Surah Al-Furqan, khususnya mulai ayat 63 hingga 77, menyajikan sebuah potret karakter yang luar biasa, sebuah cetak biru ideal bagi setiap insan yang ingin mendeklarasikan dirinya sebagai ‘Ibādur-Raḥmān’—Hamba-hamba Yang Maha Pengasih. Karakteristik ini bukan sekadar daftar formalitas ibadah ritual, melainkan manifestasi utuh dari integritas spiritual, sosial, dan ekonomi. Di antara rangkaian sifat mulia tersebut, terdapat satu prinsip sentral yang seringkali menjadi penentu keberhasilan spiritual seseorang dalam menghadapi godaan material dunia: prinsip moderasi finansial.
Ayat yang secara spesifik menyoroti aspek ini adalah Surah Al-Furqan ayat 67. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang bagaimana seseorang membelanjakan hartanya, tetapi lebih dalam, ia menggambarkan filosofi hidup yang menolak ekstremitas. Ia adalah seruan untuk mencari jalur tengah, sebuah poros etika yang memisahkan antara kesombongan pemborosan dan kekikiran yang menghambat kemurahan hati. Memahami ayat ini adalah kunci untuk memahami bagaimana Islam menyeimbangkan tuntutan spiritual dan kebutuhan material.
Sebelum kita menyelami kedalaman ayat 67, penting untuk melihat konteks umum dari deskripsi Ibādur-Raḥmān. Seluruh rangkaian ayat ini (63-77) membangun sebuah narasi komprehensif. Dimulai dari sifat rendah hati di muka bumi (berjalan dengan tenang), berlanjut pada kesabaran menghadapi celaan orang bodoh, dan kemudian keseriusan dalam ibadah malam. Semua karakteristik ini mempersiapkan hati dan jiwa untuk menghadapi ujian terbesar dunia: harta benda dan kekayaan.
Kekayaan memiliki daya tarik dan potensi kerusakan yang setara. Seseorang yang telah berhasil mengatur dirinya dalam urusan ibadah dan interaksi sosial (seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya) tidak akan sempurna tanpa pengaturan yang benar terhadap hartanya. Harta adalah alat ujian, dan cara seorang hamba mengelolanya menjadi cerminan nyata dari seberapa tulus pengakuannya sebagai ‘Hamba Yang Maha Pengasih’.
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan [25]: 67)
Ayat ini adalah inti dari manajemen ekonomi Islam pada tingkat individu. Ia memperkenalkan konsep ‘Qawwamah’ (keseimbangan sempurna atau jalan tengah) dalam konteks pembelanjaan harta. Ini bukan sekadar anjuran moral, melainkan sebuah instruksi ilahi yang mengikat etika spiritual dengan praktik ekonomi sehari-hari. Tiga pilar utama dibahas dalam ayat ini:
Isrāf merujuk pada pemakaian harta yang melampaui batas kebutuhan, baik secara kuantitas maupun kualitas, atau membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak diizinkan. Ini adalah sisi ekstremitas yang dicirikan oleh kesenangan berlebihan, pamer kekayaan, dan konsumsi yang tidak bertanggung jawab. Pemborosan tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga merusak spiritualitas. Ia menumbuhkan kesombongan, melupakan penderitaan orang lain, dan mengikis rasa syukur. Dalam konteks yang lebih luas, isrāf dapat mencakup:
Bagi Ibādur-Raḥmān, harta adalah amanah, bukan hak mutlak untuk dihambur-hamburkan. Menghindari isrāf adalah pengakuan bahwa sumber daya ini diberikan oleh Allah dan harus dikelola dengan penuh rasa tanggung jawab, menjauhi segala bentuk kemewahan yang melenakan dan melalaikan hati dari mengingat pencipta. Pemborosan adalah manifestasi dari ego yang berteriak, sementara moderasi adalah bisikan hati yang tunduk pada perintah Ilahi.
Sisi ekstrem yang berlawanan dari isrāf adalah taqtīr atau bukhl (kekikiran atau kikir). Ini adalah kondisi di mana seseorang menahan hartanya, bahkan untuk hal-hal yang wajib atau sangat dibutuhkan, baik untuk dirinya sendiri, keluarganya, maupun masyarakat. Kekikiran adalah penyakit hati yang membekukan aliran rezeki dan menghalangi manfaat harta tersebut mencapai orang lain. Seseorang yang kikir hidup dalam ketakutan akan kemiskinan, meskipun ia memiliki harta berlimpah. Ia menolak mengeluarkan zakat, enggan bersedekah, dan bahkan mungkin menyempitkan nafkah wajib bagi keluarganya.
Ibādur-Raḥmān adalah individu yang dermawan, yang memahami bahwa berbagi adalah bagian integral dari iman. Kekikiran dilarang keras karena ia merusak tatanan sosial, menghancurkan kasih sayang di antara manusia, dan menggagalkan tujuan utama harta, yaitu menjadi sarana tolong-menolong dan keadilan ekonomi. Jika pemborosan adalah kesombongan dalam memberi, maka kekikiran adalah kesombongan dalam menahan. Keduanya sama-sama melanggar prinsip Qawwamah karena menunjukkan kegagalan dalam memahami peran harta sebagai jembatan menuju ketaatan.
Ketidakmauan untuk memberi, bahkan dalam batas-batas yang disyariatkan atau dibutuhkan, mencerminkan kurangnya kepercayaan kepada Allah sebagai Pemberi Rezeki. Ini adalah wujud ketamakan yang mengunci hati dari kenikmatan iman dan kebahagiaan sejati yang datang dari kemurahan hati.
Qawwāmā adalah kata kunci yang mendefinisikan Ibādur-Raḥmān. Ini berarti tegak, lurus, dan adil. Dalam konteks ekonomi, ini berarti menetapkan keseimbangan yang tepat antara kebutuhan yang sah dan kewajiban moral, antara menabung untuk masa depan dan mengeluarkan untuk saat ini, antara memberi kepada orang lain dan memenuhi kebutuhan diri sendiri.
Jalan tengah ini bukan sekadar rata-rata aritmatika antara dua ekstrem, tetapi sebuah posisi etis yang dinamis dan bijaksana. Ia menuntut kebijaksanaan (hikmah) dalam setiap keputusan pembelanjaan:
Ibādur-Raḥmān adalah manajer harta yang cerdas. Mereka mampu memenuhi kewajiban mereka tanpa jatuh ke dalam kemiskinan akibat kedermawanan yang tidak terukur, dan pada saat yang sama, mereka tidak pernah menimbun harta hingga menjadi sia-sia, mengabaikan hak-hak orang lain. Keseimbangan ini adalah cerminan dari hati yang damai, yang tidak diganggu oleh ketakutan akan kekurangan (kekikiran) maupun oleh nafsu untuk pamer (pemborosan).
Prinsip Qawwamah jauh melampaui urusan belanja sehari-hari. Ini adalah kerangka kerja bagi seluruh sistem ekonomi pribadi dan sosial. Jika semua anggota masyarakat menerapkan prinsip ini, hasil yang dicapai adalah masyarakat yang adil, stabil, dan minim ketimpangan.
Secara psikologis, pemborosan dan kekikiran berakar pada masalah yang sama: keterikatan yang salah terhadap dunia. Orang yang boros menggunakan harta untuk memvalidasi dirinya di mata orang lain, atau untuk mengisi kekosongan spiritual melalui kepuasan material instan. Ini adalah pencarian kebahagiaan di tempat yang salah, berujung pada siklus ketidakpuasan yang tak berujung. Mereka sering kali terjebak dalam utang dan budaya konsumtif yang merusak.
Sebaliknya, orang yang kikir, meskipun tampak berhati-hati, sebenarnya didorong oleh rasa takut yang mendalam terhadap masa depan. Mereka tidak percaya pada jaminan rezeki Ilahi. Harta bagi mereka adalah benteng, padahal harta yang ditimbun tidak pernah benar-benar melindungi hati dari kecemasan. Keduanya, baik isrāf maupun taqtīr, adalah bentuk ketidakpercayaan yang terwujud dalam perilaku finansial.
Jalan Qawwamah menawarkan kebebasan dari kedua belenggu ini. Ia menempatkan harta pada tempatnya yang benar: sebagai alat ibadah, sarana penunjang kehidupan yang bermartabat, dan jembatan menuju Surga melalui sedekah yang tulus. Kebebasan sejati dicapai ketika seseorang mampu memegang harta di tangannya, bukan di hatinya.
Di zaman modern, menjaga Qawwamah menjadi semakin sulit karena tekanan budaya konsumerisme global. Iklan dan media sosial secara konstan mendorong isrāf. Standar kebutuhan terus dinaikkan sehingga apa yang dahulu dianggap kemewahan kini dianggap standar hidup. Ibādur-Raḥmān harus memiliki filter spiritual yang kuat untuk menolak narasi ini.
Moderasi di era digital meliputi:
Perjuangan untuk mencapai Qawwamah adalah perjuangan melawan hawa nafsu dan arus budaya. Ini memerlukan evaluasi diri yang konstan: "Apakah pengeluaran ini mendekatkanku pada Rahmat-Nya, atau malah menjauhkanku?"
Sistem zakat dan sedekah dalam Islam adalah mekanisme ilahi untuk memastikan bahwa harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya, sebagaimana ditekankan dalam Al-Qur'an. Ini secara langsung memerangi kedua ekstrem:
Bagi Ibādur-Raḥmān, mengeluarkan sedekah (di luar zakat) adalah praktik rutin yang dilakukan secara diam-diam dan tulus, bukan sebagai beban, melainkan sebagai investasi di akhirat. Ini adalah cara praktis untuk menjaga harta tetap seimbang, memastikan bahwa surplus dimanfaatkan untuk kebaikan, bukan kesia-siaan.
Ayat 67 tidak berdiri sendiri; ia adalah mata rantai dalam rangkaian mutiara karakteristik. Kegagalan dalam moderasi finansial pasti akan merusak sifat-sifat Ibādur-Raḥmān yang lain.
Orang yang boros (musrif) sulit untuk bersikap tawadhu. Pemborosan seringkali disertai dengan kesombongan dan pamer (riya’), yang bertentangan langsung dengan berjalan di bumi dengan rendah hati. Sebaliknya, orang yang terlalu kikir (muqtir) cenderung memiliki hati yang keras dan sulit berinteraksi sosial dengan baik. Keseimbangan (Qawwamah) memungkinkan seorang hamba untuk hidup nyaman tanpa menonjolkan diri, menjaga kerendahan hati dalam interaksi sosial dan pribadi.
Bagaimana harta dibelanjakan menentukan kualitas ibadah. Harta yang diperoleh atau dibelanjakan secara boros atau kikir akan menimbulkan kecemasan dan kegelisahan, yang mengganggu kekhusyukan dalam shalat malam. Sebaliknya, harta yang dikelola dengan bijak, diiringi rasa syukur dan kemurahan hati, membawa ketenangan hati, yang merupakan prasyarat mutlak untuk dapat berdiri lama di hadapan-Nya, memohon perlindungan dari azab Jahannam.
Terkadang, pemborosan ekstrem (isrāf) dapat menyeret seseorang ke dalam dosa-dosa besar, seperti berzina atau berjudi, yang membutuhkan pengeluaran besar. Harta yang melimpah tanpa moderasi sering menjadi pintu gerbang menuju kebebasan tanpa batas moral. Sebaliknya, kekikiran ekstrem dapat menyebabkan seseorang mencari harta melalui cara-cara haram (seperti mencuri atau korupsi) karena ketakutan yang tidak rasional akan kekurangan. Qawwamah menjaga hamba dari kedua jerat ini, memastikan integritas moral tetap utuh.
Untuk mencapai Qawwamah, Ibādur-Raḥmān menerapkan skala pembelanjaan yang ketat, memprioritaskan yang penting di atas yang sekunder. Skala ini bukan hanya tentang jumlah uang, tetapi tentang niat dan nilai yang menyertai setiap pengeluaran.
Ini adalah pengeluaran yang mutlak wajib, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kesehatan dasar. Dalam hal ini, menghindari taqtīr sangat penting. Seorang hamba wajib memberikan yang terbaik yang ia mampu dalam batasan yang wajar untuk memenuhi kebutuhan asasi dirinya dan keluarganya, tanpa menahan nafkah wajib. Kekikiran dalam hal ini adalah dosa besar.
Ini mencakup hal-hal yang membuat hidup lebih mudah dan nyaman, seperti pendidikan yang layak, sarana transportasi yang memadai, dan teknologi untuk pekerjaan. Dalam kategori ini, prinsip Qawwamah mulai bekerja dengan keras. Pembelanjaan harus bersifat fungsional dan proporsional. Misalnya, membeli mobil yang aman dan handal adalah Ḥājiyyāt, tetapi membeli mobil sport mewah hanya untuk pamer adalah Isrāf.
Ini adalah pengeluaran untuk estetika, peningkatan kualitas hidup, dan kesempurnaan. Misalnya, dekorasi rumah yang indah, atau pakaian yang bagus (tapi bukan mewah). Di sini, garis antara Qawwamah dan Isrāf sangat tipis. Ibādur-Raḥmān diperbolehkan menikmati keindahan dunia selama itu tidak melampaui batas kepantasan sosial, tidak menimbulkan kesombongan, dan tidak menghabiskan dana yang seharusnya dialokasikan untuk kewajiban yang lebih penting, seperti sedekah.
Filosofi di balik ketiga pilar ini adalah bahwa harta harus berfungsi untuk meningkatkan kualitas ketaatan dan kehidupan, bukan menjadi tujuan itu sendiri. Setiap rupiah yang dibelanjakan harus melewati saringan nilai dan niat.
Salah satu bahaya terbesar yang mengancam prinsip Qawwamah adalah taqlid buta, yaitu meniru gaya hidup orang lain, terutama mereka yang hidup dalam kemewahan. Ibādur-Raḥmān memiliki identitas spiritual yang kuat; mereka tidak mencari validasi dari standar materialis masyarakat. Mereka tidak merasa wajib memiliki apa yang dimiliki orang lain hanya karena gengsi. Ketika semua orang berlomba-lomba membeli rumah besar, kendaraan terbaru, atau gawai tercanggih, Ibādur-Raḥmān berhenti sejenak dan bertanya: "Apakah ini sesuai dengan Qawwamah-ku? Apakah ini benar-benar kebutuhan, atau hanya bisikan nafsu yang meniru?"
Kemandirian finansial Ibādur-Raḥmān datang dari kepuasan batin (qana'ah), bukan dari kepenuhan dompet semata. Mereka memahami bahwa kemewahan yang berlebihan seringkali membawa serta beban utang, tanggung jawab pemeliharaan yang berat, dan yang paling parah, pengalihan fokus dari tujuan hidup yang sebenarnya.
Oleh karena itu, melawan isrāf di zaman ini adalah bentuk jihad melawan budaya yang mendewakan konsumsi. Ini adalah keberanian untuk hidup sederhana di mata manusia, tetapi kaya di hadapan Tuhan. Ini membutuhkan kekuatan karakter untuk menolak tekanan sosial untuk selalu ‘naik level’ dalam hal materi.
Keseimbangan finansial dalam hidup Ibādur-Raḥmān memberikan hasil yang nyata: ketenangan hati. Orang yang boros selalu gelisah karena mereka terus-menerus mengejar kepuasan yang fana. Orang yang kikir selalu cemas karena takut hartanya hilang atau berkurang. Hanya orang yang hidup dalam Qawwamah yang mencapai kedamaian yang otentik.
Ketika seseorang tahu bahwa ia telah memenuhi kewajiban finansialnya (nafkah dan zakat), bersedekah sesuai kemampuan, dan menjalani hidup tanpa utang konsumtif yang membebani, ia bebas dari beban psikologis yang menyertai ekstremitas. Ketenangan ini memungkinkan hamba untuk fokus pada tujuan yang lebih tinggi, yaitu ketaatan dan hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. Inilah yang dimaksud dengan Ibādur-Raḥmān; mereka menggunakan dunia, termasuk harta, sebagai sarana untuk mencapai Rahmat-Nya, bukan menjadikan dunia sebagai penjara.
Moderasi juga berarti pemeliharaan harta secara bijak. Isrāf tidak hanya tentang membeli barang mahal, tetapi juga tentang pengabaian dan kerusakan yang disengaja. Membuang makanan yang masih layak, membiarkan sumber daya terbuang, atau merusak properti karena kelalaian adalah bentuk isrāf yang harus dihindari. Ibādur-Raḥmān menghargai setiap anugerah rezeki dan memastikan bahwa ia digunakan sampai potensi maksimalnya, sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diberikan.
Sebaliknya, taqtīr juga dapat berarti menolak investasi yang diperlukan untuk menjaga aset (misalnya, menunda perbaikan rumah yang esensial karena kekikiran). Keseimbangan menuntut agar harta dijaga dan dipelihara dengan baik sehingga dapat terus memberikan manfaat, baik bagi pemiliknya maupun bagi masyarakat luas.
Karakteristik Ibādur-Raḥmān yang disajikan dalam Surah Al-Furqan adalah sebuah kurikulum kehidupan yang utuh. Prinsip moderasi finansial yang ditegaskan dalam ayat 67—menghindari pemborosan (isrāf) dan kekikiran (taqtīr), serta menetapkan jalan tengah yang tegak (Qawwamah)—adalah fondasi bagi integritas spiritual dan moral. Tanpa keseimbangan ini, upaya ketaatan lainnya akan rapuh dan rentan terhadap kerusakan.
Jalan tengah ini adalah jalan yang paling sulit tetapi paling mulia, karena ia menuntut kontrol diri yang absolut. Ia menuntut seorang hamba untuk senantiasa sadar, bijak, dan bertanggung jawab terhadap setiap keputusan keuangannya. Ia adalah cerminan dari hati yang telah menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah, percaya penuh pada janji rezeki-Nya, dan memandang harta sebagai sarana amal, bukan sumber kekuasaan atau kesombongan.
Dengan menerapkan prinsip Qawwamah, seorang hamba bukan hanya menjadi warga negara yang bertanggung jawab secara ekonomi, tetapi juga individu yang mencapai derajat tertinggi di sisi Allah, sebuah derajat yang dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar menjadi 'Hamba-hamba Yang Maha Pengasih'. Perjalanan menuju gelar Ibādur-Raḥmān adalah perjalanan panjang pemurnian hati, dan manajemen harta yang seimbang adalah salah satu ujian terberat yang harus berhasil dilalui.
Oleh karena itu, mari kita terus menerus mengevaluasi pengeluaran kita, menimbang niat di balik setiap pembelian, dan bertekad untuk berjalan di atas jalur moderasi yang telah digariskan dengan jelas oleh Al-Qur'an. Keseimbangan ini adalah kunci menuju kehidupan yang bermartabat di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat.
***
Jika kita meninjau lebih lanjut mengenai makna filosofis dari Qawwamah, kita menemukan bahwa ia melampaui sekadar akuntansi dan anggaran. Qawwamah adalah seni hidup yang harmonis. Dalam kacamata Islam, kehidupan adalah sebuah kesatuan yang utuh, di mana spiritualitas dan materialitas tidak dapat dipisahkan. Cara seseorang mengelola materi mencerminkan seberapa baik ia mengelola spiritualitasnya. Kekayaan yang boros seringkali menciptakan kekosongan spiritual karena harta menjadi ilah (tuhan) yang dipuja, sementara kekikiran menciptakan jurang pemisah antara pemilik harta dan masyarakat, memadamkan api kasih sayang dan empati yang merupakan inti dari ketaatan seorang hamba.
Moderasi finansial memastikan adanya kesinambungan antara kebutuhan hari ini dan tanggung jawab hari esok, baik di dunia maupun di akhirat. Ibādur-Raḥmān yang sejati memiliki pandangan jauh ke depan. Mereka menyadari bahwa isrāf hari ini akan membebani masa depan, baik dalam bentuk utang pribadi maupun dalam bentuk kekurangan sumber daya untuk generasi mendatang. Sikap ini selaras dengan konsep khalīfah (pemelihara bumi), di mana setiap pengeluaran harus memperhitungkan dampaknya yang lebih besar.
Dalam etika konsumsi, Qawwamah mengajarkan kita untuk fokus pada nilai guna (utility) daripada nilai pamer (status symbol). Pakaian dibeli untuk menutupi aurat dan melindungi diri, bukan untuk menunjukkan label. Makanan dikonsumsi untuk menjaga kesehatan dan kekuatan ibadah, bukan untuk memuaskan nafsu berlebihan yang berujung pada penyakit. Ibādur-Raḥmān mempraktikkan gaya hidup yang berkelanjutan dan sederhana, karena kesederhanaan adalah benteng pertama melawan isrāf.
Kesederhanaan ini bukan berarti asketisme atau penolakan total terhadap nikmat dunia. Islam tidak melarang kenikmatan yang halal. Namun, kenikmatan tersebut haruslah dikendalikan, bukan mengendalikan. Kenikmatan yang berlebihan (isrāf) mengarah pada penumpukan benda mati yang pada akhirnya hanya membebani jiwa. Ibādur-Raḥmān adalah mereka yang ringan bebannya, sehingga lebih mudah bergerak menuju akhirat.
Jika kita melihat dampak taqtīr dari perspektif komunitas, dampaknya sangat merusak. Kekikiran menghambat aliran dana dari yang mampu kepada yang membutuhkan, melumpuhkan proyek-proyek sosial, dan meningkatkan ketimpangan. Masyarakat yang mayoritas anggotanya kikir adalah masyarakat yang sakit, karena tidak ada empati dan solidaritas yang menggerakkan mereka. Qawwamah, yang menuntut adanya alokasi harta untuk sedekah dan zakat, adalah solusi Islam untuk memastikan mobilitas ekonomi dan keadilan sosial.
Seorang Ibādur-Raḥmān memahami bahwa rezeki yang ia terima memiliki bagian hak bagi orang lain. Dengan memberikan hak tersebut, ia tidak hanya membersihkan hartanya, tetapi juga menyembuhkan penyakit sosial dan memperkuat ikatan persaudaraan. Kekikiran, sebaliknya, memutus ikatan ini dan menanamkan kebencian, karena si kaya hidup dalam kemewahan (walau kikir dalam pengeluaran sosial) sementara si miskin menderita.
Peran aktif dalam pembangunan komunitas, baik melalui wakaf, infaq, atau sedekah, adalah bukti nyata dari keberhasilan seseorang dalam menjaga Qawwamah-nya. Hal ini menunjukkan bahwa ia telah berhasil menempatkan tanggung jawab sosial di atas keinginan pribadinya untuk menimbun harta.
Moderasi juga berlaku dalam pengambilan risiko finansial. Ibādur-Raḥmān menghindari praktik spekulasi ekstrem atau investasi berisiko tinggi yang menyerupai perjudian, yang bisa dikategorikan sebagai bentuk isrāf dalam pengambilan risiko dan sumber daya. Pada saat yang sama, mereka juga menghindari taqtīr, yaitu membiarkan harta menganggur tanpa manfaat, yang berarti harta tersebut tidak menjalankan fungsi ekonominya. Qawwamah menuntut adanya investasi yang stabil, etis, dan produktif, yang memberikan keuntungan yang adil (halal) sambil berkontribusi pada ekonomi riil.
Ini adalah keseimbangan antara konservatisme dan optimisme yang bertanggung jawab. Konservatif dalam menghindari yang haram dan berisiko berlebihan, namun optimis dalam menggunakan harta untuk menghasilkan nilai tambah yang bermanfaat bagi banyak orang.
Ibādur-Raḥmān menyadari bahwa isrāf dan taqtīr adalah perangkap setan. Setan membisikkan janji kemiskinan agar hamba menjadi kikir, dan pada saat yang sama, Setan menghiasi kesenangan berlebihan agar hamba menjadi boros. Perjuangan untuk menjaga Qawwamah adalah perjuangan spiritual yang memerlukan pemurnian niat dan disiplin yang konstan.
Bagi Ibādur-Raḥmān, membuat anggaran bukanlah tugas yang menjemukan, melainkan sebuah bentuk ibadah (muḥāsabah) dan perencanaan. Anggaran adalah peta jalan yang memastikan bahwa setiap pengeluaran telah dipertimbangkan berdasarkan prioritas Ilahi: pertama, kewajiban; kedua, kebutuhan; ketiga, sedekah/sosial; dan terakhir, keinginan yang wajar.
Anggaran yang seimbang adalah pertahanan praktis terhadap isrāf (dengan membatasi pengeluaran non-esensial) dan taqtīr (dengan memastikan bahwa kebutuhan wajib, termasuk sedekah, terpenuhi). Tanpa disiplin ini, sangat mudah bagi hamba untuk terombang-ambing antara dua ekstrem, apalagi di tengah kemudahan transaksi digital yang mendorong belanja tanpa batas.
Prinsip Qawwamah didasarkan pada rasa syukur yang mendalam. Orang yang bersyukur (syākir) tidak akan boros, karena ia menghargai setiap nikmat yang diberikan dan menyadari bahwa membuangnya adalah pengkhianatan terhadap Pemberi Nikmat. Ia juga tidak akan kikir, karena ia ingin melipatgandakan pahala dari nikmat tersebut melalui kemurahan hati. Rasa syukur mengubah harta dari benda mati menjadi sarana hidup yang dinamis dan berkah.
Jika hati hamba dipenuhi rasa syukur, ia akan merasa cukup dengan yang sedikit (melawan isrāf) dan merasa terdorong untuk berbagi yang banyak (melawan taqtīr). Dengan demikian, Qawwamah bukan sekadar teknik ekonomi, melainkan buah dari kedewasaan spiritual.
Al-Furqan 67 mengajarkan pandangan realistis tentang dunia (dunya). Dunia dipandang sebagai ladang, bukan tujuan akhir. Ibādur-Raḥmān menggunakannya untuk menanam benih amal saleh. Dalam konteks ini, harta hanyalah benih.
Kehidupan yang seimbang adalah kehidupan yang mampu menanggapi kebutuhan fisik tanpa mengorbankan kebutuhan spiritual. Hal ini memerlukan pemahaman bahwa kekayaan sejati tidak terletak pada jumlah aset, tetapi pada kualitas ketaatan dan kekayaan hati. Ini adalah harta yang tidak bisa dicuri, tidak bisa tergerus inflasi, dan akan kekal di sisi-Nya.
Setiap orang yang bercita-cita menjadi Ibādur-Raḥmān harus menjadikan ayat 67 ini sebagai mercusuar dalam navigasi finansial mereka. Setiap keputusan pembelian, setiap alokasi dana, harus diuji dengan pertanyaan mendasar: "Apakah ini qawwamah? Apakah ini menjauhkan saya dari isrāf dan taqtīr?" Jawaban yang jujur terhadap pertanyaan ini akan mengarahkan hamba ke jalan yang lurus, jalan yang penuh Rahmat dan keberkahan.
Moderasi adalah jaminan stabilitas. Stabilitas dalam rumah tangga, stabilitas dalam emosi, dan stabilitas dalam iman. Ibādur-Raḥmān, dengan prinsip keseimbangan ini, menjadi pribadi yang solid, yang mampu menghadapi badai kehidupan material tanpa kehilangan pijakan spiritual mereka. Mereka adalah teladan nyata bahwa kemakmuran dan ketaatan dapat berjalan beriringan, asalkan kendali dipegang teguh oleh kebijaksanaan ilahi.
Memahami dan mempraktikkan Al-Furqan 67 adalah memahami esensi dari integritas finansial, yang merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai integritas menyeluruh sebagai Hamba Yang Maha Pengasih.
***
Konsep Qawwamah memiliki dimensi sosial dan lingkungan yang mendalam. Pembelanjaan yang berlebihan (isrāf) seringkali terkait erat dengan eksploitasi lingkungan dan ketidakadilan sosial. Produksi massal barang-barang mewah atau konsumsi sekali pakai yang berlebihan menghasilkan limbah yang besar dan membebani ekosistem bumi. Ibādur-Raḥmān, sebagai khalīfah, harus bertanggung jawab atas jejak konsumsi mereka.
Jika seorang hamba menerapkan Qawwamah, ia akan secara otomatis cenderung memilih produk yang tahan lama, mendukung praktik bisnis yang adil (menghindari taqtīr upah pekerja), dan mengurangi pemborosan energi dan material. Dengan demikian, moderasi finansial menjadi kontribusi nyata terhadap kelestarian lingkungan dan keadilan ekonomi global. Mereka tidak membeli barang hanya karena murah (yang seringkali didukung oleh eksploitasi tenaga kerja), tetapi memilih nilai dan etika.
Sebaliknya, kekikiran dalam investasi pendidikan atau kesehatan dapat merugikan potensi manusia di masa depan. Misalnya, menolak investasi yang diperlukan untuk air bersih (karena kikir) dapat menyebabkan penyakit, yang pada akhirnya membebani masyarakat. Qawwamah menuntut investasi yang cerdas dalam modal manusia dan infrastruktur sosial, baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat luas.
Salah satu area di mana isrāf paling sering terjadi adalah dalam perayaan sosial, seperti pernikahan, hari raya, atau acara besar lainnya. Ada tekanan budaya yang kuat untuk menghabiskan uang secara fantastis demi ‘menghormati’ tamu atau demi gengsi. Ibādur-Raḥmān menolak tekanan ini. Mereka melaksanakan perayaan dengan sukacita dan kemurahan hati, tetapi tanpa pemborosan yang tidak perlu, apalagi jika itu membebani finansial secara jangka panjang atau menghasilkan limbah yang besar.
Perayaan yang seimbang adalah perayaan yang fokus pada esensi spiritual dan sosial, bukan pada kemewahan material yang melimpah. Ini adalah manifestasi dari kesadaran bahwa kebahagiaan sejati terletak pada berkah dan persatuan, bukan pada hidangan yang terbuang atau dekorasi yang mahal. Pengeluaran yang seharusnya untuk kemewahan dialihkan untuk membantu kaum fakir miskin atau untuk wakaf, menjadikan perayaan tersebut jauh lebih bermakna dan berpahala.
Bahkan orang yang tidak boros bisa terjebak dalam materialisme yang terselubung jika ia kikir (taqtīr). Orang kikir menganggap harta sebagai tujuan akhir dari keamanan, bukan sebagai alat untuk mencapai keamanan spiritual. Materialisme yang terselubung ini menghambat pertumbuhan spiritual karena hati terus-menerus terikat pada angka di rekening bank, bukan pada janji dan Rahmat Tuhan.
Ibādur-Raḥmān memerangi materialisme ini dengan menetapkan prioritas yang jelas: Allah lebih besar daripada kekayaan. Mereka memutus ketergantungan emosional pada harta melalui praktik sedekah yang konsisten. Sedekah adalah latihan untuk melepaskan, sebuah pernyataan bahwa Hamba Allah lebih mencintai apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangannya.
Moderasi adalah jalan yang harus ditempuh secara berkelanjutan (istiqamah), bukan sekadar keputusan sesaat. Sifat Qawwamah harus menjadi karakter yang tertanam kuat, yang tidak mudah goyah oleh fluktuasi rezeki. Ketika rezeki melimpah, godaan isrāf menguat. Ketika rezeki sempit, godaan taqtīr mengintai.
Ibādur-Raḥmān mempertahankan keseimbangan ini di setiap kondisi:
Kemampuan untuk mempertahankan etika pengeluaran ini di bawah tekanan menunjukkan kedalaman iman dan keutuhan karakter. Inilah mengapa ayat 67 diletakkan di tengah-tengah deskripsi Ibādur-Raḥmān—ia adalah ujian fundamental yang membedakan antara hamba yang jujur dan hamba yang hanya mengikuti nafsu.
Pada akhirnya, Surah Al-Furqan 67 memberikan panduan yang tak lekang oleh waktu. Ini adalah panggilan untuk menjauhkan diri dari kegilaan harta (boros) dan kepengecutan hati (kikir), dan sebaliknya, merangkul kemuliaan jalan tengah yang menjamin keseimbangan, keadilan, dan ketenangan abadi bagi setiap hamba yang berusaha mencapai derajat tertinggi di sisi Ar-Rahman.
***
Sejarah Islam penuh dengan teladan yang mencerminkan praktik Qawwamah. Para Sahabat dan generasi awal Muslim memahami bahwa kekayaan adalah ujian yang sangat berat. Meskipun mereka memperoleh harta melalui penaklukan dan perdagangan, mereka memastikan bahwa kekayaan tersebut tidak merusak spiritualitas mereka. Kekayaan digunakan sebagai sarana untuk berjihad, untuk membantu kaum dhuafa, dan untuk membangun peradaban, bukan sebagai tumpuan kemewahan pribadi.
Teladan Rasulullah SAW sendiri adalah puncak dari Qawwamah. Beliau hidup sangat sederhana, seringkali tanpa makanan mewah, namun beliau adalah yang paling dermawan. Beliau tidak menimbun harta (melawan taqtīr), dan beliau juga tidak pernah hidup dalam kemewahan (melawan isrāf). Kehidupan beliau adalah manifestasi berjalan dari ayat 67, menunjukkan bahwa keseimbangan tidak berarti kemiskinan, tetapi ketiadaan keterikatan hati pada kemewahan dan harta benda.
Teladan ini mengajarkan bahwa prinsip Qawwamah adalah mungkin dan praktis. Ia menuntut kejujuran dalam berinteraksi dengan kebutuhan pribadi dan kesadaran penuh akan tanggung jawab sosial. Setiap pengeluaran adalah keputusan etis yang berdampak. Dengan meneladani praktik moderasi ini, seorang hamba dapat memastikan bahwa jalur hidupnya tetap lurus, tegak, dan seimbang.
Akhir kata, menjadi Ibādur-Raḥmān berarti menguasai seni mengatur kehidupan—baik dalam ibadah, interaksi sosial, maupun keuangan—sehingga seluruh aspek hidup menjadi harmonis dan terarah menuju Rida Ilahi. Ayat 67 dari Surah Al-Furqan adalah panduan abadi untuk mencapai harmoni material yang mendukung supremasi spiritual.