bentuk bakti tertinggi yang disukai Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah perluasan dari rahmat yang harus dibagikan.
3. Ihsan dalam Situasi Sakit dan Kelemahan
Fase di mana orang tua sakit atau mengalami kemunduran fisik (usia tua yang paling rentan) adalah ladang pahala terbesar dan ujian terberat bagi *Ihsan*. Dalam kondisi ini, kesabaran anak diuji oleh kesulitan, rasa lelah, dan potensi kebutuhan yang tidak terucapkan.
Perawatan harus dilakukan dengan penuh kelembutan, menghindari ekspresi wajah yang menunjukkan kebosanan atau kejengkelan. Bahkan tugas-tugas yang dianggap remeh atau menjijikkan (seperti membersihkan kotoran atau membantu makan) harus dilakukan dengan sikap hormat yang sama seperti yang kita berikan kepada seorang raja.
Ayat 23 dan 24 secara implisit mencakup pelayanan fisik ini. Larangan mengucapkan ‘Uff’ sangat relevan di sini. Seringkali, saat lelah merawat, anak mungkin menghela napas panjang atau bergumam pelan. Islam melarang gumaman sekecil apa pun yang dapat membuat orang tua merasa menjadi beban atau tidak diinginkan. Tujuan dari *Ihsan* adalah membuat mereka merasa dihargai dan dimuliakan hingga akhir hayat.
4. Ihsan dalam Permintaan Doa dan Nasihat
Kekuatan doa orang tua memiliki kedudukan yang unik dalam Islam. Anak yang ber-Ihsan adalah anak yang menyadari nilai spiritual ini. Ia tidak hanya mendoakan orang tuanya, tetapi juga meminta doa dan nasihat dari mereka secara teratur, bahkan jika ia merasa lebih berilmu atau lebih sukses.
Meminta nasihat adalah bentuk penghormatan dan pengakuan atas pengalaman hidup mereka. Tindakan ini memenuhi tuntutan *Qawlan Karima* karena ia mengangkat posisi orang tua dari sekadar penerima layanan menjadi sumber hikmah dan keberkahan. Ketika anak merendahkan dirinya untuk mendengarkan nasihat, ia sedang menerapkan *Janaha Adh-Dhull* secara praktis, mengakui bahwa kebijaksanaan mereka, meskipun mungkin kuno, tetap bernilai dan diperlukan.
5. Tafsir Terperinci terhadap ‘Rabbayānī Ṣaghīrā’
Frasa ‘Rabbayānī Ṣaghīrā’ (mereka mendidikku ketika aku masih kecil) memerlukan refleksi yang mendalam. Kata *Rabba* (mendidik/memelihara) adalah akar kata yang sama dengan *Rabb* (Tuhan). Ini menunjukkan bahwa peran pengasuhan yang dilakukan orang tua adalah cerminan terbatas dari sifat pemeliharaan Ilahi.
Mereka memberikan kasih sayang tanpa batas, mengabaikan kepentingan diri sendiri, dan bertanggung jawab penuh atas pertumbuhan kita. Dalam masa kecil, kita tidak pernah mempertanyakan apakah orang tua lelah, sakit, atau kekurangan. Kita hanya menerima. Doa ini adalah janji untuk memohon Rahmat yang sama besarnya, Rahmat yang mutlak dan tak terukur, dari Allah bagi mereka, yang telah menjadi perwujudan rahmat di bumi bagi kita.
Kajian mendalam ini menunjukkan bahwa Surah Al-Isra 23 dan 24 adalah piagam etika universal yang melampaui batas waktu dan budaya. Ia menuntut suatu level bakti yang melukiskan keindahan Islam: ketaatan mutlak kepada Tuhan disempurnakan dengan kasih sayang yang mutlak kepada mereka yang telah menjadi jembatan menuju kehidupan ini. Mengimplementasikan *Ihsan* ini adalah cara terbaik untuk meraih keridaan Allah SWT.
Kesimpulan: Jalan Menuju Keridaan Ilahi
Ayat 23 dan 24 Surah Al-Isra mengajarkan bahwa hubungan dengan kedua orang tua adalah ujian terbesar atas kualitas keimanan seseorang. Tingkat *Ihsan* yang ditunjukkan kepada mereka menjadi tolok ukur seberapa tulus pengakuan Tauhid yang kita ucapkan. Dari larangan mengucapkan "Uff" yang paling halus, hingga perintah merendahkan "sayap kerendahan hati," setiap kata dalam ayat-ayat ini menuntun umat menuju derajat spiritual tertinggi.
Bakti kepada orang tua bukanlah pilihan, melainkan pilar kedua setelah mengesakan Allah. Ia adalah investasi spiritual yang paling menjanjikan, yang buahnya dipetik di dunia (kemudahan hidup dan keberkahan) dan di akhirat (derajat tinggi di sisi Allah). Mari jadikan doa yang abadi, "Rabbi irhamhumā kamā rabbayānī ṣaghīrā," sebagai pengingat harian atas hutang rahmat yang tak terbayar, dan terus menerus menyempurnakan *Ihsan* dalam setiap interaksi dan pengorbanan.