Menggali Makna Surah Al-Infitar: Gambaran Hari Kiamat dan Pertanggungjawaban Manusia

Ilustrasi langit terbelah sesuai makna Al-Infitar Ilustrasi grafis yang menggambarkan langit gelap penuh bintang yang terbelah di tengah, mengeluarkan cahaya terang, merepresentasikan makna 'terbelah' dari Surah Al-Infitar.

Surah Al-Infitar (الانفطار) adalah surah ke-82 dalam Al-Qur'an. Tergolong sebagai surah Makkiyah, surah ini diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Nama "Al-Infitar" sendiri berarti "Terbelah", diambil dari kata "infaṭarat" pada ayat pertama yang secara dramatis menggambarkan peristiwa terbelahnya langit sebagai salah satu tanda dimulainya hari kiamat. Surah ini secara kuat dan jelas memaparkan rangkaian peristiwa dahsyat di akhir zaman, pertanggungjawaban setiap jiwa atas perbuatannya, serta nasib akhir manusia yang terbagi menjadi dua golongan: orang-orang yang berbakti (al-abrār) dan orang-orang yang durhaka (al-fujjār).

Bacaan Surah Al-Infitar: Latin, Arab, Terjemahan dan Tafsirnya

Berikut ini adalah ulasan mendalam ayat per ayat dari Surah Al-Infitar, mencakup teks Arab, transliterasi Latin untuk kemudahan membaca, terjemahan dalam bahasa Indonesia, serta tafsir dan penjelasan yang lebih rinci untuk memahami kandungan maknanya.

Ayat 1

اِذَا السَّمَاۤءُ انْفَطَرَتْۙ

Iżas-samā`unfaṭarat. Apabila langit terbelah,

Tafsir dan Penjelasan:

Ayat pembuka ini langsung menyajikan sebuah gambaran yang sangat kuat dan menakutkan tentang awal mula hari kiamat. Kata "infaṭarat" (انْفَطَرَتْ) berasal dari akar kata "fa-ṭa-ra" yang berarti membelah atau meretakkan sesuatu yang sebelumnya kokoh dan utuh. Langit, yang selama ini kita kenal sebagai atap yang kokoh, pelindung yang terbentang luas tanpa cela, pada hari itu akan kehilangan kekuatannya. Ia akan pecah, terbelah, dan runtuh.

Peristiwa ini menandakan bahwa tatanan alam semesta yang selama ini berjalan dengan keteraturan yang sempurna atas perintah Allah SWT, akan mulai hancur. Keseimbangan kosmik yang menjaga segala sesuatunya di tempatnya masing-masing akan sirna. Ini adalah sinyal pertama yang begitu tegas bahwa dunia yang kita kenal telah mencapai akhirnya. Gambaran ini bertujuan untuk mengguncang jiwa manusia, menyadarkan mereka dari kelalaian bahwa alam yang tampak abadi ini sesungguhnya fana dan memiliki batas waktu.

Ayat 2

وَاِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْۙ

Wa iżal-kawākibuntaṡarat. dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan,

Tafsir dan Penjelasan:

Melanjutkan gambaran kehancuran kosmik, ayat kedua menggambarkan nasib bintang-bintang. Kata "al-kawākib" (الْكَوَاكِبُ) merujuk pada benda-benda langit, termasuk bintang, planet, dan asteroid. Sementara kata "intaṡarat" (انْتَثَرَتْ) berarti jatuh berserakan, tercerai-berai, atau tumpah tanpa aturan.

Selama ini, kita melihat bintang-bintang dan planet-planet bergerak pada orbitnya masing-masing dengan presisi yang luar biasa, laksana butiran mutiara yang dirangkai dalam sebuah kalung yang teratur. Namun, pada hari kiamat, "kalung" kosmik itu putus. Bintang-bintang akan kehilangan orbitnya, saling bertabrakan, dan jatuh berserakan dari angkasa. Keindahan dan keteraturan galaksi akan berubah menjadi kekacauan total. Ini adalah penegasan lebih lanjut bahwa hukum-hukum fisika yang mengatur alam semesta akan dicabut oleh Sang Pencipta.

Ayat 3

وَاِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْۙ

Wa iżal-biḥāru fujjirat. dan apabila lautan dijadikan meluap,

Tafsir dan Penjelasan:

Dari kehancuran di langit, fokus beralih ke bumi. Kata "al-biḥār" (الْبِحَارُ) adalah bentuk jamak dari "baḥr" yang berarti lautan. Kata "fujjirat" (فُجِّرَتْ) memiliki beberapa makna yang saling melengkapi. Ia bisa berarti diluapkan, dibongkar batas-batasnya sehingga lautan air tawar dan air asin menyatu, atau dinyalakan hingga menjadi lautan api.

Apapun makna spesifiknya, intinya adalah lautan yang selama ini memiliki batas dan karakteristik tertentu akan mengalami perubahan total. Batasan antara daratan dan lautan akan hilang. Air akan meluap menutupi segala sesuatu, menciptakan banjir global yang tak terbayangkan. Ada pula tafsir yang mengaitkannya dengan proses kimia di dasar laut, di mana tekanan dan panas yang luar biasa akan mengubah air menjadi api, sesuai dengan gambaran dalam surah At-Takwir. Ini menunjukkan bahwa elemen-elemen fundamental di bumi pun akan dihancurkan.

Ayat 4

وَاِذَا الْقُبُوْرُ بُعْثِرَتْۙ

Wa iżal-qubūru bu‘ṡirat. dan apabila kuburan-kuburan dibongkar,

Tafsir dan Penjelasan:

Setelah kehancuran alam semesta (langit, bintang, dan lautan), ayat ini menandai dimulainya fase kebangkitan. "Al-qubūr" (الْقُبُوْرُ) berarti kuburan, tempat peristirahatan terakhir jasad manusia. Kata "bu‘ṡirat" (بُعْثِرَتْ) berarti dibongkar, isinya dikeluarkan dan dihamburkan.

Kuburan yang selama ini menyimpan jasad manusia akan terbuka. Bumi akan mengeluarkan semua isinya. Semua manusia yang pernah hidup, dari zaman Nabi Adam hingga manusia terakhir, akan dibangkitkan dari kematian mereka. Jasad yang telah hancur lebur menjadi tanah akan dikembalikan utuh seperti sedia kala atas kuasa Allah. Ini adalah momen kebangkitan (yaumul ba'ats), di mana semua jiwa akan dikumpulkan untuk menghadapi perhitungan. Peristiwa ini membantah dengan tegas pandangan kaum kafir Quraisy pada masa itu yang tidak mempercayai adanya kehidupan setelah kematian.

Ayat 5

عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ وَاَخَّرَتْۗ

‘Alimat nafsum mā qaddamat wa akhkharat. (maka) setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.

Tafsir dan Penjelasan:

Ayat ini adalah jawaban atau hasil dari rangkaian peristiwa dahsyat sebelumnya. Ketika semua itu terjadi, maka... "setiap jiwa akan mengetahui". Kata "nafsun" (نَفْسٌ) digunakan dalam bentuk tunggal tak tentu (nakirah), yang berarti setiap individu, tanpa terkecuali, akan mengalami hal ini secara personal.

Apa yang akan diketahui? "Mā qaddamat wa akhkharat" (مَّا قَدَّمَتْ وَاَخَّرَتْ). Ungkapan ini memiliki makna yang sangat luas. "Mā qaddamat" merujuk pada amal perbuatan yang telah ia lakukan di dunia, baik yang baik maupun yang buruk. "Mā akhkharat" bisa berarti beberapa hal: (1) Amal yang ia tunda-tunda atau lalaikan untuk dikerjakan. (2) Sunnah atau tradisi (baik atau buruk) yang ia tinggalkan dan terus diikuti oleh orang lain setelah kematiannya, di mana pahala atau dosanya terus mengalir. (3) Amal yang pertama kali ia lakukan dan amal yang terakhir kali ia lakukan.

Intinya, pada hari itu, tidak ada satu pun detail kehidupan yang terlewatkan. Memori setiap orang akan dipulihkan sepenuhnya. Catatan amal akan dibuka, dan setiap jiwa akan melihat dengan mata kepala sendiri seluruh rekam jejak hidupnya, tanpa ada yang bisa disembunyikan atau didustakan.

Ayat 6

يٰٓاَيُّهَا الْاِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيْمِۙ

Yā ayyuhal-insānu mā garraka bi rabbikal-karīm. Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Mahamulia,

Tafsir dan Penjelasan:

Setelah menggambarkan kengerian hari kiamat, Allah SWT tiba-tiba mengubah nada-Nya menjadi sebuah teguran yang sangat personal dan menyentuh. Ini adalah sebuah pertanyaan retoris yang penuh kelembutan sekaligus kecaman. "Yā ayyuhal-insān" (Wahai manusia), sebuah panggilan universal kepada seluruh umat manusia.

"Mā garraka?" (Apakah yang telah memperdayakanmu?). Apa yang membuatmu begitu berani, begitu teperdaya, begitu lancang untuk durhaka kepada Tuhanmu? Apakah itu hartamu, kekuatanmu, kepintaranmu, atau hawa nafsumu? Semua itu adalah fatamorgana yang menipumu.

Pertanyaan ini menjadi lebih dalam ketika Allah menyebut Diri-Nya sebagai "rabbikal-karīm" (Tuhanmu Yang Mahamulia/Maha Pemurah). Seolah-olah Allah berkata, "Aku adalah Tuhan yang telah menciptakanmu, memberimu segala nikmat, menutupi aibmu, dan memberimu kesempatan untuk bertaubat. Aku begitu pemurah kepadamu, lalu mengapa engkau membalas kemurahan-Ku dengan kedurhakaan?". Ini adalah ayat yang seharusnya membuat setiap manusia merenung dalam-dalam tentang hubungannya dengan Sang Pencipta.

Ayat 7

الَّذِيْ خَلَقَكَ فَسَوّٰىكَ فَعَدَلَكَۙ

Allażī khalaqaka fa sawwāka fa ‘adalak. yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang,

Tafsir dan Penjelasan:

Ayat ini menjelaskan lebih lanjut sifat "Al-Karim" (Yang Maha Pemurah) dari Allah dengan mengingatkan manusia akan proses penciptaannya. Ada tiga tahapan yang disebutkan:

1. Khalaqaka (خَلَقَكَ): Dia yang telah menciptakanmu dari ketiadaan. Dari setetes air mani yang hina, menjadi segumpal darah, lalu segumpal daging, hingga menjadi janin yang lengkap. Ini adalah anugerah penciptaan itu sendiri.

2. Fa sawwāka (فَسَوّٰىكَ): Lalu Dia menyempurnakan kejadianmu. Allah tidak hanya menciptakan, tetapi juga menyempurnakan bentuk manusia. Setiap organ diletakkan di tempat yang paling tepat dengan fungsi yang paling efisien. Manusia diberi dua mata, dua telinga, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dalam bentuk yang sempurna dan fungsional.

3. Fa ‘adalak (فَعَدَلَكَ): Dan menjadikan susunan tubuhmu seimbang. Keseimbangan ini mencakup keseimbangan fisik (simetri tubuh, kemampuan berjalan tegak) dan keseimbangan internal (keseimbangan hormon, fungsi organ). Manusia diciptakan dalam "ahsani taqwim" (bentuk yang sebaik-baiknya). Mengingat semua ini, sungguh aneh jika manusia masih berani durhaka.

Ayat 8

فِيْٓ اَيِّ صُوْرَةٍ مَّا شَاۤءَ رَكَّبَكَۗ

Fī ayyi ṣūratim mā syā`a rakkabak. dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.

Tafsir dan Penjelasan:

Ayat ini menekankan kekuasaan mutlak Allah dalam penciptaan. "Rakkabak" (رَكَّبَكَ) berarti Dia menyusun atau merakitmu. Allah bisa saja menciptakan manusia dalam bentuk apapun yang Dia kehendaki. Bisa saja seperti hewan melata, atau bentuk lain yang tidak sempurna. Namun, atas kehendak dan kemurahan-Nya, Dia memilih untuk menyusun manusia dalam bentuk yang paling mulia dan indah.

Perbedaan rupa, warna kulit, tinggi badan, dan ciri fisik antara satu manusia dengan yang lain juga merupakan bukti kebesaran-Nya. Meskipun semuanya berasal dari sumber yang sama (Adam), Allah mampu menciptakan keragaman yang tak terbatas. Ini semua seharusnya menimbulkan rasa syukur, bukan kesombongan atau kedurhakaan.

Ayat 9

كَلَّا بَلْ تُكَذِّبُوْنَ بِالدِّيْنِۙ

Kallā bal tukażżibūna bid-dīn. Sekali-kali jangan begitu! Bahkan kamu mendustakan hari pembalasan.

Tafsir dan Penjelasan:

Kata "Kallā" (كَلَّا) adalah sanggahan yang keras. "Jangan begitu!". Ini adalah bantahan atas sikap manusia yang terperdaya dan durhaka. Seolah-olah Allah berkata, "Alasan kalian durhaka bukanlah karena kalian lupa akan nikmat-Ku. Bukan itu masalah utamanya."

"Bal tukażżibūna bid-dīn" (Bahkan kamu mendustakan hari pembalasan). Inilah akar masalahnya. Penyebab utama kedurhakaan manusia adalah karena mereka tidak benar-benar percaya pada "Ad-Dīn", yang dalam konteks ini berarti hari pembalasan, hari perhitungan, atau yaumul jaza'. Ketika seseorang tidak yakin bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya, maka ia akan merasa bebas untuk melakukan apapun yang ia inginkan, tanpa peduli halal atau haram. Inilah inti dari kekafiran dan kemaksiatan.

Ayat 10

وَاِنَّ عَلَيْكُمْ لَحٰفِظِيْنَۙ

Wa inna ‘alaikum laḥāfiẓīn. Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),

Tafsir dan Penjelasan:

Untuk membantah anggapan bahwa perbuatan manusia tidak tercatat, Allah menegaskan keberadaan para pengawas. "Wa inna ‘alaikum laḥāfiẓīn" (Dan sesungguhnya bagi kamu ada para penjaga/pengawas). Penekanan dengan kata "inna" (sesungguhnya) dan "la" (benar-benar) menunjukkan kepastian yang tidak bisa diragukan lagi.

Setiap manusia, di manapun ia berada dan kapanpun waktunya, selalu didampingi oleh malaikat yang ditugaskan secara khusus untuk mengawasi dan mencatat segala perbuatannya. Tidak ada satu pun momen dalam hidup manusia yang luput dari pengawasan ini. Ini adalah pengingat bahwa meskipun manusia bisa bersembunyi dari pengawasan sesama manusia, ia tidak akan pernah bisa lari dari pengawasan Allah dan para malaikat-Nya.

Ayat 11

كِرَامًا كَاتِبِيْنَۙ

Kirāmang kātibīn. yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (perbuatanmu),

Tafsir dan Penjelasan:

Ayat ini menjelaskan lebih lanjut sifat para malaikat pengawas tersebut. Mereka adalah "Kirāman" (كِرَامًا), yang berarti mulia. Kemuliaan mereka menunjukkan bahwa mereka adalah makhluk yang jujur, amanah, dan tidak akan pernah berbuat curang dalam pencatatan. Mereka tidak akan menambah atau mengurangi catatan amal sedikitpun. Mereka mulia di sisi Allah, sehingga kesaksian mereka adalah kesaksian yang paling terpercaya.

Tugas mereka adalah "Kātibīn" (كَاتِبِيْنَ), para pencatat. Mereka secara aktif dan teliti menuliskan segala sesuatu yang dilakukan, diucapkan, bahkan yang diniatkan oleh manusia. Pekerjaan mereka sangat detail dan akurat. Ini memberikan gambaran bahwa sistem pencatatan amal Allah sangat canggih dan tidak ada celah untuk kesalahan.

Ayat 12

يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُوْنَۗ

Ya‘lamūna mā taf‘alūn. mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Tafsir dan Penjelasan:

Ini adalah penegasan terakhir tentang kapasitas para malaikat pencatat. "Ya‘lamūna mā taf‘alūn" (mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan). Pengetahuan mereka bersifat komprehensif. Mereka tahu perbuatan yang tampak (zahir) dan yang tersembunyi (batin). Mereka tahu ucapan lisan dan bisikan hati. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari mereka.

Rangkaian tiga ayat ini (10, 11, 12) membangun sebuah argumen yang tak terbantahkan: pendustaan terhadap hari pembalasan adalah sia-sia, karena seluruh bukti sedang dikumpulkan dengan sangat teliti oleh para saksi yang mulia dan terpercaya. Setiap detik kehidupan manusia sedang didokumentasikan untuk persidangan agung di akhirat kelak.

Ayat 13

اِنَّ الْاَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍۙ

Innal-abrāra lafī na‘īm. Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan,

Tafsir dan Penjelasan:

Setelah menjelaskan tentang keniscayaan hari pembalasan dan sistem pencatatan amal, ayat-ayat berikutnya memaparkan hasil akhir dari perhitungan tersebut. Dimulai dari golongan pertama, yaitu "al-abrār" (الْاَبْرَارَ). Kata ini adalah bentuk jamak dari "barr", yang berarti orang yang sangat baik, berbakti, taat, dan memenuhi semua hak, baik hak kepada Allah maupun hak kepada sesama makhluk.

Balasan bagi mereka ditegaskan dengan "inna" dan "la" (sesungguhnya, benar-benar) berada dalam "na‘īm" (نَعِيْمٍ). "Na'im" adalah kenikmatan yang sempurna, total, dan abadi. Ini bukan sekadar kenikmatan fisik seperti makanan atau minuman, tetapi mencakup kenikmatan rohani, ketenangan jiwa, dan kebahagiaan hakiki di surga. Penggunaan kata "fī" (di dalam) menunjukkan bahwa mereka sepenuhnya diliputi dan tenggelam dalam kenikmatan tersebut.

Ayat 14

وَاِنَّ الْفُجَّارَ لَفِيْ جَحِيْمٍۙ

Wa innal-fujjāra lafī jaḥīm. dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.

Tafsir dan Penjelasan:

Sebagai kontras yang tajam, ayat ini menjelaskan nasib golongan kedua, yaitu "al-fujjār" (الْفُجَّارَ). Kata ini adalah bentuk jamak dari "fājir", yang berasal dari kata "fajara" yang berarti merobek atau melampaui batas. Orang durhaka adalah mereka yang merobek tabir ketaatan, melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah secara terang-terangan.

Nasib mereka juga ditegaskan dengan "inna" dan "la", yaitu benar-benar berada "fī jaḥīm" (فِيْ جَحِيْمٍ). "Jahim" adalah salah satu nama neraka yang menggambarkan api yang menyala-nyala dengan dahsyat. Sama seperti golongan pertama, penggunaan kata "fī" (di dalam) menunjukkan bahwa mereka akan diliputi dan terbenam sepenuhnya dalam siksaan api neraka tersebut, tanpa ada jalan keluar.

Ayat 15

يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّيْنِۙ

Yaṣlaunahā yaumad-dīn. Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan.

Tafsir dan Penjelasan:

Ayat ini menjelaskan kapan mereka akan memasuki neraka Jahim tersebut. "Yaṣlaunahā" (يَصْلَوْنَهَا) berarti mereka akan masuk untuk merasakan panasnya. Kapan? "Yaumad-dīn" (يَوْمَ الدِّيْنِ), yaitu pada hari pembalasan. Hari di mana semua amal diperhitungkan dan setiap orang menerima balasan yang setimpal.

Ini menghubungkan kembali nasib orang-orang durhaka dengan sebab kedurhakaan mereka yang disebutkan di ayat 9, yaitu mendustakan "Ad-Dīn". Ironisnya, hari yang mereka dustakan itulah yang akan menjadi hari di mana mereka menerima azab yang pedih. Ini adalah penegasan bahwa keadilan Allah pasti akan ditegakkan.

Ayat 16

وَمَا هُمْ عَنْهَا بِغَاۤىِٕبِيْنَۗ

Wa mā hum ‘anhā bigā`ibīn. Dan mereka tidak mungkin keluar dari neraka itu.

Tafsir dan Penjelasan:

Untuk memupus segala harapan palsu, Allah menegaskan sifat abadi dari siksaan bagi orang-orang durhaka. "Wa mā hum ‘anhā bigā`ibīn" (Dan mereka tidak akan pernah absen/hilang darinya). Mereka tidak akan bisa keluar, tidak akan bisa lari, bahkan tidak akan bisa pingsan atau mati untuk sejenak melepaskan diri dari siksaan. Azab itu bersifat kontinu dan abadi.

Ini berbeda dengan penderitaan di dunia yang selalu ada akhirnya, entah melalui kesembuhan, kelegaan, atau kematian. Di neraka, tidak ada akhir dari penderitaan. Setiap kali kulit mereka hangus, akan diganti dengan kulit yang baru agar mereka terus merasakan azab. Ini adalah gambaran yang sangat mengerikan untuk memperingatkan manusia agar tidak meremehkan ancaman Allah.

Ayat 17

وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا يَوْمُ الدِّيْنِۙ

Wa mā adrāka mā yaumud-dīn. Dan tahukah kamu apakah hari pembalasan itu?

Tafsir dan Penjelasan:

Setelah menyebut "Yaumud-dīn" beberapa kali, Allah kini mengajukan pertanyaan retoris yang bertujuan untuk menekankan keagungan dan kedahsyatan hari tersebut. "Wa mā adrāka" adalah sebuah ungkapan dalam Al-Qur'an yang digunakan untuk menunjukkan betapa luar biasanya sesuatu, sehingga akal manusia tidak akan mampu membayangkannya secara penuh.

Pertanyaan ini ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan secara umum kepada seluruh pembaca Al-Qur'an. Seolah-olah Allah berkata, "Wahai Muhammad, tahukah engkau hakikat sebenarnya dari Hari Pembalasan itu? Pengetahuanmu dan pengetahuan seluruh manusia tidak akan pernah bisa mencakup kedahsyatan hari itu." Ini membangun antisipasi dan rasa ingin tahu untuk penjelasan selanjutnya.

Ayat 18

ثُمَّ مَآ اَدْرٰىكَ مَا يَوْمُ الدِّيْنِۗ

Ṡumma mā adrāka mā yaumud-dīn. Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu?

Tafsir dan Penjelasan:

Pengulangan pertanyaan yang sama persis ("Ṡumma mā adrāka mā yaumud-dīn") berfungsi sebagai penekanan yang luar biasa kuat (ta'kid). Pengulangan ini bertujuan untuk semakin menanamkan dalam benak pendengar betapa penting, serius, dan mengerikannya hari tersebut. Ini bukan sekadar hari biasa; ini adalah peristiwa puncak dari seluruh sejarah penciptaan yang akan menentukan nasib abadi setiap makhluk. Pengulangan ini memaksa pendengar untuk berhenti sejenak dan benar-benar merenungkan signifikansi hari itu.

Ayat 19

يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْـًٔاۗ وَالْاَمْرُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ ࣖ

Yauma lā tamliku nafsul linafsin syai`ā, wal-amru yauma`iżil lillāh. (Yaitu) pada hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.

Tafsir dan Penjelasan:

Ayat penutup ini adalah jawaban dari dua pertanyaan sebelumnya. Inilah hakikat dari "Yaumud-dīn". Pada hari itu, "lā tamliku nafsun linafsin syai`ā" (satu jiwa tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk menolong jiwa yang lain). Semua hubungan duniawi akan terputus. Ayah tidak bisa menolong anaknya, suami tidak bisa membela istrinya, pemimpin tidak bisa melindungi pengikutnya. Kekayaan, jabatan, dan pengaruh tidak akan ada artinya. Setiap orang akan sibuk dengan urusannya sendiri, mempertanggungjawabkan amalnya seorang diri di hadapan Allah.

Bagian akhir ayat, "wal-amru yauma`iżil lillāh" (Dan segala urusan pada hari itu adalah milik Allah), adalah kesimpulan yang paling agung. Pada hari itu, hanya ada satu kedaulatan, satu kekuasaan, dan satu keputusan, yaitu milik Allah SWT semata. Tidak ada yang bisa mengintervensi, tidak ada yang bisa memprotes, dan tidak ada yang bisa mengubah ketetapan-Nya. Keadilan mutlak dan kekuasaan absolut hanyalah milik Allah. Inilah puncak dari penegasan tauhid, bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya untuk diadili menurut kehendak-Nya yang Maha Adil.

Rangkuman Bacaan Surah Al-Infitar Lengkap

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.


اِذَا السَّمَاۤءُ انْفَطَرَتْۙ

1. Iżas-samā`unfaṭarat.

Apabila langit terbelah,

وَاِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْۙ

2. Wa iżal-kawākibuntaṡarat.

dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan,

وَاِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْۙ

3. Wa iżal-biḥāru fujjirat.

dan apabila lautan dijadikan meluap,

وَاِذَا الْقُبُوْرُ بُعْثِرَتْۙ

4. Wa iżal-qubūru bu‘ṡirat.

dan apabila kuburan-kuburan dibongkar,

عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ وَاَخَّرَتْۗ

5. ‘Alimat nafsum mā qaddamat wa akhkharat.

(maka) setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.

يٰٓاَيُّهَا الْاِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيْمِۙ

6. Yā ayyuhal-insānu mā garraka bi rabbikal-karīm.

Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Mahamulia,

الَّذِيْ خَلَقَكَ فَسَوّٰىكَ فَعَدَلَكَۙ

7. Allażī khalaqaka fa sawwāka fa ‘adalak.

yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang,

فِيْٓ اَيِّ صُوْرَةٍ مَّا شَاۤءَ رَكَّبَكَۗ

8. Fī ayyi ṣūratim mā syā`a rakkabak.

dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.

كَلَّا بَلْ تُكَذِّبُوْنَ بِالدِّيْنِۙ

9. Kallā bal tukażżibūna bid-dīn.

Sekali-kali jangan begitu! Bahkan kamu mendustakan hari pembalasan.

وَاِنَّ عَلَيْكُمْ لَحٰفِظِيْنَۙ

10. Wa inna ‘alaikum laḥāfiẓīn.

Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),

كِرَامًا كَاتِبِيْنَۙ

11. Kirāmang kātibīn.

yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (perbuatanmu),

يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُوْنَۗ

12. Ya‘lamūna mā taf‘alūn.

mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.

اِنَّ الْاَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍۙ

13. Innal-abrāra lafī na‘īm.

Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan,

وَاِنَّ الْفُجَّارَ لَفِيْ جَحِيْمٍۙ

14. Wa innal-fujjāra lafī jaḥīm.

dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.

يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّيْنِۙ

15. Yaṣlaunahā yaumad-dīn.

Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan.

وَمَا هُمْ عَنْهَا بِغَاۤىِٕبِيْنَۗ

16. Wa mā hum ‘anhā bigā`ibīn.

Dan mereka tidak mungkin keluar dari neraka itu.

وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا يَوْمُ الدِّيْنِۙ

17. Wa mā adrāka mā yaumud-dīn.

Dan tahukah kamu apakah hari pembalasan itu?

ثُمَّ مَآ اَدْرٰىكَ مَا يَوْمُ الدِّيْنِۗ

18. Ṡumma mā adrāka mā yaumud-dīn.

Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu?

يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْـًٔاۗ وَالْاَمْرُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ ࣖ

19. Yauma lā tamliku nafsul linafsin syai`ā, wal-amru yauma`iżil lillāh.

(Yaitu) pada hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.

🏠 Kembali ke Homepage