Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, banyak mengupas sejarah interaksi antara Allah SWT dengan Bani Israel. Ayat-ayat awal surah ini menetapkan tiga golongan manusia (mukmin, kafir, munafik), sebelum kemudian beralih pada seruan kepada Bani Israel, mengingatkan mereka tentang nikmat yang telah dilimpahkan, dan mengoreksi penyimpangan yang mereka lakukan terhadap perjanjian suci. Dalam rangkaian kritik dan nasihat ini, munculah ayat 80, sebuah ayat yang memuat klaim berbahaya yang dilontarkan oleh sebagian kaum tersebut, yakni klaim kekebalan parsial dari azab api neraka.
Ayat 80 ini berfungsi sebagai landasan teologis fundamental yang menolak segala bentuk gharur (presumsi atau ilusi keselamatan) yang didasarkan pada keturunan atau status keagamaan tanpa didukung oleh amal shaleh dan keimanan yang murni. Klaim ini bukan sekadar pernyataan sepele, melainkan sebuah distorsi serius terhadap konsep tauhid dan prinsip keadilan absolut dalam agama samawi.
Al-Baqarah ayat 80 adalah salah satu ayat yang paling jelas membantah anggapan bahwa status keanggotaan dalam suatu kaum atau agama tertentu dapat memberikan imunitas terhadap konsekuensi dosa dan pengingkaran janji Ilahi.
Dan mereka berkata, "Api neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari saja." Katakanlah (Muhammad), "Sudahkah kamu mengambil janji dari Allah, sehingga Allah tidak akan mengingkari janji-Nya, ataukah kamu berkata-kata tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?" (QS. Al-Baqarah: 80)
Memahami kedalaman ayat 80 membutuhkan pemeriksaan terperinci terhadap setiap frasa dan implikasi tata bahasanya.
Frasa ini adalah inti dari klaim Bani Israel. Kata kunci di sini adalah: لَن (Lan), تَمَسَّنَا (Tamassanā), dan أَيَّامًا مَّعْدُودَةً (Ayyāman Ma’dūdah).
Penggunaan لَن (Lan) dalam bahasa Arab berfungsi sebagai negasi yang kuat (future negation) atau penolakan mutlak. Ketika mereka mengatakan "Lan Tamassanā," mereka menyatakan keyakinan yang kuat bahwa siksa neraka tidak akan menimpa mereka. Ini menunjukkan tingkat kepastian yang mereka yakini berdasarkan tafsiran mereka sendiri terhadap kitab sukit yang ada di tangan mereka atau tradisi lisan yang mereka pertahankan.
‘Tamassanā’ berasal dari kata ‘Massa’ yang berarti menyentuh, merasakan, atau mengenai. Mereka tidak hanya mengklaim tidak akan tinggal selamanya di dalamnya, tetapi bahkan sentuhan panasnya pun, menurut mereka, terbatas.
Klaim ini menegaskan bahwa jika pun mereka disiksa, durasinya hanyalah "beberapa hari yang terhitung" (ma’dūdah). Tafsir klasik menafsirkan klaim ini berasal dari dua sumber tradisi mereka:
Apapun interpretasi spesifiknya, klaim ini merupakan bentuk self-absolution (pembebasan diri) dari konsekuensi amal buruk yang berkelanjutan, sebuah bentuk presumption yang merusak inti pertanggungjawaban teologis. Mereka percaya bahwa nasab (keturunan) mereka dari para nabi atau status mereka sebagai "Kaum Pilihan" akan memberikan mereka tiket keluar cepat dari neraka, tidak peduli seberapa parah dosa yang mereka perbuat, seperti pengingkaran perjanjian, pembunuhan nabi, dan distorsi ajaran.
Ayat 80 tidak membiarkan klaim tersebut menggantung tanpa bantahan. Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menanyakan dua pertanyaan retoris yang tajam.
Pertanyaan pertama: "Sudahkah kamu mengambil janji dari Allah, sehingga Allah tidak akan mengingkari janji-Nya?"
Ini adalah tantangan langsung terhadap sumber klaim mereka. Apakah mereka memiliki perjanjian (ahdan) yang eksplisit dan tidak dapat dibatalkan dari Allah yang menjamin bahwa mereka hanya akan disiksa dalam waktu yang singkat, terlepas dari dosa-dosa mereka? Jika janji itu benar ada, maka tentu saja Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya (falan yukhlifallāhu ‘ahdahu), karena mengingkari janji tidak sesuai dengan sifat kesempurnaan dan kebenaran Ilahi. Namun, inti dari pertanyaan ini adalah bahwa janji semacam itu tidak pernah ada.
Perjanjian (Covenant) yang mereka miliki adalah perjanjian ketaatan, kepatuhan, dan penegakan kebenaran. Perjanjian tersebut bersifat kondisional: jika mereka taat, mereka mendapat pahala; jika mereka melanggar dan berbuat zalim, mereka akan mendapat siksa. Klaim mereka membalikkan perjanjian tersebut, mengubah janji ketaatan menjadi jaminan keselamatan otomatis.
Pertanyaan kedua: "Ataukah kamu berkata-kata tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?"
Ini adalah titik sentral dari bantahan Al-Qur'an. Jika mereka tidak memiliki janji eksplisit dari Allah, maka klaim mereka tentang durasi siksaan hanyalah qawl bilā ‘ilm (berkata-kata tanpa dasar ilmu atau wahyu). Ini adalah dosa besar dalam Islam: menyematkan hukum, janji, atau karakteristik pada Allah tanpa bukti yang sah. Klaim ini didasarkan pada spekulasi, tradisi yang terdistorsi, atau keinginan subjektif, bukan pada kebenaran yang diturunkan.
Pilihan retoris ini menyudutkan mereka: entah mereka memiliki janji yang tidak mungkin disembunyikan dan diyakini oleh seluruh umat, atau mereka adalah pendusta yang berbicara atas nama Tuhan mengenai perkara gaib (neraka) yang sepenuhnya berada di bawah otoritas Ilahi.
Untuk memahami sepenuhnya mengapa klaim Al-Baqarah 80 sangatlah fatal, kita harus menelaah prinsip teologis yang dibawanya, yang kemudian diperkuat oleh ayat 81.
Ayat 80 adalah peringatan universal terhadap Ghurur, yaitu rasa aman yang palsu terhadap azab Allah. Rasa aman ini seringkali muncul dari:
1. Ketergantungan pada nasab atau gelar keagamaan.
2. Keyakinan bahwa Rahmat Allah mengalahkan keadilan-Nya, sehingga dosa sebesar apapun pasti dimaafkan tanpa proses pertanggungjawaban.
3. Interpretasi selektif terhadap teks suci yang hanya mengambil bagian yang memberikan harapan, namun mengabaikan bagian yang memberikan peringatan.
Klaim bahwa api hanya menyentuh "beberapa hari" adalah manifestasi ekstrem dari Ghurur. Mereka meremehkan konsekuensi dari pengingkaran terhadap kenabian dan perjanjian suci, yang merupakan dosa-dosa fundamental yang merusak fondasi agama.
Ayat 81 datang sebagai pelengkap dan penegas hukum keadilan, mengkontraskan klaim sepihak di ayat 80:
"Tidak demikian! Barang siapa berbuat kejahatan, dan dosanya telah meliputinya, mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya."
Ayat 81 menetapkan prinsip yang universal: Azab kekal di neraka adalah konsekuensi bagi siapa saja (tanpa memandang status agama atau etnis) yang melakukan kejahatan (sayyi’ah) sedemikian rupa sehingga dosanya meliputi (aḥāṭat) dirinya. ‘Meliputi’ di sini ditafsirkan sebagai dosa syirik, kekafiran, atau pengingkaran total terhadap kebenaran yang diketahui, sebuah kondisi yang memutus hubungan spiritual dengan Ilahi dan menjadikan orang tersebut seolah-olah sepenuhnya terperangkap dalam kegelapan maksiat.
Dengan demikian, ayat 80 dan 81 mengajarkan bahwa nasib akhir seseorang tidak ditentukan oleh labelnya, melainkan oleh sifat dan tingkat kejahatan yang dilakukannya. Klaim ‘ayyāman ma’dūdah’ (beberapa hari) dibatalkan secara total oleh ketetapan ‘hum fīhā khālidūn’ (mereka kekal di dalamnya), jika dosa yang dilakukan adalah dosa kekafiran atau syirik.
Klaim yang dicatat dalam Al-Baqarah 80 memiliki resonansi yang signifikan dengan konsep-konsep tertentu yang beredar dalam tradisi Yahudi pra-Islam, khususnya mengenai status ‘Israel’ dan azab akhirat.
Salah satu akar dari klaim ‘ayyāman ma’dūdah’ adalah keyakinan mendalam bahwa Bani Israel adalah ‘Am Segullah’ (Kaum Pilihan Allah). Meskipun konsep ini benar adanya berdasarkan janji-janji awal, Bani Israel di masa kenabian Muhammad SAW telah memanipulasi pemahaman ini menjadi jaminan keselamatan mutlak, terlepas dari perilaku. Mereka percaya bahwa kasih sayang Allah kepada nenek moyang mereka (Ibrahim, Ishak, Yakub) secara otomatis memberikan kekebalan kepada keturunan mereka dari azab yang permanen.
Keyakinan ini menghasilkan sikap mental yang memungkinkan mereka untuk melanggar hukum Ilahi, melakukan pembunuhan terhadap nabi (disebutkan dalam ayat-ayat lain), dan memutarbalikkan Kitab Suci, sambil tetap merasa aman dari siksa kekal. Al-Qur'an datang untuk mengoreksi teologi berbahaya ini, menegaskan bahwa keadilan Ilahi melampaui garis keturunan.
Beberapa literatur midrash dan Talmud memang memuat konsep mengenai batasan waktu siksaan neraka (Gehinnom) bagi sebagian orang Yahudi yang berdosa. Misalnya, ada pandangan bahwa orang yang berdosa hanya akan tinggal di Gehinnom selama 12 bulan (satu tahun), kecuali bagi mereka yang dianggap sangat fasik atau bid'ah. Klaim dalam Al-Baqarah 80 tentang "beberapa hari" bisa jadi merupakan refleksi atau versi yang lebih ekstrem dari interpretasi semacam ini, yang mereka gunakan untuk menenangkan diri dan menolak seruan kebenaran Islam.
Al-Qur'an secara tegas menolak premis ini. Ia membedakan antara dosa-dosa yang dapat diampuni melalui siksaan temporal (bagi mukmin yang berdosa) dan dosa syirik/kekafiran yang melingkupi, yang menghasilkan kekekalan (khulūd) dalam neraka, sebagaimana ditegaskan dalam ayat 81.
Ayat 80 Al-Baqarah bukanlah ayat tunggal. Peringatan serupa mengenai klaim keselamatan palsu diulang dan diperkuat di bagian lain Al-Qur'an, menunjukkan pentingnya prinsip ini dalam teologi Islam.
Klaim serupa muncul dalam Surah Ali Imran, namun dengan sedikit variasi konteks:
"Yang demikian itu adalah karena mereka berkata: 'Api neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari saja.' Mereka tertipu dalam agama mereka karena apa yang selalu mereka ada-adakan." (QS. Ali Imran: 24)
Ayat ini menambahkan elemen penting: "wa gharrahum fī dīnihim mā kānū yaftarūn" (Mereka tertipu dalam agama mereka karena apa yang mereka ada-adakan). Ini memberikan diagnosis psikologis dan spiritual terhadap masalah tersebut. Klaim mereka bukan hanya sekadar kesalahan tafsir, tetapi merupakan penipuan diri (ghurur) yang diakibatkan oleh iftirā’ (pengada-adaan atau rekayasa) dalam ajaran agama. Mereka menciptakan doktrin keselamatan yang tidak pernah diwahyukan, dan kemudian tertipu oleh kreasi mereka sendiri.
Al-Qur'an secara konsisten mengajarkan bahwa pembalasan (jaza’) didasarkan pada amal (kasb), bukan pada identitas etnis atau keturunan. Ayat-ayat tentang neraka dan surga selalu menggunakan bahasa universal: "Man ya’mal sū’an" (Barang siapa berbuat kejahatan) dan "Man ‘amila ṣāliḥan" (Barang siapa beramal saleh).
Ayat 80 dan 81 Al-Baqarah berfungsi untuk mengislamkan kembali konsep pertanggungjawaban personal ini, memastikan bahwa setiap individu bertanggung jawab penuh atas pilihan dan amalnya di dunia, dan tidak ada keanggotaan kelompok yang dapat menawar azab Allah yang mutlak.
Meskipun ayat 80 secara historis ditujukan kepada Bani Israel yang membuat klaim tersebut, pelajarannya bersifat abadi dan relevan bagi setiap individu dan komunitas, termasuk umat Islam modern.
Bagi umat Islam, klaim ‘ayyāman ma’dūdah’ termanifestasi dalam berbagai bentuk wishful thinking (angan-angan) atau takhayul keselamatan, seperti:
Ayat 80 mengajarkan bahwa satu-satunya jaminan adalah ‘ahdan’ (perjanjian sah) dari Allah. Karena perjanjian itu bersifat kondisional—iman dan amal saleh—maka tidak ada seorang pun yang berhak merasa aman mutlak. Ketakutan dan harapan (khawf wa rajā’) harus selalu seimbang dalam hati seorang mukmin.
Pelajaran kedua adalah menghindari iftirā’ ‘alallah (mengada-adakan sesuatu atas nama Allah), sebagaimana disinggung dalam Ali Imran 24. Hal ini terjadi ketika umat beragama menciptakan doktrin atau hukum yang meringankan beban amal atau menggaransi keselamatan tanpa dasar syariat yang jelas. Integritas spiritual menuntut kejujuran total terhadap wahyu dan menghindari penambahan atau pengurangan hukum Allah demi kenyamanan diri.
Ketika seseorang mengklaim bahwa dosa tertentu tidak akan berakibat fatal, atau bahwa statusnya dapat membeli waktu di neraka, ia telah menempatkan dirinya di posisi yang menantang kebijaksanaan Ilahi, yang mendasarkan pembalasan pada keadilan mutlak.
Pemahaman yang benar terhadap ayat 80 dan 81 harus menempatkan keadilan (Al-Adl) dan rahmat (Al-Rahmah) Allah dalam keseimbangan yang harmonis.
Klaim 'ayyāman ma’dūdah' merusak keadilan. Jika orang yang kafir total dan melakukan kejahatan sistematis hanya disiksa beberapa hari, bagaimana dengan orang beriman yang melakukan dosa kecil? Keadilan menuntut bahwa balasan harus sebanding dengan kejahatan. Klaim Bani Israel secara implisit menuduh Allah tidak adil dalam penerapan hukuman.
Oleh karena itu, bantahan di ayat 80 menekankan bahwa hukuman di Akhirat tunduk pada sistem yang sempurna, yang hanya diketahui oleh Allah dan diwahyukan-Nya. Manusia tidak memiliki hak untuk menetapkan durasi siksaan berdasarkan angan-angan mereka.
Penting untuk dicatat bahwa dalam Islam, konsep kekekalan neraka (khulūd) pada umumnya ditujukan bagi orang-orang yang mati dalam keadaan kafir, musyrik, atau menolak kebenaran setelah jelas bagi mereka. Bagi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, meskipun ia mungkin akan disiksa (sebagai manifestasi keadilan), mayoritas ulama meyakini bahwa ia tidak akan kekal di dalamnya, karena ia masih memiliki iman (tauhid) di hatinya.
Ironisnya, klaim ‘ayyāman ma’dūdah’ yang dibuat oleh Bani Israel justru ditujukan untuk menjustifikasi dosa kekafiran dan pengingkaran perjanjian, yang merupakan penyebab utama kekekalan neraka (sebagaimana dijelaskan di ayat 81). Klaim ini adalah upaya untuk mendapatkan status mukmin yang berdosa, padahal perilaku mereka menempatkan mereka dalam kategori kafir yang dosanya melingkupi.
Dengan demikian, ayat 80 tidak meremehkan rahmat Allah, melainkan mengoreksi pemahaman yang salah tentang rahmat. Rahmat Allah tidak berarti penghapusan keadilan, melainkan penerapan keadilan yang dibingkai oleh kesempurnaan. Rahmat Allah terbuka lebar bagi mereka yang bertaubat dan beriman, tetapi tidak dapat dimanfaatkan oleh mereka yang melakukan rekayasa teologis untuk menjustifikasi kesombongan dan pengingkaran.
Al-Baqarah ayat 80 menyentuh masalah hakikat realitas gaib, yaitu neraka. Neraka bukanlah ranah fisik yang dapat diukur dengan hari-hari bumi (ayyāman ma’dūdah). Durasi dan intensitas siksaan di akhirat berada di luar pemahaman manusia, dan mencoba mendikte atau membatasi azab Allah adalah bentuk tertinggi dari tasyri' (pembuatan hukum) tanpa izin Ilahi.
Ketika Bani Israel membuat klaim ini, mereka berusaha mengubah dimensi metafisik azab menjadi sebuah transaksi yang dapat dikendalikan. Al-Qur'an mengingatkan bahwa hanya Allah yang mengetahui hakikat, durasi, dan ketentuan akhirat. Manusia harus tunduk pada apa yang diwahyukan, dan yang diwahyukan adalah prinsip pertanggungjawaban total, bukan jaminan parsial.
Sebuah keyakinan yang menjamin keselamatan parsial memiliki dampak destruktif pada akhlak dan etika. Jika seseorang percaya bahwa dosa-dosanya yang paling fatal sekalipun hanya akan menghasilkan siksaan singkat, motivasi untuk menjauhi dosa akan melemah drastis. Klaim seperti ini mempromosikan perilaku murji’ah (penunda amal), yang menganggap iman saja sudah cukup tanpa perlu amal atau menghindari maksiat yang serius.
Ayat 80 secara implisit menegaskan bahwa tujuan utama syariat adalah menjaga tathīr al-nafs (penyucian jiwa). Klaim keselamatan parsial menghalangi penyucian ini karena memungkinkan individu untuk terus berbuat dosa dengan keyakinan palsu tentang pengampunan yang sudah pasti. Al-Qur'an berjuang melawan sikap mental ini demi memelihara ketulusan dalam beribadah dan kehati-hatian dalam bermuamalah.
Tafsir klaim 'ayyāman ma’dūdah' dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap Tauhid Uluhiyyah (pengesaan Allah dalam peribadatan dan ketaatan). Mengapa? Karena menetapkan hukum atau batasan pada azab Allah sama saja dengan menganggap bahwa manusia memiliki kontrol atau pengetahuan yang setara dengan pengetahuan Allah tentang takdir dan pembalasan. Ini adalah bentuk syirik khafi (syirik tersembunyi), yaitu mengutamakan angan-angan atau tradisi buatan manusia di atas otoritas Wahyu Ilahi.
Penyebab azab neraka yang kekal adalah pelanggaran tauhid itu sendiri, baik melalui syirik nyata atau melalui pengingkaran (kufr) terhadap Rasulullah SAW. Klaim mereka, yang secara substansi menolak kenabian Muhammad SAW dan mengada-adakan hukum, adalah wujud dari pelanggaran tauhid yang layak mendapat siksa kekal, berlawanan dengan apa yang mereka klaim.
Ayat 80 adalah panggilan untuk menyeimbangkan khawf (rasa takut terhadap azab Allah) dan rajā’ (harapan akan rahmat-Nya). Klaim Bani Israel hanya menekankan rajā’ tanpa disertai khawf, sebuah keseimbangan yang fatal. Mukmin sejati adalah mereka yang beramal karena takut akan azab-Nya dan berharap pada ganjaran-Nya, sehingga mereka senantiasa termotivasi untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk tidak pernah merasa terlalu aman. Keselamatan adalah anugerah yang harus terus diupayakan melalui ketaatan dan istighfar (memohon ampunan), bukan hak istimewa yang diwariskan atau diklaim berdasarkan status.
Pelajaran terpenting dari bantahan Ilahi di ayat 80 adalah wajibnya memelihara kemurnian sumber hukum (Al-Qur'an dan Sunnah). Ketika Allah bertanya, "Ataukah kamu berkata-kata tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?", ini adalah larangan mutlak terhadap bid’ah dan penetapan hukum yang tidak berdasar. Dalam setiap aspek agama, terutama yang berkaitan dengan perkara gaib (seperti surga, neraka, dan durasi azab), kehati-hatian dalam berbicara dan berpendapat adalah tuntutan utama keimanan.
Umat Islam harus memastikan bahwa keyakinan mereka tentang akhirat—siapa yang disiksa, berapa lama, dan siapa yang diampuni—sepenuhnya didasarkan pada teks suci yang otentik dan tafsir yang shahih, bukan pada tradisi budaya, angan-angan pribadi, atau penafsiran yang meringankan beban moral.
Al-Baqarah ayat 80 menegaskan kembali bahwa amanah (tanggung jawab) spiritual bersifat universal dan individual. Setiap jiwa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tidak ada kelompok etnis, ras, atau komunitas yang secara intrinsis lebih berharga atau lebih terjamin keselamatannya dibandingkan yang lain. Kehormatan di sisi Allah hanyalah berdasarkan ketaqwaan (Inna akramakum ‘indallāhi atqākum).
Jika Bani Israel, kaum yang menerima wahyu langsung dari Musa AS, tidak memiliki jaminan kekebalan dari azab kekal ketika mereka melanggar perjanjian secara fundamental, maka tidak ada umat lain, termasuk umat Nabi Muhammad, yang dapat mengklaim keistimewaan semacam itu tanpa syarat. Keselamatan adalah hasil dari iman yang benar yang dibuktikan dengan amal yang saleh dan berkelanjutan.
Puncak dari bantahan di ayat 80 adalah penggunaan dikotomi antara ‘ahdan’ (janji pasti) dan ‘mā lā ta’lamūn’ (apa yang tidak kamu ketahui). Kedua pilihan ini mencerminkan landasan epistemologi (ilmu pengetahuan) dalam Islam.
Allah SWT adalah ‘Ālimul Ghaib wa Syahādah (Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak). Neraka dan ketentuannya adalah bagian dari alam gaib yang hanya diketahui oleh-Nya. Klaim Bani Israel adalah upaya untuk merebut otoritas pengetahuan ini dari Allah, seolah-olah mereka telah menembus tirai gaib dan mendapatkan informasi detail tentang mekanisme azab. Al-Qur'an membantah bahwa tidak ada yang dapat mengetahui hal tersebut, kecuali melalui wahyu yang otentik.
Hal ini mengajarkan kaum mukmin bahwa dalam urusan agama, khususnya yang berkaitan dengan ghaib, batasan pengetahuan harus ditarik dengan ketat. Spekulasi (zhann) tidak dapat dijadikan dasar keyakinan dalam hal azab dan pahala. Hanya pengetahuan yang pasti (wahyu) yang valid.
Penggunaan dua pertanyaan retoris (A-ttakhabtū ‘indallāhi ‘ahdan... am taqūlūna ‘alallāhi mā lā ta’lamūn?) adalah teknik pedagogis yang kuat dalam Al-Qur'an. Pertanyaan-pertanyaan ini memaksa pendengar untuk menghadapi absurditas klaim mereka sendiri. Jika mereka menjawab ya untuk janji, mereka harus membuktikannya; jika mereka menjawab tidak, mereka mengakui bahwa mereka berbicara tanpa ilmu, yang merupakan dosa besar.
Metode ini mengajak kita untuk selalu kritis terhadap klaim-klaim spiritual yang memberikan jalan keluar mudah dari tanggung jawab moral. Setiap klaim keselamatan harus diuji dengan pertanyaan dasar: "Apa bukti tertulis dari Tuhan untuk klaim ini?"
Ayat 80 secara tidak langsung menegaskan bahwa Allah telah menetapkan Sunnatullāh (hukum tabiat/ketentuan Ilahi) yang berlaku universal. Sunnatullāh dalam konteks moral adalah: ketaatan berbuah pahala, dan pengingkaran berbuah azab. Klaim Bani Israel berupaya mengecualikan diri mereka dari Sunnatullāh ini berdasarkan asumsi etnis. Al-Qur'an mengembalikan pemahaman bahwa Sunnatullāh keadilan berlaku bagi semua, tanpa diskriminasi.
Jika hukum alam fisik (gravitasi, misalnya) berlaku universal, maka hukum moral dan pembalasan (Sunnatullāh Akhlakiyyah) juga harus universal. Siapa pun yang melanggar ketentuan dasar perjanjian (tauhid, ketaatan kepada Rasul) akan menanggung konsekuensinya, terlepas dari siapa leluhurnya.
Al-Baqarah ayat 80 adalah salah satu tiang penyangga yang paling kuat dalam struktur teologi Islam mengenai pertanggungjawaban personal dan bahaya Ghurur. Ayat ini mengajarkan kita bahwa:
Pesan utama ayat ini adalah ajakan untuk meninggalkan segala bentuk ilusi spiritual dan kembali kepada kejujuran amal yang murni, karena hanya dengan ketaatan penuh dan keikhlasan hati, seseorang dapat berharap pada rahmat Allah, bukan dengan klaim-klaim kosong tentang batasan waktu siksaan.
Petunjuk Ilahi Menetapkan Prinsip Keadilan