Surat Al-Insyiqaq: Perjalanan Menuju Pertemuan Abadi

"Apabila langit terbelah..." Ilustrasi langit yang terbelah pada hari kiamat sesuai tema Surat Al-Insyiqaq.

Surat Al-Insyiqaq (الانشقاق), yang berarti "Terbelah", adalah surat ke-84 dalam Al-Qur'an. Surat ini tergolong Makkiyah, diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Terdiri dari 25 ayat, surat ini dengan kuat menggambarkan peristiwa dahsyat di awal hari kiamat, perjalanan setiap jiwa manusia yang tak terelakkan menuju Tuhannya, serta pemisahan nasib manusia menjadi dua golongan berdasarkan catatan amal mereka. Nama Al-Insyiqaq diambil dari ayat pertama, yang melukiskan salah satu fenomena kosmik paling menakutkan: terbelahnya langit.

Tema utama surat ini adalah kepastian akan adanya pertanggungjawaban. Setiap manusia, tanpa terkecuali, sedang menempuh sebuah perjalanan penuh kerja keras (kādiḥun) menuju perjumpaan dengan Allah SWT. Pada akhir perjalanan itu, ia akan menemui balasan atas segala yang telah diusahakannya. Surat ini memberikan gambaran yang sangat kontras antara kebahagiaan orang-orang yang menerima catatan amalnya dengan tangan kanan dan keputusasaan mereka yang menerimanya dari belakang punggung. Ini adalah pengingat yang tegas bahwa kehidupan dunia bukanlah akhir, melainkan sebuah fase yang akan berujung pada keabadian.

Bacaan Lengkap Surat Al-Insyiqaq: Arab, Latin, dan Terjemahan

Berikut adalah bacaan lengkap Surat Al-Insyiqaq beserta transliterasi latin dan terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk memudahkan pemahaman dan penghayatan maknanya.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

اِذَا السَّمَاۤءُ انْشَقَّتْۙ ١

Iżas-samā'unsaqqat.

1. Apabila langit terbelah,

وَاَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْۙ ٢

Wa ażinat lirabbihā wa ḥuqqat.

2. dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh.

وَاِذَا الْاَرْضُ مُدَّتْۙ ٣

Wa iżal-arḍu muddat.

3. Dan apabila bumi diratakan,

وَاَلْقَتْ مَا فِيْهَا وَتَخَلَّتْۙ ٤

Wa alqat mā fīhā wa takhallat.

4. dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong,

وَاَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْۗ ٥

Wa ażinat lirabbihā wa ḥuqqat.

5. dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh.

يٰٓاَيُّهَا الْاِنْسَانُ اِنَّكَ كَادِحٌ اِلٰى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلٰقِيْهِۗ ٦

Yā ayyuhal-insānu innaka kādiḥun ilā rabbika kad-ḥan fa mulāqīh(i).

6. Wahai manusia! Sesungguhnya engkau telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka engkau pasti akan menemuinya.

فَاَمَّا مَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِيَمِيْنِهٖۙ ٧

Fa ammā man ūtiya kitābahū biyamīnih(ī).

7. Maka adapun orang yang catatannya diberikan dari sebelah kanannya,

فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَّسِيْرًاۙ ٨

Fa saufa yuḥāsabu ḥisābay yasīrā(n).

8. maka dia akan dihisab dengan hisab yang mudah,

وَّيَنْقَلِبُ اِلٰٓى اَهْلِهٖ مَسْرُوْرًاۗ ٩

Wa yanqalibu ilā ahlihī masrūrā(n).

9. dan dia akan kembali kepada keluarganya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.

وَاَمَّا مَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ وَرَاۤءَ ظَهْرِهٖۙ ١٠

Wa ammā man ūtiya kitābahū warā'a ẓahrih(ī).

10. Dan adapun orang yang catatannya diberikan dari belakang punggungnya,

فَسَوْفَ يَدْعُوْ ثُبُوْرًاۙ ١١

Fa saufa yad'ū subūrā(n).

11. maka dia akan berteriak, “Celakalah aku!”

وَّيَصْلٰى سَعِيْرًاۗ ١٢

Wa yaṣlā sa'īrā(n).

12. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

اِنَّهٗ كَانَ فِيْٓ اَهْلِهٖ مَسْرُوْرًاۗ ١٣

Innahū kāna fī ahlihī masrūrā(n).

13. Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan keluarganya (yang sama-sama kafir).

اِنَّهٗ ظَنَّ اَنْ لَّنْ يَّحُوْرَۙ ١٤

Innahū ẓanna al lay yaḥūr(a).

14. Sesungguhnya dia mengira bahwa dia tidak akan kembali (kepada Tuhannya).

بَلٰىٓ oxychاِنَّ رَبَّهٗ كَانَ بِهٖ بَصِيْرًاۗ ١٥

Balā inna rabbahū kāna bihī baṣīrā(n).

15. Tentu, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.

فَلَآ اُقْسِمُ بِالشَّفَقِۙ ١٦

Falā uqsimu bisy-syafaq(i).

16. Maka Aku bersumpah demi cahaya merah pada waktu senja,

وَالَّيْلِ وَمَا وَسَقَۙ ١٧

Wal-laili wa mā wasaq(a).

17. demi malam dan apa yang diselubunginya,

وَالْقَمَرِ اِذَا اتَّسَقَۙ ١٨

Wal-qamari iżattasaq(a).

18. dan demi bulan apabila jadi purnama,

لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍۗ ١٩

Latarkabunna ṭabaqan 'an ṭabaq(in).

19. sungguh, akan kamu jalani tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).

فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَۙ ٢٠

Famā lahum lā yu'minūn(a).

20. Maka mengapa mereka tidak mau beriman?

وَاِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْاٰنُ لَا يَسْجُدُوْنَۗ ۩ ٢١

Wa iżā quri'a 'alaihimul-qur'ānu lā yasjudūn(a).

21. Dan apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.

بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُكَذِّبُوْنَۖ ٢٢

Balil-lażīna kafarū yukażżibūn(a).

22. Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan(nya).

وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا يُوْعُوْنَۖ ٢٣

Wallāhu a'lamu bimā yū'ūn(a).

23. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan (dalam hati mereka).

فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ ٢٤

Fa basysyirhum bi'ażābin alīm(in).

24. Maka sampaikanlah kepada mereka ‘kabar gembira’ (tentang) azab yang pedih,

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍ ࣖ ٢٥

Illal-lażīna āmanū wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti lahum ajrun gairu mamnūn(in).

25. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya.

Tafsir dan Penjelasan Mendalam Surat Al-Insyiqaq

Untuk memahami pesan agung yang terkandung dalam surat ini, kita akan menyelami makna setiap ayatnya secara lebih rinci, membaginya ke dalam beberapa bagian tematik.

Bagian 1: Kehancuran Alam Semesta dan Kepatuhan Total (Ayat 1-5)

"Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh. Dan apabila bumi diratakan, dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh."

Lima ayat pertama ini melukiskan permulaan hari kiamat dengan visualisasi yang luar biasa dahsyat. Kata 'insyaqqat' (terbelah) bukan sekadar retak, melainkan sebuah koyakan besar yang menghancurkan tatanan langit yang selama ini kita kenal sebagai simbol kekuatan dan keteraturan. Fenomena ini menandai akhir dari hukum alam yang berlaku di dunia. Langit, yang tampak begitu kokoh, hancur berkeping-keping atas perintah Penciptanya.

Frasa 'wa ażinat lirabbihā wa ḥuqqat' (dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh) adalah kunci pemahaman. Kata 'ażinat' berarti mendengar dengan penuh kepatuhan. Langit dan bumi, sebagai makhluk Allah yang agung, menunjukkan kepatuhan mutlak pada perintah Tuhan mereka untuk hancur. Ini adalah sebuah sindiran tajam kepada manusia yang sering kali membangkang, padahal langit dan bumi yang jauh lebih besar saja tunduk tanpa sedikit pun keraguan. Kepatuhan mereka adalah sebuah keniscayaan ('ḥuqqat'), karena begitulah seharusnya setiap makhluk bersikap di hadapan Sang Khaliq.

Selanjutnya, fokus beralih ke bumi. 'Wa iżal-arḍu muddat' (dan apabila bumi diratakan). Gunung-gunung akan hancur lebur menjadi debu, lembah-lembah akan terisi, dan seluruh permukaan bumi menjadi satu dataran yang rata dan luas. Tujuannya adalah agar tidak ada satu pun manusia yang bisa bersembunyi atau berlindung saat hari pengadilan tiba. Semua akan berdiri di hamparan yang sama di hadapan Allah.

Kemudian, bumi 'alqat mā fīhā wa takhallat' (memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong). Ini adalah gambaran kebangkitan. Semua yang terkubur di dalam perut bumi—jasad manusia dari generasi pertama hingga terakhir—akan dikeluarkan. Bumi "mengosongkan dirinya" dari amanah yang selama ini disimpannya. Sama seperti langit, bumi pun melakukan ini dengan kepatuhan total, menegaskan kembali pesan bahwa seluruh alam semesta tunduk pada kehendak-Nya.

Bagian 2: Perjalanan Wajib Manusia Menuju Tuhannya (Ayat 6)

"Wahai manusia! Sesungguhnya engkau telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka engkau pasti akan menemuinya."

Ayat ini adalah poros atau inti dari Surat Al-Insyiqaq. Setelah menggambarkan latar belakang kosmik yang dahsyat, Allah SWT berbicara langsung kepada setiap individu manusia ('Yā ayyuhal-insān'). Ini adalah panggilan universal yang melintasi batas waktu, ras, dan status sosial.

Kata 'kādiḥun' (bekerja keras) adalah deskripsi yang sangat akurat tentang kehidupan manusia. Hidup adalah serangkaian perjuangan, usaha, dan kerja keras, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi. Setiap napas, langkah, pikiran, dan perbuatan adalah bagian dari 'kad-ḥan' (kerja keras) ini. Entah seseorang bekerja untuk kebaikan atau keburukan, ia tetap sedang berjuang dan bersusah payah. Tidak ada yang bisa berdiam diri; roda kehidupan terus mendorong setiap insan menuju satu tujuan akhir.

Tujuan akhir itu adalah 'ilā rabbika' (menuju Tuhanmu). Perjalanan ini bersifat wajib dan tak terhindarkan. Kematian adalah gerbang yang pasti akan dilalui setiap jiwa untuk memulai fase pertemuan ini. Frasa penutup 'fa mulāqīh' (maka engkau pasti akan menemuinya) menegaskan kepastian ini. Pertemuan ini memiliki dua makna: pertama, pertemuan dengan balasan atas segala amal perbuatan; dan kedua, pertemuan dengan Allah SWT itu sendiri pada hari pengadilan. Ayat ini mengingatkan kita bahwa setiap detik kehidupan kita adalah langkah yang mendekatkan kita pada pertemuan agung tersebut, sehingga kita harus mempersiapkan bekal terbaik.

Bagian 3: Dua Golongan Manusia di Hari Perhitungan (Ayat 7-15)

Setelah menegaskan keniscayaan pertemuan dengan Tuhan, ayat-ayat berikutnya merinci hasil dari pertemuan tersebut, yang membagi manusia menjadi dua kelompok yang nasibnya sangat bertolak belakang.

Golongan Kanan: Kebahagiaan dan Kemudahan

"Maka adapun orang yang catatannya diberikan dari sebelah kanannya, maka dia akan dihisab dengan hisab yang mudah, dan dia akan kembali kepada keluarganya (yang sama-sama beriman) dengan gembira."

Kelompok pertama adalah orang-orang yang beruntung. Tanda keberuntungan mereka adalah menerima catatan amal ('kitābahū') dengan tangan kanan ('biyamīnih'). Menerima dengan tangan kanan adalah simbol kehormatan, kesuksesan, dan keridhaan Allah. Catatan ini berisi semua perbuatan baik yang mereka lakukan di dunia.

Konsekuensi dari ini adalah 'ḥisābay yasīrā' (hisab yang mudah). Para ulama menafsirkan hisab yang mudah ini sebagai proses di mana Allah hanya akan menunjukkan amal-amal hamba-Nya tanpa memperdebatkannya secara detail, lalu mengampuni dosa-dosanya. Ini adalah bentuk rahmat dan kasih sayang Allah yang luar biasa bagi orang-orang beriman. Mereka tidak akan dipermalukan atau diadili dengan keras.

Puncak kebahagiaan mereka adalah ketika mereka 'yanqalibu ilā ahlihī masrūrā' (kembali kepada keluarganya dengan gembira). Mereka akan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang juga beriman di dalam surga, dalam keadaan suka cita yang tiada tara. Ini adalah kebahagiaan sejati setelah melewati ujian kehidupan dunia dan ketegangan hari perhitungan.

Golongan Kiri: Penyesalan dan Kehinaan

"Dan adapun orang yang catatannya diberikan dari belakang punggungnya, maka dia akan berteriak, “Celakalah aku!” Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."

Kontras dengan golongan pertama, kelompok kedua adalah mereka yang celaka. Tanda kecelakaan mereka adalah menerima catatan amal 'warā'a ẓahrih' (dari belakang punggungnya). Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa tangan kanan mereka dibelenggu ke leher, dan tangan kiri mereka menembus dada untuk mengambil catatan dari belakang. Ini adalah simbol kehinaan, penolakan, dan ketidakberdayaan yang paling puncak.

Reaksi mereka saat menerima catatan itu adalah keputusasaan total. Mereka 'yad'ū subūrā' (berteriak, “Celakalah aku!”), menyerukan kebinasaan atas diri mereka sendiri karena mereka tahu hukuman apa yang menanti. Tidak ada lagi harapan atau kesempatan untuk bertaubat. Akhir dari perjalanan mereka adalah 'yaṣlā sa'īrā' (masuk ke dalam api yang menyala-nyala), yaitu neraka Sa'ir, tempat siksaan yang abadi.

Akar Penyebab Kehancuran

"Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan keluarganya. Sesungguhnya dia mengira bahwa dia tidak akan kembali. Tentu, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya."

Allah kemudian menjelaskan akar penyebab kebinasaan mereka. Pertama, 'kāna fī ahlihī masrūrā' (dia dahulu bergembira di kalangan keluarganya). Kegembiraan yang dimaksud di sini bukanlah kegembiraan yang wajar, melainkan kegembiraan yang lalai dan sombong. Mereka hidup bersenang-senang, terbuai oleh kenikmatan duniawi, tanpa pernah memikirkan akhirat atau pertanggungjawaban. Mereka menertawakan para nabi dan ajaran tentang hari kebangkitan.

Penyebab kedua, yang merupakan inti dari kekafiran mereka, adalah 'ẓanna al lay yaḥūr' (dia mengira bahwa dia tidak akan kembali). Mereka memiliki keyakinan yang salah bahwa setelah kematian tidak ada apa-apa lagi. Mereka menyangkal adanya hari kebangkitan dan pengadilan. Keyakinan inilah yang membuat mereka berani berbuat dosa dan melampaui batas, karena mereka merasa tidak akan pernah dimintai pertanggungjawaban.

Lalu Allah membantah keyakinan mereka dengan tegas: 'Balā' (Tentu!). Tentu saja mereka akan kembali. Dan penegasannya adalah 'inna rabbahū kāna bihī baṣīrā' (sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya). Allah Maha Melihat segala perbuatan mereka, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Tidak ada satu pun amal yang luput dari pengawasan-Nya, dan semuanya telah tercatat dengan rapi untuk diperhitungkan.

Bagian 4: Sumpah Allah dan Tahapan Kehidupan Manusia (Ayat 16-19)

"Maka Aku bersumpah demi cahaya merah pada waktu senja, demi malam dan apa yang diselubunginya, dan demi bulan apabila jadi purnama, sungguh, akan kamu jalani tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)."

Di bagian ini, Allah bersumpah dengan tiga fenomena alam yang indah dan penuh makna untuk menegaskan sebuah kebenaran fundamental tentang kehidupan manusia. Sumpah dalam Al-Qur'an berfungsi untuk menarik perhatian dan menekankan betapa pentingnya pesan yang akan disampaikan setelahnya.

1. Bisy-syafaq (demi cahaya merah pada waktu senja): Syafaq adalah cahaya kemerahan di ufuk barat setelah matahari terbenam. Ini adalah simbol transisi, peralihan dari terang (siang) ke gelap (malam). Ia indah namun singkat, mengingatkan pada kefanaan kehidupan dunia.

2. Wal-laili wa mā wasaq (demi malam dan apa yang diselubunginya): Malam menyelimuti dan mengumpulkan segala sesuatu yang tadinya tersebar di siang hari. Manusia dan hewan kembali ke tempat tinggalnya. Malam adalah waktu istirahat, tetapi juga waktu di mana banyak hal tersembunyi. Ini melambangkan misteri kehidupan dan kematian.

3. Wal-qamari iżattasaq (dan demi bulan apabila jadi purnama): Bulan purnama adalah puncak keindahan dan kesempurnaan siklus bulan. Ia melambangkan keteraturan, siklus, dan tahapan yang pasti terjadi.

Setelah tiga sumpah ini, datanglah jawabannya: 'Latarkabunna ṭabaqan 'an ṭabaq' (sungguh, akan kamu jalani tingkat demi tingkat). Ini adalah penegasan bahwa kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan yang melalui berbagai fase atau tingkatan. Para mufasir menjelaskan tingkatan ini dalam berbagai konteks:

Pesan utamanya adalah bahwa hidup ini dinamis dan berjenjang. Sama seperti alam yang terus berubah dari senja ke malam, dan bulan yang bertransformasi menjadi purnama, manusia pun tidak akan pernah statis. Ia akan terus berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain, dari satu alam ke alam berikutnya, hingga mencapai tujuan akhirnya.

Bagian 5: Kecaman dan Penutup yang Penuh Harapan (Ayat 20-25)

"Maka mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud. Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan(nya)."

Setelah semua bukti tentang kekuasaan Allah, kepastian hari kiamat, dan tahapan kehidupan dipaparkan, Allah melontarkan pertanyaan retoris yang penuh keheranan: 'Famā lahum lā yu'minūn' (Maka mengapa mereka tidak mau beriman?). Apa lagi yang menghalangi mereka untuk percaya setelah semua tanda-tanda ini? Ini adalah kecaman terhadap keteguhan hati mereka dalam kekafiran.

Kesombongan mereka lebih jauh ditunjukkan dalam ayat berikutnya: 'Wa iżā quri'a 'alaihimul-qur'ānu lā yasjudūn' (Dan apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud). Sujud di sini memiliki dua makna: sujud secara harfiah (seperti dalam salat) dan sujud secara kiasan, yaitu tunduk, patuh, dan menerima kebenaran Al-Qur'an. Mereka menolak untuk merendahkan diri di hadapan firman Allah. Penolakan ini adalah bukti nyata dari arogansi yang membutakan hati mereka.

Allah kemudian menegaskan bahwa inti masalah mereka adalah pendustaan ('yukażżibūn'). Mereka bukan tidak tahu, tetapi mereka memilih untuk mendustakan. Allah menjawab pendustaan ini dengan firman-Nya: 'Wallāhu a'lamu bimā yū'ūn' (Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan). Allah mengetahui segala niat busuk, keraguan, dan kesombongan yang mereka simpan rapat-rapat di dalam dada mereka.

Karena pendustaan mereka, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyampaikan ancaman: 'Fa basysyirhum bi'ażābin alīm' (Maka sampaikanlah kepada mereka ‘kabar gembira’ tentang azab yang pedih). Penggunaan kata 'basysyirhum' (berilah kabar gembira) adalah bentuk ironi yang sangat kuat. Biasanya kabar gembira adalah tentang hal-hal yang baik, tetapi di sini digunakan untuk azab, yang menunjukkan betapa pasti dan mengerikannya siksaan yang akan mereka terima.

Namun, surat ini tidak ditutup dengan keputusasaan. Allah, dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, selalu membuka pintu harapan. Ayat terakhir memberikan pengecualian: 'Illal-lażīna āmanū wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti lahum ajrun gairu mamnūn' (kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya). Ini adalah penutup yang indah. Jalan keselamatan selalu terbuka bagi siapa saja yang mau beriman dan membuktikannya dengan amal saleh. Bagi mereka, Allah telah menyiapkan pahala yang 'gairu mamnūn', yang berarti tidak akan pernah terputus, tidak akan pernah berkurang, dan tidak akan pernah diungkit-ungkit. Itulah surga, balasan abadi bagi perjalanan hidup yang penuh ketaatan.

🏠 Kembali ke Homepage