Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, sering kali disebut sebagai cetak biru bagi umat Islam. Ia memuat hukum-hukum utama, kisah-kisah penting, dan landasan akidah. Di antara ayat-ayat yang memaparkan sejarah masa lalu Bani Israil dan hubungan mereka dengan risalah ilahi, ayat ke-50 menempati posisi krusial. Ayat ini adalah pengingat yang tegas tentang intervensi langsung Allah SWT dalam menyelamatkan hamba-hamba-Nya dan menghancurkan musuh-musuh kebenaran.
Ayat ini tidak hanya menceritakan sebuah peristiwa sejarah spektakuler—pembelahan laut—tetapi juga menetapkan sebuah prinsip abadi: bahwa ketika kezaliman mencapai puncaknya, dan hamba-hamba Allah berada di ujung keputusasaan, pertolongan Ilahi datang dengan cara yang paling menakjubkan dan tak terduga. Kisah ini adalah landasan bagi pemahaman tentang konsep Najāt (keselamatan) dan Ighrāq (penenggelaman) dalam tradisi kenabian Musa (AS).
"Dan (ingatlah), ketika Kami membelah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Firaun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan." (QS. Al-Baqarah: 50)
Ayat ini terjalin erat dengan ayat sebelumnya (Ayat 49) yang menggambarkan penindasan brutal yang dilakukan oleh Firaun terhadap Bani Israil, dan ayat-ayat berikutnya yang membahas perjanjian dan ingkar janji yang dilakukan oleh Bani Israil pasca-keselamatan. Ayat 50 berfungsi sebagai puncak dramatis dari babak kezaliman Firaun.
Visualisasi metaforis intervensi ilahi dalam membelah lautan.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah istilah-istilah Arab yang digunakan, karena setiap kata membawa bobot teologis dan naratif yang besar.
Kata kerja ini berasal dari akar kata faraqa (ف ر ق), yang berarti memisahkan, membedakan, atau membelah. Penggunaan kata ini menunjukkan pemisahan yang jelas dan tegas. Yang terpenting di sini adalah subjeknya: Kami (نا - nā), merujuk kepada Allah SWT. Hal ini menegaskan bahwa aksi pembelahan laut bukanlah peristiwa alam biasa, melainkan mukjizat (karunia supernatural) yang dilakukan oleh kuasa Ilahi secara langsung. Pembelahan ini menciptakan jalan, memisahkan dua massa air yang seharusnya menyatu, sebuah tantangan total terhadap hukum fisika.
Secara umum merujuk kepada laut yang dilewati oleh Bani Israil, yang secara populer diyakini sebagai Laut Merah (atau Teluk Suez/Aqaba, tergantung pandangan tafsir geografis). Penyebutan ini menekankan bahwa halangan yang dihadapi Bani Israil adalah sebuah entitas besar yang mustahil dilewati tanpa intervensi besar. Lautan melambangkan keputusasaan dan jalan buntu bagi manusia, yang hanya dapat diatasi oleh Sang Pencipta Lautan itu sendiri.
Kata Najāt (keselamatan) adalah hasil langsung dari mukjizat pembelahan laut. Penyelamatan ini bersifat total—bukan sekadar lolos dari kekejaman Firaun, tetapi transisi fisik dan spiritual menuju kebebasan. Urutan kronologis kata ini (disertai fa, 'lalu') menunjukkan hubungan sebab-akibat yang instan: belah laut, lalu selamat. Penyelamatan ini adalah wujud dari rahmat Allah yang diberikan kepada Bani Israil setelah penantian yang panjang di bawah penindasan.
Ini adalah kontras tajam dengan Anjaynakum. Kata ini menunjukkan pembalasan dan keadilan ilahi. Penenggelaman (Ighrāq) adalah hukuman yang setimpal bagi Firaun dan pasukannya yang angkuh dan zalim. Ia menghilangkan kekuatan tirani dari muka bumi. Ini bukan bencana alam yang kebetulan, melainkan eksekusi hukum Allah atas kaum yang melampaui batas.
Penggunaan kata Āl (keluarga, pengikut, kaum) di sini penting. Hukuman ini tidak hanya menimpa Firaun sebagai individu, tetapi seluruh sistem kekuasaan, militer, dan pendukungnya yang turut serta dalam kezaliman. Ini adalah penghancuran struktural terhadap rezim yang menindas, menunjukkan bahwa mereka yang mendukung kezaliman juga akan menanggung akibatnya.
Ini adalah frasa paling mendalam dalam ayat 50. Ini bukan sekadar catatan sampingan. Kata Tandzurūn (menyaksikan, melihat dengan mata kepala) menegaskan bahwa keselamatan dan kehancuran itu terjadi di hadapan mata Bani Israil. Mereka adalah saksi mata sejarah sekaligus saksi mata kekuasaan Ilahi. Ini memastikan bahwa tidak ada keraguan tentang asal muasal mukjizat tersebut, dan ini harusnya menjadi dasar keimanan dan rasa syukur abadi mereka.
Para mufassir klasik dan kontemporer telah banyak membahas detail di balik ayat ini, menyoroti beberapa aspek utama:
Ayat 50 terjadi pada saat yang paling genting. Bani Israil telah meninggalkan Mesir di bawah pimpinan Nabi Musa (AS), tetapi mereka segera dihadapkan pada laut di depan dan pasukan Firaun yang bersenjata lengkap di belakang. Keadaan ini digambarkan dalam riwayat-riwayat (seperti yang dikutip oleh Imam Ibnu Katsir) sebagai momen keputusasaan total. Bani Israil mulai mengeluh, berpikir bahwa mereka telah dijebak antara dua kematian: tenggelam atau dibunuh. Nabi Musa (AS), dengan keyakinan penuh, diperintahkan untuk memukul lautan dengan tongkatnya.
Tafsir menyebutkan bahwa ketika Musa (AS) memukulkan tongkatnya, laut terbelah, dan yang lebih menakjubkan, angin diutus oleh Allah untuk mengeringkan dasar laut tersebut. Ini penting; jika dasarnya berlumpur, Bani Israil tidak akan bisa melewatinya dengan cepat. Allah tidak hanya membelah air, tetapi menciptakan jalan raya yang kering dan kokoh, memastikan keselamatan mereka. Air yang terbelah itu berdiri tegak seperti tembok di kedua sisi—sebuah gambaran yang memukau tentang kemahakuasaan Allah.
Firaun, didorong oleh kesombongan dan kebutaan hatinya, melihat jalan yang terbelah itu sebagai jebakan yang akan mengantar musuh-musuhnya ke tengah lautan. Ia tidak melihatnya sebagai tanda kekuasaan Ilahi. Dalam kesombongan militeristiknya, ia memerintahkan pasukannya untuk mengikuti Bani Israil. Ini adalah puncak kibr (kesombongan) yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Ia berjalan di atas karunia yang seharusnya menjadi peringatan baginya, sehingga ia dan seluruh pasukannya terperangkap di tengah jalan kering tersebut.
Frasa "sedang kamu sendiri menyaksikan" memberikan dimensi sosiologis dan spiritual yang kuat:
Ayat 50 adalah pelajaran teologis yang sangat kaya, menyentuh inti dari tauhid (keesaan Allah) dan hubungan antara kekuasaan dan keadilan.
Ayat ini adalah salah satu bukti paling dramatis dari Qudrah (Kekuasaan) Allah yang tak terbatas. Manusia terikat oleh hukum alam (Sunnatullah), tetapi Allah, sebagai Pencipta hukum tersebut, dapat menangguhkannya atau mengubahnya sesuka-Nya. Pembelahan lautan membuktikan bahwa tiada halangan fisik atau kekuatan manusia—sehebat Firaun—yang dapat menghalangi kehendak Allah. Kekuatan air yang tak tertandingi ditaklukkan hanya dengan perintah.
Kisah ini menegaskan sebuah pola (Sunnatullah) dalam sejarah: Allah memberikan kelonggaran kepada kaum zalim, tetapi ketika masa hukuman tiba, ia akan datang dengan dahsyat. Firaun telah menindas Bani Israil selama puluhan tahun, membunuh bayi laki-laki mereka, dan memperbudak mereka. Penenggelamannya adalah manifestasi dari Al-'Adl (Keadilan) Allah. Ayat ini meyakinkan orang-orang beriman bahwa kezaliman tidak akan pernah menang abadi.
Penyelamatan ini terjadi setelah masa kesabaran (sabr) yang panjang yang dijalani oleh Bani Israil di bawah pimpinan Musa (AS). Ini mengajarkan bahwa tawakal (penyerahan diri) harus sejalan dengan tindakan (melarikan diri), dan bahwa ujian terberat sering kali berada tepat sebelum pertolongan terbesar. Ketika Musa menghadapi laut dan ancaman Firaun, ia berseru, "Sekali-kali tidak akan (tersusul)! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (QS. Asy-Syu'ara: 62). Ayat 50 adalah jawaban langsung atas tawakal tersebut.
Ayat 50 secara harfiah adalah penghitungan nikmat yang diberikan kepada Bani Israil. Dalam konteks Al-Qur'an Madaniyah, Surah Al-Baqarah sering kali mengingatkan Bani Israil di masa Nabi Muhammad (SAW) tentang nikmat-nikmat yang pernah diberikan kepada leluhur mereka, menekankan bahwa ingkar janji dan penolakan kebenaran setelah menyaksikan mukjizat yang begitu jelas adalah dosa yang berlipat ganda. Ayat ini adalah dasar untuk seruan berulang-ulang Allah: "Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu..."
Kisah Musa (AS) adalah yang paling sering diulang dalam Al-Qur'an, menempati porsi naratif terbesar. Ayat 50 tidak dapat dipisahkan dari rangkaian cerita yang mendahului dan mengikutinya:
Ayat 49 Al-Baqarah menyebutkan: "...(Firaun) menyembelih anak-anak laki-laki kamu dan membiarkan hidup anak-anak perempuan kamu. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan yang besar dari Tuhanmu." Ayat 50 adalah solusi ilahi atas cobaan tersebut. Ayat ini adalah garis pemisah yang tajam antara perbudakan di Mesir dan perjalanan menuju Tanah yang Dijanjikan.
Ironi terbesar dari kisah ini adalah bahwa meskipun Bani Israil baru saja menyaksikan mukjizat terbesar, keimanan mereka rapuh. Ayat-ayat segera setelah Ayat 50 (seperti Ayat 51 dan seterusnya) menceritakan bagaimana mereka mulai menyembah patung anak sapi (El 'Ijl) segera setelah Musa pergi untuk menerima Taurat di Gunung Sinai. Keselamatan fisik tidak otomatis menjamin keselamatan spiritual.
Kisah penyeberangan Laut Merah ini menunjukkan betapa besar potensi manusia untuk lupa dan ingkar. Melihat pembalasan Firaun yang begitu mutlak di hadapan mata mereka seharusnya mengunci keimanan selamanya, namun syahwat dan kelemahan jiwa dapat mengalahkan ingatan akan mukjizat terbesar.
Ayat 50, oleh karena itu, juga berfungsi sebagai alat ukur: "Inilah yang telah Aku lakukan untukmu. Sekarang, apa yang telah kalian lakukan untuk-Ku?" Ini adalah pertanyaan moral dan spiritual yang ditujukan kepada setiap generasi umat yang diselamatkan dari kezaliman.
Meskipun kejadian ini terjadi ribuan tahun yang lalu, pelajaran dari Al-Baqarah 50 tetap relevan bagi kehidupan setiap Muslim dan bagi kondisi geopolitik dunia modern.
Bagi setiap Muslim yang menghadapi krisis pribadi atau kolektif (ekonomi, politik, kesehatan), Ayat 50 adalah sumber harapan. Ketika semua jalan keluar tertutup (laut di depan, musuh di belakang), Allah memiliki jalan yang tak terlihat. Ia mengajarkan bahwa keputusasaan adalah bertentangan dengan tauhid. Ketika kesulitan mencapai titik ekstrem, pertolongan Allah sedang mendekat.
Hukuman yang menimpa Āla Fir'aun (pengikut Firaun) mengajarkan pertanggungjawaban kolektif dalam kezaliman. Ini adalah peringatan bagi mereka yang menjadi bagian dari sistem yang menindas. Ayat ini mengingatkan kita bahwa mendukung kezaliman, baik melalui diam, uang, atau kekuasaan, menjadikan seseorang sekutu rezim tersebut, dan akibatnya akan ditanggung bersama di hadapan Allah SWT.
Dalam konteks modern, kita sering menyaksikan ketidakadilan di seluruh dunia melalui media. Frasa "Wa Antum Tandzurūn" dapat diartikan sebagai kewajiban untuk tidak bersikap pasif terhadap kebenaran yang kita saksikan. Kita dipanggil untuk menjadi saksi, untuk mengingat dan menceritakan kembali, sehingga kezaliman di masa lalu dan nikmat keselamatan di masa lalu tidak terlupakan oleh generasi berikutnya.
Kisah ini menegaskan siklus yang tidak terhindarkan: Firaun (kekuatan duniawi) menindas Bani Israil (pihak lemah yang beriman), Allah (kekuatan Ilahi) menghancurkan Firaun. Siklus ini berulang dalam sejarah peradaban. Setiap rezim yang membangun kekuasaannya di atas kezaliman dan kesombongan ditakdirkan untuk jatuh. Kekuatan militer, kekayaan, dan teknologi Firaun tidak berarti apa-apa di hadapan kuasa-Nya.
Kisah penyeberangan Laut Merah diulang di beberapa surah lain dengan penekanan yang sedikit berbeda, memperkaya pemahaman kita tentang peristiwa yang disajikan dalam Al-Baqarah 50:
Di Surah Yunus, fokusnya adalah pada pengakuan iman Firaun di saat-saat terakhirnya, ketika ia tenggelam. Meskipun Ayat 50 Al-Baqarah fokus pada kehancuran sistem kekuasaan (Āl Fir’aun), Surah Yunus memberikan detail personal tentang penyesalan Firaun, yang ditolak oleh Allah karena dilakukan terlalu terlambat (iman pada saat melihat azab sudah tiba tidak diterima). Hal ini menambah bobot tragis pada akhir kekuasaan zalim tersebut.
Surah Asy-Syu’ara memberikan detail tentang proses pembelahan itu sendiri, yang lebih menekankan peran wahyu. Allah berfirman: "Lalu Kami wahyukan kepada Musa: 'Pukullah laut itu dengan tongkatmu.' Maka terbelahlah lautan itu, dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar." (26:63). Penggambaran air yang berdiri "seperti gunung yang besar" (kullu firqin kāt-tawdil-'azhīm) menguatkan keagungan mukjizat yang disaksikan oleh Bani Israil, sebagaimana ditekankan dalam "Wa Antum Tandzurūn" di Al-Baqarah 50.
Meskipun terdapat perbedaan detail, pesan inti selalu konsisten: Allah adalah Penyelamat orang-orang yang tertindas, dan Penghancur orang-orang yang melampaui batas. Ayat 50 berfungsi sebagai pengingat singkat dan padat yang mendudukkan peristiwa ini sebagai salah satu nikmat terbesar yang pernah diberikan kepada umat Nabi Musa (AS).
Di luar kejadian fisik, Ayat 50 menawarkan metafora spiritual yang mendalam. Lautan dapat diibaratkan sebagai ujian hidup, ketakutan, atau godaan yang tampaknya tidak dapat diatasi. Firaun mewakili ego (nafs ammarah bis-su') atau kekuatan tirani internal yang ingin menghancurkan potensi spiritual kita. Tongkat Musa (AS) adalah simbol dari bimbingan Ilahi (wahyu) dan keimanan teguh (tawakal) yang dimiliki oleh orang beriman.
Setiap orang beriman dipanggil untuk melakukan "pembelahan laut" dalam hidupnya. Ketika kita merasa terperangkap antara dosa yang mengejar dari belakang (kebiasaan buruk masa lalu) dan halangan besar di depan (ketakutan masa depan), kita harus memukul "lautan" masalah dengan tongkat ketakwaan dan kepercayaan. Allah akan menciptakan jalan keluar yang kering dan aman, dan Firaun (musuh batin kita) akan tenggelam dalam lautan yang sama.
Dengan demikian, Ayat 50 bukanlah hanya pelajaran sejarah yang terisolasi, melainkan sebuah model universal untuk mencari pertolongan Ilahi dalam menghadapi segala bentuk tekanan dan kezaliman, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam diri.
Surah Al-Baqarah Ayat 50 adalah ringkasan yang sempurna dari kisah keselamatan dan pembalasan. Ayat ini menempatkan keadilan Allah di atas segalanya, menunjukkan bahwa setiap tirani memiliki batas waktu, dan setiap hamba yang sabar akan menerima pertolongan yang menakjubkan.
Tiga poin utama yang harus selalu terpatri dari ayat ini adalah:
Kisah Firaun dan Bani Israil, yang diringkas dalam satu ayat yang agung ini, akan terus menjadi mercusuar bagi umat manusia: sebuah janji bahwa meskipun malam kezaliman terasa panjang, fajar kebebasan dan keadilan Ilahi pasti akan tiba.