Tafsir Komprehensif Surah Al-Baqarah Ayat 60: Mukjizat Air di Padang Tih dan Prinsip Kehidupan
Pendahuluan: Latar Belakang Kebutuhan dan Ujian Bani Israil
Surah Al-Baqarah merupakan surah terpanjang dalam Al-Qur'an dan kaya akan kisah-kisah historis yang berfungsi sebagai pelajaran fundamental bagi umat manusia, khususnya mengenai hubungan antara nikmat ilahi dan tanggung jawab manusia. Ayat 60 dari surah ini secara khusus mengabadikan salah satu mukjizat terbesar yang diturunkan kepada Nabi Musa alaihi salam (AS) dalam rangka memenuhi kebutuhan mendasar Bani Israil—yaitu air—di tengah kekeringan Padang Tih.
Konteks ayat ini adalah masa-masa di mana Bani Israil berada di bawah perlindungan langsung Allah SWT setelah melarikan diri dari Firaun dan menyeberangi laut. Meskipun mereka telah menyaksikan keagungan dan kekuasaan Allah yang tak tertandingi, mereka sering menunjukkan kelemahan iman, ketidakpuasan, dan permintaan yang berlebihan. Di Padang Tih, tantangan terbesar mereka bukanlah musuh fisik, melainkan kelangsungan hidup di lingkungan yang ekstrem. Air adalah sumber kehidupan, dan ketiadaan air mengancam eksistensi seluruh kaum. Permintaan mereka terhadap Musa AS adalah ujian keimanan, tetapi respons ilahi yang diberikan melalui ayat 60 adalah manifestasi dari rahmat yang melimpah ruah.
Ayat ini tidak hanya menceritakan tentang mukjizat air, tetapi juga mengandung pelajaran moral yang mendalam dan peringatan tegas yang berlaku universal sepanjang zaman, yaitu larangan untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Untuk memahami kedalaman ajaran ini, diperlukan kajian mendalam yang mencakup aspek linguistik, historis, teologis, dan sosiologis.
Teks Suci dan Terjemahan
(Dan ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya masing-masing. (Kami berfirman), “Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di bumi dengan berbuat kerusakan.”
Analisis Linguistik (Tafsir Lafziyah)
Kekuatan ayat ini terletak pada pilihan kata-kata Arab yang sangat presisi, yang masing-masing membawa makna teologis yang kaya:
-
Istasqa (ٱسْتَسْقَىٰ)
Kata ini berasal dari akar kata saqa (minum), dan penambahan awalan ista- menunjukkan permintaan atau permohonan yang sungguh-sungguh. Ini bukan hanya sekadar meminta, melainkan memohon kepada pihak yang berkuasa untuk menyediakan air. Ini menekankan peran Nabi Musa sebagai perantara, menunjukkan bahwa solusi datang bukan dari kemampuannya sendiri, tetapi melalui doanya kepada Allah SWT.
-
Idhrib (ٱضْرِب)
Ini adalah kata kerja perintah (fi’il amr) yang berarti "pukullah" atau "benturkan." Perintah ini sederhana, tetapi secara substansi menuntut ketaatan total dari Musa. Mukjizat ini diletakkan pada tindakan yang tampaknya tidak logis—memukul batu untuk mendapatkan air—menggarisbawahi bahwa sebab-akibat (sunnatullah) dapat ditangguhkan oleh kehendak ilahi (sunnah takwiniyyah).
-
Al-Hajar (ٱلْحَجَرَ)
Kata ini berarti "batu." Para mufassir berbeda pendapat mengenai sifat batu ini. Apakah itu batu tertentu yang dibawa oleh Musa, atau apakah itu batu biasa di padang pasir? Mayoritas ulama, termasuk Ibn Kathir, cenderung pada pandangan bahwa itu adalah batu yang spesifik, yang mungkin dibawa Musa ke mana-mana. Namun, tafsir lain mengatakan bahwa *al-hajar* di sini merujuk pada jenis material secara umum, menekankan bahwa Allah mampu menjadikan air memancar dari objek yang paling padat sekalipun.
-
Infajarat (فَٱنفَجَرَتْ)
Kata ini mengandung makna yang kuat, "meledak," "memancar," atau "tersembur dengan dahsyat." Penggunaan infajarat, bukan sekadar jarat (mengalir), menunjukkan bahwa air tersebut keluar dengan kekuatan dan kuantitas yang luar biasa, cukup untuk menghidupi jutaan Bani Israil dan ternak mereka di padang gurun yang tandus.
-
Isnatā ‘Asyarata ‘Ainā (ٱثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا)
Frasa ini secara tegas menyebutkan jumlah "dua belas mata air." Angka 12 ini bukan kebetulan; ia merujuk langsung kepada 12 suku (cabang keturunan) Bani Israil. Ini menunjukkan kesempurnaan rezeki dan keadilan dalam pembagian. Setiap suku memiliki sumbernya sendiri, menghindari perselisihan dan memastikan bahwa kebutuhan setiap kelompok terpenuhi secara terpisah. Ini adalah manajemen logistik ilahi.
-
La Ta’tsau Fil Ardi Mufsidin (وَلَا تَعْثَوْا۟ فِى ٱلْأَرْضِ مُفْسِدِينَ)
Ini adalah puncak peringatan moral. Ta’tsau berarti membuat kerusakan atau kekacauan. Ditambah dengan kata sifat mufsidin (orang-orang yang berbuat kerusakan), pesan ini ditekankan. Allah memberi mereka rezeki yang tak terbatas (air dan Manna serta Salwa), tetapi menuntut mereka membalasnya dengan menjaga ketertiban, bukan merusak karunia tersebut atau tatanan sosial yang telah ditetapkan.
Tafsir Tahlili: Hikmah di Balik Angka Dua Belas
Penyediaan dua belas mata air adalah inti dari mukjizat logistik ini. Ini jauh lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan air; ini adalah pelajaran tentang administrasi, keadilan, dan tata kelola masyarakat dalam Islam. Bani Israil, yang terdiri dari keturunan dua belas anak Nabi Ya’qub (Israel), seringkali bertikai dan berselisih, bahkan mengenai hak sumber daya.
Keadilan Distribusi dan Pencegahan Konflik
Para mufassir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilal al-Qur'an, menyoroti bahwa jika hanya ada satu mata air, pasti akan terjadi perselisihan besar dan konflik dalam antrean di antara suku-suku yang berjumlah besar tersebut. Dengan adanya 12 sumber, setiap suku memiliki jatah dan tempat minumnya sendiri (قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ), menjamin keadilan dan menghilangkan potensi permusuhan. Ini adalah cetak biru untuk manajemen sumber daya di mana kelimpahan harus dikelola dengan prinsip keadilan distributif.
Penyempurnaan Mukjizat
Mukjizat ini menunjukkan bahwa rahmat Allah bersifat terperinci dan menyeluruh. Allah tidak hanya memberi solusi umum (air), tetapi solusi yang spesifik sesuai dengan struktur sosial mereka (12 suku). Hal ini memperkuat keimanan mereka bahwa Tuhan yang mereka sembah mengetahui struktur internal, kebutuhan, dan potensi masalah mereka.
Ilustrasi perintah Allah kepada Nabi Musa AS untuk memukul batu sehingga memancarkan dua belas mata air.
Falsafah Rezeki Ilahi: Prinsip Keseimbangan
Setelah menjelaskan mukjizat air, ayat 60 melompat ke perintah moral dan etik fundamental: “Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di bumi dengan berbuat kerusakan.” Bagian ini adalah esensi dari hubungan manusia dengan karunia Tuhan. Rezeki di sini tidak hanya merujuk pada air, tetapi juga manna dan salwa yang juga disediakan Allah bagi Bani Israil di Padang Tih, serta segala nikmat lain yang mereka terima.
Kulu wa Isyrobu (Makan dan Minumlah)
Perintah ini adalah izin dan pengakuan bahwa manusia memiliki hak untuk menikmati karunia Allah. Namun, dalam konteks Al-Qur'an, perintah untuk makan dan minum hampir selalu diikuti dengan batasan. Ini menyiratkan konsep moderasi dan rasa syukur. Rezeki adalah tanda kasih sayang Allah, dan menggunakannya adalah ibadah, asalkan dilakukan tanpa berlebihan dan dengan kesadaran akan sumbernya.
Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa frasa ini membatalkan anggapan bahwa hidup ini harus penuh dengan pantangan. Sebaliknya, Allah mendorong Bani Israil untuk menikmati rezeki yang disediakan di tengah kesulitan gurun, sebagai penguat mental dan fisik mereka. Kenikmatan ini adalah bagian dari takdir ilahi.
La Ta’tsau Fil Ardi Mufsidin: Akar Kerusakan
Ini adalah larangan yang paling berat dalam ayat ini. Mufassir klasik seperti Imam Al-Tabari menafsirkan *mufsidin* sebagai mereka yang melanggar batasan Allah, berbuat zalim, dan tidak menghargai nikmat yang telah diberikan. Kerusakan (*ifsad*) dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan:
1. Kerusakan Sumber Daya Alam (Lingkungan)
Dalam konteks mata air dan makanan yang disediakan secara ajaib, *ifsad* berarti menyalahgunakan atau membuang-buang air dan makanan tersebut. Walaupun rezeki itu berlimpah, sikap boros (israf) adalah bentuk kerusakan karena tidak menghargai sumber daya yang telah diciptakan dengan sempurna. Prinsip ini sangat relevan dengan etika lingkungan modern: kita boleh menikmati alam, tetapi wajib menjaganya.
2. Kerusakan Sosial dan Moral
Ini mencakup tindakan-tindakan yang merusak tatanan sosial, seperti perselisihan antar suku, ketidaktaatan terhadap Musa AS, dan pelanggaran hukum moral. Sebagaimana yang terjadi pada Bani Israil setelah menerima banyak mukjizat, mereka sering kembali pada praktik-praktik jahiliyah atau menolak kenabian Musa, yang semuanya termasuk dalam kategori *ifsad*.
3. Kerusakan Keimanan
Tingkat kerusakan tertinggi adalah merusak ikatan spiritual dengan Allah, yaitu kufur nikmat. Mereka diberikan air dari batu, manna dari langit, dan awan sebagai payung, namun mereka terus menerus meminta dan mengeluh, menunjukkan ingkar terhadap nikmat yang sangat jelas. Ketidakpuasan yang akut setelah menerima kemurahan yang tak terhingga ini dianggap sebagai kerusakan jiwa dan iman.
Peringatan ini menjadi penutup yang kuat, menegaskan bahwa mukjizat dan rezeki adalah ujian, bukan hak yang absolut. Hak untuk menikmati karunia ilahi datang bersamaan dengan kewajiban untuk menjaga amanah bumi dan masyarakat.
Konteks Historis dan Geografis: Padang Tih
Untuk menghargai mukjizat dalam Al-Baqarah 60, kita harus memahami kesulitan ekstrem yang dihadapi Bani Israil selama periode pengembaraan 40 tahun di Padang Tih (Semenanjung Sinai). Wilayah ini dikenal sebagai gurun yang tandus, panas, dan tidak memiliki sumber air permanen yang memadai untuk populasi sebesar yang dipimpin Musa AS, yang diperkirakan mencapai ratusan ribu hingga jutaan jiwa.
Tantangan Logistik
Mengelola populasi besar tanpa infrastruktur di padang gurun adalah mustahil secara alami. Kebutuhan air harian bagi jutaan orang tidak bisa dipenuhi dengan mengumpulkan embun atau air hujan yang jarang. Dalam situasi di mana kematian karena dehidrasi adalah ancaman konstan, permintaan air Bani Israil adalah permintaan yang mendesak dan rasional.
Respon ilahi dengan 12 mata air menunjukkan solusi logistik yang sempurna. Air tersebut harus cukup banyak, mengalir terus-menerus, dan mudah diakses. Fakta bahwa setiap suku mengetahui tempat minumnya menunjukkan bahwa mata air tersebut mungkin mengalir ke saluran atau cekungan yang terpisah, memudahkan kontrol dan distribusi air sepanjang pengembaraan mereka.
Signifikansi Mukjizat
Peristiwa ini, bersama dengan manna dan salwa, membuktikan bahwa Allah tidak meninggalkan Bani Israil meskipun mereka sering menunjukkan sifat keras kepala. Mukjizat ini berfungsi ganda: sebagai penyelamat nyawa dan sebagai penguat kenabian Musa AS. Ini menegaskan otoritas Musa sebagai utusan yang doanya segera dikabulkan oleh Yang Mahakuasa.
Menurut beberapa riwayat tafsir, batu yang dipukul Musa adalah batu berbentuk kubus yang mereka bawa bersamanya. Setiap kali mereka berhenti, Musa akan memukulnya, dan air akan memancar; ketika mereka melanjutkan perjalanan, air akan berhenti, dan mereka membawa kembali batu tersebut. Jika riwayat ini benar, ia menambah lapisan keajaiban: batu itu berfungsi sebagai sumber air portabel, sebuah teknologi yang jauh melampaui pemahaman manusia pada masa itu.
Perbandingan Sudut Pandang Tafsir: Klasik dan Kontemporer
Pandangan Klasik (Al-Tabari dan Ibn Kathir)
Para mufassir klasik cenderung fokus pada aspek literal mukjizat dan validasi kenabian. Imam Al-Tabari memberikan perhatian besar pada riwayat-riwayat mengenai bentuk dan asal-usul batu tersebut, menekankan kebesaran kuasa Allah yang mampu menundukkan hukum alam untuk memenuhi kebutuhan hamba-Nya. Ibn Kathir juga sangat fokus pada keadilan dalam pembagian, menekankan bahwa dua belas mata air adalah bukti konkret keadilan ilahi bagi dua belas suku Bani Israil, memastikan tidak ada yang merasa dicurangi.
Mereka melihat bagian akhir ayat, larangan berbuat kerusakan, sebagai peringatan langsung atas perilaku buruk Bani Israil sebelumnya dan keengganan mereka untuk berjuang (berjihad) memasuki tanah yang dijanjikan setelah diselamatkan dari Mesir. Kerusakan utama yang mereka maksud adalah pembangkangan terhadap perintah syariat.
Pandangan Kontemporer (Sayyid Qutb dan Al-Maraghi)
Mufassir kontemporer memperluas makna *ifsad* (kerusakan) ke dimensi yang lebih luas dan struktural. Sayyid Qutb melihat mukjizat ini sebagai pelajaran tentang potensi manusia. Ketika manusia berada dalam keterpurukan, Allah akan menyediakan solusi, tetapi manusia harus memanfaatkan karunia tersebut dengan cara yang konstruktif.
Al-Maraghi, dalam tafsirnya, menekankan relevansi modern dari larangan berbuat kerusakan. Ia menafsirkan “Makan dan minumlah” sebagai prinsip etika konsumsi yang harus diterapkan pada semua sumber daya modern. Kerusakan hari ini bukan hanya tentang kekerasan, tetapi juga korupsi, eksploitasi berlebihan terhadap lingkungan (pencemaran air, deforestasi), dan ketidakadilan ekonomi. Dalam pandangan kontemporer, siapa pun yang menyebabkan ketidakseimbangan sosial atau ekologis setelah menerima karunia alam adalah penerus sifat *mufsidin* Bani Israil.
Pelajaran Abadi dan Implikasi Praktis Ayat 60
Ayat 60 dari Surah Al-Baqarah menawarkan sejumlah pelajaran spiritual, etika, dan praktis yang melampaui konteks historis Bani Israil. Ini adalah peta jalan tentang bagaimana umat beriman seharusnya berinteraksi dengan karunia ilahi.
-
1. Kekuatan Doa dalam Kepemimpinan
Peristiwa ini dimulai dengan “Dan ingatlah ketika Musa memohon air untuk kaumnya.” Ini menunjukkan bahwa pemimpin sejati harus menjadi perantara antara rakyatnya dan Tuhannya. Ketika solusi fisik tidak mungkin, pemimpin harus beralih kepada kekuatan spiritual. Ini mengajarkan bahwa dalam keputusasaan, sumber daya pertama dan utama seorang mukmin adalah doa (istisqa).
-
2. Keseimbangan Antara Usaha dan Tawakkul
Allah memerintahkan Musa untuk memukul batu (idhrib bi’asak al-hajar). Meskipun sumber air yang sesungguhnya adalah Allah, Musa tetap harus melakukan suatu tindakan fisik, meskipun tindakan itu tampak remeh atau tidak logis. Ini adalah ilustrasi sempurna dari tawakkul (berserah diri): melakukan usaha maksimal yang diperintahkan, namun sepenuhnya bergantung pada hasil dari sisi Ilahi.
-
3. Prinsip Keadilan dan Manajemen Sumber Daya
Pembagian menjadi 12 mata air adalah dasar dari etika distribusi sumber daya. Islam menuntut agar rezeki, terutama yang vital seperti air, harus dibagikan secara adil dan merata, menghindari monopoli atau ketidaksetaraan yang dapat memicu konflik. Keadilan dalam akses adalah prasyarat untuk perdamaian sosial.
-
4. Etika Konsumsi dan Anti-Pemborosan (Israf)
Perintah kulu wa isyrobu (makan dan minumlah) adalah izin, tetapi batasannya adalah larangan berbuat kerusakan. Dalam konteks modern, hal ini merujuk pada konsep zero waste dan penggunaan energi secara bijak. Membuang makanan atau menggunakan air bersih secara berlebihan di tengah krisis air global adalah pelanggaran terhadap prinsip moral yang ditetapkan dalam ayat ini.
-
5. Kewajiban Menjaga Amanah Bumi
Larangan menjadi *mufsidin* adalah amanah ekologis dan sosiologis bagi setiap umat beriman. Manusia adalah khalifah, dan tugas utama kekhalifahan adalah menjaga keharmonisan (islah), bukan merusak (*ifsad*). Ayat ini secara teologis memposisikan pemeliharaan lingkungan dan keadilan sosial sebagai bagian integral dari iman itu sendiri.
Kesinambungan makna ayat ini dalam sejarah Islam sangat jelas. Para ulama telah menggunakan ayat ini berulang kali untuk mengatasi isu-isu kontemporer, mulai dari hukum irigasi, hak kepemilikan air, hingga etika pembangunan perkotaan yang berdampak pada lingkungan alam. Dengan demikian, Al-Baqarah 60 berfungsi tidak hanya sebagai narasi sejarah, tetapi sebagai landasan hukum dan moral yang hidup.
Dimensi Spiritual dari Keterbatasan
Peristiwa ini juga mengajarkan bahwa kesulitan (seperti kehausan di padang gurun) seringkali merupakan pemicu bagi manifestasi rahmat ilahi yang paling spektakuler. Bani Israil diuji hingga batas kemampuan mereka, dan ketika mereka mencapai titik keputusasaan, Allah menunjukkan jalan keluar yang melampaui akal sehat. Ini mengajarkan mukmin bahwa pertolongan Allah datang melalui cara yang tidak terduga, asalkan mereka tetap sabar dan taat kepada utusan-Nya.
Analisis Mendalam Mengenai Konsep Israf (Pemborosan)
Jika kita memperluas analisis mengenai *ifsad* melalui lensa konsumsi (makan dan minum), kita menemukan bahwa pemborosan adalah pintu gerbang menuju kerusakan. Dalam tafsir Jami' al-Bayan oleh Al-Tabari, ditekankan bahwa menikmati rezeki Allah secara berlebihan, di luar batas kebutuhan yang wajar, dapat mengubah rasa syukur menjadi kesombongan dan kezaliman. Ketika Bani Israil, setelah mendapatkan air dan manna/salwa, mulai mengeluh dan meminta makanan yang lebih mewah (seperti yang dicatat dalam ayat lain), itu sudah merupakan langkah awal menuju *ifsad* dalam bentuk ketidakpuasan abadi.
Pemborosan sumber daya air, misalnya, dapat merusak ekosistem dan merampas hak orang lain yang kekurangan. Dalam ilmu fiqh kontemporer, prinsip kulu wa isyrobu menjadi landasan penting untuk hukum lingkungan (fiqh al-bi’ah), yang menggarisbawahi perlunya konservasi air dan energi sebagai bentuk ibadah.
Refleksi atas Ujian Kepemimpinan Nabi Musa
Ayat 60 adalah momen penting dalam kepemimpinan Nabi Musa. Ia menunjukkan ketenangan dan ketegasan. Ketika kaumnya panik dan menuntut, Musa tidak menjawab dengan kemarahan, melainkan dengan doa dan ketaatan kepada perintah Allah. Tongkat, yang sebelumnya adalah simbol kenabian (saat melawan penyihir Firaun) dan penyelamat (saat membelah laut), kini menjadi alat untuk menghasilkan kehidupan. Ini melambangkan bahwa alat dan metode kenabian selalu disesuaikan oleh Allah untuk mengatasi krisis spesifik yang dihadapi umatnya.
Kisah ini juga mengingatkan para pemimpin modern bahwa solusi terbaik untuk krisis sosial seringkali datang melalui jalan spiritual dan moral, diikuti dengan tindakan yang adil dan merata dalam pembagian karunia. Solusi teknokratis tanpa landasan keadilan, seperti yang diwujudkan dalam pembagian 12 mata air, akan selalu gagal.
Hubungan Keterkaitan Antara Ayah 60 dan Ayah-Ayah Berikutnya
Ayat 60 berfungsi sebagai jembatan penting. Ayat sebelumnya (seperti 57 dan 58) berbicara tentang rahmat dan ujian mereka (manna dan salwa, serta perintah memasuki kota). Ayat 60 menunjukkan puncak kemurahan, memberikan sumber kehidupan yang esensial. Namun, segera setelah ini, Al-Qur'an melanjutkan dengan mencatat permintaan-permintaan Bani Israil yang terus-menerus (seperti meminta bawang, mentimun, dan sayuran dari bumi) dan hukuman yang menyertai ketidaktaatan mereka. Ini menciptakan pola naratif: karunia yang melimpah (Ayat 60) selalu diikuti oleh ujian tanggung jawab, dan kegagalan dalam menjaga tanggung jawab akan mendatangkan konsekuensi.
Oleh karena itu, peringatan “dan janganlah kamu berkeliaran di bumi dengan berbuat kerusakan” bukanlah peringatan yang berdiri sendiri, melainkan antisipasi terhadap sifat Bani Israil yang cenderung tidak menghargai kemurahan Tuhan dan cepat kembali kepada perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Ayat ini adalah sebuah janji (rezeki) sekaligus sebuah ancaman (konsekuensi *ifsad*), sebuah keseimbangan teologis yang mendefinisikan hubungan antara Pencipta dan makhluk-Nya.
Inti dari pesan ayat ini, yang harus diinternalisasi oleh setiap generasi, adalah bahwa kemakmuran dan kelimpahan—yang diwakili oleh air yang memancar dari batu—tidak boleh menjadi alasan untuk lupa diri atau bertindak sewenang-wenang. Justru, kelimpahan harus meningkatkan rasa syukur dan tanggung jawab kita dalam mengelola bumi sebagai amanah suci.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa Surah Al-Baqarah ayat 60 adalah salah satu ayat paling kaya dalam Al-Qur'an, yang menyediakan pelajaran tentang teologi, keadilan sosial, manajemen sumber daya, dan etika kepemimpinan. Mukjizat Nabi Musa AS memukul batu bukan hanya kisah masa lalu, tetapi cermin yang merefleksikan tanggung jawab kita terhadap nikmat Allah di masa kini.