Kitab Al Barzanji: Teks Arab, Latin, dan Terjemahan
Ilustrasi kitab Al Barzanji dengan ornamen islami.
Memahami Kitab Al Barzanji: Mahakarya Sastra dan Cinta
Kitab Al Barzanji, yang judul aslinya adalah ‘Iqd al-Jawāhir (Kalung Permata), merupakan salah satu karya sastra Islam paling monumental yang mengisahkan perjalanan hidup, kemuliaan akhlak, dan keagungan Nabi Muhammad SAW. Ditulis dalam bentuk prosa berirama (nathr) dan puisi (nadham), kitab ini bukan sekadar biografi, melainkan sebuah ungkapan cinta dan penghormatan yang mendalam kepada sang Rasul terakhir. Di berbagai belahan dunia Islam, khususnya di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Brunei), Al Barzanji telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi keagamaan dan budaya.
Pembacaan Al Barzanji, atau yang akrab disebut "Barzanjian" atau "Marhabanan," seringkali menjadi inti dari berbagai acara sakral seperti peringatan Maulid Nabi, aqiqah (upacara pemberian nama bayi), pernikahan, hingga acara syukuran lainnya. Lantunan bait-baitnya yang indah, baik dalam bahasa Arab maupun terjemahannya, mampu membangkitkan getaran spiritual, menumbuhkan rasa rindu, dan mempertebal kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Artikel ini akan menyajikan teks Al Barzanji secara lengkap, mulai dari tulisan Arab aslinya, transliterasi Latin untuk membantu pembacaan, hingga terjemahan dalam bahasa Indonesia, disertai ulasan makna untuk pemahaman yang lebih komprehensif.
"Karya ini bukanlah sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah lukisan kata-kata yang menggambarkan keindahan sosok Nabi, dari kelahiran hingga risalahnya, dengan bahasa yang mempesona dan menyentuh jiwa."
Mengenal Sang Penulis: Sayyid Ja'far bin Hasan Al-Barzanji
Di balik keagungan Kitab Al Barzanji, terdapat sosok ulama besar yang alim dan memiliki kecintaan luar biasa kepada Rasulullah SAW, yaitu Sayyid Ja'far bin Hasan bin Abdul Karim al-Barzanji. Beliau lahir di Madinah Al-Munawwarah dan berasal dari keluarga Sa'adah (keturunan Nabi Muhammad SAW) yang masyhur dari kabilah Barzanji di Kurdistan. Ayah dan kakeknya adalah ulama-ulama terkemuka.
Sayyid Ja'far al-Barzanji dikenal sebagai seorang mufti dari mazhab Syafi'i di kota Madinah. Beliau tidak hanya menguasai ilmu fiqih, tetapi juga merupakan seorang sastrawan, sejarawan, dan ahli qira'at Al-Qur'an. Kecintaannya yang meluap-luap kepada kakeknya, Nabi Muhammad SAW, mendorongnya untuk menuangkan kisah hidup sang Nabi ke dalam untaian kata-kata yang indah. Karya ‘Iqd al-Jawāhir ini menjadi bukti nyata kedalaman ilmunya dan ketulusan cintanya. Gaya bahasanya yang puitis dan pemilihan diksi yang cermat menjadikan kitab ini mudah dihafal dan disenandungkan, sehingga menyebar luas ke seluruh penjuru dunia Islam dan terus lestari hingga kini.
Teks Lengkap Al Barzanji: Arab, Latin, dan Terjemahan
Berikut adalah pembacaan Kitab Al Barzanji yang dibagi menjadi beberapa bagian (rawi) untuk memudahkan pemahaman. Setiap bagian akan disertai dengan teks Arab, transliterasi Latin, terjemahan, dan sedikit ulasan makna (syarah).
Pembukaan (Rawi 1)
Bagian awal ini berisi puji-pujian kepada Allah SWT, permohonan rahmat, dan pengenalan tujuan penulisan kitab, yaitu untuk menuturkan riwayat kelahiran dan kehidupan Nabi Muhammad SAW yang penuh berkah.
أَبْتَدِئُ الْإِمْلَاءَ بِاسْمِ الذَّاتِ الْعَلِيَّةِ ۰ مُسْتَدِرًّا فَيْضَ الْبَرَكَاتِ عَلَى مَا أَنَالَهُ وَأَوْلَاهُ
Abtadi-ul imlâ-a bismidz-dzâtil ‘aliyyati, mustadirran faidlal barakâti ‘alâ mâ anâlahu wa aulâh.
"Aku memulai tulisan ini dengan nama Dzat Yang Maha Tinggi, seraya memohon limpahan keberkahan atas apa yang telah Dia anugerahkan dan berikan."
Ulasan Makna: Penulis memulai karyanya dengan menyebut Asma Allah, sebuah adab yang diajarkan dalam Islam untuk memohon keberkahan. Penggunaan frasa "Dzat Yang Maha Tinggi" (الذَّاتِ الْعَلِيَّةِ) menunjukkan pengagungan yang luar biasa kepada Allah SWT. Kalimat ini mencerminkan kerendahan hati penulis yang mengakui bahwa segala ilham dan kemampuan menulis datang dari Allah semata.
وَأُثَنِّي بِحَمْدٍ مَوَارِدُهُ سَائِغَةٌ هَنِيَّةٌ ۰ مُمْتَطِيًا مِنَ الشُّكْرِ الْجَمِيْلِ مَطَايَاهُ
Wa utsannî bihamdin mawâriduhu sâ-ighatun haniyyatun, mumtathiyan minasy-syukril jamîli mathâyâh.
"Dan aku melanjutkan dengan pujian yang sumbernya selalu mudah dan menyenangkan, seraya mengendarai kendaraan syukur yang indah."
Ulasan Makna: Setelah basmalah, penulis melanjutkan dengan hamdalah (pujian kepada Allah). Pujian ini diibaratkan seperti sumber air yang jernih dan mudah diminum, menandakan pujian yang tulus dan mengalir dari hati. Metafora "mengendarai kendaraan syukur" menggambarkan bahwa rasa syukur adalah sarana yang membawa seseorang menuju keridhaan Allah.
وَأُصَلِّي وَأُسَلِّمُ عَلَى النُّوْرِ الْمَوْصُوْفِ بِالتَّقَدُّمِ وَالْأَوَّلِيَّةِ ۰ اَلْمُنْتَقِلِ فِي الْغُرَرِ الْكَرِيْمَةِ وَالْجِبَاهِ
Wa ushallî wa usallimu ‘alân-nûril maushûfi bit-taqaddumi wal awwaliyyati, almuntaqili fîl ghuraril karîmati wal jibâh.
"Dan aku bershalawat serta memohonkan keselamatan atas cahaya yang disifati dengan kedahuluan dan keawalan, yang berpindah-pindah pada dahi-dahi dan wajah-wajah yang mulia."
Ulasan Makna: Di sini, penulis mulai menyebutkan Nabi Muhammad SAW dengan sebutan "An-Nur" (cahaya). Ini merujuk pada konsep Nur Muhammad, yaitu cahaya kenabian yang telah diciptakan Allah sebelum segala sesuatu dan berpindah dari satu generasi mulia ke generasi berikutnya, dari Nabi Adam AS hingga sampai kepada Abdullah, ayahanda Nabi Muhammad SAW.
Nasab dan Leluhur Nabi (Rawi 2)
Bagian ini secara rinci menuturkan silsilah nasab Nabi Muhammad SAW yang suci dan mulia, menunjukkan bahwa beliau berasal dari keturunan terbaik dari manusia.
وَبَعْدُ فَأَقُوْلُ هُوَ سَيِّدُنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَاسْمُهُ شَيْبَةُ الْحَمْدِ حُمِدَتْ خِصَالُهُ السَّنِيَّةُ
Wa ba’du fa aqûlu huwa sayyidunâ Muhammadu-bnu ‘Abdillâh-ibni ‘Abdil Muththalibi wasmuhu Syaibatul hamdi humidat khishâluhus-saniyyah.
"Dan setelah itu, maka aku berkata: Dialah junjungan kita, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib, yang namanya adalah Syaibatul Hamdi, yang sifat-sifatnya yang luhur selalu terpuji."
Ulasan Makna: Penulis memulai penyebutan nasab Nabi dari ayahandanya, Abdullah, lalu kakeknya, Abdul Muththalib. Disebutkan pula nama asli Abdul Muththalib adalah "Syaibatul Hamdi" (uban pujian), sebuah julukan yang menunjukkan kemuliaan dan kebijaksanaannya sejak usia senja. Ini menegaskan bahwa Nabi lahir dari garis keturunan yang terhormat.
اِبْنُ هَاشِمٍ وَاسْمُهُ عَمْرُو بْنُ عَبْدِ مَنَافٍ وَاسْمُهُ الْمُغِيْرَةُ الَّذِي يُنْمَى إِلَيْهِ الْإِرْتِقَاءُ لِعُلْيَاهُ
Ibni Hâsyim-in wasmuhu ‘Amru-bni ‘Abdi Manâf-in wasmuhul Mughîratul-ladzî yuntamâl irtiqâ-u li’ulyâh.
"Putra dari Hasyim yang bernama 'Amr, putra dari Abdi Manaf yang bernama Al-Mughirah, yang kepadanya puncak kemuliaan dinisbatkan."
Ulasan Makna: Silsilah dilanjutkan ke atas, menyebutkan tokoh-tokoh besar Quraisy seperti Hasyim (moyang Bani Hasyim) dan Abdi Manaf. Julukan mereka, seperti 'Amr untuk Hasyim yang berarti "pemecah roti" karena kedermawanannya, menunjukkan bahwa setiap leluhur Nabi adalah pribadi yang istimewa dan dihormati di kaumnya.
اِبْنُ قُصَيٍّ وَاسْمُهُ زَيْدُ بْنُ كِلَابٍ وَاسْمُهُ حَكِيْمُ بْنُ مُرَّةَ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ بْنِ فِهْرٍ وَاسْمُهُ قُرَيْشٌ وَإِلَيْهِ تُنْسَبُ الْبُطُوْنُ الْقُرَشِيَّةُ
Ibni Qushay-yin wasmuhu Zaid-ubni Kilâb-in wasmuhu Hakîm-ubni Murrata-bni Ka’b-ibni Lu-ay-yibni Ghâlib-ibni Fihr-in wasmuhu Quraisy-un wa ilaihi tunsabul buthûnul Qurasyiyyah.
"Putra dari Qushay yang bernama Zaid, putra dari Kilab yang bernama Hakim, putra dari Murrah, putra dari Ka'ab, putra dari Lu'ay, putra dari Ghalib, putra dari Fihr yang bergelar Quraisy, dan kepadanyalah seluruh suku Quraisy dinisbatkan."
Ulasan Makna: Nasab ini terus dirunut hingga Fihr, yang diyakini sebagai nenek moyang utama yang menyatukan kabilah-kabilah sehingga dikenal dengan nama "Quraisy". Penyebutan nasab yang panjang dan jelas ini bertujuan untuk mematahkan keraguan apapun mengenai kemurnian dan kemuliaan garis keturunan Rasulullah SAW.
Kelahiran Sang Cahaya (Rawi 3)
Ini adalah bagian yang paling ditunggu-tunggu, mengisahkan detik-detik menjelang dan saat kelahiran Nabi Muhammad SAW yang penuh dengan keajaiban dan tanda-tanda kebesaran.
وَلَمَّا أَرَادَ اللهُ تَعَالَى إِبْرَازَ حَقِيْقَتِهِ الْمُحَمَّدِيَّةِ ۰ وَإِظْهَارَهُ جِسْمًا وَرُوْحًا بِصُوْرَتِهِ وَمَعْنَاهُ
Wa lammâ arâdallâhu ta’âlâ ibrâza haqîqatihil muhammadiyyati, wa idzhârahu jisman wa rûhan bishûratihi wa ma’nâh.
"Dan tatkala Allah Ta'ala berkehendak untuk menampakkan hakikat Muhammadiyah-Nya, dan melahirkannya dalam bentuk jasad dan ruh, dengan rupa dan maknanya."
Ulasan Makna: Kalimat ini mengisyaratkan bahwa kelahiran Nabi bukanlah peristiwa biasa. Ini adalah manifestasi dari "hakikat Muhammadiyah," sebuah konsep sufistik yang merujuk pada esensi spiritual Nabi yang telah ada sebelum penciptaan alam semesta. Kelahirannya adalah perwujudan fisik dari ruh yang agung tersebut.
نَقَلَهُ إِلَى مَقَرِّهِ مِنْ صَدَفَةِ آمِنَةَ الزُّهْرِيَّةِ ۰ وَخَصَّهَا الْقَرِيْبُ الْمُجِيْبُ بِأَنْ تَكُوْنَ أُمًّا لِمُصْطَفَاهُ
Naqalahu ilâ maqarihi min shadafati Âminataz-zuhriyyati, wa khash-shahal qarîbul mujîbu bi-an takûna umman limushthafâh.
"Dia memindahkannya ke tempatnya di dalam rahim Aminah Az-Zuhriyah, dan Dia (Allah) Yang Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan doa telah mengkhususkannya untuk menjadi ibu bagi hamba pilihan-Nya."
Ulasan Makna: Sayyidah Aminah, ibunda Nabi, diibaratkan seperti "shadafah" (kerang mutiara). Ini adalah metafora yang sangat indah, menggambarkan bahwa rahimnya adalah tempat yang suci dan mulia, yang dipilih oleh Allah untuk menyimpan mutiara paling berharga, yaitu janin Nabi Muhammad SAW.
فَحَمَلَتْ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلَ أَهْلِ الْأَرْضِ وَالسَّمَاءِ ۰ وَلَمْ تَجِدْ لِحَمْلِهِ ثِقْلًا وَلَا شَكْوَى وَلَا مَا تَجِدُهُ النِّسَاءُ مِنْ أَلَمٍ وَعَنَاءِ
Fahamalat birasûlillâhi shallallâhu 'alaihi wa sallama afdhala ahlil ardhi wassamâ', wa lam tajid lihamlihi tsiqlan walâ syakwâ walâ mâ tajiduhun nisâ'u min alamin wa 'anâ'.
"Maka ia pun mengandung Rasulullah SAW, makhluk terbaik penghuni bumi dan langit. Dan ia tidak merasakan berat, keluhan, atau rasa sakit dan penderitaan seperti yang dirasakan oleh wanita (hamil) pada umumnya."
Ulasan Makna: Kehamilan Sayyidah Aminah digambarkan sebagai sebuah keistimewaan. Berbeda dari kehamilan biasa, prosesnya penuh dengan kemudahan dan keberkahan, sebagai isyarat awal akan kemuliaan janin yang dikandungnya. Ini adalah salah satu dari sekian banyak mukjizat yang mengiringi kehadiran Nabi.
وَلَمَّا تَمَّ مِنْ حَمْلِهِ شَهْرَانِ عَلَى مَشْهُوْرِ الْأَقْوَالِ الْمَرْضِيَّةِ ۰ تُوُفِّيَ بِالْمَدِيْنَةِ الْمُنَوَّرَةِ أَبُوْهُ عَبْدُ اللهِ
Wa lammâ tamma min hamlihî syahrâni ‘alâ masyhûril aqwâlil mardliyyati, tuwuffiya bil madînatil munawwarati abûhu ‘Abdullâh.
"Dan ketika usia kandungannya genap dua bulan menurut pendapat yang masyhur dan diridhai, wafatlah di Kota Madinah Al-Munawwarah ayahandanya, Abdullah."
Ulasan Makna: Peristiwa wafatnya Abdullah, ayahanda Nabi, saat Nabi masih dalam kandungan adalah sebuah takdir ilahi yang penuh hikmah. Ini menandakan bahwa sejak awal, Nabi Muhammad SAW telah dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi pribadi yang mandiri, kuat, dan hanya bergantung kepada-Nya, bukan kepada perlindungan keluarga atau ayah.
Mahallul Qiyam: Saat Berdiri Menyambut Sang Nabi
Ini adalah puncak dari pembacaan Al Barzanji. Pada bagian ini, jamaah akan berdiri sebagai bentuk penghormatan dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Bait-baitnya berisi shalawat dan pujian yang sangat menyentuh hati.
يَا نَبِي سَلَامٌ عَلَيْكَ ۰ يَا رَسُوْل سَلَامٌ عَلَيْكَ
Yâ nabî salâm ‘alaika, Yâ rasûl salâm ‘alaika
"Wahai Nabi, salam sejahtera untukmu. Wahai Rasul, salam sejahtera untukmu."
يَا حَبِيْب سَلَامٌ عَلَيْكَ ۰ صَلَوَاتُ الله عَلَيْكَ
Yâ habîb salâm ‘alaika, shalawâtullâh ‘alaika
"Wahai Kekasih, salam sejahtera untukmu. Shalawat (rahmat) Allah tercurah untukmu."
Ulasan Makna: Seruan "Yaa Nabi," "Yaa Rasul," dan "Yaa Habib" adalah panggilan cinta dan kerinduan. Menggunakan sapaan langsung seolah-olah ruh Nabi hadir di tengah-tengah mereka yang membaca. Inilah esensi dari Mahallul Qiyam, yaitu merasakan kehadiran spiritual Nabi dan menyambutnya dengan penghormatan tertinggi.
أَشْرَقَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا ۰ فَاخْتَفَتْ مِنْهُ الْبُدُوْرُ
Asyraqal badru ‘alainâ, fakhtafat minhul budûru
"Telah terbit bulan purnama di atas kita, maka sirnalah karenanya purnama-purnama lainnya."
Ulasan Makna: Kelahiran Nabi diibaratkan seperti terbitnya bulan purnama (Al-Badr). Cahayanya begitu terang sehingga cahaya bulan-bulan (keindahan atau tokoh-tokoh lain) menjadi redup. Ini adalah kiasan yang menunjukkan bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa petunjuk yang begitu jelas dan terang, mengalahkan semua ajaran dan falsafah sebelumnya.
مِثْلَ حُسْنِكَ مَا رَأَيْنَا ۰ قَطُّ يَا وَجْهَ السُّرُوْرِ
Mitsla husnika mâ ra-ainâ, qaththu yâ wajhas-surûri
"Keindahan sepertimu belum pernah kami lihat, wahai wajah yang penuh kegembiraan."
Ulasan Makna: Bait ini adalah pengakuan atas kesempurnaan fisik dan akhlak Nabi. Para sahabat yang melihatnya menggambarkan wajah beliau secerah bulan purnama. Julukan "Wajhas-surur" (wajah kegembiraan) menunjukkan bahwa memandang wajah beliau saja sudah cukup untuk mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan di hati.
أَنْتَ شَمْسٌ أَنْتَ بَدْرٌ ۰ أَنْتَ نُوْرٌ فَوْقَ نُوْرٍ
Anta syamsun anta badrun, anta nûrun fauqa nûrin
"Engkau adalah matahari, engkau adalah bulan purnama. Engkau adalah cahaya di atas cahaya."
Ulasan Makna: Penulis menggunakan tiga metafora cahaya yang berbeda: matahari (syams), bulan purnama (badr), dan cahaya di atas cahaya (nurun fauqa nur). Matahari melambangkan petunjuk yang menghilangkan kegelapan jahiliyah. Bulan purnama melambangkan keindahan yang menyejukkan di malam hari. "Cahaya di atas cahaya" adalah puncak pujian, menunjukkan bahwa sumber cahaya kenabiannya berasal dari Cahaya Ilahi.
أَنْتَ إِكْسِيْرٌ وَغَالِي ۰ أَنْتَ مِصْبَاحُ الصُّدُوْرِ
Anta iksîrun wa ghâlî, anta mishbâhush-shudûri
"Engkau adalah eliksir (obat mujarab) yang amat mahal. Engkau adalah pelita yang menerangi dada (hati)."
Ulasan Makna: Ajaran Nabi diibaratkan seperti "iksir," sebuah zat legendaris yang dapat mengubah logam biasa menjadi emas. Ini berarti ajaran beliau mampu mengubah hati yang keras menjadi lembut, jiwa yang gelap menjadi tercerahkan. Beliau juga adalah "mishbahush-shudur," pelita yang cahayanya menembus ke dalam dada, memberikan ketenangan dan petunjuk batin.
مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا نُوْرَ الْعَيْنِ ۰ مَرْحَبًا جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا
Marhaban yâ marhaban yâ nûral ‘aini, marhaban jaddal Husaini marhaban.
"Selamat datang, wahai selamat datang, wahai cahaya mataku. Selamat datang, wahai kakek dari Al-Husain, selamat datang."
Ulasan Makna: Ucapan "Marhaban" adalah ungkapan selamat datang yang penuh suka cita. Nabi disebut sebagai "Nural 'Ain" (cahaya mata), sebuah ungkapan kasih sayang yang mendalam. Penyebutan "Jaddal Husain" (kakek Al-Husain) adalah cara untuk mengikat emosi pembaca dengan kecintaan kepada keluarga Nabi (Ahlul Bait), terutama kepada cucu kesayangan beliau.
Warisan Abadi Al Barzanji
Kitab Al Barzanji lebih dari sekadar rangkaian teks. Ia adalah jembatan spiritual yang menghubungkan umat Islam dari generasi ke generasi dengan sosok agung Nabi Muhammad SAW. Melalui lantunan bait-baitnya, kita diajak untuk merenungi kembali perjalanan hidup sang Nabi, meneladani akhlaknya yang mulia, dan yang terpenting, menyuburkan kembali benih-benih cinta di dalam hati kita kepada beliau.
Membaca Al Barzanji, baik dengan memahami artinya atau sekadar mendengarkan keindahan iramanya, adalah sebuah ibadah, sebuah ekspresi cinta, dan sebuah cara untuk terus mengingat bahwa kita adalah umat dari seorang Rasul yang kasih sayangnya melampaui batas waktu dan zaman. Semoga dengan mempelajarinya, kita semakin dekat dengan beliau dan layak mendapatkan syafaatnya di hari kemudian.