Kajian Mendalam Surah Ali Imran Ayat 19: Fondasi Keabsahan Agama Islam

Jalan Lurus Menuju Cahaya Ilahi Visualisasi jalan yang lurus (Islam) menuju sumber cahaya (Allah). Awal Akhir Cahaya Ilahi

Visualisasi Islam sebagai jalan lurus yang mengarah kepada keridaan Allah.

Pengantar dan Konteks Wahyu

Surah Ali Imran merupakan surah Madaniyah yang mayoritas membahas dialog, perdebatan, dan penegasan akidah dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Ayat ke-19 dari surah ini, yang berbunyi, "Innād-dīna ‘indallāhil-islām", adalah pernyataan teologis yang paling tegas dan fundamental dalam Al-Qur'an mengenai status keabsahan agama di sisi Tuhan Semesta Alam.

Ayat ini berfungsi sebagai pilar akidah yang mengukuhkan bahwa kriteria kebenaran agama tidak didasarkan pada keinginan manusia, tradisi leluhur, atau kekayaan sejarah suatu bangsa, melainkan semata-mata pada ketetapan ilahi. Ayat ini datang sebagai respons langsung terhadap perselisihan panjang yang terjadi di kalangan Ahli Kitab, yang meskipun telah menerima kitab suci dan pengetahuan nubuwah, mereka memilih untuk berselisih bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena hasad (kedengkian) dan keangkuhan.

Konteks turunnya ayat ini sangat erat kaitannya dengan delegasi Kristen Najran yang datang ke Madinah untuk berdialog dengan Nabi Muhammad ﷺ. Dalam perdebatan yang intens tersebut, muncul pertanyaan mendasar: Manakah agama yang diakui secara mutlak oleh Allah? Ali Imran 19 memberikan jawaban yang lugas dan tidak ambigu, yang mengikat semua nabi, rasul, dan pengikut mereka, dari masa Adam hingga hari Kiamat.

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ ۗ وَمَا ٱخْتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ

Terjemahan Standar: Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.

Tafsir Mendalam: Analisis Lafazh per Lafazh

Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah setiap komponen lafazhnya sesuai dengan tradisi tafsir klasik (misalnya, Tafsir at-Thabari, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Qurtubi). Setiap kata membawa beban makna teologis yang signifikan.

1. إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ (Innād-dīna ‘indallāhi)

Makna Penegasan: Kata إِنَّ (Inna) adalah huruf tauqid (penegas) yang berfungsi untuk menguatkan kalimat selanjutnya. Ini bukan sekadar opini atau usulan, melainkan fakta absolut yang diikrarkan oleh Tuhan sendiri. Penegasan ini menghilangkan segala keraguan dan spekulasi.

Definisi Ad-Din: ٱلدِّينَ (Ad-Din) secara bahasa berarti ketaatan, kepatuhan, balasan, dan sistem hidup. Dalam konteks syariat, Ad-Din adalah sistem hidup yang meliputi akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak yang diwahyukan oleh Allah. Ia mencakup seluruh tata cara penghambaan yang dilakukan oleh makhluk kepada Penciptanya. Penggunaan ‘Alif Lam’ (ٱلْ) menunjukkan spesifisitas dan keumuman: Ad-Din yang dimaksud adalah satu-satunya sistem yang sempurna.

Kriteria ‘Indallah: Frasa عِندَ ٱللَّهِ (‘Indallāhi), yang berarti ‘di sisi Allah’, menegaskan bahwa kriteria kebenaran agama berada di ranah ilahi, bukan duniawi. Tidak peduli seberapa banyak pengikutnya, seberapa kaya budayanya, atau seberapa kuno sejarahnya, hanya yang sesuai dengan standar Allah lah yang diakui. Ini membatalkan legitimasi segala bentuk bid’ah (inovasi) dalam agama yang tidak disetujui secara wahyu.

2. ٱلْإِسْلَٰمُ (Al-Islām)

Inilah inti dari penegasan ayat. Al-Islām secara etimologi berasal dari kata salima (selamat, damai) dan memiliki arti penyerahan diri (submission) secara total dan mutlak kepada kehendak Allah SWT.

Para ulama tafsir sepakat bahwa makna Islam di sini memiliki dua dimensi yang saling melengkapi:

a. Dimensi Universal (Islam dalam Arti Luas): Ini adalah penyerahan diri yang dilakukan oleh seluruh nabi dan rasul sejak Nabi Adam hingga Nabi Isa. Setiap nabi mengajarkan tauhid (keesaan Allah), kenabian, dan Hari Akhir, serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada perintah Allah. Nabi Nuh, Nabi Ibrahim (yang disebut Hanif), Nabi Musa, dan Nabi Isa, semuanya adalah Muslim dalam artian mereka berserah diri kepada Allah. Dalam konteks ini, Islam adalah agama yang dianut oleh seluruh hamba Allah yang saleh di sepanjang zaman, yang intinya adalah Tauhid dan pengakuan keesaan Allah.

b. Dimensi Partikular (Islam dalam Arti Syariat Penutup): Ini adalah syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ, yang menyempurnakan dan menasakh (menggantikan) syariat-syariat sebelumnya. Syariat ini adalah manifestasi Islam yang paling lengkap dan final. Dengan diutusnya Nabi Muhammad, bentuk Islam sebelumnya, seperti Yahudi dan Nasrani dalam bentuknya yang telah diubah oleh manusia, tidak lagi diterima sebagai manifestasi ketaatan yang sempurna di sisi Allah, sebagaimana ditegaskan pula dalam Surah Al-Maidah ayat 3: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu..."

Sehingga, Islam adalah satu-satunya sistem yang membebaskan manusia dari perbudakan kepada selain Allah dan memberikan kedamaian sejati, baik di dunia maupun di akhirat.

3. وَمَا ٱخْتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ (Wa makhtalafa al-ladzīna ūtūl-kitāba)

Bagian ayat ini menggeser fokus dari pernyataan ilahi kepada sejarah perselisihan manusia, khususnya Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), yang telah diberikan kitab suci (Taurat dan Injil).

Perbedaan yang muncul di antara mereka bukanlah karena Allah tidak menurunkan petunjuk yang jelas, melainkan karena mereka gagal memegang teguh petunjuk tersebut. Perselisihan ini mencakup hal-hal fundamental, seperti pengakuan terhadap nabi yang datang kemudian, status kenabian Isa (bagi Yahudi), status keilahian Isa (bagi Nasrani), dan penyimpangan dalam syariat.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Kitab Suci seharusnya menjadi sumber kesatuan, namun ironisnya, ia menjadi sumber perpecahan karena ulah manusia sendiri.

4. إِلَّا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلْعِلْمُ (Illā mim ba’di mā jā'ahumul-‘ilmu)

Frasa ini sangat krusial. Perbedaan pendapat mereka tidak terjadi dalam kevakuman informasi atau di tengah kebodohan. Sebaliknya, mereka berselisih setelah datangnya ilmu (pengetahuan) yang jelas kepada mereka.

Pengetahuan ini mencakup:

  1. Pengetahuan yang terdapat dalam kitab suci mereka sendiri yang menubuatkan kedatangan Nabi Muhammad ﷺ.
  2. Hujah (bukti) yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ yang menegaskan kebenaran risalah Islam.

Ini adalah kecaman keras. Orang awam yang tersesat mungkin dimaafkan karena ketidaktahuan, tetapi para ulama dan pemuka agama yang memiliki ilmu namun memilih untuk menyimpang adalah pelaku kejahatan moral dan teologis yang lebih besar. Mereka mengetahui kebenaran, tetapi menolaknya.

5. بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ (Baghyan bainahum)

Inilah akar dari perselisihan tersebut: Kedengkian (Baghya). Baghya berarti hasad, zalim, iri hati, melampaui batas, dan keinginan untuk meraih keuntungan pribadi atau golongan, bahkan dengan mengorbankan kebenaran. Ini adalah motif psikologis dan sosiologis di balik penolakan terhadap Islam yang final.

Para ulama Ahli Kitab menolak kenabian Muhammad ﷺ bukan karena mereka meragukan bukti-bukti mukjizatnya, tetapi karena mereka iri mengapa nabi penutup itu berasal dari Bani Ismail (Arab), bukan dari Bani Israil. Mereka takut kehilangan kekuasaan, status sosial, dan keuntungan finansial yang mereka dapatkan dari memimpin umat mereka dengan tradisi yang sudah mapan.

Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa baghya adalah sumber semua kejahatan, karena ia mendorong seseorang untuk meninggalkan keadilan (ilmu) demi kepentingan nafsu dan kesombongan.

Konflik dan Kedengkian Setelah Ilmu Datang Visualisasi sumber ilmu (kitab) yang kemudian dipecah-pecah oleh kedengkian (baghya) menjadi berbagai jalan yang menyimpang. ILMU / KITAB Syubhat 1 Syubhat 2 Islam Sejati Baghya (Kedengkian)

Ilmu yang seharusnya menyatukan, dipecah oleh kedengkian dan ambisi pribadi.

Islam sebagai Agama Para Nabi (Hanifiyyah)

Pernyataan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah memerlukan pemahaman bahwa Islam dalam konteks universalnya bukanlah entitas baru yang muncul pada abad ke-7 Masehi. Sebaliknya, ia adalah penyempurnaan dan penegasan kembali dari Hanifiyyah (jalan lurus) yang telah diajarkan oleh semua utusan Allah.

Konsistensi Inti Ajaran

Semua risalah kenabian memiliki tiga komponen inti yang konsisten, yang secara esensi adalah Islam:

  1. Tauhid Ar-Rububiyyah dan Al-Uluhiyyah: Pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan satu-satunya yang berhak disembah. Inilah pangkal utama penyerahan diri. Nabi Nuh AS berseru kepada kaumnya untuk menyembah Allah semata. Nabi Ibrahim AS menjauhkan dirinya dari penyembahan berhala.
  2. Ketaatan Mutlak: Mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ini adalah wujud praktis dari 'Islam' atau penyerahan.
  3. Pengakuan Kenabian: Menerima setiap utusan yang datang dari Allah, dan meyakini bahwa syariat tersebut adalah jalan yang benar pada masanya.

Oleh karena itu, ketika Al-Qur'an menyatakan “Innād-dīna ‘indallāhil-islām”, ia sedang mengklaim kembali otoritas atas seluruh sejarah spiritual umat manusia. Allah tidak pernah merestui politeisme, penyembahan berhala, atau penyimpangan trinitas. Semuanya adalah hasil modifikasi dan baghya (transgresi) manusia setelah ilmu yang murni datang.

Syariat dan Penyempurnaan

Meskipun akidah universalnya sama, syariat (hukum praktis) para nabi sebelumnya berbeda-beda sesuai dengan konteks zaman dan kemampuan umat. Namun, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ adalah syariat penutup yang bersifat universal dan abadi. Penyempurnaan ini dijelaskan dalam Surah Al-Maidah ayat 3, yang secara definitif menyatakan bahwa bentuk Islam yang sah dan final adalah yang diwahyukan kepada Nabi penutup. Siapa pun yang masih berpegang pada versi syariat yang telah kedaluwarsa, yang telah diubah, atau yang telah dinasakh (dibatalkan), ia berada dalam kerugian karena menolak petunjuk yang lebih sempurna.

Analisis Konsep Baghya (Kedengkian dan Kezaliman)

Kedengkian atau Baghya adalah kata kunci yang menjelaskan mengapa umat beragama yang paling berpengetahuan justru menjadi yang paling berselisih dan menyimpang. Ayat ini mengajarkan sebuah pelajaran psikologis dan teologis yang mendalam: kebenaran seringkali ditolak bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena keangkuhan hati dan kepentingan duniawi.

Kedengkian Ulama

Para ulama Ahli Kitab memiliki pengetahuan yang sangat detail mengenai ciri-ciri Nabi Muhammad ﷺ dan zaman kedatangannya. Mereka mengenalnya "sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri" (Al-Baqarah: 146). Namun, ilmu tersebut justru menjadi senjata mereka untuk berselisih.

Motivasi utama dari Baghya dalam konteks ini adalah:

  1. Kekuasaan dan Otoritas: Mereka khawatir kehilangan kedudukan mereka sebagai pemuka agama jika mereka menerima nabi baru.
  2. Fanatisme Kesukuan: Penolakan karena rasul datang dari garis keturunan Ismail, bukan dari Bani Israil.
  3. Materialisme: Takut kehilangan persembahan dan sumbangan dari pengikut mereka jika mereka mengikuti risalah yang menuntut kesederhanaan dan kepatuhan yang lebih ketat.

Perilaku Baghya ini menciptakan penyimpangan (ikhtilaf) yang disengaja. Mereka memutarbalikkan tafsir, menyembunyikan bagian-bagian dari Kitab Suci mereka, dan membuat hukum-hukum baru yang tidak diizinkan oleh Allah, semua demi mempertahankan dominasi mereka. Kezaliman ini adalah bentuk tertinggi dari penolakan, karena ia dilakukan dengan kesadaran penuh terhadap kebenaran yang ditolak.

Pelajaran bagi Umat Islam

Ayat ini juga merupakan peringatan tajam bagi umat Islam sendiri. Jika Ahli Kitab berselisih setelah ilmu datang karena baghya, maka umat Islam juga rentan terhadap penyakit yang sama. Baghya dalam konteks Islam bisa berupa:

Islam menuntut persatuan di atas ilmu yang murni, dan baghya adalah musuh utama dari persatuan tersebut.

Penegasan Keadilan Ilahi: فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ

Ayat ini diakhiri dengan peringatan tegas: "Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya."

Frasa سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ (Sarī'ul-Ḥisāb), 'Sangat Cepat Hisab-Nya', memiliki beberapa makna mendalam dalam teologi Islam:

1. Kepastian dan Kedekatan Akibat

Pernyataan ini bukan hanya berarti perhitungan Allah cepat selesai, tetapi lebih jauh, ia menegaskan bahwa balasan itu pasti datang dan sangat dekat, betapapun panjangnya penundaan di dunia. Bagi mereka yang menolak Islam dan berselisih karena baghya setelah mengetahui kebenaran, mereka tidak akan luput dari pertanggungjawaban.

Kecepatan hisab juga mencerminkan kesempurnaan ilmu Allah. Allah tidak perlu menghitung satu per satu amal dan niat karena segala sesuatu telah tercatat dan diketahui-Nya secara total. Perhitungan-Nya instan, menyeluruh, dan adil. Ini adalah ancaman bagi mereka yang meremehkan konsekuensi dari penolakan risalah.

2. Keterkaitan antara Niat dan Balasan

Hisab yang cepat ini sangat relevan dengan kejahatan baghya. Kedengkian dan kezaliman adalah dosa yang berakar pada niat dan hati, bukan hanya pada tindakan lahiriah. Allah, yang mengetahui niat di balik perselisihan Ahli Kitab, akan menghisab mereka berdasarkan kezaliman hati tersebut, yang merupakan inti dari kekafiran mereka.

3. Penolakan terhadap Kafir di Hari Kiamat

Ayat ini berfungsi sebagai penutup logis: Jika Islam adalah satu-satunya agama yang diterima, maka siapa pun yang menolaknya (yakfur) setelah kebenaran datang, konsekuensinya adalah hisab yang cepat. Ini menguatkan pesan fundamental bahwa tidak ada alasan yang dapat diterima di Hari Kiamat bagi penolakan terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan syariat yang dibawanya, terutama bagi mereka yang telah memiliki petunjuk dalam kitab-kitab mereka sebelumnya.

Implikasi Syariah dan Fikih Ayat 19

Ayat Ali Imran 19 tidak hanya berbicara tentang akidah murni, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang signifikan dalam hukum Islam dan hubungan antaragama.

Status Agama Lain Pasca Kenabian Muhammad ﷺ

Secara fikih, ayat ini bersamaan dengan Al-Maidah ayat 3, menempatkan Islam sebagai syariat yang wajib diikuti secara mutlak. Syariat para nabi terdahulu (seperti Taurat dan Injil) dianggap telah dinasakh (dibatalkan) oleh syariat Nabi Muhammad, dan versi yang ada saat ini dianggap telah mengalami tahrif (perubahan atau distorsi).

Bagi siapa pun yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad ﷺ dan risalahnya sampai kepadanya (Hujjah Tegak), wajib baginya untuk memeluk Islam. Imam An-Nawawi, dalam syarah Sahih Muslim, mencatat konsensus ulama bahwa siapa pun dari umat Yahudi dan Nasrani yang mendengar tentang kenabian Muhammad ﷺ dan menolaknya, maka ia tergolong kafir dan akan kekal di neraka, berdasarkan hadis yang menegaskan kenabian Muhammad sebagai risalah universal bagi seluruh umat manusia.

Persatuan Umat Islam

Ayat ini juga menjadi landasan teologis untuk menolak segala bentuk perpecahan internal di kalangan umat Islam. Jika Ahli Kitab dicela karena berselisih setelah datangnya ilmu, maka umat Islam yang berselisih tentang hal-hal fundamental setelah Al-Qur'an dan Sunnah yang jelas, juga berada di bawah ancaman Baghya. Islam menuntut persatuan dalam akidah dan pokok syariat (Usul ad-Din), serta toleransi dalam masalah cabang (Furu’ ad-Din) yang memang memiliki ruang ijtihad.

Dasar Dakwah dan Dialog

Dalam konteks dakwah, ayat ini mengajarkan bahwa inti dari seruan adalah kebenaran universal Islam. Ketika berdialog dengan Ahli Kitab, kaum Muslim harus menekankan bahwa Islam adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari ajaran tauhid mereka yang asli. Dialog harus didasarkan pada ilmu yang jelas (sebagaimana ilmu datang kepada mereka), dan harus melawan motif tersembunyi seperti baghya atau keangkuhan.

Perbandingan dengan Ayat-Ayat Serupa

Kedudukan Ali Imran 19 diperkuat oleh ayat-ayat lain yang memiliki tema serupa, memberikan pemahaman yang komprehensif tentang posisi Islam dalam hierarki wahyu ilahi.

1. Surah Al-Maidah (5:3)

Ayat ini adalah penyempurna bagi Ali Imran 19:

“...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu menjadi agama bagimu.”

Jika Ali Imran 19 menyatakan bahwa Islam adalah yang diterima, maka Al-Maidah 3 menyatakan bahwa syariat Nabi Muhammad ﷺ adalah bentuk Islam yang telah sempurna dan final, menutup pintu bagi tuntutan penambahan atau perubahan agama setelahnya.

2. Surah Al-Baqarah (2:213)

Ayat ini memberikan gambaran sejarah perselisihan:

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi... Kemudian orang-orang yang diberikan Kitab itu berselisih tentangnya, sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena kedengkian di antara mereka sendiri...”

Ayat ini menggemakan kembali penyebab perselisihan: kedengkian (baghya) setelah datangnya keterangan yang nyata (ilmu). Ini membuktikan bahwa penyakit spiritual yang diderita Ahli Kitab adalah penyakit kronis yang muncul di berbagai generasi yang menolak kebenaran karena faktor non-rasional.

3. Surah Ali Imran (3:85)

Ayat ini memberikan konsekuensi bagi penolakan Islam:

“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”

Ayat 85 adalah konfirmasi langsung dan pelengkap yang menindaklanjuti ayat 19. Jika ayat 19 adalah penetapan (deklarasi), maka ayat 85 adalah penolakan mutlak (penghakiman) bagi siapa pun yang berpegang pada sistem lain setelah Islam yang sempurna diturunkan.

Sintesis Teologis: Islam Sebagai Kebutuhan Fitrah

Keseluruhan pesan Ali Imran 19 melampaui sekadar perselisihan historis; ia menyentuh fitrah manusia dan hubungan primordialnya dengan Sang Pencipta. Islam, sebagai penyerahan diri, bukanlah pilihan arbitrer di antara banyak sistem, melainkan jawaban alami terhadap kerinduan fitrah manusia akan tauhid yang murni.

Keselamatan dan Penyerahan Diri

Sangat penting untuk disadari bahwa keselamatan (al-Falah) hanya mungkin dicapai melalui penyerahan diri (Islam). Orang yang tidak berserah diri kepada kehendak Allah secara total, ia sejatinya berserah diri kepada hawa nafsunya, tradisi yang rusak, atau kepentingan manusia lainnya. Ketika Allah menetapkan bahwa Islam adalah agama yang diterima, ini berarti hanya melalui jalur penyerahan diri inilah manusia dapat menemukan ketenangan (salam) dan keselamatan (salima).

Tafsir Razi menekankan bahwa penolakan terhadap Islam yang datang melalui Muhammad ﷺ adalah penolakan terhadap kenikmatan terbesar, yaitu keridaan Allah. Mengingat ilmu telah datang, penolakan ini merupakan tindakan kezaliman tertinggi (baghya), dan kezaliman ini layak mendapat hisab yang cepat.

Peran Akal dan Ilmu dalam Islam

Ayat ini secara implisit menyanjung peran akal dan ilmu. Allah tidak menghisab manusia karena ketidaktahuan yang murni, tetapi menghisab mereka yang menolak setelah datangnya ilmu. Ini menjadikan Islam sebagai agama yang rasional dan berbasis bukti (wahyu). Kewajiban untuk mencari ilmu dan menggunakan akal adalah prasyarat untuk menerima Islam, dan sebaliknya, orang-orang yang menolak Islam setelah ilmu datang telah menzalimi akal dan jiwanya sendiri.

Ilmu yang sejati akan selalu mengarahkan manusia kepada Tauhid dan pengakuan terhadap nabi terakhir. Ketika ilmu disalahgunakan untuk melayani kedengkian (baghya), ia menjadi malapetaka. Perbedaan antara Muslim sejati dan Ahli Kitab yang menyimpang terletak pada bagaimana mereka merespons ilmu: Muslim tunduk pada ilmu, sementara mereka yang diliputi baghya menggunakan ilmu untuk membenarkan penolakan mereka.

Oleh karena itu, Ali Imran 19 adalah seruan abadi kepada seluruh umat manusia: Jalan keridaan Allah telah ditetapkan, ia adalah jalan penyerahan diri total, yaitu Islam. Segala penyimpangan darinya, terutama yang didorong oleh kepentingan diri dan kedengkian, akan berujung pada pertanggungjawaban yang cepat dan pasti di hadapan Hakim Yang Maha Adil.

Kesimpulan dari ayat ini adalah penguatan akidah yang tak tergoyahkan: Kebenaran adalah satu, jalannya satu, dan tujuannya satu. Islam adalah nama bagi kebenaran tersebut, yang merangkum ketaatan lahir dan batin, sejarah risalah, dan masa depan manusia di hadapan Tuhannya. Ketegasan ini adalah rahmat, bukan kekejaman, karena ia memberikan kepastian tentang jalan menuju keselamatan abadi.

Tidak ada celah, tidak ada pengecualian. Klaim kebenaran Islam berdiri tegak di atas fondasi logika ilahi dan bukti historis kenabian. Dan bagi mereka yang masih bersikeras menolaknya, meski ilmu telah mencerahkan jalan, mereka harus bersiap menghadapi perhitungan yang secepat kilat dari Allah SWT.

Ayat ini mengajarkan bahwa inti dari ajaran agama adalah penyerahan, dan ketika penyerahan itu diwujudkan dalam bentuk syariat yang sempurna yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ, maka itulah satu-satunya Din yang sah (Al-Islam). Kedalaman pemahaman ayat ini harus mendorong umat Muslim untuk memperkuat keimanan mereka, menyatukan barisan, dan menjauhi segala bentuk baghya yang dapat merusak persatuan dan menjauhkan mereka dari inti ajaran yang murni.

Kajian mendalam ini menegaskan kembali prinsip bahwa tidak ada sistem kehidupan, filosofi, atau tradisi keagamaan yang dapat berdiri sejajar dengan otoritas Islam yang murni, karena Islam adalah satu-satunya yang memenuhi kriteria ‘Indallah—di sisi Allah—sebagai sistem yang didasarkan pada Tauhid, Risalah yang benar, dan penyerahan diri yang total. Demikianlah makna universal dari kalimat yang tegas ini, yang menjadi pilar tegaknya seluruh bangunan akidah Muslim.

Seluruh sejarah nubuwwah adalah perjalanan menuju penyempurnaan Islam ini. Ketika Nabi Adam AS pertama kali sujud, ia adalah seorang Muslim yang berserah diri. Ketika Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk mengurbankan anaknya, ia berserah diri. Dan ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu terakhir, Islam mencapai puncaknya. Oleh karena itu, penolakan terhadap risalah penutup ini, setelah segala ilmu dan bukti telah datang, adalah bentuk keangkuhan yang tidak terampuni, dan hisabnya akan sangat cepat.

Ayat ini menuntut bukan hanya pengakuan intelektual, tetapi juga implementasi praktis. Islam tidak hanya diterima di sisi Allah sebagai nama, tetapi sebagai metodologi hidup. Untuk benar-benar diterima, umat harus hidup sesuai dengan tuntutan Al-Islam, yaitu penyerahan diri yang damai dan total, menjauhi segala bentuk perselisihan yang didorong oleh hawa nafsu dan ambisi duniawi (baghya). Kegagalan untuk mewujudkan Islam secara kaffah (menyeluruh) adalah bentuk penyimpangan yang mirip dengan ikhtilaf yang dilakukan oleh Ahli Kitab.

Jika kita kembali meninjau frasa إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ, kita melihat bagaimana ia menempatkan stabilitas dan kepastian di tengah kekacauan dunia. Dalam dunia yang penuh dengan ideologi yang saling bersaing, hanya ajaran yang datang dari Allah lah yang bebas dari cacat dan kontradiksi. Islam adalah jangkar bagi jiwa yang mencari kebenaran mutlak. Penegasan ini bukan untuk membatasi rahmat Allah, tetapi justru untuk menetapkan jalur paling aman untuk meraih rahmat-Nya, yaitu melalui ketaatan yang tulus dan penyerahan diri yang total.

Ayat ini juga menantang narasi yang berusaha menyamaratakan semua agama (sinkretisme). Meskipun rahmat Allah luas, jalan menuju keridaan-Nya telah diatur dengan jelas dan telah mencapai bentuk akhirnya dalam syariat Nabi Muhammad ﷺ. Menolak Islam berarti menolak kesempurnaan dan memilih jalur yang kurang sempurna atau bahkan telah terdistorsi. Dan seperti yang diungkapkan oleh akhir ayat, konsekuensi penolakan tersebut adalah perhitungan yang tidak tertunda. Kesadaran akan سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ harusnya menjadi motivasi kuat bagi setiap individu untuk segera merangkul dan memegang teguh Islam yang murni.

🏠 Kembali ke Homepage